Al-Qur'an: Sumber Kebenaran Absolut

1. Al-Qur'an: Sumber Kebenaran Absolut

Umat muslim mengimani Al-Qur'an sebagai wilayah yang lebih tinggi dari keduniaan, yaitu sebagai firman Allah yang terjaga kemurniannya dan tidak mungkin

tergantikan (QS. Al- ijr/15:9). 24 Kemuliaan Al-Qur'an terpelihara di Lau al-

22 ’Abd Al-Wahhâb Khalâf, Ilmu Ushul Fiqh, cet. VIII, Mesir: Dar Al-Qalam, 1978, hlm. 23. Bandingkan dengan Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dâr al-Fikr al-’Arabî, t.t., hlm. 76.

23 Nasaruddin Umar, ”Al-Qur'an di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warraq dan Mark A. Gabriel”, dalam Jurnal Studi Al-Qur'an, Volume I, No. 2, 2006, Ciputat: PSQ, 2006, hlm. 91-92.

24 Keyakinan umat Islam tentang hal ini sering dihubungkan dengan ayat yang berbunyi: ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar

memeliharanya.”

Ma fuzh (QS. Al-Buruj/85:21-22); kebenarannya (diyakini) melampaui seluruh pertimbangan ruang dan waktu. Kaum muslim menghormati Al-Qur'an sebagai ungkapan yang suci dari Allah. Tidak hanya kandungan maknanya, tetapi bahasa, dan bahkan huruf-huruf Al-Qur'an (yang tertulis; mush af) pun diyakini umat muslim

sebagai suci. 25 Al-Qur'an juga difahami sebagai teks yang luar biasa, mulia, dan sakral. Penyebutannya sebagai Al-Qur'ân al-Karîm, yang berarti ”Al-Qur'an yang

mulia” (QS. Al-Waqi’ah/56:77) adalah untuk menggambarkan kesakralan yang melekat padanya. 26

Yang membuat Al-Qur'an difahami sebagai wilayah yang sakral tidak lain adalah karena sumber ilahiahnya; teks Al-Qur'an mengandung perkataan ilahiah (kalam Allah; QS. Al-Taubah/9:6) dan bukan perkataan manusia. Karena sumber ilahiahnya, bagi muslim taat, kebenaran Al-Qur'an tidak akan terbantahkan oleh apa pun. Dari sini, seorang muslim kemudian menjadikan Al-Qur'an sebagai panduan dalam setiap pilihan dalam hidupnya. Bahkan, tidak jarang, Al-Qur'an kemudian dijadikan sebagian umat muslim sebagai pembenar untuk setiap tindakannya.

Poin ini sangat penting dikemukakan dalam tulisan ini. Karena, tanpa terlebih dahulu mengimani Al-Qur'an sebagai yang otentik datang dari Allah, seorang muslim tidak akan menangkap kesan yang terlalu istimewa dari Al-Qur'an. Dan dengan demikian, tingkat kualitas makna dan kebenaran Al-Qur'an sangat bergantung kepada, terlebih dahulu, sikap mengimani Al-Qur'an, baik dari sisi historis maupun dari sisi metahitorisnya. Sebagai konsekuensinya, signifikansi Al-Qur'an bagi muslim yang saleh dengan asumsi non-muslim sangat jauh berbeda.

Bagi para pembaca Al-Qur'an yang mukmin, yang mengimaninya sebagai wahyu Tuhan yang otentik, dia akan menghormati setiap kata yang tertulis dalam

25 Dalam praktik kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai seorang muslim yang sangat berhati- hati dan dengan penuh hormat menjaga selembar kertas atau benda lainnya yang bertuliskan bagian

dari ayat Al-Qur'an. 26 Mahmoud M. Ayoub, “Qur’ân” dalam John L. Esposito, (editor in chief), The Oxford

Encyclopedia of the Modern Islamic World , Vol. 3, New York: Oxford University Press, 1995, hlm. 385. Bandingkan dengan Isma'il R. dan ois Lamya' Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan Publishing Company, 1986, hlm. 102 Encyclopedia of the Modern Islamic World , Vol. 3, New York: Oxford University Press, 1995, hlm. 385. Bandingkan dengan Isma'il R. dan ois Lamya' Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan Publishing Company, 1986, hlm. 102

kebenaran yang dia dambakan. Dia juga menemukan berbagai pengalaman rohani, yang hanya dia yang tahu persis. Sementara mereka yang menginterpretasikan Al- Qur'an dengan semata-mata mengikuti teori sastra dan filologi; mengkaji Al-Qur'an dengan teori kritis tanpa terlebih dahulu mengimani kebenarannya, hanya akan menjumpai keganjilan—sebuah asumsi yang bertentangan dengan semangat Al-

Qur'an dan para penganutnya. 27 Jelas, pembaca jenis kedua ini tidak menemukan suatu yang istimewa dari Al-Qur'an.

Al-Qur'an sendiri telah menyinggung hal ini. Bahwa dalam konteks memahami Al-Qur'an terdapat pembeda (hijab) antara yang beriman (dengan kehidupan akherat)

dengan yang tidak mempercayainya (QS. Al-Isra’/17:45). 28 Di sini, iman kepada isi ajaran Al-Qur'an (kehidupan akherat) menjadi kunci dan pintu masuk untuk bisa

menyentuh makna kebenaran Al-Qur'an. Tanpa terlebih dahulu mengimani kehidupan akherat, kebenaran Al-Qur'an (di antaranya adalah kehidupan akherat itu sendiri)

tidak akan pernah tersentuh. 29 Maka, bisa dipahami apabila kaum intelektual yang mengkaji Al-Qur'an semata-mata dari tinjauan kritik hanya menemukan ketidakaturan

alur cerita, ketidaknyamanan bahasa, dan sekian kecurigaan lain. Dan, sekali lagi ini adalah fenomena wajar, yang banyak terjadi pada para sarjana Barat yang mengkaji Al-Qur'an dengan pendekatan ilmu-ilmu sastra dan linguistik modern.