75.39 Prosiding Seminar Nasional "The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran"

Zulfiani, Baiq H. S., Lisnawati |The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 5-6 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 Gambar 3. Hasil LKPS praktikum uji zat makanan kelompok peserta didik berbasis free inquiry dengan kategori sedang Pada pertemuan pertama yaitu praktikum mengenai uji zat makanan, menunjukkan bahwa tahapan yang memiliki pencapaian skor terendah adalah tahapan merumuskan hipotesis dengan skor 66,67. Hal tersebut dikarenakan untuk merumuskan hipotesis peserta didik diminta untuk mengajukan perkiraan penyebab sesuatu terjadi yang harus diungkapkan kebenarannya dengan cara pemecahan masalah, karena dalam rumusan hipotesis biasanya terkandung cara untuk mengujinya Andri, dkk, 2012. Sedangkan tahapan yang memiliki skor tinggi yaitu tahapan merumuskan masalah, memprediksi, mengumpulkan data, merumuskan kesimpulan dan menjawab pertanyaan, dengan nilai rata-rata 83,33.Pada pertemuan kedua yaitu praktikum mengenai uji vitamin c, menunjukkan bahwa tahapan yang memiliki pencapaian skor terendah adalah tahapan memprediksi, namun tahapan tersebut sebenarnya tidak termasuk ke dalam tahapan dari free inquiry, melainkan hanya tahapan pengembangan dari aspek keterampilan proses sains. Sehingga tahapan dari free inquiry yang terendah yaitu merumuskan kesimpulan dengan nilai 72,22. Sedangkan tahapan dengan pencapaian skor tertinggi yaitu pada tahapan merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, dan mengumpulkan data. Berdasarakan pencapaian skor tersebut, menunjukkan bahwa peserta didik sebenarnya dapat diberikan kekebasan dan berpartisipasi aktif pada saat proses pembelajaran berlangsung dalam memahami konsep sistem pencernaan makanan, sehingga kemandirian dan kreativitasnya dapat berkembang walaupun belum sepenuhnya. Tetapi harus tetap memperhatikan kesesuaian konsep yang akan digunakan dan kondisi peserta didik terkait dengan kemandirian serta pengalaman dalam melakukan praktikum agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Selain itu, peserta didik akan lebih memahami konsep sistem pencernaan makanan dikarenakan peserta didik menemukan langsung pengetahuannya melalui proses penyelidikan yang telah dilakukannya. SIMPULAN Kesimpulan yang didapatkan dari hasil analisis data penelitian yang telah dilakukan, yaitu bahwa secara keseluruhan rerata perolehan skor LKPS berbasis free inquiry peserta didik sudah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal KKM, yaitu 75,39. Selain itu, model pembelajaran free inquiry juga dapat digunakan untuk mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran biologi konsep sistem pencernaan makanan kelas XI SMA dan dapat dapat mengembangkan keterampilan proses sains, kemandirian, serta kreativitas peserta didik. Pembelajaran Biologi Berbasis Free Inquiry | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 6-6 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 DAFTAR PUSTAKA Andri, dkk. Peningkatan Keterampilan Prediksi dan Merumuskan Hipotesis Melalui Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Jurnal Pendidikan Kimia. Universitas Lampung, Lampung. 2012. Eva Flora Siagian, Roida dan Maya Nurfitriani. Metode Pembelajaran Inquiry dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari Kreativitas Belajar. Jurnal Formatif. ISSN: 2088- 351X. Hamdiyati, Yanti. Cara Membuat Kajian Pustaka. Pelatihan Penelitian Tindakan Kelas PTK bagi Guru-guru MGMP Kota Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia. 2008. Hanauer, D.I., et. all .” Active Assessment: Assessing Scientific Inquiry, Capter 2 Conceptualizing Scientific Inquiry ”. Mentoring in Academia and Industry 2, DOI 10.1007978-0-387-89649-6_2, ISSBN: 978-0-387-89648-9. 2009. Lutfi, Muchtar. “Pemahaman Guru Mata Pelajaran IPA MTs Se-Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara Tentang Strategi Pembelajaran Inkuiri”. Skripsi pada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang: 2011. Majid, Abdul. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013. Marheni, Ni Putu, dkk, Studi Komparasi Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Dan Model Pembelajaran Inkuiri Bebas Terhadap Hasil Belajar dan Keterampilan Proses Sains Siswa Pada Pembelajaran Sains SMP. Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA. Vol 4. 2014. Mudalara, I Putu. “Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Bebas Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Gianyar Ditinjau Dari Sikap Ilmiah”. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, Gianyar: 2012. Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikaan. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R D. Bandung: Alfabeta, 2013. Tirtarahardja, Umar dan S. L. La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008. Trianto. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010. Zulfiani, dkk. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009. Seminar Nasional Pendidikan IPA-Biologi FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016 Copyright © 2016, ISBN 978-602-73551-1-8 PENINGKATAN BERPIKIR KREATIF SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT STM PADA KONSEP PERUBAHAN LINGKUNGAN DAN DAUR ULANG LIMBAH Mutia Ulfah 1 , Nengsih Juanengsih 2 , Meiry Fadilah Noor 3 Program Studi Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email koresponden: 1 mutiaulfahbio2011gmail.com, 2 nengsih.juanengsihuinjkt.ac.id, 3 meifnoorgmail.com Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan berpikir kreatif siswa melalui model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat STM pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain the one group pretest- posttest design. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMAN 1 Parung Tahun Ajaran 20152016. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini yaitu siswa kelas X MIA 4 yang berjumlah 34 orang. Instrumen penelitian berupa soal uraian sebanyak 13 soal, lembar observasi siswa, lembar observasi guru dan lembar kerja siswa LKS berbasis STM sebagai pendukung. Hasil penelitian menunjukkan pada posttest 97,06 siswa memperoleh nilai diatas KKM dengan nilai rata-rata sebesar 86,14. Nilai rata-rata N-gain sebesar 0,73 menunjukkan kategori tinggi dengan pencapaian 67,65 siswa berada pada kategori N-gain tinggi dan 32,35 siswa berada pada kategori N-gain sedang. Berdasarkan uji paired sample t-test diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran sains teknologi masyarakat STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. Kata Kunci : berpikir kreatif; sains teknologi masyarakat STM; perubahan lingkungan dan daur ulang limbah Abstract This research aims at determining the increase of students’ creative thinking by using Science Technology Society STM learning model on the concept of environmental change and waste recycling. This research was quasi experiment with the one group pretest-posttest design. The population of this research is all student at SMAN 1 Parung academic year 20152016. The sampling of this research was taken through purposive sampling. The sample of this reasearch is class X MIA 4 with 34 students. The instruments of this research were an essay test consists of 13 questions, student observation sheet, teacher observation sheet, and student worksheet based STM as a support. The result showed 97,06 students get score above KKM with an average score is 86,14. The average score of the N-gain is 0.73 that showed high category, with 67.65 of students in the high category of N-gain and 32.35 of students in the medium category of N- gain. Based on paired samples t-test, the significance value 0.000 is less than an alpha value 0.05 sig α. This suggests that there were differences of students’ creative thinking on a pretest and posttest, which means using science society technology STM learning model can increasing students creative thinking on the concept of environmental change and waste recycling. Keywords : creative thinking; science technology society STS; environmental change and waste recycling PENDAHULUAN Globalisasi mempunyai pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia yang akan berlangsung Susanti, 2015. Era globalisasi menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 8-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 diperlukan peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing sebagai kunci tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan serta mampu memanfaatkan segala macam peluang di era globalisasi tersebut UU RI No.17, 2007. Indonesia akan mampu menangkap peluang dan menghadapi era globalisasi jika memiliki sumber daya manusia yang kompeten, kreatif, dan inovatif. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kualitas pendidikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif, karena salah satu lembaga yang paling berperan dalam mempersiapkan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah sekolah. Reformasi pendidikan pun dilakukan dengan menerapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan. Prinsip yang saat ini diterapkan seperti dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu, dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi berbasis aneka sumber belajar dan prinsip-prinsip lainnya yang sesuai dengan standar kompetensi lulusan dan standar isi Permen Diknas RI No. 65, 2013. Selain itu, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mendikbud Anies Baswedan, “pembelajaran yang relevan dengan kehidupan begitu penting diterapkan. Hal itu bertujuan untuk mewujudkan iklim pendidikan yang menyenangkan bagi siswa. Pendidikan dengan iklim yang menyenangkan dapat meningkatkan daya imajinasi siswa supaya berpikir kreatif” Kompas, 2015. Dengan demikian, melalui pembelajaran yang berorientasi pada permasalahan kehidupan sehari-hari real world problem dapat membantu meningkatkan pengembangan berpikir kreatif siswa. Berpikir kreatif adalah kecakapan mengolah pikiran untuk menghasilkan ide-ide baru dan merupakan salah satu kompetensi yang sangat penting dalam membangun pilar belajar yang bernilai untuk membangun daya kompetisi bangsa dalam meningkatkan mutu produk pendidikan Rahmat, 2012. Kemampuan berpikir kreatif dapat dicapai dengan cara membiasakan siswa untuk melakukan pemecahan masalah. Proses pemecahan masalah dapat mendorong siswa untuk memikirkan solusi-solusi alternatif dalam memecahkan permasalahan tersebut. Sehingga siswa dapat menciptakan banyak ide tentang sebuah topik tertentu Susanto, 2014. Oleh karena itu, guru harus membiasakan siswa untuk melakukan pemecahan masalah agar kemampuan berpikir kreatif siswa dapat terlatih. Siswa juga menjadi lebih aktif dalam belajar dan mampu mengembangkan potensinya secara mandiri. Sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk menciptakan iklim pembelajaran yang mampu mengembangkan potensi siswa agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Proses pembelajaran pun harus berpusat pada siswa student center, sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu sekolah yang dalam proses pembelajarannya telah melibatkan siswa secara aktif adalah SMA Negeri 1 Parung yang berada di wilayah kabupaten Bogor. Sekolah ini telah menerapkan kurikulum 2013 dalam proses pembelajarannya. Hasil wawancara di sekolah tersebut menunjukkan pembelajaran dilaksanakan dengan metode diskusi dan praktikum. Diskusi dilakukan pada saat siswa melakukan presentasi. Sedangkan model pembelajaran yang biasa dilakukan adalah model inkuiri yaitu dengan siswa melakukan praktikum. Penilaian yang dilakukan di SMAN 1 Parung sudah sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 yaitu melakukan penilaian hasil belajar pada ranah sikap afektif, pengetahuan kognitif, dan kinerja psikomotorik. Penilaian mengenai berpikir kreatif belum pernah dilakukan. Hal ini dikarenakan belum adanya inovasi yang dilakukan oleh pihak guru untuk Mutia U., Nengsih J., Meiry F. N. | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 9-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 memenuhi kebutuhan alat ukur atau instrumen yang sesuai dengan indikator berpikir kreatif siswa. Padahal menurut Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2006, Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan SKL-SP SMA bertujuan untuk membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif serta menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan Permen Diknas RI No. 23, 2006. Oleh karena itu, selain penilaian belajar dalam ranah sikap afektif, pengetahuan kognitif, dan kinerja psikomotorik, penilaian berpikir kreatif juga perlu dilakukan sebagai pengukuran dalam mencapai standar kompetensi kelulusan. Hasil akhir dari proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh ketepatan model pembelajaran yang digunakan dengan konsep yang diajarkan. Joyce dan Weil dalam Rusman berpendapat bahwa, model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum rencana pembelajaran jangka panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain Rusman, 2012. Proses pembelajaran dilakukan untuk mencapai standar kompetensi kelulusan yang telah ditetapkan, dan kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu dari tujuan dalam standar kompetensi lulusan tersebut. Sehingga, untuk mencapai tujuan tersebut dipilih konsep dan model pembelajaran yang dapat melatih kemampuan berpikir kreatif siswa. Model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat STM dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Peningkatan berpikir kreatif tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Smarabawa, dkk., yang menyatakan bahwa model pembelajaran STM lebih unggul dibandingkan model pembelajaran langsung dalam hal keterampilan berpikir kreatif Smarabawa dkk, 2013. STM merupakan suatu usaha untuk menyajikan IPA dengan mempergunakan masalah-masalah dari dunia nyata. STM adalah suatu pendekatan yang mencakup seluruh aspek pendidikan yaitu tujuan, topikmasalah yang akan dieksplorasi, strategi pembelajaran, evaluasi dan persiapankinerja guru Zulfiani dkk, 2009. Konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah pada kelas X SMA merupakan salah satu konsep yang sesuai untuk menerapkan model pembelajaran STM. Hal ini dikarenakan, permasalahan terkait perubahan lingkungan dan limbah masih menjadi permasalahan yang krusial hingga saat ini. Permasalahan terkait perubahan lingkungan dan daur ulang limbah juga merupakan permasalahan yang sering ditemui oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, limbah yang dihasilkan baik dari industri ataupun rumah tangga yang pengelolaanya masih belum tepat dan dapat menganggu keseimbangan lingkungan. Penggunaan model STM akan melatih siswa dalam menganalisis permasalahan lingkungan yang terjadi, mencari solusi yang kreatif serta mampu mengaitkannya dengan perkembangan sains dan teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga dengan menggunakan model pembelajaran STM diharapkan permasalahan terkait limbah atau sampah ini mendapatkan solusi yang tepat bahkan dapat menjadi peluang bisnis baru. METODE Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode kuasi eksperimen atau eksperimen semu dengan desain the one group pretest-posttest design. Penelitian kuasi eksperimen merupakan metode penelitian yang tidak memungkinkan peneliti melakukan pengontrolan secara penuh terhadap sampel penelitian. Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 10-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMAN 1 Parung tahun ajaran 20152016. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini yaitu siswa kelas X MIA 4 yang berjumlah 34 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti untuk mengetahui berpikir kreatif siswa yang telah diajar dengan menggunakan model STM yaitu dengan menggunakan tes subjektif berupa soal uraian. Soal uraian disusun berdasarkan komponen berpikir kreatif yang hendak dicapai. Selama proses penelitian, peneliti melakukan dua kali tes yaitu pretest tes awal untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum diberikan perlakuan dan posttest tes akhir untuk mengetahui hasil dari perlakuan yang telah diberikan. Soal yang digunakan pada saat pretest dan posttest merupakan soal yang sama agar tidak ada pengaruh perbedaan kualitas. Selain menggunakan tes, peneliti juga menggunakan teknik nontes yaitu berupa lembar kerja siswa LKS dan lembar observasi. Lembar kerja siswa digunakan sebagai data pendukung untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa selama diberikan perlakuan. Sedangkan lembar observasi guru dan lembar observasi siswa digunakan untuk menilai aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Analisis data merupakan tahap penting, karena dengan melakukan analisis data, menjadikan data tersebut dapat bermakna dan berguna dalam pemecahan masalah penelitian. Sebelum melakukan analisis data, peneliti memeriksa kembali kelengkapan data dari berbagai sumber, kemudian analisis data dilakukan pada semua data yang sudah terkumpul yaitu : kemampuan berpikir kreatif, hasil observasi aktivitas peserta didik, hasil observasi aktivitas guru, dan lembar kerja siswa berbasis STM. Selanjutnya, tindakan yang telah dilakukan dianalisis efektivitasnya dengan menggunakan rumus Gain. Gain adalah selisih antara posttest dengan pretest. Hal ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan berpikir kreatif siswa yang diperoleh setelah kegiatan pembelajaran. Untuk menghitung N-Gain, maka menggunakan rumus sebagai berikut Meltzer, 2002. � − ��� = � � − � � � � � − � � Hasil dari perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut dibandingkan dengan kriteria yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori Nilai N-Gain Nilai N-Gain Kategori g 0.7 Tinggi 0,3 ≤ g ≤ 0,7 Sedang g 0,3 Rendah Selain itu, dilakukan uji paired sample t test dengan menggunakan aplikasi SPSS. 20 terhadap data pretest dan posttest untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh penggunaan model pembelajaran STM terhadap berpikir kreatif siswa. Pedoman pengambilan keputusan dalam uji paired sample t test berdasarkan nilai signifikansi dengan spss yaitu: 1 jika nilai probabilitas atau signifikansi 2-tailed 0,05, maka terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. 2 Sebaliknya, jika nilai probabilitas atau signifikansi 2-tailed 0,05, maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM tidak dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. Mutia U., Nengsih J., Meiry F. N. | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 11-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil penelitian menjelaskan deskripsi umum dari data yang telah diperoleh. Data-data yang dideskripsikan merupakan data hasil pretest dan posttest, lembar kerja siswa LKS, lembar observasi aktivitas siswa dan lembar observasi aktivitas guru. Berikut data pretest dan posttest berpikir kreatif siswa kelas X MIA 4. Tabel 2. Data Statistik Pretest dan Posttest Data Kelas Eksperimen Pretest Posttest Nilai Terendah 30,77 67,31 Nilai Tertinggi 65,38 96,15 Nilai rata-rata 50,11 86,14 Median 50,00 86,54 Modus 50,00 88,46 Standar Deviasi 7,07 6,19 Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata pretest yang diperoleh pada kelas eksperimen adalah 50,11. Sedangkan pada posttest nilai rata-rata sebesar 86,14. Terlihat bahwa setelah dilakukan pembelajaran dengan model pembelajaran STM kemampuan berpikir kreatif siswa mengalami peningkatan sebesar 36,03 poin. Kemudian tindakan yang telah dilakukan dianalisis efektivitasnya dengan menggunakan rumus Gain. Berdasarkan hasil perhitungan N-gain diperoleh data pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Hasil N-Gain Normal Gain N-Gain Kelas Eksperimen Nilai Terendah 0,37 Nilai Tertinggi 0,89 Nilai rata-rata 0,73 Kategori Tinggi Berdasarkan hasil N-gain pada Tabel 3, nilai rata-rata N-gain siswa pada kelas eksperimen yaitu sebesar 0,73 yang menunjukkan kategori tinggi. Hal itu menunjukkan, bahwa siswa pada kelas tersebut mengalami peningkatan kemampuan berpikir kreatif. Persentase jumlah siswa pada N-gain ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Persentase N-Gain Kategori N-Gain Kelas Eksperimen Tinggi 67,65 Sedang 32,35 Rendah 0,00 Berdasarkan Tabel 4, hasil N-gain menunjukkan semua siswa berada pada kategori sedang dan tinggi. Siswa yang berada pada kategori N-gain tinggi sebanyak 67,65 lebih banyak dibandingkan siswa yang berada pada kategori sedang yaitu 32,35. Hal ini, menunjukkan bahwa siswa yang mengalami rpeningkatan kemampuan berpikir kreatif yang tinggi lebih banyak dibandingkan siswa yang mengalami peningkatan kemampuan berpikir kreatif yang sedang. Berdasarkan perhitungan persentase rata- rata ketercapaian komponen berpikir kreatif pada kelas eksperimen dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Persentase Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada Pretest, Posttest dan N-Gain Komponen Berpikir Kreatif Pretest Posttest N-Gain Eksperimen Eksperimen Eksperimen Fluency 67,65 92,89 0,73 Flexibility 43,01 93,75 0,89 Originality 64,71 91,54 0,77 Elaboration 38,97 83,33 0,72 Evaluation 38,73 73,53 0,56 Rata-Rata 50,61 87,01 0,73 Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 12-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 Tabel 5 menunjukkan persentase pencapaian berpikir kreatif pada setiap komponen berdasarkan data pretest, posttest dan N-Gain. Terlihat bahwa terdapat peningkatan ketercapaian komponen berpikir kreatif dari pretest ke posttest. Terlihat rata-rata persentase ketercapaian berpikir kreatif meningkat dari 50,61 menjadi 87,01. Nilai N-gain pada empat kemampuan berpikir kreatif yaitu fluency, flexibility, originality, dan elaboration berada pada kategori tinggi. Kemampuan berpikir kreatif yang masih berada pada kategori sedang yaitu evaluation. Namun, secara keseluruhan nilai rata- rata N-gain pada kelas eksperimen tersebut sudah termasuk dalam kategori tinggi. Pada perhitungan persentase rata-rata ketercapaian komponen berpikir kreatif dalam LKS dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Persentase Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada LKS Berbasis STM Komponen Berpikir Kreatif Kelas Eksperimen Rata-rata Fluency 91,18 Flexibility 100,00 Originality 78,49 Elaboration 81,13 Evaluation 81,62 Rata-Rata 86,48 Tabel 6 menunjukkan persentase pencapaian berpikir kreatif pada setiap komponen berdasarkan hasil kerja kelompok belajar siswa dalam mengerjakan LKS berbasis STM. Terlihat bahwa ketercapaian paling tinggi yaitu pada komponen flexibility, sedangkan paling rendah pada komponen originality. Namun, secara keseluruhan nilai rata-rata ketercapaian komponen berpikir kreatif pada LKS STM menunjukkan hasil yang baik yaitu 86,48. Hasil perhitungan persentase rata-rata ketercapaian komponen berpikir kreatif berdasarkan aktivitas siswa selama proses pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Persentase Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif Berdasarkan Aktivitas Siswa Selama Proses Pembelajaran Komponen Berpikir Kreatif Kelas Eksperimen Rata-rata Fluency 75,00 Flexibility 75,00 Originality 62,50 Elaboration 70,83 Evaluation 66,67 Rata-Rata 70,00 Berdasarkan data pada Tabel 7, terlihat bahwa rata-rata persentase ketercapaian komponen berpikir kreatif berdasarkan aktivitas siswa selama proses pembelajaran adalah 70,00. Terlihat pada kelas eksperimen ketercapaian persentase tertinggi terdapat pada komponen fluency dan flexibility dengan ketercapaian persentase sebesar 75. Sedangkan ketercapaian persentase terendah terdapat pada komponen originality yaitu sebesar 62,50. Hasil persentase keterlaksanaan aktivitas guru dalam proses pembelajaran menunjukkan bahwa persentase keterlaksanaan aktivitas guru selama proses pembelajaran dengan model pembelajaran STM yaitu semua tahapan dalam proses pembelajaran telah guru laksanakan. Sehingga dapat terlihat bahwa persentase keterlaksanakan aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran dengan model STM pada pertemuan pertama dan kedua telah mencapai 100. Berdasarkan hasil uji prasyarat diperoleh hasil uji normalitas 0,571 untuk data pretest dan 0,536 untuk data posttest lebih besar dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Dengan demikian, data berdistribusi normal. Untuk uji homogenitas diperoleh hasil 0,190 lebih besar dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Dengan demikian, data pretest dan posttest homogen. Selanjutnya untuk hasil uji paired sample t-test diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan Mutia U., Nengsih J., Meiry F. N. | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 13-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa melalui model pembelajaran sains teknologi masyarakat STM. Penelitian untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif, dilihat dari hasil N-gain. Terlihat bahwa rata-rata N-gain berada pada kategori tinggi yaitu 0,73 dengan pencapaian 67,65 siswa berada pada kategori tinggi dan 32,35 siswa berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa setelah diberikan perlakuan, kelas eksperimen tersebut menunjukkan kenaikan nilai yang sangat signifikan. Maka model pembelajaran STM memiliki pengaruh yang baik di kelas eksperimen sehingga kelas tersebut menunjukkan kenaikan nilai yang signifikan. Hasil ini dicapai karena dalam penerapannya model pembelajaran STM menggunakan permasalahan dalam proses pembelajarannya. Pada model pembelajaran STM masalah yang diajukan dengan memanfaatkan isu lingkungan dalam proses pembelajaran. Sintaks pada model pembelajaran STM memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, karena siswa dilatih untuk mengungkapkan isu-isu sains teknologi di masyarakat serta dilatih untuk mencari jawaban atas isu-isu tersebut Smarabawa dkk, 2013. Berdasarkan ketercapaian persentase siswa pada kelima komponen berpikir kreatif, terlihat adanya kenaikan yang sangat signifikan dari pretest ke posttest. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1. Gambar 1. Grafik Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada Pretest dan Posttest Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa adanya kenaikan yang signifikan persentase ketercapaian komponen berpikir kreatif dari sebelum diberikan perlakuan dan sesudah diberikan perlakuan. Terlihat bahwa pada posttest berpikir kreatif paling tinggi terdapat pada komponen flexibility yaitu 93,75 dan paling rendah terdapat pada komponen evaluation yaitu 73,53. Namun, secara keseluruhan rata-rata persentase ketercapaian berpikir kreatif meningkat dari 50,61 menjadi 87,01. Hasil ini didukung oleh data N-gain, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. Gambar 2. Grafik Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada N-Gain Gambar 2, menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen terlihat nilai N-gain secara keseluruhan berada pada kategori tinggi, terkecuali komponen evaluation yang berada pada kategori sedang. Pada komponen fluency N- gain menunjukkan kategori tinggi yaitu 0,73. Hal ini dikarenakan pada tahap awal invitasi model pembelajaran STM siswa diberikan kesempatan untuk menyampaikan isu-isu atau permasalahan yang ada pada kehidupan sehari-hari, baik yang mereka alami sendiri ataupun isu-isu atau Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 14-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 permasalahan yang pernah mereka lihat. Hal ini juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen fluency persentase ketercapaian kelas eksperimen tersebut juga tinggi yaitu sebesar 91,18. Sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa pada komponen fluency menjadi terlatih dan berdampak positif pada meningkatnya nilai mereka dari pretest ke posttest. Komponen flexibility memiliki ketercapaian N-gain yang paling tinggi yaitu 0,89. Hal ini dikarenakan pada model pembelajaran STM siswa harus memberikan solusi atau gagasan terhadap suatu masalah dengan mengaitkannya pada bidang sains, teknologi dan juga bagaimana penerapan ataupun dampak dari sains dan teknologi itu bagi masyarakat. Siswa dituntut untuk lebih luwes dalam menyikapi permasalahan dan mencari solusi atas permasalahan tersebut. Siswa dituntut untuk melihat suatu permasalahan dan mencari solusinya dari berbagai sudut pandang. Hal ini juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen flexibility persentase ketercapaian yang sangat tinggi yaitu sebesar 100. Pada komponen originality N-gain menunjukkan kategori tinggi yaitu 0,77. Hal ini dikarenakan pada model pembelajaran STM siswa dilatih untuk dapat memberikan argumengagasan yang dikaitkan dengan bidang sains dan teknologi, sehingga siswa dapat memberikan ide-ide baru yang dapat mereka kaitkan baik dengan bidang sains, teknologi ataupun dengan integrasi dari keduanya. Hal ini juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen originality persentase ketercapaian juga menunjukkan hasil yang cukup tinggi yaitu 78,49. Pada komponen elaboration N-gain menunjukkan kategori tinggi yaitu 0,72. Hal ini dikarenakan pada model pembelajaran STM terdapat tahapan pemantapan konsep sehingga siswa terlatih dalam proses berpikir memerinci elaboration. Hal ini juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen elaboration persentase ketercapaian juga menunjukkan hasil yang tinggi yaitu 81,13. Pada komponen evaluation N-gain menunjukkan kategori sedang yaitu 0,56. Hal ini dikarenakan siswa merasa cukup kesulitan untuk memberikan saran-saran dan alasan berdasarkan pendapatnya sendiri, namun harus tetap dikaitkan dengan sains dan teknologi. Meskipun hasil N- gain berada pada kategori sedang, namun persentase ketercapaian pada LKS pada komponen evaluation menunjukkan persentase ketercapaian yang tinggi yaitu 81,62. Hal ini dikarenakan siswa merasa lebih mudah untuk memberikan saran dan alasan jika bekerja secara kelompok karena mereka bisa saling bertukar pendapat dalam memberikan saran serta alasan dari suatu persoalan. Secara keseluruhan, terlihat bahwa penggunaan model pembelajaran STM memiliki pengaruh yang baik dalam meningkatkan berpikir kreatif siswa. Hasil observasi terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran menunjukkan bahwa perilaku siswa selama proses pembelajaran telah memunculkan kelima komponen berpikir kreatif dengan rata-rata persentase ketermunculan komponen berpikir kreatif pada aktivitas siswa sebesar 70. Hasil persentase keterlaksanaan aktivitas guru dalam proses pembelajaran juga menunjukkan bahwa semua tahapan dalam proses pembelajaran telah guru laksanakan. Sehingga dapat terlihat bahwa persentase keterlaksanakan aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran dengan model STM pada pertemuan pertama dan kedua telah mencapai 100. Sehingga hasil akhir dari penerapan model pembelajaran ini yaitu terlihat adanya peningkatan berpikir kreatif siswa di kelas eksperimen tersebut. Berdasarkan hasil uji paired sample t-test diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih Mutia U., Nengsih J., Meiry F. N. | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 15-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. Sehingga dapat diketahui bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Heni Desianti, dkk., bahwa keterampilan berpikir kreatif siswa setelah belajar dengan menggunakan perangkat pembelajaran IPA setting STM yang dikembangkan lebih baik dari pada keterampilan berpikir kreatif siswa sebelum belajar dengan menggunakan perangkat pembelajaran IPA setting STM yang dikembangkan. Secara umum, dimensi keterampilan berpikir kreatif yang paling banyak mengalami peningkatan adalah berpikir lancar, berpikir luwes, dan berpikir orisinil karena siswa lebih mudah memahami cara berpikir tersebut, sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman siswa, sedangkan berpikir elaboratif dan mengevaluasi tidak semua siswa bisa melakukannya dengan baik Desianti dkk, 2015. Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smarabawa, dkk., bahwa skor rata-rata setiap aspek berpikir kreatif pada model pembelajaran STM lebih tinggi dibandingkan model pembelajaran langsung. Hasil ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran STM terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa Smarabawa dkk, 2013. Berdasarkan hasil penelitian tersebut terlihat bahwa model pembelajaran STM memberikan pengaruh yang baik dalam meningkatkan berpikir kreatif siswa. Hal ini dikarenakan model pembelajaran STM dalam tahapan pembelajarannya menuntun siswa untuk memecahkan suatu permasalahan. Sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa pun terlatihkan dengan menggunakan model pembelajaran STM ini. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran sains teknologi masyarakat STM pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa. Adanya peningkatan berpikir kreatif siswa terlihat dari nilai posttest yang menunjukkan 97,06 siswa memperoleh nilai diatas KKM dengan nilai rata-rata sebesar 86,14. Selain itu, rata-rata nilai N-gain siswa berada berada pada kategori tinggi yaitu 0,73 dengan pencapaian 67,65 siswa berada pada kategori N-gain tinggi dan 32,35 siswa berada pada kategori N-gain sedang. Pada uji paired sample t-test juga diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran sains teknologi masyarakat STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. SARAN Penerapan model pembelajaran STM terbukti dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. Maka kami sarankan agar guru menjadikan penerapan model pembelajaran STM sebagai suatu alternatif dalam pembelajaran pada konsep-konsep Biologi yang lain ataupun pada mata pelajaran yang lain dengan catatan guru harus dapat menyesuaikan antara konsep yang akan diajarkan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam model pembelajaran tersebut untuk meningkatkan berpikir kreatif siswa. Kegiatan penelitian sejenis ini perlu terus dilaksanakan baik dalam mata pelajaran Biologi Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 16-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 maupun mata pelajaran lainnya baik untuk memecahkan masalah yang muncul ataupun untuk meningkatkan mutu pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Desianti, N. W. Heni, dkk. 2015. Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA dengan Setting Sains Teknologi Masyarakat untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMP. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 5, h. 9- 10. Kompas. 2015. Mendikbud: Guru Jangan Tertutup saat Memberi Pelajaran. Diakses dari http:edukasi.kompas.comread2015040 807300021Mendikbud.Guru.Jangan.Tert utup.saat.Memberi.Pelajaran. 20 Maret 2016 Meltzer, David E. 2002. The Relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: A possible “hidden variable” in diagnostic pretest scores. American Association of Physics Teacher, h. 1260.1261. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 23. Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Direktorat jenderal Pendidikan RI, 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 65. Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Direktorat jenderal Pendidikan RI, 2013. Rahmat. 2012. Mengasah Keterampilan Berpikir Kreatif. Diakses dari http:gurupembaharu. comhomemengasah-keterampilan- berpikir-kreatif-siswa. 20 Maret 2016 Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. Smarabawa, dkk. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat Terhadap Pemahaman Konsep Biologi dan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMA. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 3, h. 7. Susanti, Herni. 2015. Menyikapi Pengaruh Globalisasi. Diakses dari http:www. neraca.co.idarticle54331menyikapi- pengaruh-globalisasi. 20 Maret 2016 Susanto, Ahmad. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenamedia Group. Undang-Undang Republik Indonesia No. 17. Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Jakarta: Direktorat jenderal Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007. Zulfiani, dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. Seminar Nasional Pendidikan IPA-Biologi FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016 Copyright © 2016, ISBN 978-602-73551-1-8 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH DALAM MENINGKATKAN MINAT BELAJAR PESERTA DIDIK DI SMA NEGERI 11 TANGERANG SELATAN Eny Rosyidatun, Sukarlin, Annisaa Meyrizka K. P Program Studi Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email koresponden: eny.rosyidatunuinjkt.ac.id Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunan model make a match untuk meningkatkan minat belajar biologi di SMA Negeri 11 Kota Tangerang Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Sampel penelitian berjumlah 29 peserta didik dipilih dengan teknik purposive sampling, dan adapun penentuan kelas tindakan dilakukan secara random oleh guru. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket minat belajar dan lembar observasi aktivitas belajar mengajar yang telah diuji validitas dan reabilitasnya. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas classroom action research, dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan minat belajar peserta didik pada materi sistem hormon di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 11 Tangerang Selatan, hal ini terlihat dari keseluruhan nilai angket minat belajar peserta didik, yang apabila dirata-ratakan mempunyai skor 83,3 skor tersebut termasuk ke dalam kategori “tinggi”. Selain itu, penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari persentase nilai aktivitas belajar peserta didik pada setiap siklusnya, yaitu siklus I 80-86,6 dan siklus II 96,6. Terakhir penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan tuntas karena memenuhi KKM pada setiap siklusnya, yaitu siklus I 55 dan siklus II 90, dan rata-rata hasil belajar peserta didik setiap siklusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan yaitu siklus I 72,8 dan siklus II rata-rata hasil belajar peserta didik meningkat menjadi 84,1. Kata Kunci : minat belajar; model pembelajaran kooperatif; make a match Abstract This study aims to determine the use of the model make a match to increase interest in learning biology in SMA Negeri 11 of South Tangerang. Method research was classroom action research. Samples who are 29 students were chosen by purposive sampling technique, and the class was chosen randomly by teacher. The research instrument used were a questionnaire interest in learning and teaching and learning activity observation sheet that has been tested for validity and reliability. Data analysis was performed by calculating the total score for each indicator and converted into percentage form. Based on the results of classroom action research, it can be concluded that the implementation of cooperative learning model typed make a match can increase the interest of learners in the material hormonal system in class XI IPA 3 SMAN 11 Tangerang, as seen from the overall value of the questionnaire interests of learners, which averaged scores 83.3 is categorized as high. In addition, application of learning models make a match can also increase the activity of learners for participating in learning activities. It can be seen from the percentage of the value of the learning activities of students in each cycle, the first cycle 80 to 86.6 and cycle II 96.6. Last application of learning models make a match can also improve learning outcomes of students which can be seen from the percentage of students who can be considered complete because it meets the KKM in each cycle, the first cycle 55 and the second cycle 90, and average learning outcomes of students in each cycle also increased significantly, namely the first cycle 72.8 and the second cycle average learning outcomes of students increased to 84.1. Keywords : cooperative learning mode; make a match;interest in learning Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match dalam Meningkatkan Minat Belajar | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 18-27 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu bagian yang penting bagi kehidupan manusia dalam mengembangkan kepribadian dan kemampuannya yang berlangsung seumur hidup. Melalui pendidikan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan wawasan manusia akan terus berkembang, guna memperoleh ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Dalam proses mengajar, guru harus bisa memilih dan menggunakan beberapa metode mengajar. Banyak metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh para guru.Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.Metode pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas.Menurut Arends dalam Suprijono “Metode pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar” Suprijono, 2012. Menurut Oemar Hamalik dalam bukunya yang berjudul Kurikulum dan Pembelajaran mengungkapkan “Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkan berfungsi dalam kehidupan bermasyarakat”. Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup yang mengarah kepada tujuan yang hendak dicapai.Dengan demikian pendidikan menjadi tanggung jawab semua yang meliputi orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah harus memberikan perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan, karena melalui pendidikanlah akan terbentuk karakter dan pengetahuan seseorang yang dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan hidup dan dapat membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna untuk merubah keadaan suatu bangsa menjadi lebih baik dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas Isjoni, 2011. Masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia biasanya karena orientasi pembelajaran di Indonesia cenderung masih bersifat teacher centered atau berpusat pada guru sehingga membuat peserta didik menjadi lebih pasif, sedangkan model pembelajaran yang seharusnya digunakan oleh seorang guru harus membuat peserta didik aktif dalam proses pembelajaran, karena keaktifan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran sangat tergantung dari pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh peserta didik itu sendiri. Oleh karena itu keaktifan peserta didik dalam menjalani proses belajar mengajar merupakan salah satu kunci keberhasilan pencapain tujuan pembelajaran. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar dapat mempengaruhi tingkat pemahaman seorang peserta didik, tingkat pemahaman seorang peserta didik akan mempengaruhi hasil belajar yang ia peroleh, hasil belajar adalah salah satu indikator yang bisa digunakan untuk mengukur tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan untuk mengukur keberhasilan belajar seseorang. Pendidikan dengan proses belajar mengajar sebagai kegiatannya, merupakan suatu proses interaksi antara pendidik dan anak didik. Dari proses interaksi itu proses belajar mengajar diikatkan dengan minat dan perhatian antara keduanya, dengan demikian proses belajar mengajar akan terjadi secara efektif dan efisien, apabila peserta didik mempunyai minat kepada Eny R., Sukarlin, Annisaa M. K. P |The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 19-27 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 suatu pekerjaan atau guru yang memengaruhinya. Minat yang besar akan mendorong individu untuk melakukan hal-hal yang lebih baik. Oleh karena itu, minat mempunyai dampak yang sangat besar atas perilaku dan sikap seseorang terhadap segala sesuatu. Pada dasarnya kegiatan atau perbuatan yang dilakukan setiap orang didasari oleh kecenderungan atau minat. Minat melahirkan perhatian dan hal ini memungkinkan seseorang melakukan sesuatu dengan tekun untuk jangka waktu yang lama. Minat merupakan landasan penting bagi seseorang untuk melakukan kegiatan dengan baik sebagai suatu aspek kejiwaan, minat bukan saja dapat memengaruhi tingkah laku seseorang, tapi juga dapat mendorong orang untuk tetap melakukan dan memperoleh sesuatu. Hal itu sejalan dengan yang dikataka oleh S. Nasution bahwa pelajaran akan berjalan lancar apabila ada minat, anak-anak malas, tidak belajar, gagal, karena tidak ada minat Nasution, 1998. Dan belajar akan sangat sulit apabila tidak ada minat belajar. Dalam pembelajaran biologi terutama pada konsep sistem hormon, minat mempunyai peran yang sangat penting, bila seorang peserta didik tidak memiliki minat yang besar untuk belajar maka sulit diharapkan peserta didik tersebut akan tekun memperoleh hasil yang baik dari belajarnya, sebaliknya apabila peserta didik tersebut belajar dengan minat yang besar, maka hasil yang diperoleh lebih baik. Seperti yang diungkapkan oleh Usman Efendi dan Juhaya S. Praja bahwa belajar dengan minat akan lebih baik dari pada belajar tanpa minat Efendi, 1993. Proses belajar mengajar baru dapat berlangsung secara efektif dan efisien, jika terdapat minat dan perhatian penuh dari peserta didik, dalam bukunya Bobbi De Porter, Mark Readrdor dan Sarah singer Nourle yang sangat sukses dengan judul quantum teaching memberikan informasi dari sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa peserta didik yang memiliki konsentrasi penuh akan belajar lebih cepat dan lebih mudah. Selain itu, mereka mengingat informasi lebih lama Porter, Readrdor, Nourle, 2000. Dengan demikian, guru sebagai seorang pendidik harus dapat memaksimalkan proses kegiatan belajar. Guru harus dapat mengetahui keadaan yang tepat untuk memulai proses belajar mengajar, keadaan peserta didik yang memiliki konsentrasi atau perhatian yang penuh tentu akan dapat dengan mudah menerima pelajaran yang diberikan kepadanya, perhatian atau konsentrasi yang penuh dari peserta didik itu merupakan indikator adanya minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan oleh guru. Bila kegiatan belajar sesuai dengan minat peserta didik, maka kegiatan itu akan berjalan dengan baik, karena adanya daya tarik bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan tersebut. Berbeda dengan peserta didik yang tidak berminat dalam belajar, maka ia tidak akan terdorong untuk belajar karena tidak ada daya tarik baginya untuk melakukan kegiatan tersebut, terlebih pandangan para peserta didik untuk pelajaran yaitu sangat sulit karena siklus pembelajaran biologi yang begitu panjang dan kontinu serta saling berhubungan. Oleh karena itu untuk meningkatkan belajar peserta didik perlu ditingkatkan minat belajar peserta didiknya. Dapat kita kaitkan dengan pernyataannya M. Alisuf Sabri dalam buku Psikologi Pendidikan: Kaitannya dengan belajar, peserta didik yang berminat sikapnya senang kepada pelajaran akan tampak terdorong terus untuk belajar, berbeda dengan peserta didik yang sikapnya hanya menerima kepada pelajaran mereka hanya tergerak untuk mau belajar tetapi sulit untuk terus tekun, karena tidak ada pendorongnya. Oleh karena itu peranan minat dalam belajar sangat besar kuat yaitu minat Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match dalam Meningkatkan Minat Belajar | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 20-27 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 akan berperan sebagai “Motivating Force” Sabri, 1995. Dari keterangan diatas, dapat dijelaskan peserta didik yang memiliki minat belajar dengan peserta didik yang tidak memiliki minat belajar akan terdapat perbedaan, perbedaan tersebut tampak jelas dengan ketekunan yang terus- menerus. Peserta didik yang memiliki minat belajar maka ia akan terus tekun ketika belajar sedangkan peserta didik yang tidak memiliki minat belajar walaupun ia mau untuk belajar akan tetapi ia tidak terus untuk tekun dalam belajar. Begitu pula dalam proses belajar mengajar dalam mata pelajaran biologi. Dalam belajar biologi, banyak sekali peserta didik yang masih kurang memerhatikan pelajaran karena masih kurangnya minat peserta didik dalam pembelajaran biologi. Dalam pembelajaran biologi terdapat siklus-siklus, tahapan-tahapan atau proses-proses yang harus dipahami, dimana antara siklus itu berkontinu atau berhubungan satu sama lainya. Dalam hal ini biasanya guru biologi akan lebih sering menggunakan proyektor dalam pembelajaran, sehingga biasanya mendatangkan kebosanan kepada peserta didik, dan apabila terjadi kebosanan pada peserta didik maka akan berpengaruh kepada minat peserta didik tersebut untuk membaca dan mengikuti proses belajar. Dalam proses belajar mengajar salah satu faktor yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan minat belajar peserta didik, salah satu faktornya yaitu model pembelajaran. Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam pembelajaran. Salah satu dari model pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe make a match. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dimulai dari peserta didik yang mencari pasangan kartu berupa pertanyaan dan jawaban Lorna, 1994. Peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu yang ditentukan akan diberikan point. Keunggulan dari model pembelajaran ini adalah dapat digunakan untuk semua mata pelajaran dan untuk anak semua usia anak didik. Penerapan model pembelajaraan kooperatif tipe make a match ini memungkinkan peserta didik mencari pasangan sambil belajar mengenai konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan Saputra, dkk., 2000. Berdasarkan hasil observasi kasar peneliti di kelas 11 IPA SMAN 11 Tangerang Selatan, peserta didik menganggap bahwa biologi merupakan pelajaran yang membosankan dan agak sulit karena hampir sebagian besar dibutuhkan hafalan dalam memahaminya. Sehingga mereka menunjukkan sikap yang acuh, dan hanya beberapa orang yang aktif ketika proses pembelajaran sedang berlangsung, dan dampak yang akan timbul yaitu kurangnya minat peserta didik dalam mempelajari biologi. Hal ini disebabkan karena masih banyak guru yang mengajarkan mata pelajaran biologi dengan menggunakan metode pembelajaran lama yaitu metode ceramah, yaitu memindahkan informasi dan ilmu pengetahuan kepada peserta didik hanya melalui dimensi pendengaran, konsep-konsep yang diperoleh peserta didik tidak melalui proses kerja maupun penerapan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Guru kurang membangkitkan motivasi peserta didik dan kurang memusatkan perhatian belajar peserta didik. Kemungkinan lain yang terjadi adalah kurangnya penggunaan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam proses pemindahan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman yang tidak dapat diajarkan hanya dengan metode ceramah saja. Maka dari itu dalam pembelajaran harus adanya variasi kegiatan seperti menggunakan model pembelajaran yang nyaman dan menggembirakan bagi peserta didik agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Eny R., Sukarlin, Annisaa M. K. P |The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 21-27 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 Pembelajaran kooperatif tipe make a match adalah suatu model pembelajaran yang lebih mengedepankan kepada aktivitas peserta didik dalam mencari dan mengolah informasi yang telah mereka dapatkan dari berbagai sumber. Model pembelajaran tipe make a match ini diupayakan menjadi model yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran, karena model ini dikemas dalam bentuk model yang menyenangkan sehingga para guru diharapkan untuk mencoba menerapkan model ini dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin meneliti lebih dalam lagi dan menyusun laporan penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Dalam Meningkatkan Minat Belajar Peserta Didik Pada Konsep Sistem Hormon” METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas atau yang lebih dikenal dengan Classroom Action Research.Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. Penelitian ini diawali dengan menggunakan penelitian pendahuluan pra penelitian dan yang nantinya akan dilanjutkan dengan siklus. Dalam hal ini, yang dimaksud siklus adalah satu putaran kegiatan bertuntun yang kembali ke langkah semula. Dimana setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu: Perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Penelitian ini di desain menjadi dua siklus, siklus pertama dilakukan dalam dua pertemuan dalam satu minggu. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Berdasarkan gambar 1 menurut indikator keberhasilan aktivitas belajar peserta didik telah mencapai kriteria yang “sangat baik” terlihat bahwa aktivitas belajar peserta didik selalu mempunyai kriteria “sangat baik” dan persentase skor yang dihasilkan selama berlangsungnya siklus I dan II mengalami peningkatan semakin berjalannya waktu aktivitas belajar peserta didik semakin meningkat. Gambar 1. Hasil Aktivitas Belajar Peserta Didik Gambar 2. Hasil Belajar Peserta Didik Siklus I dan Siklus II Berdasarkan gambar 2 menunjukkan bahwa hasil belajar peserta didik pada siklus I masih belum mencapai target yang telah ditetapkan. Dari 29 peserta didikhanya 55 yang memperoleh nilai KKM maupun nilai di atas KKM, sedangkan target yang telah ditetapkan adalah sebesar 90. Dari sisi perolehan nilai, satu orang peserta didik memperoleh nilai tertinggi 90 dan dua orang peserta didik yang memperoleh nilai terendah 55. Sedangkan rata-rata nilai peserta didik pada siklus I secara keseluruhan yaitu 72,8. Sedangkan pada siklus II jumlah peserta didik yang tuntas karena memperoleh nilai yang memenuhi KKM, adalah sebesar 90 ini berarti menunjukkan terjadinya peningkatan sebesar 35 dibandingkan dengan siklus I yang hanya mencapai 55 rata-rata hasil belajar peserta didik pada siklus II meningkat menjadi 84,1. Berdasarkan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, persentase sebesar 90 tersebut dapat dikatakan memenuhi target karena sesuai Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match dalam Meningkatkan Minat Belajar | The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 22-27 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8 dengan indikator keberhasilan yaitu, apabila tingkat ketercapaian 85 lebih besar dari 85 maka penerapan model pembelajaran make a match materi sistem hormon pada manusia bisa dikatakan berhasil. Tabel 1. Perbandingan Tingkat Keberhasilan Tindakan Siklus I dan Siklus II No Data Hasil Penelitian Siklus I Siklus II 1. Hasil Belajar Peserta Didik 55 90 2. Aktivitas Belajar Peserta Didik 80-86,6 96,6 Dari tabel 1 di atas, tampak bahwa terjadi peningkatan yang signifikan dalam tingkat keberhasilan tindakan kelas dari siklus I terhadap siklus II. Pada data tentang hasil belajar peserta didik terlihat ada peningkatan sebesar 35 yakni dari 55 pada siklus I menjadi 90 pada siklus II, sedangkan data untuk aktivitas belajar peserta didik juga mengalami peningkatan sebesar 10, yakni dari 80-86,6 pada siklus I menjadi 96,6 pada siklus II. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan aktivitas, minat dan hasil belajar peserta didik, khususnya dalam materi sistem hormon. Pembahasan 1. Siklus I Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan variabel terikatnya adalah minat belajar peserta didik. Penelitian Tindakan Kelas PTK ini dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus dilaksanakan dalam dua pertemuan. Berdasarkan refleksi yang dilakukan, pelaksanaan tindakan pada siklus I berjalan kurang optimal sehingga hasilnya pun tidak begitu maksimal, hal ini dapat terlihat dari hasil belajar peserta didik pada saat siklus I. Kekurang optimalan tersebut disebabkan adanya beberapa kelemahan. Pertama, guru pamong kurang berpengalaman dalam mengimplementasikan langkah-langkah model pembelajaran make a match, karena perlu diketahui bahwa guru lebih sering menggunakan metode pembelajaran ceramah dalam kegiatan pembelajaran sebelumnya. Penerapan model pembelajaran make a match dalam PTK ini adalah untuk yang pertama kalinya dilakukan oleh guru sehingga dalam pelaksanaannya masih terlihat kaku dan canggung. Kedua, peserta didik terbiasa dengan model pembelajaran konvensional, oleh karena itu ketika pembelajaran menggunakan model pembelajaran make a match mereka masih mengalami kebingungan. Sama seperti halnya guru bagi para peserta didik pun, mengikuti pembelajaran dengan model make a match ini adalah untuk yang pertama kalinya. Masih banyak peserta didik yang belum memahami model pembelajaran tersebut. Dengan kendala dan kelemahan tersebut, maka pelaksanaan tindakan pada siklus I menjadi kurang optimal. Kurang optimalnya pelaksanaan tindakan ini berdampak pada hasil hasil belajar dan minat belajar yang masih kurang maksimal pula. Hal ini tampak pada aspek-aspek yang diteliti pada PTK ini yaitu:

a. Nilai Hasil Belajar Peserta Didik

Pada siklus I ini, persentasenya hanya 55 dari 29 peserta didik yang dapat dikategorikan tuntas karena memperoleh nilai yang memenuhi KKM. Berdasarkan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan sebelumnya pada bab 3, persentase nilai hasil belajar peserta didik pada siklus I sebesar 55 apabila tingkat ketercapaian 85 kurang dari 85 maka penerapan model pembelajaran make a match pada materi sistem hormon belum bisa dikatakan efektif. Eny R., Sukarlin, Annisaa M. K. P |The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 23-27 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8

b. Nilai Aktivitas Belajar Peserta Didik

Pada siklus I ini, jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan ke dalam 5 lima aspek pengamatan yang meliputi: gairahkemauanantusias, perasaan suka peserta didik terhadap proses pembelajaran, keaktifan peserta didik selama kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, perhatian peserta didik, serta partisipasi peserta didik selama proses pembelajaran, sebesar 80-86,6 dengan demikian mengacu pada indikator keberhasilan yang telah ditetapkan pada bab 3 bahwa persentase sebesar 80-86,6 ini termasuk ke dalam kategori “Sangat Baik”. Secara keseluruhan, perolehan tersebut belum memenuhi target yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa target setiap aspek yang diteliti, yaitu nilai hasil belajar peserta didik, nilai aktivitas belajar peserta didik, dan nilai angket minat belajar peserta didik adalah persenan total keseluruhan aspek. Kurang berhasilnya pelaksanaan tindakan pada siklus I tersebut tidak terlepas dari kendala dan kelemahan baik yang berasal dari guru pamong, peneliti maupun peserta didik. Oleh karena itu, peneliti dan guru pamong berusaha melakukan langkah-langkah perbaikan untuk diimplementasikan pada siklus II. Langkah-langkah perbaikan tersebut terutama didasarkan atas teori pengelolaan kelas classroom management. Max Weber sebagaimana dikutip oleh Elinady Dzar Al- Ghifari Dzar, 2013. Menurut teori ini, pengelolaan kelas bertujuan agar setiap anak dapat belajar dengan tertib sehingga tercapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, guru harus memiliki keterampilan sebagai berikut: 1 Menunjukkan Sikap Tanggap Keterampilan ini menggambarkan tingkah laku guru yang memperhatikan peserta didiknya sehingga peserta didik merasa bahwa guru hadir bersama mereka. 2 Membagi Perhatian Pengelolaan kelas yang efektif terjadi bila guru mampu membagi perhatiannya kepada beberapa kegiatan yang berlangsung dalam waktu yang sama. 3 Memusatkan Perhatian Kelompok Seorang guru harus mampu memusatkan perhatian kelompok terhadap tugas-tugas yang diberikan sehingga peserta didik tetap terlibat dalam kegiatan belajar. 4 Memberikan Petunjuk yang Jelas Petunjuk yang jelas sangat diperlukan oleh peserta didik sehingga peserta didik tidak mengalami kebingungan dalam mengerjakan tugas atau perintah dari guru. 5 Menegur Peserta didik yang telah mengganggu proses pembelajaran dapat diberi teguran. Teguran harus tegas dan jelas namun menghindari perkataan kasar atau menghina. Teguran ini dapat disepakati bentuknya ketika membuat aturan-aturan tertentu antara peserta didik dan guru yang biasanya dilakukan pada awal pembelajaran. 6 Memberikan Penguatan Segala tingkah laku hendaknya diberi penguatan baik itu penguatan positif maupun negatif dan teguran pada perilaku peserta didik yang telah menyimpang. Berdasarkan teori tersebut, maka langkah- langkah perbaikan yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1 Mendorong kemandirian, inisiatif, dan interaksi peserta didik dalam belajar Kemandirian, inisiatif, dan interaksi peserta didik baik dengan guru maupun antar sesama