Penghafalan dan Sistem Memorisasi

B. Penghafalan dan Sistem Memorisasi

Sebuah riset lapangan yang dilakukan di berbagai kawasan di dunia, termasuk Asia Tenggara, menyimpulkan, dalam masyarakat niraksara (buta huruf), misalnya calon tukang cerita yang ingin mempelajari teknik penceritaan dan isi naratif atau nyanyian dari gurunya, akan sangat sulit terjadi penghafalan karya yang panjang. Kesimpulan ini sekaligus membantah anggapan kebanyakan orang, bahwa dalam masyarakat yang tidak mempunyai tulisan, maka satu-satunya jalan untuk mengamankan ciptaan lisan adalah melalui penghafalan. Apabila berpegang pada

belajar mandiri ini akan meningkatkan prestasi akademik mereka. Lihat juga di http://library.ukdw.ac.id/index.php?menu=detailnews&&id=1 , data diakses pada 5 Agustus 2008.

17 Literasi komputer adalah kemampuan dalam menggunakan komputer untuk akses informasi sesuai kebutuhan. Program literasi komputer adalah program yang dikembangkan secara sistematis dan

berkesinambungan yang bertujuan memampukan masyarakat dalam menggunakan komputer untuk akses informasi sesuai kebutuhannya dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Di Indonesia program ini dikembangkan dengan penyesuaian terhadap karakteristik dan kondisi masyarakat lokal yang menggunakan strategi pendekatan multi dimensi dan interdisipliner. Tujuan literasi komputer bukan sekedar memampukan masyarakat dalam mengoperasionalkan komputer, tetapi lebih dari sekedar itu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada akhirnya akan berujung pada peningkatan kesejahteraan setiap individu suatu bangsa. Lihat di http://gemamandiri.com/komputerliterasi.htm , data diakses pada 5 Agustus 2008.

18 Media literacy adalah keterampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan

yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. Di Indonesia, media literacy lebih dikenal dengan istilah ’melek media’. James

Potter dalam bukunya, “Media Literacy” mengatakan bahwa media literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Sementara Jane Tallim menyatakan, bahwa media literacy adalah

kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur. Selain itu, Allan Rubin berpendapat bahwa fokus utama media literacy adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literaci merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut. Lihat http://lussysf.multiply.com/journal/item/69,

Lihat juga http://www.majalaheindonesia.com/event_edisi21_2.htm, data diakses pada 5 Agustus 2008. 19 Literasi teknologi adalah kesadaran dan pengetahuan untuk memanfaatkan teknologi

data diakses

informasi dan komunikasi atau TIK ( ICT-literacy) dalam kehidupan sehari-hari. Baca http://balitbang.depkominfo.go.id/?mod=BRT0100&view=1&id=BRT070727135401&mn=BRT0100 %7CCLDEPTKMF_BRT01, data diakses pada 5 Agustus 2008. Untuk literasi teknologi, Walter J.

Ong menulis buku Orality and Literacy: Speaking, Writing, Technology, and the Mind . Buku ini, selain menjelaskan sastra lisan, juga menjelaskan hubungan antara kelisanan, keberaksaraan,

Technology, dan hafalan. Baca Walter J. Ong, Orality and Literacy: Speaking, Writing, Technology, and the Mind, London: Routledge, 2002 atau lihat di http://mantex.co.uk/reviews/ong.htm, data

diakses pada 10 Mei 2008.

hasil temuan ini, maka masyarakat yang tidak mengenal tulisan tidak mungkin bisa mengulang secara persis teks-teks yang telah dihafalkan. Dalam kasus tukang cerita, misalnya, setiap kali dia berpentas membawakan puisi naratif lisannya, dia akan menciptakan kembali puisi-puisinya secara baru dan spontan beserta gubahan-

gubahannya. 20 Artinya, di sini si tukang cerita sebenarnya tidak bisa mengingat secara persis puisi-puisinya, karena itu, setiap kali tampil akan terjadi penambahan atau

pengurangan. Mengapa demikian, karena pada orang-orang yang tidak mengenal tulisan tidak terjadi sistem memorisasi otak (ingatan). Hal ini dijelaskan oleh antropolog Jack Goody (1987) berdasarkan pengamatannya pada masyarakat Barat dan Afrika Barat. Menurut Goody, ternyata memorisasi dalam kebudayaan lisan sangat jarang terjadi. Secara umum dalam masyarakat-masyarakat sederhana, pengulangan yang tepat dari bahasa yang baku, baik bersifat naratif atau tidak, panjang atau pendek, hampir tidak pernah terjadi. Memorisasi justru merupakan gejala yang khusus terikat pada kebudayaan yang sudah mengenal tulisan. Lebih lanjut, Goody kemudian

menjelaskan argumen temuannya. Menurut dia, ada empat alasan yang memperkuat temuannya di atas: Pertama, teknik memorisasi baru dimungkinkan oleh adanya teks tertulis yang menjadi pegangan dan norma untuk penghafalan teks yang dianggap penting oleh si penghafal. Sementara dalam masyarakat lisan tidak ada teks yang baku yang dapat dihafalkan secara exact (persis). Kontrol pun tidak mungkin. Kedua, baru dalam masyarakat yang mengenal naskah mulai ada sekolah. Sementara sekolah menjadi tempat mempelajari ilmu pengetahuan (termasuk baca-tulis) serta mengembangkan teknik memorisasi berdasarkan teks tertulis. Ketiga, baru melalui tulisan, hasil pengetahuan dapat disusun kembali secara sistematis sehingga mudah dihafalkan, misalnya melalui daftar, tabel, serta tata bahasa. Keempat, melalui tulisan akan terjadi kemungkinan visualisasi dan penghafalan lewat mata. Melalui

20 Tidak adanya rujukan yang baku dalam hafalan tertentu bisa memunculkan beragam versi teks yang berasal dari hafalan yang sama. Lihat A. Teeuw, Indonesia: Antara Kelisanan dan

Keberaksaraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994, hlm. 4-5 Keberaksaraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994, hlm. 4-5

harfiah (copying). 21 Dalam konteks inilah bisa dipahami, mengapa ketika wahyu (Al-Qur'an)

disampaikan kepada Nabi Muhammad, seketika itu juga dia memerintahkan para sahabat (yang menguasai sistem baca-tulis Arab dengan baik) untuk mengabadikan

wahyu (Al-Qur'an) dalam bentuk tulisan. 22 Jawabnya, tidak lain, karena reproduksi teks secara exact (persis) akan membutuhkan teks tertulis sebagai sumber utama

untuk proses memorisasi. Tidak hanya dalam kasus Al-Qur'an, sistem seperti ini juga terjadi dalam kebudayaan Hindu dengan Weda sebagai kitab suci, yang mana sistem memorisasi yang kuat dikembangkan atas dasar tulisan. Tata bahasa Sanskerta gubahan Panini yang sangat menunjang teknik penghafalan Weda yang amat canggih di kalangan umat Brahmana tidak mungkin diciptakan tanpa pemakaian simbol

tulisan. 23