Prosiding Seminar Nasional "The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran"

(1)

(2)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN IPA-BIOLOGI

“The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran”

Program Studi Pendidikan Biologi FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(3)

“The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam

Pembelajaran”

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016

Artikel-artikel dalam prosiding ini telah dipresentasikan dalam

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN IPA-BIOLOGI

pada tanggal 28 September 2016

diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Biologi FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penyunting Dr. Yanti Herlanti, M.Pd Eny Supriyati Rosyidatun, M.A

Tata letak: Qumillaila Ahmad Raihan

Diterbitkan oleh:

Program Studi Pendidikan Biologi

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jl. Ir. H. Juanda No.95 Ciputat, Tangerang

Telp. (021)7443328 / Fax. (021)7443328

2016


(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’ alaykum wr.wb.

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas terselenggaranya Seminar Nasional Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Tema seminar adalah “The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan

Implikasi dalam Pembelajaran”. Seminar ini diikuti oleh para dosen, guru, mahasiswa, dan pemerhati pendidikan.

Makalah dan abstraksi yang disampaikan pada seminar nasional ini berasal dari pemakalah utama dan pemakalah pendamping. Semoga prosiding yang merupakan kumpulan artikel ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Pada kesempatan ini kami sampaikan terima kasih kepada para narasumber utama, para pemakalah dan peserta seminar atas partisipasi aktifnya. Secara khusus kami memberikan penghargaan kepada panitia yang telah berjuang mengerahkan tenaga dan pikiran demi keberhasilan acara ini. Semoga kegiatan seminar ini dapat memberikan secercah harapan untuk peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya terkait implementasi kurikulum 2013. Terakhir kami ucapkan permohonan maaf apabila dalam penyelenggaraan seminar ini terdapat kekurangan.

Wassalamu’alaykum wr.wb.

Jakarta, Oktober 2016


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Depan i

Editorial ii

Kata Pengantar iii

Daftar isi iv

No.

Isi

Halaman

1 Zulfiani, Baiq Hana Susanti, & Lisnawati

Pembelajaran Biologi Berbasis Free Inquiry pada Konsep Sistem Pencernaan Makanan Kelas XI SMA

1-6

2 Mutia Ulfah, Nengsih Juanengsih, & Meiry Fadilah Noor

Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) pada Konsep Perubahan Lingkungan dan Daur Ulang Limbah

7-16

3 Eny Rosyidatun, Sukarlin, & Annisaa Meyrizka K. P

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match dalam Meningkatkan Minat Belajar Peserta Didik di SMA Negeri 11 Tangerang Selatan

17-27

4 Baiq Hana Susanti, Fransisca S., & Riandi

Analisis Implementasi Perkuliahan Vertebrata Berbasis Learning Object di Program Studi Pendidikan Biologi FITK UIN Jakarta

28-41

5 Ahmad Soleh, Evi Syarfiarti, & Yanti Herlanti

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Peserta Didik Kelas VIII-3 SMPN 3 Kota Tangerang Selatan 2015/2016 dalam Pelajaran IPA

42-51

6 Zulfiani, Tri Endah Irianti, Dhuhana Putri R.

Peningkatan Motivasi Belajar Peserta Didik melalui Metode Group Investigation di MTS Negeri 1 Kota Tangerang Selatan


(6)

7 Diani Atika, Fakhrur Rahman, & Nengsih Juanengsih

Penerapan Model Cooperative Learning Tipe Number Head Together untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa Materi Ajar Sistem Reproduksi (Penelitian Tindakan Kelas di SMA Negeri 6 Tangerang Selatan)

58-70

8 Luki Yunita, Rifa Kusmiati, & Nina Afria D

Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Melalui Problem Based Learning pada Konsep Sistem Koloid

71-80

9 Buchori Muslim & Erlinawati

Penerapan Metode Eksperimen Berbasis Lingkungan dalam Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Konsep Sistem Koloid (PTK di Kelas XI IPA MAN 2 Kota Tangerang)

81-94

10 Ipa Ida Rosita & Evi Sapinatul Bahriah

Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap Ilmiah Siswa Pada Materi Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit

95-105

11 Dela Rahma Safitra, Laila Lubis, & Yanti Herlanti

Penerapan Model Pembelajaran Snowball Throwing Termodifikasi untuk Meningkatkan Motivasi Belajar IPA Siswa Kelas VII.4 Di SMP Negeri 3 Kota Tangerang Selatan

106-111

12 Aida Nadia, Dedi Irwandi, & Erika Susianti

Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa pada Materi Konsep Mol Melalui Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) Di Kelas X-6 SMAN 8 Kota Tangerang Selatan

112-119

13 Sumyati, Dedi Irwandi, & Nanda Saridewi

Pengaruh Multimedia Computer Based Instruction Model Tutorial terhadap Hasil Belajar Siswa pada Materi Larutan Penyangga

120-125

14 Muchamad Haikal Al Fajri, Fathiah Alatas, & Daryono

Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa Menggunakan Media Laboratorium Virtual pada Konsep Listrik Dinamis

126-133

15 Sujiyo Miranto

Tinjauan Fungsi Ekologis Alun-Alun Tradisional Jawa


(7)

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016

PEMBELAJARAN BIOLOGI BERBASIS FREE INQUIRY PADA KONSEP SISTEM PENCERNAAN MAKANAN KELAS XI SMA

Zulfiani1, Baiq Hana Susanti2, Lisnawati3

Program Studi Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email koresponden: 1zulfiani@uinjkt.ac.id, 2baiq.hana@uinjkt.ac.id, 3inalisna09@gmail.com Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran biologi berbasis free inquiry pada konsep sistem pencernaan makanan di kelas XI SMAN A di Jakarta. Metode penulisan menggunakan kajian pustaka dan dokumentasi. Tahapan model free inquiry meliputi: (1) orientasi, (2) merumuskan masalah, (3) berhipotesis, (4) mengumpulkan data, (5) menguji hipotesis, (6) menarik kesimpulan. Implementasi pembelajaran biologi free inquiry dilengkapi Lembar Kerja Peserta Didik (LKPS) yang memandu peserta didik sesuai dengan tahapan inquiry. Rata-rata pencapaian skor LKPS pada 2 Kegiatan Eksperimen Uji Zat Makanan dan Uji Vitamin C 75,39%. Pada setiap tahapannya guru berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan partisipasi peserta didik lebih dominan, selain itu model ini mengembangkan keterampilan proses sains, kemandirian dan kreativitas peserta didik.

Kata Kunci: Model free inquiry, Sistem Pencernaan Makanan, Peserta Didik.

Abstract

This article aims to describe free inquiry learning of biology on the digestive system concept in class XI SMAN A in Jakarta. The writing method using literature review and documentation. This model of free inquiry includes orientation, to formulate the problem, hypotheses, collect data, test

hypotheses, draw conclusions. Free inquiry learning of biology implementations include students’

worksheets (LKPS) that guides learners in accordance with the stages of inquiry. The average achievement scores LKPS on two experimental activities substance test and test foods vitamin C 75,39%. At each stage the teacher acts as a facilitator that allows students participation be more dominant, further more this model develops of science process skills, independence and creativity of students.

Keywords: Model of Free Inquiry, Digestive System, Learners

PENDAHULUAN

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri (Trianto, 2010). Perkembangan potensi peserta didik salah satunya dapat dilatih melalui proses pembelajaran yang berlangsung dalam satuan pendidikan.

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi sumber daya manusia (SDM). Pendidikan merupakan satu-satunya cara agar manusia dapat menjadi lebih baik dalam meningkatkan sumber daya manusia, sehingga dapat mengimbangi setiap perkembangan yang terjadi agar tidak tertinggal oleh kemajuan teknologi (Roida dan Maya, 2015). Proses pendidikan yang terjadi dalam satuan pendidikan terus mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan perubahan zaman dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga menuntut


(8)

guru untuk selalu mencari strategi baru dalam mengahadapi proses pendidikan tersebut.

Pengelolaan proses pendidikan harus memperhitungkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu setiap guru wajib mengikuti dengan saksama inovasi-inovasi pendidikan oleh pemerintah seperti belajar tuntas (mastery learning), pendekatan CBSA dan keterampilan proses, muatan lokal dalam kurikulum, dan lain-lainnya agar dapat mengambil manfaatnya (Umar dan La Sulo, 2008). Kemajuan yang sangat pesat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat pemerintah memberlakukan kurikulum 2013 yang menekankan proses pembelajaran saat ini bukan lagi teacher centered melainkan student centered. Penilaiannya pun sudah bukan hanya penilaian pada aspek kognitif saja, melainkan ke penilaian aspek afektif bahkan psikomotor. Maka dari itu, guru harus dapat mencari strategi baru yang dapat mengaplikasikan proses pembelajaran yang ditekankan oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan yang terdapat pada kurikulum, khususnya proses pembelajaran pada mata pelajaran IPA.

Pembelajaran IPA menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu memahami

alam sekitar melalui proses “mencari tahu” dan “berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik

untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Keterampilan dalam mencari tahu atau berbuat tersebut dinamakan keterampilan proses penyelidikan atau “enquiry skills

(Zulfiani, dkk, 2009). Secara umum IPA dipahami sebagai ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep (Trianto, 2010).

Sistem pencernaan makanan merupakan salah satu konsep yang terdapat pada materi Biologi kelas XI SMA. Berdasarkan pada kompetensi dasar kognitif maupun psikomotor yang terdapat pada kurikulum, materi sistem pencernaan ini menuntut siswa untuk dapat menganalisis hubungan antara struktur jaringan penyusun organ pada sistem pencernaan dan mengaitkannya dengan nutrisi dan bioprosesnya sehingga dapat menjelaskan proses pencernaan manusia melalui studi literatur, pengamatan, percobaan, dan simulasi serta menyajikan hasil analisis tentang kelainan pada struktur dan fungsi jaringan pada organ-organ pencernaan yang menyebabkan gangguan sistem pencernaan manusia melalui berbagai bentuk media presentasi. Sehingga, diharapkan peserta didik harus mengetahui dan memahami materi sistem pencernaan makanan bukan hanya dari segi teori saja melainkan didukung dengan prakteknya secara langsung.

Model pembelajaran yang dapat membantu pengaplikasian proses pembelajaran tersebut salah satunya adalah model pembelajaran

inquiry. The National Science Education Standards state that “scientific inquiry is at the heart of science and science learning”. As conceptualized by National Research Council, scientific inquiry includes a range of activities involved and related to the scientific process. Pernyataan ini menyatakan bahwa inquiry adalah jantung dari ilmu pengetahuan. Selain itu, inquiry

mencakup berbagai kegiatan yang terlibat dan terkait dengan proses ilmiah (D.I Hauner et all, 2009). Pembelajaran inquiry menekankan kepada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung. Peran peserta didik adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing peserta didik untuk belajar. Pembelajaran ini sering juga dinamakan heuristic, yang berasal dari bahasa


(9)

Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan (Majid, 2013).

Model pembelajaran free inquiry yang memberikan kebebasan dan kesempatan kepada peserta didik untuk bereksplorasi dengan mengumpulkan fakta-fakta melalui kegiatan observasi ataupun eksperimen sehingga dapat membangkitkan minat dan rasa ingin tahu peserta didik terhadap konsep yang dipelajari (Marheni, dkk, 2014). Selama proses pembelajaran, bimbingan dari guru sangat sedikit diberikan atau bahkan tidak diberikan sama sekali. Salah satu keuntungan belajar dengan model ini adalah adanya kemungkinan peserta didik dalam memecahkan masalah open ended dan mempunyai alternatif pemecahan masalah lebih dari satu cara, karena tergantung bagaimana cara mereka mengonstruksi jawabannya sendiri. Selain itu, ada kemungkinan siswa menemukan cara dan solusi yang baru atau belum pernah ditemukan oleh orang lain dari masalah yang diselidiki (Lutfi, 2011).

Pelaksanaan pembelajaran free inquiry

secara umum dapat mengikuti langkah–langkah sebagai berikut: (1) Orientasi, (2) Merumuskan masalah, (3) Merumuskan hipotesis, (4) Mengumpulkan data, (5) Menguji hipotesis (6) Merumuskan kesimpulan (Sanjaya, 2006). Model pembelajaran free inquiry ini berkaitan dengan tahapan-tahapan tindakan para saintis ketika melakukan kegiatan ilmiah berupa penyelidikan/investigasi maupun eksperimen. Hal ini sejalan dengan proses pembelajaran peserta didik dalam memahami konsep sistem penceranaan yang mengharuskan peserta didik untuk mengalami/praktek secara langsung.

Penggunaan model pembelajaran free inquiry dilengkapi dengan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPS), akan melatih peserta didik dalam mengembangkan keterampilan proses sains, kemandirian, dan kreativitas. Sehingga implementasi proses pembelajaran biologi akan

mengalami inovasi baru sesuai dengan tuntutan yang terdapat pada kurikulum, yaitu bukan lagi

teacher centered melainkan student centered.

METODE

Metode penulisan hasil penelitian ini menggunakan kajian pustaka dan dokumentasi. Metode kajian pustaka ini bertujuan untuk membantu peneliti dalam menyelesaikan masalah penelitiannya dengan mengacu pada teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang relevan (Hamdiyati, 2008). Sedangkan dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode kajian pustaka dalam penelitian yang dilakukan. Karena hasil penelitian juga akan semakin kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada (Sugiyono, 2013).

Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI SMAN A Jakarta pada semester genap Tahun Ajaran 2015/2016. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik SMAN A Jakarta. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas XI SMAN A Jakarta dengan jumlah 32 peserta didik.

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembelajaran biologi peserta didik kelas XI SMA pada konsep sistem pencernaan makanan. Selama proses pembelajaran berlangsung, peserta didik dibagi menjadi enam kelompok dan belajar menggunakan model pembelajaran free inquiry yang dilengkapi dengan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPS).

Data utama yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah deskripsi proses pembelajaran biologi peserta didik pada konsep sistem pencernaan makanan dengan menggunakan model pembelajaran free inquiry

yang dilengkapi dengan LKPS dan pencapaian skor LKPS pada dua kegiatan praktikum, yaitu uji


(10)

zat makanan dan uji vitamin c. Analisis data pada LKPS dilakukan dengan cara memberi skor pada setiap tahapan free inquiry dan menghitung semua skor yang diperoleh setiap kelompok untuk dijadikan skor LKPS yang telah dikerjakan.

PEMBAHASAN

Data hasil penelitian proses pembelajaran berbasis free inquiry pada konsep sistem pencernaan makanan kelas XI SMA yaitu berupa data skor hasil lembar kerja peserta didik dalam kegiatan praktikum, yaitu praktikum uji zat makanan dan uji vitamin c. Lembar kerja peserta didik digunakan sebagai bahan ajar yang berisi praktikum yang dilaksanan dan bertujuan untuk mengembangkan keterampilan proses sains, kemandirian dan kreativitas peserta didik. LKPS dibuat oleh peneliti dengan mengadaptasi dari tahapan free inquiry, oleh karena itu disebut juga LKPS free inquiry. Rekapitulasi hasil penilaian LKPS yang dikerjakan peserta didik pada saat

praktikum uji zat makanan dan uji vitamin c ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Penilaian Lembar Kerja Peserta Didik

Tahapan Free Inquiry

Pert. 1 Pert. 2

Merumuskan Masalah 83.33 88.89

Memprediksi 83.33 0.00

Merumuskan Hipotesis 66.67 88.89

Mengumpulkan Data 83.33 88.89

Menguji Hipotesis 75.00 75.00

Merumuskan Kesimpulan 83.33 72.22

Pertanyaan 83.33 83.33

Rata-rata 79.76 71.03

75.39

Tabel 1. menunjukkan bahwa nilai rata-rata LKPS peserta didik pada saat praktikum uji zat makanan dan uji vitamin c yaitu masing-masing sebesar 79,76 dan 71,03. Secara keseluruhan rerata perolehan skor LKPS peserta didik sudah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), yaitu

Gambar 1. Hasil LKPS praktikum uji zat makanan kelompok peserta didik berbasis free inquiry dengan kategori rendah

Gambar 2. Hasil LKPS praktikum uji zat makanan kelompok peserta didik berbasis free inquiry dengan kategori sedang


(11)

Gambar 3. Hasil LKPS praktikum uji zat makanan kelompok peserta didik berbasis free inquiry dengan kategori sedang

Pada pertemuan pertama yaitu praktikum mengenai uji zat makanan, menunjukkan bahwa tahapan yang memiliki pencapaian skor terendah adalah tahapan merumuskan hipotesis dengan skor 66,67. Hal tersebut dikarenakan untuk merumuskan hipotesis peserta didik diminta untuk mengajukan perkiraan penyebab sesuatu terjadi yang harus diungkapkan kebenarannya dengan cara pemecahan masalah, karena dalam rumusan hipotesis biasanya terkandung cara untuk mengujinya (Andri, dkk, 2012). Sedangkan tahapan yang memiliki skor tinggi yaitu tahapan merumuskan masalah, memprediksi, mengumpulkan data, merumuskan kesimpulan dan menjawab pertanyaan, dengan nilai rata-rata 83,33.Pada pertemuan kedua yaitu praktikum mengenai uji vitamin c, menunjukkan bahwa tahapan yang memiliki pencapaian skor terendah adalah tahapan memprediksi, namun tahapan tersebut sebenarnya tidak termasuk ke dalam tahapan dari free inquiry, melainkan hanya tahapan pengembangan dari aspek keterampilan proses sains. Sehingga tahapan dari free inquiry

yang terendah yaitu merumuskan kesimpulan dengan nilai 72,22. Sedangkan tahapan dengan pencapaian skor tertinggi yaitu pada tahapan merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, dan mengumpulkan data.

Berdasarakan pencapaian skor tersebut, menunjukkan bahwa peserta didik sebenarnya dapat diberikan kekebasan dan berpartisipasi aktif pada saat proses pembelajaran berlangsung

dalam memahami konsep sistem pencernaan makanan, sehingga kemandirian dan kreativitasnya dapat berkembang walaupun belum sepenuhnya. Tetapi harus tetap memperhatikan kesesuaian konsep yang akan digunakan dan kondisi peserta didik terkait dengan kemandirian serta pengalaman dalam melakukan praktikum agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Selain itu, peserta didik akan lebih memahami konsep sistem pencernaan makanan dikarenakan peserta didik menemukan langsung pengetahuannya melalui proses penyelidikan yang telah dilakukannya.

SIMPULAN

Kesimpulan yang didapatkan dari hasil analisis data penelitian yang telah dilakukan, yaitu bahwa secara keseluruhan rerata perolehan skor LKPS berbasis free inquiry peserta didik sudah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), yaitu 75,39%. Selain itu, model pembelajaran free inquiry juga dapat digunakan untuk mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran biologi konsep sistem pencernaan makanan kelas XI SMA dan dapat dapat mengembangkan keterampilan proses sains, kemandirian, serta kreativitas peserta didik.


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Andri, dkk. Peningkatan Keterampilan Prediksi dan Merumuskan Hipotesis Melalui Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Jurnal Pendidikan Kimia. Universitas Lampung, Lampung. 2012.

Eva Flora Siagian, Roida dan Maya Nurfitriani. Metode Pembelajaran Inquiry dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari Kreativitas Belajar. Jurnal Formatif. ISSN: 2088-351X.

Hamdiyati, Yanti. Cara Membuat Kajian Pustaka. Pelatihan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bagi Guru-guru MGMP Kota Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia. 2008.

Hanauer, D.I., et. all.” Active Assessment: Assessing Scientific Inquiry, Capter 2 Conceptualizing Scientific Inquiry”.

Mentoring in Academia and Industry 2, DOI 10.1007/978-0-387-89649-6_2, ISSBN: 978-0-387-89648-9. 2009.

Lutfi, Muchtar. “Pemahaman Guru Mata

Pelajaran IPA MTs Se-Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara Tentang

Strategi Pembelajaran Inkuiri”. Skripsi

pada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang: 2011. Majid, Abdul. Strategi Pembelajaran. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2013.

Marheni, Ni Putu, dkk, Studi Komparasi Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Dan Model Pembelajaran Inkuiri Bebas Terhadap Hasil Belajar dan Keterampilan Proses Sains Siswa Pada Pembelajaran Sains SMP. Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA. Vol 4. 2014.

Mudalara, I Putu. “Pengaruh Model

Pembelajaran Inkuiri Bebas Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Gianyar Ditinjau Dari Sikap

Ilmiah”. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, Gianyar: 2012.

Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikaan.

Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2013.

Tirtarahardja, Umar dan S. L. La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008.

Trianto. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.

Zulfiani, dkk. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.


(13)

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016

PENINGKATAN BERPIKIR KREATIF SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM) PADA KONSEP PERUBAHAN LINGKUNGAN DAN DAUR ULANG LIMBAH

Mutia Ulfah1, Nengsih Juanengsih2, Meiry Fadilah Noor3

Program Studi Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email koresponden: 1mutiaulfahbio2011@gmail.com, 2nengsih.juanengsih@uinjkt.ac.id,

3meifnoor@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan berpikir kreatif siswa melalui model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain the one group pretest-posttest design. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMAN 1 Parung Tahun Ajaran 2015/2016. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini yaitu siswa kelas X MIA 4 yang berjumlah 34 orang. Instrumen penelitian berupa soal uraian sebanyak 13 soal, lembar observasi siswa, lembar observasi guru dan lembar kerja siswa (LKS) berbasis STM sebagai pendukung. Hasil penelitian menunjukkan pada posttest 97,06% siswa memperoleh nilai diatas KKM dengan nilai rata-rata sebesar 86,14. Nilai rata-rata N-gain sebesar 0,73 menunjukkan kategori tinggi dengan pencapaian 67,65% siswa berada pada kategori N-gain tinggi dan 32,35% siswa berada pada kategori N-gain sedang. Berdasarkan uji paired sample t-test diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 (sig < α). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran sains teknologi masyarakat (STM) dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah.

Kata Kunci: berpikir kreatif; sains teknologi masyarakat (STM); perubahan lingkungan dan daur ulang limbah

Abstract

This research aims at determining the increase of students’ creative thinking by using Science Technology Society (STM) learning model on the concept of environmental change and waste recycling. This research was quasi experiment with the one group pretest-posttest design. The population of this research is all student at SMAN 1 Parung academic year 2015/2016. The sampling of this research was taken through purposive sampling. The sample of this reasearch is class X MIA 4 with 34 students. The instruments of this research were an essay test consists of 13 questions, student observation sheet, teacher observation sheet, and student worksheet based STM as a support. The result showed 97,06% students get score above KKM with an average score is 86,14. The average score of the N-gain is 0.73 that showed high category, with 67.65% of students in the high category of gain and 32.35% of students in the medium category of N-gain. Based on paired samples t-test, the significance value 0.000 is less than an alpha value 0.05 (sig <α). This suggests that there were differences of students’ creative thinking on a pretest and posttest, which means using science society technology (STM) learning model can increasing students' creative thinking on the concept of environmental change and waste recycling.

Keywords: creative thinking; science technology society (STS); environmental change and waste recycling

PENDAHULUAN

Globalisasi mempunyai pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan

tentang perubahan dunia yang akan berlangsung (Susanti, 2015). Era globalisasi menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu,


(14)

diperlukan peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing sebagai kunci tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan serta mampu memanfaatkan segala macam peluang di era globalisasi tersebut (UU RI No.17, 2007).

Indonesia akan mampu menangkap peluang dan menghadapi era globalisasi jika memiliki sumber daya manusia yang kompeten, kreatif, dan inovatif. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kualitas pendidikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif, karena salah satu lembaga yang paling berperan dalam mempersiapkan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah sekolah.

Reformasi pendidikan pun dilakukan dengan menerapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan. Prinsip yang saat ini diterapkan seperti dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu, dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi berbasis aneka sumber belajar dan prinsip-prinsip lainnya yang sesuai dengan standar kompetensi lulusan dan standar isi (Permen Diknas RI No. 65, 2013). Selain itu, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan,

“pembelajaran yang relevan dengan kehidupan

begitu penting diterapkan. Hal itu bertujuan untuk mewujudkan iklim pendidikan yang menyenangkan bagi siswa. Pendidikan dengan iklim yang menyenangkan dapat meningkatkan

daya imajinasi siswa supaya berpikir kreatif”

(Kompas, 2015). Dengan demikian, melalui pembelajaran yang berorientasi pada permasalahan kehidupan sehari-hari (real world problem) dapat membantu meningkatkan pengembangan berpikir kreatif siswa.

Berpikir kreatif adalah kecakapan mengolah pikiran untuk menghasilkan ide-ide baru dan merupakan salah satu kompetensi yang sangat penting dalam membangun pilar belajar

yang bernilai untuk membangun daya kompetisi bangsa dalam meningkatkan mutu produk pendidikan (Rahmat, 2012). Kemampuan berpikir kreatif dapat dicapai dengan cara membiasakan siswa untuk melakukan pemecahan masalah. Proses pemecahan masalah dapat mendorong siswa untuk memikirkan solusi-solusi alternatif dalam memecahkan permasalahan tersebut. Sehingga siswa dapat menciptakan banyak ide tentang sebuah topik tertentu (Susanto, 2014). Oleh karena itu, guru harus membiasakan siswa untuk melakukan pemecahan masalah agar kemampuan berpikir kreatif siswa dapat terlatih. Siswa juga menjadi lebih aktif dalam belajar dan mampu mengembangkan potensinya secara mandiri.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk menciptakan iklim pembelajaran yang mampu mengembangkan potensi siswa agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Proses pembelajaran pun harus berpusat pada siswa (student center), sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu sekolah yang dalam proses pembelajarannya telah melibatkan siswa secara aktif adalah SMA Negeri 1 Parung yang berada di wilayah kabupaten Bogor. Sekolah ini telah menerapkan kurikulum 2013 dalam proses pembelajarannya. Hasil wawancara di sekolah tersebut menunjukkan pembelajaran dilaksanakan dengan metode diskusi dan praktikum. Diskusi dilakukan pada saat siswa melakukan presentasi. Sedangkan model pembelajaran yang biasa dilakukan adalah model inkuiri yaitu dengan siswa melakukan praktikum.

Penilaian yang dilakukan di SMAN 1 Parung sudah sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 yaitu melakukan penilaian hasil belajar pada ranah sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan kinerja (psikomotorik). Penilaian mengenai berpikir kreatif belum pernah dilakukan. Hal ini dikarenakan belum adanya inovasi yang dilakukan oleh pihak guru untuk


(15)

memenuhi kebutuhan alat ukur atau instrumen yang sesuai dengan indikator berpikir kreatif siswa. Padahal menurut Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2006, Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) SMA bertujuan untuk membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif serta menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan (Permen Diknas RI No. 23, 2006). Oleh karena itu, selain penilaian belajar dalam ranah sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan kinerja (psikomotorik), penilaian berpikir kreatif juga perlu dilakukan sebagai pengukuran dalam mencapai standar kompetensi kelulusan.

Hasil akhir dari proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh ketepatan model pembelajaran yang digunakan dengan konsep yang diajarkan. Joyce dan Weil dalam Rusman berpendapat bahwa, model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain (Rusman, 2012). Proses pembelajaran dilakukan untuk mencapai standar kompetensi kelulusan yang telah ditetapkan, dan kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu dari tujuan dalam standar kompetensi lulusan tersebut. Sehingga, untuk mencapai tujuan tersebut dipilih konsep dan model pembelajaran yang dapat melatih kemampuan berpikir kreatif siswa.

Model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Peningkatan berpikir kreatif tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Smarabawa, dkk., yang menyatakan bahwa model pembelajaran STM lebih unggul dibandingkan model pembelajaran langsung dalam hal

keterampilan berpikir kreatif (Smarabawa dkk, 2013). STM merupakan suatu usaha untuk menyajikan IPA dengan mempergunakan masalah-masalah dari dunia nyata. STM adalah suatu pendekatan yang mencakup seluruh aspek pendidikan yaitu tujuan, topik/masalah yang akan dieksplorasi, strategi pembelajaran, evaluasi dan persiapan/kinerja guru (Zulfiani dkk, 2009).

Konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah pada kelas X SMA merupakan salah satu konsep yang sesuai untuk menerapkan model pembelajaran STM. Hal ini dikarenakan, permasalahan terkait perubahan lingkungan dan limbah masih menjadi permasalahan yang krusial hingga saat ini. Permasalahan terkait perubahan lingkungan dan daur ulang limbah juga merupakan permasalahan yang sering ditemui oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, limbah yang dihasilkan baik dari industri ataupun rumah tangga yang pengelolaanya masih belum tepat dan dapat menganggu keseimbangan lingkungan. Penggunaan model STM akan melatih siswa dalam menganalisis permasalahan lingkungan yang terjadi, mencari solusi yang kreatif serta mampu mengaitkannya dengan perkembangan sains dan teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga dengan menggunakan model pembelajaran STM diharapkan permasalahan terkait limbah atau sampah ini mendapatkan solusi yang tepat bahkan dapat menjadi peluang bisnis baru.

METODE

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode kuasi eksperimen atau eksperimen semu dengan desain the one group pretest-posttest design. Penelitian kuasi eksperimen merupakan metode penelitian yang tidak memungkinkan peneliti melakukan pengontrolan secara penuh terhadap sampel penelitian.


(16)

Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMAN 1 Parung tahun ajaran 2015/2016. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini yaitu siswa kelas X MIA 4 yang berjumlah 34 orang.

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti untuk mengetahui berpikir kreatif siswa yang telah diajar dengan menggunakan model STM yaitu dengan menggunakan tes subjektif berupa soal uraian. Soal uraian disusun berdasarkan komponen berpikir kreatif yang hendak dicapai. Selama proses penelitian, peneliti melakukan dua kali tes yaitu pretest (tes awal) untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum diberikan perlakuan dan posttest (tes akhir) untuk mengetahui hasil dari perlakuan yang telah diberikan. Soal yang digunakan pada saat pretest dan posttest merupakan soal yang sama agar tidak ada pengaruh perbedaan kualitas. Selain menggunakan tes, peneliti juga menggunakan teknik nontes yaitu berupa lembar kerja siswa (LKS) dan lembar observasi. Lembar kerja siswa digunakan sebagai data pendukung untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa selama diberikan perlakuan. Sedangkan lembar observasi guru dan lembar observasi siswa digunakan untuk menilai aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

Analisis data merupakan tahap penting, karena dengan melakukan analisis data, menjadikan data tersebut dapat bermakna dan berguna dalam pemecahan masalah penelitian. Sebelum melakukan analisis data, peneliti memeriksa kembali kelengkapan data dari berbagai sumber, kemudian analisis data dilakukan pada semua data yang sudah terkumpul yaitu : kemampuan berpikir kreatif, hasil observasi aktivitas peserta didik, hasil observasi aktivitas guru, dan lembar kerja siswa berbasis STM.

Selanjutnya, tindakan yang telah dilakukan dianalisis efektivitasnya dengan menggunakan rumus Gain. Gain adalah selisih antara posttest

dengan pretest. Hal ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan berpikir kreatif siswa yang diperoleh setelah kegiatan pembelajaran. Untuk menghitung N-Gain, maka menggunakan rumus sebagai berikut (Meltzer, 2002).

� − ��� =� � � − �− �

Hasil dari perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut dibandingkan dengan kriteria yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori Nilai N-Gain

Nilai N-Gain Kategori

g > 0.7 Tinggi

0,3 ≤ g ≤ 0,7 Sedang

g < 0,3 Rendah

Selain itu, dilakukan uji paired sample t test

dengan menggunakan aplikasi SPSS. 20 terhadap data pretest dan posttest untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh penggunaan model pembelajaran STM terhadap berpikir kreatif siswa. Pedoman pengambilan keputusan dalam uji paired sample t test berdasarkan nilai signifikansi dengan spss yaitu: 1) jika nilai probabilitas atau signifikansi (2-tailed) < 0,05, maka terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan

posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. 2) Sebaliknya, jika nilai probabilitas atau signifikansi (2-tailed) > 0,05, maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan

posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM tidak dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah.


(17)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Hasil penelitian menjelaskan deskripsi umum dari data yang telah diperoleh. Data-data yang dideskripsikan merupakan data hasil pretest

dan posttest, lembar kerja siswa (LKS), lembar observasi aktivitas siswa dan lembar observasi aktivitas guru. Berikut data pretest dan posttest

berpikir kreatif siswa kelas X MIA 4. Tabel 2. Data Statistik Pretest dan Posttest

Data Kelas Eksperimen Pretest Posttest

Nilai Terendah 30,77 67,31

Nilai Tertinggi 65,38 96,15

Nilai rata-rata 50,11 86,14

Median 50,00 86,54

Modus 50,00 88,46

Standar Deviasi 7,07 6,19

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata pretest yang diperoleh pada kelas eksperimen adalah 50,11. Sedangkan pada

posttest nilai rata-rata sebesar 86,14. Terlihat bahwa setelah dilakukan pembelajaran dengan model pembelajaran STM kemampuan berpikir kreatif siswa mengalami peningkatan sebesar 36,03 poin. Kemudian tindakan yang telah dilakukan dianalisis efektivitasnya dengan menggunakan rumus Gain. Berdasarkan hasil perhitungan N-gain diperoleh data pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Hasil N-Gain

Normal Gain (N-Gain) Kelas Eksperimen

Nilai Terendah 0,37

Nilai Tertinggi 0,89

Nilai rata-rata 0,73

Kategori Tinggi

Berdasarkan hasil N-gain pada Tabel 3, nilai rata-rata N-gain siswa pada kelas eksperimen yaitu sebesar 0,73 yang menunjukkan kategori tinggi. Hal itu menunjukkan, bahwa siswa pada kelas tersebut mengalami peningkatan kemampuan berpikir kreatif. Persentase jumlah siswa pada N-gain ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Persentase N-Gain

Kategori N-Gain Kelas Eksperimen (%)

Tinggi 67,65

Sedang 32,35

Rendah 0,00

Berdasarkan Tabel 4, hasil N-gain menunjukkan semua siswa berada pada kategori sedang dan tinggi. Siswa yang berada pada kategori N-gain tinggi sebanyak 67,65% lebih banyak dibandingkan siswa yang berada pada kategori sedang yaitu 32,35%. Hal ini, menunjukkan bahwa siswa yang mengalami rpeningkatan kemampuan berpikir kreatif yang tinggi lebih banyak dibandingkan siswa yang mengalami peningkatan kemampuan berpikir kreatif yang sedang.

Berdasarkan perhitungan persentase rata-rata ketercapaian komponen berpikir kreatif pada kelas eksperimen dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Persentase Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada Pretest, Posttest dan N-Gain

Komponen Berpikir Kreatif Pretest (%) Posttest (%) N-Gain Eksperimen Eksperimen Eksperimen

Fluency 67,65 92,89 0,73

Flexibility 43,01 93,75 0,89

Originality 64,71 91,54 0,77

Elaboration 38,97 83,33 0,72

Evaluation 38,73 73,53 0,56


(18)

Tabel 5 menunjukkan persentase pencapaian berpikir kreatif pada setiap komponen berdasarkan data pretest, posttest dan N-Gain. Terlihat bahwa terdapat peningkatan ketercapaian komponen berpikir kreatif dari

pretest ke posttest. Terlihat rata-rata persentase ketercapaian berpikir kreatif meningkat dari 50,61% menjadi 87,01%. Nilai N-gain pada empat kemampuan berpikir kreatif yaitu fluency, flexibility, originality, dan elaboration berada pada kategori tinggi. Kemampuan berpikir kreatif yang masih berada pada kategori sedang yaitu

evaluation. Namun, secara keseluruhan nilai rata-rata N-gain pada kelas eksperimen tersebut sudah termasuk dalam kategori tinggi.

Pada perhitungan persentase rata-rata ketercapaian komponen berpikir kreatif dalam LKS dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Persentase Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada LKS Berbasis STM

Komponen Berpikir Kreatif

Kelas Eksperimen Rata-rata (%)

Fluency 91,18

Flexibility 100,00

Originality 78,49

Elaboration 81,13

Evaluation 81,62

Rata-Rata 86,48

Tabel 6 menunjukkan persentase pencapaian berpikir kreatif pada setiap komponen berdasarkan hasil kerja kelompok belajar siswa dalam mengerjakan LKS berbasis STM. Terlihat bahwa ketercapaian paling tinggi yaitu pada komponen flexibility, sedangkan paling rendah pada komponen originality. Namun, secara keseluruhan nilai rata-rata ketercapaian komponen berpikir kreatif pada LKS STM menunjukkan hasil yang baik yaitu 86,48.

Hasil perhitungan persentase rata-rata ketercapaian komponen berpikir kreatif berdasarkan aktivitas siswa selama proses pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Persentase Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif Berdasarkan Aktivitas Siswa Selama

Proses Pembelajaran

Komponen Berpikir Kreatif

Kelas Eksperimen Rata-rata (%)

Fluency 75,00

Flexibility 75,00

Originality 62,50

Elaboration 70,83

Evaluation 66,67

Rata-Rata 70,00

Berdasarkan data pada Tabel 7, terlihat bahwa rata-rata persentase ketercapaian komponen berpikir kreatif berdasarkan aktivitas siswa selama proses pembelajaran adalah 70,00. Terlihat pada kelas eksperimen ketercapaian persentase tertinggi terdapat pada komponen

fluency dan flexibility dengan ketercapaian persentase sebesar 75%. Sedangkan ketercapaian persentase terendah terdapat pada komponen

originality yaitu sebesar 62,50%.

Hasil persentase keterlaksanaan aktivitas guru dalam proses pembelajaran menunjukkan bahwa persentase keterlaksanaan aktivitas guru selama proses pembelajaran dengan model pembelajaran STM yaitu semua tahapan dalam proses pembelajaran telah guru laksanakan. Sehingga dapat terlihat bahwa persentase keterlaksanakan aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran dengan model STM pada pertemuan pertama dan kedua telah mencapai 100%.

Berdasarkan hasil uji prasyarat diperoleh hasil uji normalitas 0,571 untuk data pretest dan 0,536 untuk data posttest lebih besar dari nilai alfa sebesar 0,05 (sig > α). Dengan demikian, data berdistribusi normal. Untuk uji homogenitas diperoleh hasil 0,190 lebih besar dari nilai alfa

sebesar 0,05 (sig > α). Dengan demikian, data

pretest dan posttest homogen. Selanjutnya untuk hasil uji paired sample t-test diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai

alfa sebesar 0,05 (sig < α). Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan


(19)

posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah.

Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa melalui model pembelajaran sains teknologi masyarakat (STM). Penelitian untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif, dilihat dari hasil N-gain. Terlihat bahwa rata-rata N-gain berada pada kategori tinggi yaitu 0,73 dengan pencapaian 67,65% siswa berada pada kategori tinggi dan 32,35% siswa berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa setelah diberikan perlakuan, kelas eksperimen tersebut menunjukkan kenaikan nilai yang sangat signifikan. Maka model pembelajaran STM memiliki pengaruh yang baik di kelas eksperimen sehingga kelas tersebut menunjukkan kenaikan nilai yang signifikan.

Hasil ini dicapai karena dalam penerapannya model pembelajaran STM menggunakan permasalahan dalam proses pembelajarannya. Pada model pembelajaran STM masalah yang diajukan dengan memanfaatkan isu lingkungan dalam proses pembelajaran. Sintaks pada model pembelajaran STM memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, karena siswa dilatih untuk mengungkapkan isu-isu sains teknologi di masyarakat serta dilatih untuk mencari jawaban atas isu-isu tersebut (Smarabawa dkk, 2013).

Berdasarkan ketercapaian persentase siswa pada kelima komponen berpikir kreatif, terlihat adanya kenaikan yang sangat signifikan dari

pretest ke posttest. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Grafik Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada Pretest dan Posttest

Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa adanya kenaikan yang signifikan persentase ketercapaian komponen berpikir kreatif dari sebelum diberikan perlakuan dan sesudah diberikan perlakuan. Terlihat bahwa pada posttest

berpikir kreatif paling tinggi terdapat pada komponen flexibility yaitu 93,75% dan paling rendah terdapat pada komponen evaluation yaitu 73,53%. Namun, secara keseluruhan rata-rata persentase ketercapaian berpikir kreatif meningkat dari 50,61% menjadi 87,01%. Hasil ini didukung oleh data N-gain, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Grafik Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada N-Gain

Gambar 2, menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen terlihat nilai N-gain secara keseluruhan berada pada kategori tinggi, terkecuali komponen evaluation yang berada pada kategori sedang. Pada komponen fluency N-gain menunjukkan kategori tinggi yaitu 0,73. Hal ini dikarenakan pada tahap awal (invitasi) model pembelajaran STM siswa diberikan kesempatan untuk menyampaikan isu-isu atau permasalahan yang ada pada kehidupan sehari-hari, baik yang mereka alami sendiri ataupun isu-isu atau


(20)

permasalahan yang pernah mereka lihat. Hal ini juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen fluency

persentase ketercapaian kelas eksperimen tersebut juga tinggi yaitu sebesar 91,18%. Sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa pada komponen fluency menjadi terlatih dan berdampak positif pada meningkatnya nilai mereka dari pretest ke posttest.

Komponen flexibility memiliki ketercapaian N-gain yang paling tinggi yaitu 0,89. Hal ini dikarenakan pada model pembelajaran STM siswa harus memberikan solusi atau gagasan terhadap suatu masalah dengan mengaitkannya pada bidang sains, teknologi dan juga bagaimana penerapan ataupun dampak dari sains dan teknologi itu bagi masyarakat. Siswa dituntut untuk lebih luwes dalam menyikapi permasalahan dan mencari solusi atas permasalahan tersebut. Siswa dituntut untuk melihat suatu permasalahan dan mencari solusinya dari berbagai sudut pandang. Hal ini juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen flexibility

persentase ketercapaian yang sangat tinggi yaitu sebesar 100%.

Pada komponen originality N-gain menunjukkan kategori tinggi yaitu 0,77. Hal ini dikarenakan pada model pembelajaran STM siswa dilatih untuk dapat memberikan argumen/gagasan yang dikaitkan dengan bidang sains dan teknologi, sehingga siswa dapat memberikan ide-ide baru yang dapat mereka kaitkan baik dengan bidang sains, teknologi ataupun dengan integrasi dari keduanya. Hal ini juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen originality

persentase ketercapaian juga menunjukkan hasil yang cukup tinggi yaitu 78,49%.

Pada komponen elaboration N-gain menunjukkan kategori tinggi yaitu 0,72. Hal ini dikarenakan pada model pembelajaran STM terdapat tahapan pemantapan konsep sehingga siswa terlatih dalam proses berpikir memerinci

(elaboration). Hal ini juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen elaboration persentase ketercapaian juga menunjukkan hasil yang tinggi yaitu 81,13%.

Pada komponen evaluation N-gain menunjukkan kategori sedang yaitu 0,56. Hal ini dikarenakan siswa merasa cukup kesulitan untuk memberikan saran-saran dan alasan berdasarkan pendapatnya sendiri, namun harus tetap dikaitkan dengan sains dan teknologi. Meskipun hasil N-gain berada pada kategori sedang, namun persentase ketercapaian pada LKS pada komponen evaluation menunjukkan persentase ketercapaian yang tinggi yaitu 81,62%. Hal ini dikarenakan siswa merasa lebih mudah untuk memberikan saran dan alasan jika bekerja secara kelompok karena mereka bisa saling bertukar pendapat dalam memberikan saran serta alasan dari suatu persoalan. Secara keseluruhan, terlihat bahwa penggunaan model pembelajaran STM memiliki pengaruh yang baik dalam meningkatkan berpikir kreatif siswa.

Hasil observasi terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran menunjukkan bahwa perilaku siswa selama proses pembelajaran telah memunculkan kelima komponen berpikir kreatif dengan rata-rata persentase ketermunculan komponen berpikir kreatif pada aktivitas siswa sebesar 70%. Hasil persentase keterlaksanaan aktivitas guru dalam proses pembelajaran juga menunjukkan bahwa semua tahapan dalam proses pembelajaran telah guru laksanakan. Sehingga dapat terlihat bahwa persentase keterlaksanakan aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran dengan model STM pada pertemuan pertama dan kedua telah mencapai 100%. Sehingga hasil akhir dari penerapan model pembelajaran ini yaitu terlihat adanya peningkatan berpikir kreatif siswa di kelas eksperimen tersebut.

Berdasarkan hasil uji paired sample t-test


(21)

kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 (sig < α). Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data

pretest dan posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah.

Sehingga dapat diketahui bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Heni Desianti, dkk., bahwa keterampilan berpikir kreatif siswa setelah belajar dengan menggunakan perangkat pembelajaran IPA setting STM yang dikembangkan lebih baik dari pada keterampilan berpikir kreatif siswa sebelum belajar dengan menggunakan perangkat pembelajaran IPA setting STM yang dikembangkan. Secara umum, dimensi keterampilan berpikir kreatif yang paling banyak mengalami peningkatan adalah berpikir lancar, berpikir luwes, dan berpikir orisinil karena siswa lebih mudah memahami cara berpikir tersebut, sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman siswa, sedangkan berpikir elaboratif dan mengevaluasi tidak semua siswa bisa melakukannya dengan baik (Desianti dkk, 2015). Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smarabawa, dkk., bahwa skor rata-rata setiap aspek berpikir kreatif pada model pembelajaran STM lebih tinggi dibandingkan model pembelajaran langsung. Hasil ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran STM terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa (Smarabawa dkk, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut terlihat bahwa model pembelajaran STM memberikan pengaruh yang baik dalam meningkatkan berpikir kreatif siswa. Hal ini dikarenakan model pembelajaran STM dalam tahapan pembelajarannya menuntun siswa untuk memecahkan suatu permasalahan. Sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa pun terlatihkan

dengan menggunakan model pembelajaran STM ini.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran sains teknologi masyarakat (STM) pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa. Adanya peningkatan berpikir kreatif siswa terlihat dari nilai posttest yang menunjukkan 97,06% siswa memperoleh nilai diatas KKM dengan nilai rata-rata sebesar 86,14. Selain itu, rata-rata nilai N-gain siswa berada berada pada kategori tinggi yaitu 0,73 dengan pencapaian 67,65% siswa berada pada kategori N-gain tinggi dan 32,35% siswa berada pada kategori N-gain sedang. Pada uji paired sample t-test juga diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih

kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 (sig < α). Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data

pretest dan posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran sains teknologi masyarakat (STM) dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah.

SARAN

Penerapan model pembelajaran STM terbukti dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. Maka kami sarankan agar guru menjadikan penerapan model pembelajaran STM sebagai suatu alternatif dalam pembelajaran pada konsep-konsep Biologi yang lain ataupun pada mata pelajaran yang lain dengan catatan guru harus dapat menyesuaikan antara konsep yang akan diajarkan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam model pembelajaran tersebut untuk meningkatkan berpikir kreatif siswa. Kegiatan penelitian sejenis ini perlu terus dilaksanakan baik dalam mata pelajaran Biologi


(22)

maupun mata pelajaran lainnya baik untuk memecahkan masalah yang muncul ataupun untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Desianti, N. W. Heni, dkk. 2015. Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA dengan Setting Sains Teknologi Masyarakat untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMP. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 5, h. 9-10.

Kompas. 2015. Mendikbud: Guru Jangan Tertutup saat Memberi Pelajaran!. Diakses dari

http://edukasi.kompas.com/read/2015/04/0 8/07300021/Mendikbud.Guru.Jangan.Tert utup.saat.Memberi.Pelajaran. (20 Maret 2016)

Meltzer, David E. 2002. The Relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: A

possible “hidden variable” in diagnostic

pretest scores. American Association of Physics Teacher, h. 1260.1261.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 23. Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Direktorat jenderal Pendidikan RI, 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia No. 65. Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Direktorat jenderal Pendidikan RI, 2013.

Rahmat. 2012. Mengasah Keterampilan Berpikir Kreatif. Diakses dari http://gurupembaharu.

com/home/mengasah-keterampilan-berpikir-kreatif-siswa/. (20 Maret 2016) Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran.

Jakarta: Rajawali Pers.

Smarabawa, dkk. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat Terhadap Pemahaman Konsep Biologi dan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMA.

e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 3, h. 7. Susanti, Herni. 2015. Menyikapi Pengaruh

Globalisasi. Diakses dari http://www. neraca.co.id/article/54331/menyikapi-pengaruh-globalisasi. (20 Maret 2016) Susanto, Ahmad. 2014. Teori Belajar dan

Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenamedia Group.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 17.

Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Jakarta: Direktorat jenderal Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007.

Zulfiani, dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta.


(23)

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH DALAM MENINGKATKAN MINAT BELAJAR PESERTA DIDIK DI

SMA NEGERI 11 TANGERANG SELATAN

Eny Rosyidatun, Sukarlin, Annisaa Meyrizka K. P

Program Studi Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email koresponden: eny.rosyidatun@uinjkt.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunan model make a match untuk meningkatkan minat belajar biologi di SMA Negeri 11 Kota Tangerang Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Sampel penelitian berjumlah 29 peserta didik dipilih dengan teknik purposive sampling, dan adapun penentuan kelas tindakan dilakukan secara random oleh guru. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket minat belajar dan lembar observasi aktivitas belajar mengajar yang telah diuji validitas dan reabilitasnya. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (classroom action research), dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan minat belajar peserta didik pada materi sistem hormon di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 11 Tangerang Selatan, hal ini terlihat dari keseluruhan nilai angket minat belajar peserta didik, yang apabila dirata-ratakan mempunyai skor 83,3 skor tersebut termasuk ke dalam kategori “tinggi”. Selain itu, penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari persentase nilai aktivitas belajar peserta didik pada setiap siklusnya, yaitu siklus I (80-86,6%) dan siklus II (96,6%). Terakhir penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan tuntas karena memenuhi KKM pada setiap siklusnya, yaitu siklus I (55%) dan siklus II (90%), dan rata-rata hasil belajar peserta didik setiap siklusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan yaitu siklus I (72,8) dan siklus II rata-rata hasil belajar peserta didik meningkat menjadi (84,1).

Kata Kunci: minat belajar; model pembelajaran kooperatif; make a match

Abstract

This study aims to determine the use of the model make a match to increase interest in learning biology in SMA Negeri 11 of South Tangerang. Method research was classroom action research. Samples who are 29 students were chosen by purposive sampling technique, and the class was chosen randomly by teacher. The research instrument used were a questionnaire interest in learning and teaching and learning activity observation sheet that has been tested for validity and reliability. Data analysis was performed by calculating the total score for each indicator and converted into percentage form. Based on the results of classroom action research, it can be concluded that the implementation of cooperative learning model typed make a match can increase the interest of learners in the material hormonal system in class XI IPA 3 SMAN 11 Tangerang, as seen from the overall value of the questionnaire interests of learners, which averaged scores 83.3 is categorized as "high". In addition, application of learning models make a match can also increase the activity of learners for participating in learning activities. It can be seen from the percentage of the value of the learning activities of students in each cycle, the first cycle (80 to 86.6%) and cycle II (96.6%). Last application of learning models make a match can also improve learning outcomes of students which can be seen from the percentage of students who can be considered complete because it meets the KKM in each cycle, the first cycle (55%) and the second cycle (90%), and average learning outcomes of students in each cycle also increased significantly, namely the first cycle (72.8) and the second cycle average learning outcomes of students increased to (84.1).


(24)

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu bagian yang penting bagi kehidupan manusia dalam mengembangkan kepribadian dan kemampuannya yang berlangsung seumur hidup. Melalui pendidikan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan wawasan manusia akan terus berkembang, guna memperoleh ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Dalam proses mengajar, guru harus bisa memilih dan menggunakan beberapa metode mengajar. Banyak metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh para guru.Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.Metode pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas.Menurut Arends dalam Suprijono “Metode pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk

mencapai tujuan belajar” (Suprijono, 2012). Menurut Oemar Hamalik dalam bukunya yang berjudul Kurikulum dan Pembelajaran

mengungkapkan “Pendidikan adalah suatu proses

dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkan berfungsi dalam

kehidupan bermasyarakat”.

Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup yang mengarah kepada tujuan yang hendak dicapai.Dengan demikian pendidikan menjadi tanggung jawab semua yang meliputi orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Hal ini

menunjukkan bahwa pemerintah harus memberikan perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan, karena melalui pendidikanlah akan terbentuk karakter dan pengetahuan seseorang yang dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan hidup dan dapat membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna untuk merubah keadaan suatu bangsa menjadi lebih baik dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas (Isjoni, 2011).

Masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia biasanya karena orientasi pembelajaran di Indonesia cenderung masih bersifat teacher centered atau berpusat pada guru sehingga membuat peserta didik menjadi lebih pasif, sedangkan model pembelajaran yang seharusnya digunakan oleh seorang guru harus membuat peserta didik aktif dalam proses pembelajaran, karena keaktifan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran sangat tergantung dari pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh peserta didik itu sendiri. Oleh karena itu keaktifan peserta didik dalam menjalani proses belajar mengajar merupakan salah satu kunci keberhasilan pencapain tujuan pembelajaran. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar dapat mempengaruhi tingkat pemahaman seorang peserta didik, tingkat pemahaman seorang peserta didik akan mempengaruhi hasil belajar yang ia peroleh, hasil belajar adalah salah satu indikator yang bisa digunakan untuk mengukur tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan untuk mengukur keberhasilan belajar seseorang.

Pendidikan dengan proses belajar mengajar sebagai kegiatannya, merupakan suatu proses interaksi antara pendidik dan anak didik. Dari proses interaksi itu proses belajar mengajar diikatkan dengan minat dan perhatian antara keduanya, dengan demikian proses belajar mengajar akan terjadi secara efektif dan efisien, apabila peserta didik mempunyai minat kepada


(25)

suatu pekerjaan atau guru yang memengaruhinya. Minat yang besar akan mendorong individu untuk melakukan hal-hal yang lebih baik. Oleh karena itu, minat mempunyai dampak yang sangat besar atas perilaku dan sikap seseorang terhadap segala sesuatu.

Pada dasarnya kegiatan atau perbuatan yang dilakukan setiap orang didasari oleh kecenderungan atau minat. Minat melahirkan perhatian dan hal ini memungkinkan seseorang melakukan sesuatu dengan tekun untuk jangka waktu yang lama. Minat merupakan landasan penting bagi seseorang untuk melakukan kegiatan dengan baik sebagai suatu aspek kejiwaan, minat bukan saja dapat memengaruhi tingkah laku seseorang, tapi juga dapat mendorong orang untuk tetap melakukan dan memperoleh sesuatu. Hal itu sejalan dengan yang dikataka oleh S. Nasution bahwa pelajaran akan berjalan lancar apabila ada minat, anak-anak malas, tidak belajar, gagal, karena tidak ada minat (Nasution, 1998). Dan belajar akan sangat sulit apabila tidak ada minat belajar.

Dalam pembelajaran biologi terutama pada konsep sistem hormon, minat mempunyai peran yang sangat penting, bila seorang peserta didik tidak memiliki minat yang besar untuk belajar maka sulit diharapkan peserta didik tersebut akan tekun memperoleh hasil yang baik dari belajarnya, sebaliknya apabila peserta didik tersebut belajar dengan minat yang besar, maka hasil yang diperoleh lebih baik. Seperti yang diungkapkan oleh Usman Efendi dan Juhaya S. Praja bahwa belajar dengan minat akan lebih baik dari pada belajar tanpa minat (Efendi, 1993).

Proses belajar mengajar baru dapat berlangsung secara efektif dan efisien, jika terdapat minat dan perhatian penuh dari peserta didik, dalam bukunya Bobbi De Porter, Mark Readrdor dan Sarah singer Nourle yang sangat sukses dengan judul quantum teaching memberikan informasi dari sebuah penelitian

yang menunjukkan bahwa peserta didik yang memiliki konsentrasi penuh akan belajar lebih cepat dan lebih mudah. Selain itu, mereka mengingat informasi lebih lama (Porter, Readrdor, & Nourle, 2000).

Dengan demikian, guru sebagai seorang pendidik harus dapat memaksimalkan proses kegiatan belajar. Guru harus dapat mengetahui keadaan yang tepat untuk memulai proses belajar mengajar, keadaan peserta didik yang memiliki konsentrasi atau perhatian yang penuh tentu akan dapat dengan mudah menerima pelajaran yang diberikan kepadanya, perhatian atau konsentrasi yang penuh dari peserta didik itu merupakan indikator adanya minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan oleh guru.

Bila kegiatan belajar sesuai dengan minat peserta didik, maka kegiatan itu akan berjalan dengan baik, karena adanya daya tarik bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan tersebut. Berbeda dengan peserta didik yang tidak berminat dalam belajar, maka ia tidak akan terdorong untuk belajar karena tidak ada daya tarik baginya untuk melakukan kegiatan tersebut, terlebih pandangan para peserta didik untuk pelajaran yaitu sangat sulit karena siklus pembelajaran biologi yang begitu panjang dan kontinu serta saling berhubungan. Oleh karena itu untuk meningkatkan belajar peserta didik perlu ditingkatkan minat belajar peserta didiknya.

Dapat kita kaitkan dengan pernyataannya M. Alisuf Sabri dalam buku Psikologi Pendidikan: Kaitannya dengan belajar, peserta didik yang berminat (sikapnya senang) kepada pelajaran akan tampak terdorong terus untuk belajar, berbeda dengan peserta didik yang sikapnya hanya menerima kepada pelajaran mereka hanya tergerak untuk mau belajar tetapi sulit untuk terus tekun, karena tidak ada pendorongnya. Oleh karena itu peranan minat dalam belajar sangat besar (kuat) yaitu minat


(1)

membelakangi gunung dan menghadap ke arah laut. Ini memiliki makna bahwa seorang pimpinan harus meninggalkan sifat tinggi hati dan kesombongan sebagimana sifat gunung yang tinggi, dan pemimpin harus memiliki hati yang luas seluas samudra.

2. Berupa Tanah Lapang Dengan Hamparan Pasir Halus

Ukuran alun-alun setiap kota tidak sama. Alun-alun Lor Yoyakarta misalnya memiliki ukuran luas 150 x 150 meter sedangkan luas ulun-alun Kidul sendiri 100 x100 meter. Pada awalnya permukaan tanah alun-alun ditutupi dengan pasir halus Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini dimana pasir halus tersebut sudah banyak ditumbuhi rumput. Banyaknya rumput yang tumbuh bahkan sudah hampir menutupi seluruh permukaan pasir alun-alun. Jika dilihat dari perspektif historis, bentuk alun-alun yang segi empat dengan hamparan pasir halus tersebut sangat erat dengan fungsinya sebagai ruang publik tempat bertemunya antara penguasa dengan warganya. Dengan bentuk yang berupa tanah lapang berpasir halus tersebut, maka alun-alun memiliki multi fungsi yang mudah diubah bentuknya sesuai dengan kebutuhan. Dengan bentuk tanah lapang tersebut maka fungsinya akan lebih fleksibel sesuai dengan kegunaannya. Selain itu dengan ruang terbuka berupa tanah lapang yang luas, dapat digunakan penguasa untuk mengumpulkan rakyatnya, mengumumkan berita kerajaan atau untuk menggelar berbagai kesenian untuk rakyat.

3. Jenis dan Jumlah Pohon Terbatas

Alun-alun bukan sekedar tanah lapang semata. Alun-alun kota lama di jawa berbeda dengan hutan kota. Tumbuhan, hewan, bangunan maupun benda yang terdapat di alun-alun kota lama di jawa masing-masing memiliki makna tertentu. Oleh sebab itu tidak sembarang jenis tanaman dapat ditanam. Hal ini disebabkan karena alun-alun masih termasuk salah satu wilayah keraton. Jenis pohon dan jumlah pohon yang tumbuh di wilayah keraton memiliki makna dan simbol tertentu. Sebagai contoh, di halaman

sasana sewaka (salah satu bagian dari Keraton Surakarta) ditanami pohon sawo kecik (sawo

manila) yang jumlahnya terbatas, hanya 63 pohon, sama dengan jumlah usia Nabi Muhammad SAW. Sawo kecik (Manilkara kauki) sering disebut juga sawo jawa merupakan tanaman (pohon) penghasil buah dari keluarga sawo-sawoan (Sapotaceae). Sawo kecik menurut

filosofi jawa sering diidentikkan dengan “sarwo becik” (serba baik).

Beberapa jenis tumbuhan yang ditanam di lingkungan kraton Yogyakarta juga memiliki makna dan filosofi serta simbol tertentu yang

memiliki harapan sekaligus do’a bagi penanam

dan lingkungan yang ditumbuhinya. Misalnya di sudut antara Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil Ler dan antara Tugu dan Keraton juga ditanami pohon Gayam. Pohon ini memiliki makna ayom dalam bahasa jawa, yang berarti teduh atau sejuk.

Pohon Keben ditanam di komplek

Kamandungan Ler dimana Bangsal Ponconiti

sebagai bangunan utamanya. Dalam mitologi jawa pohon ini memiliki makna yang sangat tinggi sebagai lambang eksistensi negara yang agung dan bersih. Keben juga memiliki makna ngrungkebi atau merangkul kebenaran. Pohon ini pernah dinobatkan sebagai tanaman perdamaian pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 5 juni 1986, dalam rangka hari perdamaian sedunia.

4. Jalan Tengah yang Membagi Alun-Alun Menjadi Dua Bagian

Unsur fisik berikutnya dari alun-alun adalah adanya jalan tengah yang membelah alun-alun menjadi dua bagian. Makna akses jalan tersebut bahwa antara kraton (penguasa) dengan masjid dan paseban merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dimana jalan tengah tersebut menjadi simbol kerukunan antar umat beragama dan keharmonisan antara raja (penguasa) dengan rakyatnya. Oleh sebab itu keberadaan jalan di tengah alun-alun tersebut tetap dipertahankan, sebab jika dihilangkan akan menghilangkan maknanya dan dikuatirkan akan berdampak terhadap kelangsungan roda pemerintahan karena antara penguasa dengan rakyat akan terjadi benturan-benturan.


(2)

5. Keberadaan Pohon Beringin Kembar

Pohon beringin dalam bahasa Jawa disebut

waringin. Nama waringin berasal dari dua suku kata wri dan ngin. Wri berasal dari kata wruh

yang berarti mengetahui, melihat. Ngin berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan. Pohon beringin ini bagi masyarakat jawa memiliki simbolik khusus.

Beringin yang terdapat di tengah alun-alun Utara Surakarta disebut Waringin Kurung Sakembaran. Disebut kurung karena masing masing pohon diberi batas berupa jeruji besi disekitarnya. Pohon beringin sebelah Timur dinamakan Kyai Jayandaru (sinar kemenangan) dan beringin disebelah Barat diberi nama Kyai Dewandaru (sinar Illahi atau sinar keluhuran).

Sementara itu beringin yang terdapat di alun-alun Utara Kraton Yogyakarta adalah sepasang Waringin Sengker (beringin kurung ) yakni kyai Dewandaru dan Janandaru. Dua batang pohon beringin ini konon melambangkan

makrokosmos dan mikrokosmos, melambangkan dualisme antara rakyat dan pemimpin, antara manusia dan Tuhan. Dua beringin ini juga melambangkan sumber hukum pemerintahan harus sejalan dengan dua pusaka peninggalan Nabi Muhammad SAW untuk umatnya yaitu

al-Qur’an dan al-Hadits.

6. Keberadaan Area Publik

Di sekitar alun-alun juga terdapat pasar, terminal bus, serta daerah pertokoan yang terletak tidak jauh dari bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model alun-alun inilah yang kemudian berkembang sebagai replikasi identitas kota-kota di pulau jawa pada jaman kolonial. Pada saat ini, alun-alun sedikit demi sedikit mulai digunakan lebih merakyat, untuk aktivitas ekonomi yang melibatkan khalayak umum. Ini terbukti dengan munculnya pasar dan ruang-ruang publik sederhana lainnya di sekitar alun-alun.

7. Keberadaan Pendopo

Unsur fisik berikutnya sebagai penanda alun-alun adalah keberadaan pendopo disalah satu sisi alun-alun. Pendopo adalah bangunan

yang luas dan terbuka (tanpa sekat), yang biasanya terletak di depan rumah atau pelataran. Pendopo ini umumnya terletak pada salah satu sudut alun-alun. Fungsi pendopo sebagai area tunggu bagi pegawai atau orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau bupati untuk dipanggil jika Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka.

PEMBAHASAN

Sebagai elemen sebuah kota alun-alun merupakan ruang terbuka yang peruntukannya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, kapan saja, sebagai tempat berbagai macam kegiatan berlangsung. Fungsi ini sering disebut sebagi “a psychological parking space”, atau tempat

“parkir” manusia. Berikut akan dikaji fungsi

ekologis alun-alun: 1. Fungsi hidrologis

Hidrologis berhubungan dengan kemampuan alun-alun sebagai daerah penampungan air hujan ke dalam tanah. Fungsi ini erat kaitannnya dengan jumlah dan jenis pohon yang terdapat di sebuah kawasan. Tumbuhan dengan sistem perakaran yang dimilikinya mampu menyerap dan menyimpan air. Semakin banyak tumbuhan yang terdapat pada suatu kawasan maka semakin baik sistem perakaran dan semakin baik daya serap dan daya simpan airnya sehingga semakin banyak air yang tersimpan di dalam tanah. Air dalam tanah ini dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup (termasuk manusia) sebagai cadangan air di musim kemarau, ataupun mencegah terjadinya banjir

Sebagai ruang terbuka yang memiliki ukuran sangat luas dan berada di pusat kota, alun-alun dapat berperan dalam membantu fungsi

hidrologis dalam hal penyerapan air dan mereduksi potensi banjir. Pohon-pohon dengan jumlah tertentu yang di tanam disekeliling alun-alaun melalui perakarannya yang dalam mampu meresapkan air ke dalam tanah, sehingga pasokan air dalam tanah (water saving) semakin meningkat dan jumlah aliran limpasan air juga berkurang yang akan mengurangi terjadinya


(3)

banjir. Diperkirakan untuk setiap hektar ruang terbuka hijau, mampu menyimpan 900 m3 air tanah per tahun. Kemampuan penyimpanan air ini masih dapat dimaksimalkan jika ditunjang dengan pembuatan lobang biopori.

2. Fungsi Orologis

Orologis berhubungan dengan kemampuan tumbuhan yang ditanam di sekeliling alun-alun untuk mencegah erosi dengan cara menahan hanyutnya bunga tanah dan mencegah erosi serta melindungi tanah lapisan atas (top soil). Fungsi ini berhubungan dengan kemampuan pada akar pohon dalam mencegah erosi dan pengikisan tanah yang disebabkan oleh air maupun angin. Kemampuan ini terjadi karena sistem perakaran yang menjulur di bawah permukaan tanah dapat mengikat partikel-partikel tanah menjadi sangat kompak, sehingga tidak mudah gugur;

Tejadinya banjir disebabkan jumlah air (hujan) lebih besar dari kemampuan tanah menyerap air dan tidak tersedia alur cekungan yang membawa air tersebut bergerak ke tempat lain, sehingga air yang tidak terserap akan menggenangi permukaan tanah. Air yang menggenang tersebut mengalir ke tempat lain, disebut aliran permukaan (runoff). Secara alami

runoff akan berkumpul dan menggenang di tempat yang lebih rendah. Genangan air yang cukup besar ini yang disebut banjir. Peningkatan volume aliran permukaan akan semakin besar bersamaan dengan semakin banyaknya alih fungsi lahan. Untuk memaksimalkan kemampuan tanah dalam menyerap air maka keberadaan alun-alun mampu melakukan penyerapan dengan baik. Dengan demikian, keberadaan alun-alun adalah untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis dan kawasan pengendalian air larian. 3. Fungsi Klimatologis

Alun-alun dengan serangkaian tanamannya memegang peran penting dalam ekosistem kota. Hal disebabkan karena alun-alun dapat menjadi penyegar di tengah panasnya perkotaan. Keberadaan alun-alun dengan pohon yang dimilikinya bisa menjadi penyeimbang ekosistem

bagi lingkungan yang telah banyak perubahan di perkotaan. Fungsi pohon-pohon tersebut adalah sebagai tanaman hijau yang diperlukan untuk menyaring polusi yang dihasilkan oleh knalpot kendaraan bermotor.

Keberadan pohon-pohon akan menyerap karbondioksida (CO2) dan juga akan menghasilkan oksigen (O2) lewat proses fotosintesis seperti dalam persamaan reaksi berikut:

6H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2

Proses ini akan meningkatkan kualitas udara sekaligus dapat mencegah dampak pemanasan global. Proses ini juga memperlancar terjadinya daur hidrologi.

4. Fungsi Reduksi

Asap kendaraan bermotor membawa unsur-unsur pencemaran udara berupa karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO) hasil pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan. Jumlah asap yang dilepaskan ke udara tersebut akan bertambah dengan adanya timah hitam yang dicampur di dalam bensin untuk efisiensi pembakaran. Akibat pembakaran tidak sempurna, racun muncul bersama asap yang keluar dari knalpot kendaraan tadi. CO mengandung racun sangat kuat. Jika CO ini terhisap oleh paru-paru maka CO ini akan lebih mudah mengikat hemoglobin (butir darah merah). Sedangkan oksigen akan berkurang kadarnya sehingga manusia dapat mati lemas karenanya.

Pohon di sekeliling alun alun memiliki fungsi yang terus-menerus menyerap dan mengolah gas karbondioksida (CO2), sulfur oksida (SO2), ozon (O3), nitrogendioksida (NO2), karbon monoksida (CO), dan timbal (Pb) yang merupakan 80 persen pencemar udara kota, menjadi oksigen segar yang siap dihirup warga setiap saat. Pohon mampu menyerap CO2 hasil pernapasan, yang nantinya dari hasil metabolisme oleh tanaman akan mengeluarkan O2 yang kita gunakan untuk bernafas. Sebagai ilustrasi dapat dijelaskan bahwa setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap delapan kilogram CO2 yang setara dengan CO2 yang diembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam


(4)

waktu yang sama. Dengan tereduksinya polutan di udara maka masyarakat kota akan terhindar dari resiko berbagai penyakit yang bersumber dari pencemaran lingkungan.

5. Fungsi Edaphis

Fungsi edaphis berkenanaan dengan kemampuan tumbuhan sebagai tempat hidup, tempat tinggal, tempat berkembang biak dan juga mencari makan bagi berbagai spesies hewan. Selain tempat tinggal bagi hewan tumbuhan-tumbuhan yang terdapat di alun juga sebagai pemasok dan penyedia makanan bagi hewan-hewan yang ada. Semua hewan-hewan dan tumbuhan yang terdapat di alun-alun saling melengkapi, sehingga tanpa adanya salah satu hewan tersebut maka kehidupan tidak akan seimbang. Selain tempat hidup, tumbuhan yang terdapat di alun-alun digunakan sebagai tempat berkembang biak burung, serangga dan hewan-hewan jenis insekta. Setiap hewan tersebut memiliki cara berkembang biak dan tempat berkembang biak berbeda. 6. Fungsi Estetis

Fungsi estetis berarti keberadaan alaun-laun mampu mempercantik suatu kawasan ataupun tempat.

7. Fungsi Protektif

Fungsi protektif berarti bahwa alaun-alun dapat memberikan perlindungan baik bagi seluruh komponen ekosistem, salah satunya adalah proteksi dari bencana banjir dan kekeringan.

8. Fungsi Higienis

Berkenaan dengan fungsi higienis berarti keberadaan alun-alun dengan berbagai tumbuhan yang dimilikinya dapat menjadi penyaring udara yang dapat menyerap karbondioksida serta juga mengeluarkan oksigen. Selain itu pepohonan ini pun akan mempunyai kemampuan untuk dapat menyerap berbagai jenis racun yang ada di udara. Diantara sekian banyak fungsi tumbuhan tersebut

yang tidak dapat digantikan fungsinya oleh komponen lain adalah berkaitan dengan penyediaan oksigen bagi kehidupan manusia. Setiap satu hektar ruang terbuka hijau diperkirakan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk perhari, sehinggadapat membuat bernafas dengan lega

9. Fungsi Edukatif

Fungsi ini menunjukkan bahwa tumbuhan yang ditanam akan mampu untuk menjadi laboratorium alam yang dapat digunakan sebagai media belajar dan juga penelitian bagi siswa dan mahasiswa. Belakangan ini telah banyak studi yang mengkaji tentang alun-alun dari berbagai aspek tinjauan.

10. Fungsi Rekreatif

Alun-alun dengan segala ornament yang dimilikinya dan fasilitas pendukungnya akan mempunyai daya tarik tersendiri yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi dan juga hiburan. Kenyataan ini dapat dlihat dengan banyaknya pelajar atau orang dari wilayah lain yang sengaja untuk mendatangi alun-alun sebuah kota dalam rangka rekreatif.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa konsep keberadaan alun-alun tradisional Jawa telah mampu menjangkau jauh kedepan. Disadari atau tidak ternyata konsep-alun-alun yang dibangun pada abad keVIII semasa kerajaan Majapahit masih relevan keberadaanya hingga saat ini. Bahkan jika keberadaanya tersebut dihubungkan dengan konsep ekologi, terdapat keterikatan yang erat diantara keduanya. Hal ini merupakan sebuah bukti bagaimana keberadaan alun-alun yang hanya sebagai simbol identitas sebuah kekuasaan raja juga memiliki fungsi lain yang sangat besar.

SIMPULAN

Alun-alun merupakan salah satu konsep ruang terbuka publik yang dikenal oleh masyarakat Jawa tradisional yang keberadaanya masih tetap eksis dan dibutuhkan sampai saat ini. Sebagai sebuah kawasan dengan berbagai


(5)

ornament yang dimilikinya, maka alun-alaun memiliki fungsi ekologis yang memberikan banyak manfaat bagi seluruh mahluk hidup baik hewan maupun manusia.

Melihat sejarah masa silam dan fungsi alun-alun yang antara lain sebagai ruang publik, maka sudah seharusnya pemerintah maupun masyarakat menjaga eksistensi dan keberlangsungan alun-alun. Dalam upaya meningkatkan dan mengoptimalkan alun-alun agar benar-benar sebagai ruang publik, maka penataan, penanganan dan penambahan fasilitas umum masih perlu dilakukan untuk menambah daya tarik alun-alun.

DAFTAR PUSTAKA

Astri Anindya Sari, 2013. Transformasi Spasial -Teritorial Kawasan Alun-Alun Malang: Sebuah Produk Budaya Akibat Perkembangan Jaman. Jurnal Eco-Teknologi ISSN: 2301-850X. Vol. I, 1, Juli 2013.

Geldern, Robert Heine, 1972. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja Di Asia

Tenggara, Terjemahan Deliar Noer,Jakarta: CV. Rajawali.

Handinoto, 1992. Alun -alun Sebagai Identitas Kota Jawa dulu dan Sekarang, Dimensi Arsitektur 18 September 1992, Surabaya: Universitas Kristen Petra

Kartodirdjo, Sartono, et.al., 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Lisa Dwi Wulandari, 2007. Konsep Metafora-Ruang pada Metafora-Ruang Terbuka Perkotaan, Disertasi, ITS.

Moerdjoko., 2005. Alun-Alun Ruang Publik Bersejarah dan Konservasi, Jakarta: Universitas Trisakti

Santoso, S., 1981, Dinamika Perkembangan Arsitektur Di Jaman Prakolonial di P. Jawa, dalam majalah Dimensi Nomor: 5, 1981.

Subhan Ramdlani, 2010. Kedudukan dan Fungsi Masjid Agung terhadap Alun-Alun Kota Malang, Journal of Islamic Architecture Volume 1, Terbit 1 Juni 2010.


(6)