75.39 Prosiding Seminar Nasional "The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran"
Zulfiani, Baiq H. S., Lisnawati
|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 5-6 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
Gambar 3. Hasil LKPS praktikum uji zat makanan kelompok peserta didik berbasis free inquiry dengan kategori sedang
Pada pertemuan pertama yaitu praktikum mengenai uji zat makanan, menunjukkan bahwa
tahapan yang memiliki pencapaian skor terendah adalah tahapan merumuskan hipotesis dengan
skor 66,67. Hal tersebut dikarenakan untuk merumuskan hipotesis peserta didik diminta
untuk mengajukan perkiraan penyebab sesuatu terjadi yang harus diungkapkan kebenarannya
dengan cara pemecahan masalah, karena dalam rumusan hipotesis biasanya terkandung cara
untuk mengujinya Andri, dkk, 2012. Sedangkan tahapan yang memiliki skor tinggi yaitu tahapan
merumuskan
masalah, memprediksi,
mengumpulkan data, merumuskan kesimpulan dan menjawab pertanyaan, dengan nilai rata-rata
83,33.Pada pertemuan kedua yaitu praktikum mengenai uji vitamin c, menunjukkan bahwa
tahapan yang memiliki pencapaian skor terendah adalah tahapan memprediksi, namun tahapan
tersebut sebenarnya tidak termasuk ke dalam tahapan dari free inquiry, melainkan hanya
tahapan pengembangan dari aspek keterampilan proses sains. Sehingga tahapan dari free inquiry
yang terendah yaitu merumuskan kesimpulan dengan nilai 72,22. Sedangkan tahapan dengan
pencapaian skor tertinggi yaitu pada tahapan merumuskan masalah, merumuskan hipotesis,
dan mengumpulkan data.
Berdasarakan pencapaian skor tersebut, menunjukkan bahwa peserta didik sebenarnya
dapat diberikan kekebasan dan berpartisipasi aktif pada saat proses pembelajaran berlangsung
dalam memahami konsep sistem pencernaan makanan,
sehingga kemandirian
dan kreativitasnya dapat berkembang walaupun
belum sepenuhnya.
Tetapi harus
tetap memperhatikan kesesuaian konsep yang akan
digunakan dan kondisi peserta didik terkait dengan kemandirian serta pengalaman dalam
melakukan praktikum agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuan pembelajaran yang
diharapkan. Selain itu, peserta didik akan lebih memahami konsep sistem pencernaan makanan
dikarenakan peserta didik menemukan langsung pengetahuannya melalui proses penyelidikan
yang telah dilakukannya.
SIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan dari hasil analisis data penelitian yang telah dilakukan,
yaitu bahwa secara keseluruhan rerata perolehan skor LKPS berbasis free inquiry peserta didik
sudah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal KKM, yaitu 75,39. Selain itu, model
pembelajaran free inquiry juga dapat digunakan untuk mengaktifkan peserta didik pada proses
pembelajaran biologi konsep sistem pencernaan makanan kelas XI SMA dan dapat dapat
mengembangkan keterampilan proses sains, kemandirian, serta kreativitas peserta didik.
Pembelajaran Biologi Berbasis Free Inquiry
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 6-6
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
DAFTAR PUSTAKA
Andri, dkk. Peningkatan Keterampilan Prediksi dan Merumuskan Hipotesis Melalui Model
Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Jurnal Pendidikan Kimia. Universitas Lampung,
Lampung. 2012.
Eva Flora Siagian, Roida dan Maya Nurfitriani. Metode
Pembelajaran Inquiry
dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar
Matematika Ditinjau dari Kreativitas Belajar. Jurnal Formatif. ISSN: 2088-
351X.
Hamdiyati, Yanti. Cara Membuat Kajian Pustaka. Pelatihan Penelitian Tindakan
Kelas PTK bagi Guru-guru MGMP Kota Bandung.
Universitas Pendidikan
Indonesia. 2008. Hanauer, D.I., et. all
.” Active Assessment: Assessing Scientific Inquiry, Capter 2
Conceptualizing Scientific
Inquiry ”.
Mentoring in Academia and Industry 2, DOI
10.1007978-0-387-89649-6_2, ISSBN: 978-0-387-89648-9. 2009.
Lutfi, Muchtar. “Pemahaman Guru Mata Pelajaran
IPA MTs
Se-Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara Tentang
Strategi Pembelajaran Inkuiri”. Skripsi pada Fakultas Tarbiyah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang: 2011.
Majid, Abdul. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Marheni, Ni Putu, dkk, Studi Komparasi Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Dan
Model Pembelajaran
Inkuiri Bebas
Terhadap Hasil Belajar dan Keterampilan Proses Sains Siswa Pada Pembelajaran
Sains SMP. Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program
Studi IPA. Vol 4. 2014.
Mudalara, I Putu. “Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Bebas Terhadap Hasil
Belajar Kimia Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Gianyar Ditinjau Dari Sikap
Ilmiah”. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, Gianyar:
2012.
Sanjaya, Wina.
Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikaan. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Sugiyono. Metode
Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R D. Bandung:
Alfabeta, 2013. Tirtarahardja, Umar dan S. L. La Sulo. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008.
Trianto. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Zulfiani, dkk. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,
2009.
Seminar Nasional Pendidikan IPA-Biologi FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016
Copyright © 2016, ISBN 978-602-73551-1-8
PENINGKATAN BERPIKIR KREATIF SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT STM PADA
KONSEP PERUBAHAN LINGKUNGAN DAN DAUR ULANG LIMBAH Mutia Ulfah
1
, Nengsih Juanengsih
2
, Meiry Fadilah Noor
3
Program Studi Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email koresponden:
1
mutiaulfahbio2011gmail.com,
2
nengsih.juanengsihuinjkt.ac.id,
3
meifnoorgmail.com
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan berpikir kreatif siswa melalui model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat STM pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang
limbah. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain the one group pretest- posttest design. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMAN 1 Parung Tahun Ajaran
20152016. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini yaitu siswa kelas X MIA 4 yang berjumlah 34 orang. Instrumen penelitian berupa soal uraian
sebanyak 13 soal, lembar observasi siswa, lembar observasi guru dan lembar kerja siswa LKS berbasis STM sebagai pendukung. Hasil penelitian menunjukkan pada posttest 97,06 siswa memperoleh nilai
diatas KKM dengan nilai rata-rata sebesar 86,14. Nilai rata-rata N-gain sebesar 0,73 menunjukkan kategori tinggi dengan pencapaian 67,65 siswa berada pada kategori N-gain tinggi dan 32,35 siswa berada pada
kategori N-gain sedang. Berdasarkan uji paired sample t-test diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih
kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran
sains teknologi masyarakat STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah.
Kata Kunci : berpikir kreatif; sains teknologi masyarakat STM; perubahan lingkungan dan daur
ulang limbah
Abstract
This research aims at determining the increase of students’ creative thinking by using Science Technology Society STM learning model on the concept of environmental change and waste
recycling. This research was quasi experiment with the one group pretest-posttest design. The population of this research is all student at SMAN 1 Parung academic year 20152016. The
sampling of this research was taken through purposive sampling. The sample of this reasearch is class X MIA 4 with 34 students. The instruments of this research were an essay test consists of 13
questions, student observation sheet, teacher observation sheet, and student worksheet based STM as a support. The result showed 97,06 students get score above KKM with an average
score is 86,14. The average score of the N-gain is 0.73 that showed high category, with 67.65 of students in the high category of N-gain and 32.35 of students in the medium category of N-
gain. Based on paired samples t-test, the significance value 0.000 is less than an alpha value 0.05
sig α. This suggests that there were differences of students’ creative thinking on a pretest and posttest, which means using science society technology STM learning model can increasing
students creative thinking on the concept of environmental change and waste recycling.
Keywords : creative thinking; science technology society STS; environmental change and waste
recycling
PENDAHULUAN
Globalisasi mempunyai pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan
tentang perubahan dunia yang akan berlangsung Susanti,
2015. Era
globalisasi menjadi
kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu,
Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 8-16
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
diperlukan peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing sebagai kunci
tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan serta
mampu memanfaatkan segala macam peluang di era globalisasi tersebut UU RI No.17, 2007.
Indonesia akan mampu menangkap peluang dan menghadapi era globalisasi jika memiliki
sumber daya manusia yang kompeten, kreatif, dan inovatif. Oleh karena itu, diperlukan
peningkatan
kualitas pendidikan
untuk menciptakan sumber daya manusia yang kreatif
dan inovatif, karena salah satu lembaga yang paling berperan dalam mempersiapkan dan
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah sekolah.
Reformasi pendidikan pun dilakukan dengan
menerapkan serangkaian
prinsip penyelenggaraan pendidikan. Prinsip yang saat
ini diterapkan seperti dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu, dari guru
sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi berbasis aneka sumber belajar dan prinsip-prinsip
lainnya yang sesuai dengan standar kompetensi lulusan dan standar isi Permen Diknas RI No. 65,
2013. Selain itu, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mendikbud Anies Baswedan,
“pembelajaran yang relevan dengan kehidupan begitu penting diterapkan. Hal itu bertujuan untuk
mewujudkan
iklim pendidikan
yang menyenangkan bagi siswa. Pendidikan dengan
iklim yang menyenangkan dapat meningkatkan daya imajinasi siswa supaya berpikir kreatif”
Kompas, 2015. Dengan demikian, melalui pembelajaran
yang berorientasi
pada permasalahan kehidupan sehari-hari real world
problem dapat
membantu meningkatkan
pengembangan berpikir kreatif siswa. Berpikir
kreatif adalah
kecakapan mengolah pikiran untuk menghasilkan ide-ide
baru dan merupakan salah satu kompetensi yang sangat penting dalam membangun pilar belajar
yang bernilai untuk membangun daya kompetisi bangsa dalam meningkatkan mutu produk
pendidikan Rahmat,
2012. Kemampuan
berpikir kreatif dapat dicapai dengan cara membiasakan siswa untuk melakukan pemecahan
masalah. Proses pemecahan masalah dapat mendorong siswa untuk memikirkan solusi-solusi
alternatif dalam memecahkan permasalahan tersebut. Sehingga siswa dapat menciptakan
banyak ide tentang sebuah topik tertentu Susanto, 2014. Oleh karena itu, guru harus
membiasakan siswa untuk melakukan pemecahan masalah agar kemampuan berpikir kreatif siswa
dapat terlatih. Siswa juga menjadi lebih aktif dalam belajar dan mampu mengembangkan
potensinya secara mandiri.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk menciptakan iklim pembelajaran
yang mampu mengembangkan potensi siswa agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Proses
pembelajaran pun harus berpusat pada siswa student center, sehingga siswa dapat terlibat
secara aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu sekolah yang dalam proses pembelajarannya
telah melibatkan siswa secara aktif adalah SMA Negeri 1 Parung yang berada di wilayah
kabupaten Bogor. Sekolah ini telah menerapkan kurikulum 2013 dalam proses pembelajarannya.
Hasil
wawancara di
sekolah tersebut
menunjukkan pembelajaran dilaksanakan dengan metode diskusi dan praktikum. Diskusi dilakukan
pada saat siswa melakukan presentasi. Sedangkan model pembelajaran yang biasa dilakukan adalah
model inkuiri yaitu dengan siswa melakukan praktikum.
Penilaian yang dilakukan di SMAN 1 Parung sudah sesuai dengan tuntutan kurikulum
2013 yaitu melakukan penilaian hasil belajar pada
ranah sikap
afektif, pengetahuan
kognitif, dan kinerja psikomotorik. Penilaian mengenai
berpikir kreatif
belum pernah
dilakukan. Hal ini dikarenakan belum adanya inovasi yang dilakukan oleh pihak guru untuk
Mutia U., Nengsih J., Meiry F. N.
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 9-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
memenuhi kebutuhan alat ukur atau instrumen yang sesuai dengan indikator berpikir kreatif
siswa. Padahal menurut Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2006, Standar Kompetensi Lulusan Satuan
Pendidikan SKL-SP SMA bertujuan untuk membangun dan menerapkan informasi dan
pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif serta menunjukkan kemampuan berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan Permen Diknas RI No.
23, 2006. Oleh karena itu, selain penilaian belajar dalam ranah sikap afektif, pengetahuan
kognitif, dan kinerja psikomotorik, penilaian berpikir kreatif juga perlu dilakukan sebagai
pengukuran dalam mencapai standar kompetensi kelulusan.
Hasil akhir dari proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh ketepatan model pembelajaran
yang digunakan dengan konsep yang diajarkan. Joyce dan Weil dalam Rusman berpendapat
bahwa, model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola
yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum rencana pembelajaran
jangka panjang,
merancang bahan-bahan
pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain Rusman, 2012. Proses
pembelajaran dilakukan untuk mencapai standar kompetensi kelulusan yang telah ditetapkan, dan
kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu dari tujuan dalam standar kompetensi lulusan
tersebut. Sehingga, untuk mencapai tujuan tersebut dipilih konsep dan model pembelajaran
yang dapat melatih kemampuan berpikir kreatif siswa.
Model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat STM dapat menjadi alternatif untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Peningkatan berpikir kreatif tersebut dibuktikan
oleh penelitian yang dilakukan oleh Smarabawa, dkk.,
yang menyatakan
bahwa model
pembelajaran STM lebih unggul dibandingkan model pembelajaran langsung dalam hal
keterampilan berpikir kreatif Smarabawa dkk, 2013. STM merupakan suatu usaha untuk
menyajikan IPA
dengan mempergunakan
masalah-masalah dari dunia nyata. STM adalah suatu pendekatan yang mencakup seluruh aspek
pendidikan yaitu tujuan, topikmasalah yang akan dieksplorasi, strategi pembelajaran, evaluasi dan
persiapankinerja guru Zulfiani dkk, 2009.
Konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah pada kelas X SMA merupakan salah
satu konsep yang sesuai untuk menerapkan model pembelajaran STM. Hal ini dikarenakan,
permasalahan terkait perubahan lingkungan dan limbah masih menjadi permasalahan yang krusial
hingga saat ini. Permasalahan terkait perubahan lingkungan dan daur ulang limbah juga
merupakan permasalahan yang sering ditemui oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, limbah yang dihasilkan baik dari industri
ataupun rumah
tangga yang
pengelolaanya masih belum tepat dan dapat menganggu
keseimbangan lingkungan.
Penggunaan model STM akan melatih siswa dalam menganalisis permasalahan lingkungan
yang terjadi, mencari solusi yang kreatif serta mampu mengaitkannya dengan perkembangan
sains
dan teknologi
untuk mengatasi
permasalahan tersebut.
Sehingga dengan
menggunakan model
pembelajaran STM
diharapkan permasalahan terkait limbah atau sampah ini mendapatkan solusi yang tepat
bahkan dapat menjadi peluang bisnis baru.
METODE
Penelitian dilaksanakan
dengan menggunakan metode kuasi eksperimen atau
eksperimen semu dengan desain the one group pretest-posttest
design. Penelitian
kuasi eksperimen merupakan metode penelitian yang
tidak memungkinkan
peneliti melakukan
pengontrolan secara penuh terhadap sampel penelitian.
Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 10-16
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMAN 1 Parung tahun ajaran 20152016.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu purposive sampling. Sampel dalam
penelitian ini yaitu siswa kelas X MIA 4 yang berjumlah 34 orang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti untuk mengetahui berpikir kreatif
siswa yang telah diajar dengan menggunakan model STM yaitu dengan menggunakan tes
subjektif berupa soal uraian. Soal uraian disusun berdasarkan komponen berpikir kreatif yang
hendak dicapai. Selama proses penelitian, peneliti melakukan dua kali tes yaitu pretest tes awal
untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum diberikan perlakuan dan posttest tes
akhir untuk mengetahui hasil dari perlakuan yang telah diberikan. Soal yang digunakan pada
saat pretest dan posttest merupakan soal yang sama agar tidak ada pengaruh perbedaan kualitas.
Selain
menggunakan tes,
peneliti juga
menggunakan teknik nontes yaitu berupa lembar kerja siswa LKS dan lembar observasi. Lembar
kerja siswa digunakan sebagai data pendukung untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif
siswa selama diberikan perlakuan. Sedangkan lembar observasi guru dan lembar observasi
siswa digunakan untuk menilai aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Analisis data merupakan tahap penting, karena
dengan melakukan
analisis data,
menjadikan data tersebut dapat bermakna dan berguna dalam pemecahan masalah penelitian.
Sebelum melakukan analisis data, peneliti memeriksa kembali kelengkapan data dari
berbagai sumber, kemudian analisis data dilakukan pada semua data yang sudah terkumpul
yaitu : kemampuan berpikir kreatif, hasil observasi aktivitas peserta didik, hasil observasi
aktivitas guru, dan lembar kerja siswa berbasis STM.
Selanjutnya, tindakan yang telah dilakukan dianalisis efektivitasnya dengan menggunakan
rumus Gain. Gain adalah selisih antara posttest dengan pretest. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui peningkatan berpikir kreatif siswa yang diperoleh setelah kegiatan pembelajaran.
Untuk menghitung N-Gain, maka menggunakan rumus sebagai berikut Meltzer, 2002.
� − ��� = �
� − �
� �
� � − � �
Hasil dari
perhitungan dengan
menggunakan rumus tersebut dibandingkan dengan kriteria yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kategori Nilai N-Gain
Nilai N-Gain Kategori
g 0.7 Tinggi
0,3 ≤ g ≤ 0,7 Sedang
g 0,3 Rendah
Selain itu, dilakukan uji paired sample t test dengan menggunakan aplikasi SPSS. 20 terhadap
data pretest dan posttest untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh penggunaan
model pembelajaran STM terhadap berpikir kreatif
siswa. Pedoman pengambilan keputusan dalam uji paired sample t test berdasarkan nilai
signifikansi dengan spss yaitu: 1 jika nilai probabilitas atau signifikansi 2-tailed 0,05,
maka terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan
posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM dapat meningkatkan berpikir
kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. 2 Sebaliknya, jika nilai
probabilitas atau signifikansi 2-tailed 0,05, maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan model
pembelajaran STM tidak dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan
lingkungan dan daur ulang limbah.
Mutia U., Nengsih J., Meiry F. N.
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 11-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Hasil penelitian menjelaskan deskripsi umum dari data yang telah diperoleh. Data-data
yang dideskripsikan merupakan data hasil pretest dan posttest, lembar kerja siswa LKS, lembar
observasi aktivitas siswa dan lembar observasi aktivitas guru. Berikut data pretest dan posttest
berpikir kreatif siswa kelas X MIA 4.
Tabel 2. Data Statistik Pretest dan Posttest
Data Kelas Eksperimen
Pretest Posttest
Nilai Terendah 30,77
67,31 Nilai Tertinggi
65,38 96,15
Nilai rata-rata 50,11
86,14 Median
50,00 86,54
Modus 50,00
88,46 Standar Deviasi
7,07 6,19
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata pretest yang diperoleh pada
kelas eksperimen adalah 50,11. Sedangkan pada posttest nilai rata-rata sebesar 86,14. Terlihat
bahwa setelah dilakukan pembelajaran dengan model pembelajaran STM kemampuan berpikir
kreatif siswa mengalami peningkatan sebesar 36,03 poin. Kemudian tindakan yang telah
dilakukan dianalisis efektivitasnya dengan menggunakan rumus Gain. Berdasarkan hasil
perhitungan N-gain diperoleh data pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Hasil N-Gain
Normal Gain N-Gain Kelas Eksperimen
Nilai Terendah 0,37
Nilai Tertinggi 0,89
Nilai rata-rata 0,73
Kategori Tinggi
Berdasarkan hasil N-gain pada Tabel 3, nilai rata-rata N-gain siswa pada kelas
eksperimen yaitu sebesar 0,73 yang menunjukkan kategori tinggi. Hal itu menunjukkan, bahwa
siswa pada kelas tersebut mengalami peningkatan kemampuan berpikir kreatif. Persentase jumlah
siswa pada N-gain ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Persentase N-Gain
Kategori N-Gain Kelas Eksperimen
Tinggi 67,65
Sedang 32,35
Rendah 0,00
Berdasarkan Tabel 4, hasil N-gain menunjukkan semua siswa berada pada kategori
sedang dan tinggi. Siswa yang berada pada kategori N-gain tinggi sebanyak 67,65 lebih
banyak dibandingkan siswa yang berada pada kategori sedang yaitu 32,35. Hal ini,
menunjukkan bahwa siswa yang mengalami rpeningkatan kemampuan berpikir kreatif yang
tinggi lebih banyak dibandingkan siswa yang mengalami peningkatan kemampuan berpikir
kreatif yang sedang.
Berdasarkan perhitungan persentase rata- rata ketercapaian komponen berpikir kreatif pada
kelas eksperimen dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Persentase Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada Pretest, Posttest dan N-Gain
Komponen Berpikir Kreatif Pretest
Posttest N-Gain
Eksperimen Eksperimen
Eksperimen
Fluency 67,65
92,89 0,73
Flexibility 43,01
93,75 0,89
Originality 64,71
91,54 0,77
Elaboration 38,97
83,33 0,72
Evaluation 38,73
73,53 0,56
Rata-Rata 50,61
87,01 0,73
Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 12-16
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
Tabel 5
menunjukkan persentase
pencapaian berpikir kreatif pada setiap komponen berdasarkan data pretest, posttest dan N-Gain.
Terlihat bahwa
terdapat peningkatan
ketercapaian komponen berpikir kreatif dari pretest ke posttest. Terlihat rata-rata persentase
ketercapaian berpikir kreatif meningkat dari 50,61 menjadi 87,01. Nilai N-gain pada
empat kemampuan berpikir kreatif yaitu fluency, flexibility, originality, dan elaboration berada
pada kategori tinggi. Kemampuan berpikir kreatif yang masih berada pada kategori sedang yaitu
evaluation. Namun, secara keseluruhan nilai rata- rata N-gain pada kelas eksperimen tersebut sudah
termasuk dalam kategori tinggi.
Pada perhitungan persentase rata-rata ketercapaian komponen berpikir kreatif dalam
LKS dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Persentase Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada LKS Berbasis STM
Komponen Berpikir Kreatif
Kelas Eksperimen Rata-rata
Fluency 91,18
Flexibility 100,00
Originality 78,49
Elaboration 81,13
Evaluation 81,62
Rata-Rata 86,48
Tabel 6
menunjukkan persentase
pencapaian berpikir kreatif pada setiap komponen berdasarkan hasil kerja kelompok belajar siswa
dalam mengerjakan LKS berbasis STM. Terlihat bahwa ketercapaian paling tinggi yaitu pada
komponen flexibility, sedangkan paling rendah pada komponen originality. Namun, secara
keseluruhan
nilai rata-rata
ketercapaian komponen berpikir kreatif pada LKS STM
menunjukkan hasil yang baik yaitu 86,48. Hasil perhitungan persentase rata-rata
ketercapaian komponen
berpikir kreatif
berdasarkan aktivitas siswa selama proses pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 7 berikut
ini.
Tabel 7. Persentase Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif Berdasarkan Aktivitas Siswa Selama
Proses Pembelajaran
Komponen Berpikir Kreatif
Kelas Eksperimen Rata-rata
Fluency 75,00
Flexibility 75,00
Originality 62,50
Elaboration 70,83
Evaluation 66,67
Rata-Rata 70,00
Berdasarkan data pada Tabel 7, terlihat bahwa
rata-rata persentase
ketercapaian komponen berpikir kreatif berdasarkan aktivitas
siswa selama proses pembelajaran adalah 70,00. Terlihat pada kelas eksperimen ketercapaian
persentase tertinggi terdapat pada komponen fluency dan flexibility dengan ketercapaian
persentase sebesar 75. Sedangkan ketercapaian persentase terendah terdapat pada komponen
originality yaitu sebesar 62,50.
Hasil persentase keterlaksanaan aktivitas guru dalam proses pembelajaran menunjukkan
bahwa persentase keterlaksanaan aktivitas guru selama proses pembelajaran dengan model
pembelajaran STM yaitu semua tahapan dalam proses pembelajaran telah guru laksanakan.
Sehingga dapat terlihat bahwa persentase keterlaksanakan aktivitas guru dalam kegiatan
pembelajaran
dengan model
STM pada
pertemuan pertama dan kedua telah mencapai 100.
Berdasarkan hasil uji prasyarat diperoleh hasil uji normalitas 0,571 untuk data pretest dan
0,536 untuk data posttest lebih besar dari nilai alfa sebesar 0,05 sig
α. Dengan demikian, data berdistribusi normal. Untuk uji homogenitas
diperoleh hasil 0,190 lebih besar dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Dengan demikian, data
pretest dan posttest homogen. Selanjutnya untuk hasil uji paired sample t-test diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan
Mutia U., Nengsih J., Meiry F. N.
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 13-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
posttest yang artinya penggunaan model pembelajaran STM dapat meningkatkan berpikir
kreatif siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah.
Pembahasan
Penelitian ini
dilakukan untuk
mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa melalui model pembelajaran sains
teknologi masyarakat STM. Penelitian untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir
kreatif, dilihat dari hasil N-gain. Terlihat bahwa rata-rata N-gain berada pada kategori tinggi yaitu
0,73 dengan pencapaian 67,65 siswa berada pada kategori tinggi dan 32,35 siswa berada
pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa setelah diberikan perlakuan, kelas
eksperimen tersebut menunjukkan kenaikan nilai yang
sangat signifikan.
Maka model
pembelajaran STM memiliki pengaruh yang baik di kelas eksperimen sehingga kelas tersebut
menunjukkan kenaikan nilai yang signifikan.
Hasil ini
dicapai karena
dalam penerapannya
model pembelajaran
STM menggunakan
permasalahan dalam
proses pembelajarannya. Pada model pembelajaran
STM masalah
yang diajukan
dengan memanfaatkan isu lingkungan dalam proses
pembelajaran. Sintaks pada model pembelajaran STM memberikan kesempatan siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya, karena siswa dilatih untuk mengungkapkan isu-isu sains
teknologi di masyarakat serta dilatih untuk mencari
jawaban atas
isu-isu tersebut
Smarabawa dkk, 2013. Berdasarkan ketercapaian persentase siswa
pada kelima komponen berpikir kreatif, terlihat adanya kenaikan yang sangat signifikan dari
pretest ke posttest. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Grafik Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada Pretest dan Posttest
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa adanya kenaikan yang signifikan persentase
ketercapaian komponen berpikir kreatif dari sebelum diberikan perlakuan dan sesudah
diberikan perlakuan. Terlihat bahwa pada posttest berpikir kreatif paling tinggi terdapat pada
komponen flexibility yaitu 93,75 dan paling rendah terdapat pada komponen evaluation yaitu
73,53. Namun, secara keseluruhan rata-rata persentase
ketercapaian berpikir
kreatif meningkat dari 50,61 menjadi 87,01. Hasil
ini didukung oleh data N-gain, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Grafik Ketercapaian Komponen Berpikir Kreatif pada N-Gain
Gambar 2, menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen
terlihat nilai
N-gain secara
keseluruhan berada pada kategori tinggi, terkecuali komponen evaluation yang berada
pada kategori sedang. Pada komponen fluency N- gain menunjukkan kategori tinggi yaitu 0,73. Hal
ini dikarenakan pada tahap awal invitasi model pembelajaran STM siswa diberikan kesempatan
untuk menyampaikan isu-isu atau permasalahan yang ada pada kehidupan sehari-hari, baik yang
mereka alami sendiri ataupun isu-isu atau
Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 14-16
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
permasalahan yang pernah mereka lihat. Hal ini juga didukung dengan persentase ketercapaian
pada LKS bahwa pada komponen fluency persentase
ketercapaian kelas
eksperimen tersebut juga tinggi yaitu sebesar 91,18.
Sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa pada komponen
fluency menjadi
terlatih dan
berdampak positif pada meningkatnya nilai mereka dari pretest ke posttest.
Komponen flexibility
memiliki ketercapaian N-gain yang paling tinggi yaitu
0,89. Hal
ini dikarenakan
pada model
pembelajaran STM siswa harus memberikan solusi atau gagasan terhadap suatu masalah
dengan mengaitkannya pada bidang sains, teknologi dan juga bagaimana penerapan ataupun
dampak dari sains dan teknologi itu bagi masyarakat. Siswa dituntut untuk lebih luwes
dalam menyikapi permasalahan dan mencari solusi atas permasalahan tersebut. Siswa dituntut
untuk melihat suatu permasalahan dan mencari solusinya dari berbagai sudut pandang. Hal ini
juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen flexibility
persentase ketercapaian yang sangat tinggi yaitu sebesar 100.
Pada komponen
originality N-gain
menunjukkan kategori tinggi yaitu 0,77. Hal ini dikarenakan pada model pembelajaran STM
siswa dilatih untuk dapat memberikan argumengagasan yang dikaitkan dengan bidang
sains dan teknologi, sehingga siswa dapat memberikan ide-ide baru yang dapat mereka
kaitkan baik dengan bidang sains, teknologi ataupun dengan integrasi dari keduanya. Hal ini
juga didukung dengan persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen originality
persentase ketercapaian juga menunjukkan hasil yang cukup tinggi yaitu 78,49.
Pada komponen elaboration N-gain menunjukkan kategori tinggi yaitu 0,72. Hal ini
dikarenakan pada model pembelajaran STM terdapat tahapan pemantapan konsep sehingga
siswa terlatih dalam proses berpikir memerinci elaboration. Hal ini juga didukung dengan
persentase ketercapaian pada LKS bahwa pada komponen elaboration persentase ketercapaian
juga menunjukkan hasil yang tinggi yaitu 81,13.
Pada komponen
evaluation N-gain
menunjukkan kategori sedang yaitu 0,56. Hal ini dikarenakan siswa merasa cukup kesulitan untuk
memberikan saran-saran dan alasan berdasarkan pendapatnya sendiri, namun harus tetap dikaitkan
dengan sains dan teknologi. Meskipun hasil N- gain berada pada kategori sedang, namun
persentase
ketercapaian pada
LKS pada
komponen evaluation menunjukkan persentase ketercapaian yang tinggi yaitu 81,62. Hal ini
dikarenakan siswa merasa lebih mudah untuk memberikan saran dan alasan jika bekerja secara
kelompok karena mereka bisa saling bertukar pendapat dalam memberikan saran serta alasan
dari suatu persoalan. Secara keseluruhan, terlihat bahwa penggunaan model pembelajaran STM
memiliki
pengaruh yang
baik dalam
meningkatkan berpikir kreatif siswa. Hasil observasi terhadap aktivitas siswa
selama proses pembelajaran menunjukkan bahwa perilaku siswa selama proses pembelajaran telah
memunculkan kelima komponen berpikir kreatif dengan rata-rata persentase ketermunculan
komponen berpikir kreatif pada aktivitas siswa sebesar 70. Hasil persentase keterlaksanaan
aktivitas guru dalam proses pembelajaran juga menunjukkan bahwa semua tahapan dalam proses
pembelajaran telah guru laksanakan. Sehingga dapat terlihat bahwa persentase keterlaksanakan
aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran dengan model STM pada pertemuan pertama dan
kedua telah mencapai 100. Sehingga hasil akhir dari penerapan model pembelajaran ini yaitu
terlihat adanya peningkatan berpikir kreatif siswa di kelas eksperimen tersebut.
Berdasarkan hasil uji paired sample t-test diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih
Mutia U., Nengsih J., Meiry F. N.
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 15-16 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan
model pembelajaran STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa pada konsep perubahan
lingkungan dan daur ulang limbah.
Sehingga dapat diketahui bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Heni Desianti, dkk., bahwa keterampilan berpikir kreatif siswa setelah belajar
dengan menggunakan perangkat pembelajaran IPA setting STM yang dikembangkan lebih baik
dari pada keterampilan berpikir kreatif siswa sebelum belajar dengan menggunakan perangkat
pembelajaran
IPA setting
STM yang
dikembangkan. Secara
umum, dimensi
keterampilan berpikir kreatif yang paling banyak mengalami peningkatan adalah berpikir lancar,
berpikir luwes, dan berpikir orisinil karena siswa lebih mudah memahami cara berpikir tersebut,
sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman siswa, sedangkan berpikir elaboratif
dan mengevaluasi tidak semua siswa bisa melakukannya dengan baik Desianti dkk, 2015.
Selanjutnya,
berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Smarabawa, dkk., bahwa skor
rata-rata setiap aspek berpikir kreatif pada model pembelajaran STM lebih tinggi dibandingkan
model
pembelajaran langsung.
Hasil ini
menunjukan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran
STM terhadap
keterampilan berpikir kreatif siswa Smarabawa dkk, 2013.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut terlihat bahwa model pembelajaran STM
memberikan pengaruh
yang baik
dalam meningkatkan berpikir kreatif siswa. Hal ini
dikarenakan model pembelajaran STM dalam tahapan pembelajarannya menuntun siswa untuk
memecahkan suatu permasalahan. Sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa pun terlatihkan
dengan menggunakan model pembelajaran STM ini.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan
bahwa penerapan
model pembelajaran sains teknologi masyarakat STM
pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah dapat meningkatkan berpikir kreatif
siswa. Adanya peningkatan berpikir kreatif siswa terlihat dari nilai posttest yang menunjukkan
97,06 siswa memperoleh nilai diatas KKM dengan nilai rata-rata sebesar 86,14. Selain itu,
rata-rata nilai N-gain siswa berada berada pada kategori tinggi yaitu 0,73 dengan pencapaian
67,65 siswa berada pada kategori N-gain tinggi dan 32,35 siswa berada pada kategori N-gain
sedang. Pada uji paired sample t-test juga diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih
kecil dari nilai alfa sebesar 0,05 sig α. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara berpikir kreatif siswa pada data pretest dan posttest yang artinya penggunaan
model pembelajaran sains teknologi masyarakat STM dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa
pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah.
SARAN
Penerapan model pembelajaran STM terbukti dapat meningkatkan berpikir kreatif
siswa pada konsep perubahan lingkungan dan daur ulang limbah. Maka kami sarankan agar
guru menjadikan penerapan model pembelajaran STM sebagai suatu alternatif dalam pembelajaran
pada konsep-konsep Biologi yang lain ataupun pada mata pelajaran yang lain dengan catatan
guru harus dapat menyesuaikan antara konsep yang akan diajarkan dengan langkah-langkah
yang terdapat dalam model pembelajaran tersebut untuk meningkatkan berpikir kreatif siswa.
Kegiatan penelitian sejenis ini perlu terus dilaksanakan baik dalam mata pelajaran Biologi
Peningkatan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Model Sains Teknologi Masyarakat STM
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 16-16
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
maupun mata pelajaran lainnya baik untuk memecahkan masalah yang muncul ataupun
untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Desianti, N. W. Heni, dkk. 2015. Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA dengan
Setting Sains Teknologi Masyarakat untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains
dan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMP. e-Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha, 5, h. 9- 10.
Kompas. 2015. Mendikbud: Guru Jangan Tertutup saat Memberi Pelajaran. Diakses
dari http:edukasi.kompas.comread2015040
807300021Mendikbud.Guru.Jangan.Tert utup.saat.Memberi.Pelajaran. 20 Maret
2016
Meltzer, David E. 2002. The Relationship between mathematics preparation and
conceptual learning gains in physics: A possible “hidden variable” in diagnostic
pretest scores. American Association of Physics Teacher, h. 1260.1261.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 23. Tentang Standar
Kompetensi Lulusan
untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Direktorat jenderal Pendidikan RI, 2006.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
No. 65.
Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Direktorat jenderal Pendidikan RI, 2013.
Rahmat. 2012. Mengasah Keterampilan Berpikir Kreatif. Diakses dari http:gurupembaharu.
comhomemengasah-keterampilan- berpikir-kreatif-siswa. 20 Maret 2016
Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Smarabawa, dkk. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat
Terhadap Pemahaman Konsep Biologi dan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMA.
e-Journal
Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha, 3, h. 7. Susanti, Herni. 2015. Menyikapi Pengaruh
Globalisasi. Diakses dari http:www. neraca.co.idarticle54331menyikapi-
pengaruh-globalisasi. 20 Maret 2016
Susanto, Ahmad. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta:
Kencana Prenamedia Group. Undang-Undang Republik Indonesia No. 17.
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Jakarta: Direktorat jenderal Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007.
Zulfiani, dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Jakarta.
Seminar Nasional Pendidikan IPA-Biologi FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016
Copyright © 2016, ISBN 978-602-73551-1-8
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A
MATCH DALAM MENINGKATKAN MINAT BELAJAR PESERTA DIDIK DI SMA NEGERI 11 TANGERANG SELATAN
Eny Rosyidatun, Sukarlin, Annisaa Meyrizka K. P
Program Studi Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email koresponden: eny.rosyidatunuinjkt.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunan model make a match untuk meningkatkan minat belajar biologi di SMA Negeri 11 Kota Tangerang Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian tindakan kelas. Sampel penelitian berjumlah 29 peserta didik dipilih dengan teknik purposive sampling, dan adapun penentuan kelas tindakan dilakukan secara random oleh guru. Instrumen penelitian
yang digunakan adalah angket minat belajar dan lembar observasi aktivitas belajar mengajar yang telah diuji validitas dan reabilitasnya. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas classroom action research,
dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan minat belajar peserta didik pada materi sistem hormon di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 11 Tangerang
Selatan, hal ini terlihat dari keseluruhan nilai angket minat belajar peserta didik, yang apabila dirata-ratakan
mempunyai skor 83,3 skor tersebut termasuk ke dalam kategori “tinggi”. Selain itu, penerapan model pembelajaran make a match juga dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari persentase nilai aktivitas belajar peserta didik pada setiap siklusnya, yaitu siklus I 80-86,6 dan siklus II 96,6. Terakhir penerapan model pembelajaran make a
match juga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah peserta didik yang dapat dikategorikan tuntas karena memenuhi KKM pada setiap siklusnya, yaitu siklus I
55 dan siklus II 90, dan rata-rata hasil belajar peserta didik setiap siklusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan yaitu siklus I 72,8 dan siklus II rata-rata hasil belajar peserta didik
meningkat menjadi 84,1.
Kata Kunci : minat belajar; model pembelajaran kooperatif; make a match
Abstract
This study aims to determine the use of the model make a match to increase interest in learning biology in SMA Negeri 11 of South Tangerang. Method research was classroom action research.
Samples who are 29 students were chosen by purposive sampling technique, and the class was chosen randomly by teacher. The research instrument used were a questionnaire interest in
learning and teaching and learning activity observation sheet that has been tested for validity and reliability. Data analysis was performed by calculating the total score for each indicator and
converted into percentage form. Based on the results of classroom action research, it can be concluded that the implementation of cooperative learning model typed make a match can
increase the interest of learners in the material hormonal system in class XI IPA 3 SMAN 11 Tangerang, as seen from the overall value of the questionnaire interests of learners, which
averaged scores 83.3 is categorized as high. In addition, application of learning models make a match can also increase the activity of learners for participating in learning activities. It can
be seen from the percentage of the value of the learning activities of students in each cycle, the first cycle 80 to 86.6 and cycle II 96.6. Last application of learning models make a match
can also improve learning outcomes of students which can be seen from the percentage of students who can be considered complete because it meets the KKM in each cycle, the first cycle 55
and the second cycle 90, and average learning outcomes of students in each cycle also increased significantly, namely the first cycle 72.8 and the second cycle average learning
outcomes of students increased to 84.1.
Keywords : cooperative learning mode; make a match;interest in learning
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match dalam Meningkatkan Minat Belajar
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 18-27
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu bagian yang penting bagi kehidupan manusia dalam
mengembangkan kepribadian
dan kemampuannya yang berlangsung seumur hidup.
Melalui pendidikan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan wawasan manusia akan terus
berkembang,
guna memperoleh
ilmu pengetahuan
untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pembelajaran yang berkualitas sangat
tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Dalam proses mengajar, guru harus bisa
memilih dan menggunakan beberapa metode mengajar. Banyak metode pembelajaran yang
dapat digunakan oleh para guru.Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri.Metode pembelajaran adalah pola yang digunakan
sebagai pedoman
dalam merencanakan pembelajaran di kelas.Menurut
Arends dalam Suprijono “Metode pembelajaran
dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar” Suprijono, 2012.
Menurut Oemar Hamalik dalam bukunya yang berjudul Kurikulum dan Pembelajaran
mengungkapkan “Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik
supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya dan dengan
demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkan berfungsi dalam
kehidupan bermasyarakat”.
Hal ini
berarti bahwa
pendidikan merupakan
suatu usaha
sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung
seumur hidup yang mengarah kepada tujuan yang hendak dicapai.Dengan demikian pendidikan
menjadi tanggung jawab semua yang meliputi orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Hal ini
menunjukkan bahwa
pemerintah harus
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan, karena
melalui pendidikanlah akan terbentuk karakter dan pengetahuan seseorang yang dapat digunakan
untuk mencapai kesejahteraan hidup dan dapat membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berguna untuk merubah keadaan suatu bangsa menjadi lebih baik dan menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas Isjoni, 2011.
Masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia biasanya karena orientasi
pembelajaran di Indonesia cenderung masih bersifat teacher centered atau berpusat pada guru
sehingga membuat peserta didik menjadi lebih pasif, sedangkan model pembelajaran yang
seharusnya digunakan oleh seorang guru harus membuat peserta didik aktif dalam proses
pembelajaran, karena keaktifan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran sangat tergantung
dari pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh peserta didik itu sendiri. Oleh karena itu keaktifan
peserta didik dalam menjalani proses belajar mengajar
merupakan salah
satu kunci
keberhasilan pencapain tujuan pembelajaran. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar
mengajar dapat
mempengaruhi tingkat
pemahaman seorang peserta didik, tingkat pemahaman
seorang peserta
didik akan
mempengaruhi hasil belajar yang ia peroleh, hasil belajar adalah salah satu indikator yang bisa
digunakan untuk mengukur tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan untuk
mengukur keberhasilan belajar seseorang.
Pendidikan dengan proses belajar mengajar sebagai kegiatannya, merupakan suatu proses
interaksi antara pendidik dan anak didik. Dari proses interaksi itu proses belajar mengajar
diikatkan dengan minat dan perhatian antara keduanya, dengan demikian proses belajar
mengajar akan terjadi secara efektif dan efisien, apabila peserta didik mempunyai minat kepada
Eny R., Sukarlin, Annisaa M. K. P
|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 19-27 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
suatu pekerjaan atau guru yang memengaruhinya. Minat yang besar akan mendorong individu untuk
melakukan hal-hal yang lebih baik. Oleh karena itu, minat mempunyai dampak yang sangat besar
atas perilaku dan sikap seseorang terhadap segala sesuatu.
Pada dasarnya kegiatan atau perbuatan yang dilakukan setiap orang didasari oleh
kecenderungan atau minat. Minat melahirkan perhatian dan hal ini memungkinkan seseorang
melakukan sesuatu dengan tekun untuk jangka waktu yang lama. Minat merupakan landasan
penting bagi seseorang untuk melakukan kegiatan dengan baik sebagai suatu aspek kejiwaan, minat
bukan saja dapat memengaruhi tingkah laku seseorang, tapi juga dapat mendorong orang
untuk tetap melakukan dan memperoleh sesuatu. Hal itu sejalan dengan yang dikataka oleh S.
Nasution bahwa pelajaran akan berjalan lancar apabila ada minat, anak-anak malas, tidak belajar,
gagal, karena tidak ada minat Nasution, 1998. Dan belajar akan sangat sulit apabila tidak ada
minat belajar.
Dalam pembelajaran biologi terutama pada konsep sistem hormon, minat mempunyai peran
yang sangat penting, bila seorang peserta didik tidak memiliki minat yang besar untuk belajar
maka sulit diharapkan peserta didik tersebut akan tekun memperoleh hasil yang baik dari
belajarnya, sebaliknya apabila peserta didik tersebut belajar dengan minat yang besar, maka
hasil yang diperoleh lebih baik. Seperti yang diungkapkan oleh Usman Efendi dan Juhaya S.
Praja bahwa belajar dengan minat akan lebih baik dari pada belajar tanpa minat Efendi, 1993.
Proses belajar mengajar baru dapat berlangsung secara efektif dan efisien, jika
terdapat minat dan perhatian penuh dari peserta didik, dalam bukunya Bobbi De Porter, Mark
Readrdor dan Sarah singer Nourle yang sangat sukses
dengan judul
quantum teaching
memberikan informasi dari sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa peserta didik yang
memiliki konsentrasi penuh akan belajar lebih cepat dan lebih mudah. Selain itu, mereka
mengingat
informasi lebih
lama Porter,
Readrdor, Nourle, 2000. Dengan demikian, guru sebagai seorang
pendidik harus dapat memaksimalkan proses kegiatan belajar. Guru harus dapat mengetahui
keadaan yang tepat untuk memulai proses belajar mengajar, keadaan peserta didik yang memiliki
konsentrasi atau perhatian yang penuh tentu akan dapat dengan mudah menerima pelajaran yang
diberikan kepadanya, perhatian atau konsentrasi yang penuh dari peserta didik itu merupakan
indikator adanya minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan oleh guru.
Bila kegiatan belajar sesuai dengan minat peserta didik, maka kegiatan itu akan berjalan
dengan baik, karena adanya daya tarik bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan tersebut.
Berbeda dengan peserta didik yang tidak berminat dalam belajar, maka ia tidak akan
terdorong untuk belajar karena tidak ada daya tarik baginya untuk melakukan kegiatan tersebut,
terlebih pandangan para peserta didik untuk pelajaran yaitu sangat sulit karena siklus
pembelajaran biologi yang begitu panjang dan kontinu serta saling berhubungan. Oleh karena itu
untuk meningkatkan belajar peserta didik perlu ditingkatkan minat belajar peserta didiknya.
Dapat kita kaitkan dengan pernyataannya M. Alisuf Sabri dalam buku Psikologi
Pendidikan: Kaitannya dengan belajar, peserta didik yang berminat sikapnya senang kepada
pelajaran akan tampak terdorong terus untuk belajar, berbeda dengan peserta didik yang
sikapnya hanya menerima kepada pelajaran mereka hanya tergerak untuk mau belajar tetapi
sulit untuk terus tekun, karena tidak ada pendorongnya. Oleh karena itu peranan minat
dalam belajar sangat besar kuat yaitu minat
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match dalam Meningkatkan Minat Belajar
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 20-27
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
akan berperan sebagai “Motivating Force”
Sabri, 1995. Dari keterangan diatas, dapat dijelaskan
peserta didik yang memiliki minat belajar dengan peserta didik yang tidak memiliki minat belajar
akan terdapat perbedaan, perbedaan tersebut tampak jelas dengan ketekunan yang terus-
menerus. Peserta didik yang memiliki minat belajar maka ia akan terus tekun ketika belajar
sedangkan peserta didik yang tidak memiliki minat belajar walaupun ia mau untuk belajar akan
tetapi ia tidak terus untuk tekun dalam belajar.
Begitu pula dalam proses belajar mengajar dalam mata pelajaran biologi. Dalam belajar
biologi, banyak sekali peserta didik yang masih kurang memerhatikan pelajaran karena masih
kurangnya
minat peserta
didik dalam
pembelajaran biologi. Dalam pembelajaran biologi terdapat siklus-siklus, tahapan-tahapan
atau proses-proses yang harus dipahami, dimana antara siklus itu berkontinu atau berhubungan
satu sama lainya. Dalam hal ini biasanya guru biologi akan lebih sering menggunakan proyektor
dalam
pembelajaran, sehingga
biasanya mendatangkan kebosanan kepada peserta didik,
dan apabila terjadi kebosanan pada peserta didik maka akan berpengaruh kepada minat peserta
didik tersebut untuk membaca dan mengikuti proses belajar.
Dalam proses belajar mengajar salah satu faktor
yang perlu
diperhatikan untuk
meningkatkan minat belajar peserta didik, salah satu faktornya yaitu model pembelajaran. Model
pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
pembelajaran.
Salah satu
dari model
pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe make
a match. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dimulai dari peserta
didik yang mencari pasangan kartu berupa pertanyaan dan jawaban Lorna, 1994. Peserta
didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu yang ditentukan akan diberikan
point. Keunggulan dari model pembelajaran ini adalah dapat digunakan untuk semua mata
pelajaran dan untuk anak semua usia anak didik. Penerapan model pembelajaraan kooperatif tipe
make a match ini memungkinkan peserta didik mencari pasangan sambil belajar mengenai
konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan Saputra, dkk., 2000.
Berdasarkan hasil observasi kasar peneliti di kelas 11 IPA SMAN 11 Tangerang Selatan,
peserta didik menganggap bahwa biologi merupakan pelajaran yang membosankan dan
agak sulit karena hampir sebagian besar dibutuhkan
hafalan dalam
memahaminya. Sehingga mereka menunjukkan sikap yang acuh,
dan hanya beberapa orang yang aktif ketika proses pembelajaran sedang berlangsung, dan
dampak yang akan timbul yaitu kurangnya minat peserta didik dalam mempelajari biologi. Hal ini
disebabkan karena masih banyak guru yang mengajarkan mata pelajaran biologi dengan
menggunakan metode pembelajaran lama yaitu metode ceramah, yaitu memindahkan informasi
dan ilmu pengetahuan kepada peserta didik hanya melalui dimensi pendengaran, konsep-konsep
yang diperoleh peserta didik tidak melalui proses kerja maupun penerapan secara langsung dalam
kehidupan
sehari-hari. Guru
kurang membangkitkan motivasi peserta didik dan
kurang memusatkan perhatian belajar peserta didik. Kemungkinan lain yang terjadi adalah
kurangnya penggunaan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam proses pemindahan
pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman yang tidak dapat diajarkan hanya dengan metode
ceramah saja. Maka dari itu dalam pembelajaran harus
adanya variasi
kegiatan seperti
menggunakan model pembelajaran yang nyaman dan menggembirakan bagi peserta didik agar
dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Eny R., Sukarlin, Annisaa M. K. P
|The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 21-27 Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
Pembelajaran kooperatif tipe make a match adalah suatu model pembelajaran yang lebih
mengedepankan kepada aktivitas peserta didik dalam mencari dan mengolah informasi yang
telah mereka dapatkan dari berbagai sumber. Model pembelajaran tipe make a match ini
diupayakan menjadi model yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran, karena model ini
dikemas
dalam bentuk
model yang
menyenangkan sehingga para guru diharapkan untuk mencoba menerapkan model ini dalam
proses pembelajaran. Oleh karena itu berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin meneliti lebih
dalam lagi dan menyusun laporan penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Make a Match Dalam Meningkatkan Minat Belajar Peserta Didik Pada
Konsep Sistem Hormon”
METODE
Penelitian ini
menggunakan metode
penelitian tindakan kelas atau yang lebih dikenal dengan Classroom Action Research.Penelitian ini
dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. Penelitian ini
diawali
dengan menggunakan
penelitian pendahuluan pra penelitian dan yang nantinya
akan dilanjutkan dengan siklus. Dalam hal ini, yang dimaksud siklus adalah satu putaran
kegiatan bertuntun yang kembali ke langkah semula. Dimana setiap siklus terdiri dari empat
tahap
yaitu: Perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Penelitian ini di desain
menjadi dua siklus, siklus pertama dilakukan dalam dua pertemuan dalam satu minggu.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Berdasarkan gambar 1 menurut indikator keberhasilan aktivitas belajar peserta didik telah
mencapai kriteria yang “sangat baik” terlihat bahwa aktivitas belajar peserta didik selalu
mempunyai kriteria “sangat baik” dan persentase skor yang dihasilkan selama berlangsungnya
siklus I dan II mengalami peningkatan semakin berjalannya waktu aktivitas belajar peserta didik
semakin meningkat.
Gambar 1. Hasil Aktivitas Belajar Peserta Didik
Gambar 2. Hasil Belajar Peserta Didik Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan gambar 2 menunjukkan bahwa hasil belajar peserta didik pada siklus I masih
belum mencapai target yang telah ditetapkan. Dari
29 peserta
didikhanya 55
yang memperoleh nilai KKM maupun nilai di atas
KKM, sedangkan target yang telah ditetapkan adalah sebesar 90. Dari sisi perolehan nilai, satu
orang peserta didik memperoleh nilai tertinggi 90 dan dua orang peserta didik yang memperoleh
nilai terendah 55. Sedangkan rata-rata nilai peserta didik pada siklus I secara keseluruhan
yaitu 72,8. Sedangkan pada siklus II jumlah peserta didik yang tuntas karena memperoleh
nilai yang memenuhi KKM, adalah sebesar 90 ini berarti menunjukkan terjadinya peningkatan
sebesar 35 dibandingkan dengan siklus I yang hanya mencapai 55 rata-rata hasil belajar
peserta didik pada siklus II meningkat menjadi 84,1. Berdasarkan indikator keberhasilan yang
telah ditetapkan, persentase sebesar 90 tersebut dapat dikatakan memenuhi target karena sesuai
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match dalam Meningkatkan Minat Belajar
| The Living Kurikulum 2013: Dinamika dan Implikasi dalam Pembelajaran, 22-27
Copyright © 2016 | ISBN 978-602-73551-1-8
dengan indikator keberhasilan yaitu, apabila tingkat ketercapaian 85 lebih besar dari 85
maka penerapan model pembelajaran make a match materi sistem hormon pada manusia bisa
dikatakan berhasil.
Tabel 1. Perbandingan Tingkat Keberhasilan Tindakan Siklus I dan Siklus II
No Data Hasil
Penelitian Siklus I
Siklus II 1.
Hasil Belajar
Peserta Didik 55
90
2.
Aktivitas Belajar Peserta
Didik 80-86,6
96,6
Dari tabel 1 di atas, tampak bahwa terjadi peningkatan yang signifikan dalam tingkat
keberhasilan tindakan kelas dari siklus I terhadap siklus II. Pada data tentang hasil belajar peserta
didik terlihat ada peningkatan sebesar 35 yakni dari 55 pada siklus I menjadi 90 pada siklus
II, sedangkan data untuk aktivitas belajar peserta didik juga mengalami peningkatan sebesar 10,
yakni dari 80-86,6 pada siklus I menjadi 96,6 pada siklus II. Hal ini menunjukkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan aktivitas, minat dan hasil belajar
peserta didik, khususnya dalam materi sistem hormon.
Pembahasan 1.
Siklus I
Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe make a match dan variabel terikatnya adalah minat belajar peserta didik. Penelitian Tindakan
Kelas PTK ini dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus dilaksanakan dalam dua
pertemuan. Berdasarkan refleksi yang dilakukan, pelaksanaan tindakan pada siklus I berjalan
kurang optimal sehingga hasilnya pun tidak begitu maksimal, hal ini dapat terlihat dari hasil
belajar peserta didik pada saat siklus I.
Kekurang optimalan tersebut disebabkan adanya beberapa kelemahan. Pertama, guru
pamong kurang
berpengalaman dalam
mengimplementasikan langkah-langkah model pembelajaran make a match, karena perlu
diketahui bahwa guru lebih sering menggunakan metode pembelajaran ceramah dalam kegiatan
pembelajaran sebelumnya. Penerapan model pembelajaran make a match dalam PTK ini
adalah untuk yang pertama kalinya dilakukan oleh guru sehingga dalam pelaksanaannya masih
terlihat kaku dan canggung.
Kedua, peserta didik terbiasa dengan model pembelajaran konvensional, oleh karena itu
ketika pembelajaran
menggunakan model
pembelajaran make a match mereka masih mengalami kebingungan. Sama seperti halnya
guru bagi para peserta didik pun, mengikuti pembelajaran dengan model make a match ini
adalah untuk yang pertama kalinya. Masih banyak peserta didik yang belum memahami
model pembelajaran tersebut.
Dengan kendala dan kelemahan tersebut, maka pelaksanaan tindakan pada siklus I menjadi
kurang optimal. Kurang optimalnya pelaksanaan tindakan ini berdampak pada hasil hasil belajar
dan minat belajar yang masih kurang maksimal pula. Hal ini tampak pada aspek-aspek yang
diteliti pada PTK ini yaitu: