Evaluasi Kinerja Struktur Bangunan Yang Menggunakan Sambungan Lewatan (Lap Splices) Pada Ujung Kolom

(1)

EVALUASI KINERJA STRUKTUR BANGUNAN YANG

MENGGUNAKAN SAMBUNGAN LEWATAN (LAP SPLICES) PADA

UJUNG KOLOM

TUGAS AKHIR Oleh :

Desindo Wijaya 100404163

Disetujui :

Pembimbing

Ir. Besman Surbakti, MT.

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kerawanan gempa yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, bangunan yang dibangun hendaknya memiliki tingkat daktilitas yang cukup untuk menghadapi bencana gempa yang mungkin akan terjadi. Standar-standar perencanaan yang menjadi pedoman perencanaan gedung di Indonesia telah menjadikan desain tahan gempa sebagai materi yang cukup penting. Namun, pada kenyataannya, di lapangan masih banyak dijumpai pelaksanaan konstruksi pembangunan yang kurang sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam standar.

Penggunaan sambungan lewatan pada ujung kolom merupakan salah satu faktor yang dapat mengakibatkan berkurangnya daktilitas dari suatu bangunan karena ujung kolom merupakan daerah sendi plastis. Pada umumnya panjang sambungan lewatan yang digunakan ini kurang dari ketentuan yang berlaku. Oleh sebab itu, dalam Tugas Akhir ini akan dikaji mengenai pengaruh penggunaan sambungan lewatan pada ujung kolom ini terhadap daktilitas dan kinerja bangunan. Dua macam penempatan sambungan lewatan pada kolom akan dianalisis yaitu pada ujung kolom dan tidak pada ujung kolom.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan sambungan lewatan pada ujung kolom akan mengurangi kapasitas deformasi inelastic dari bangunan. Pada kondisi gempa yang cukup besar, diyakini bahwa bangunan yang menempatkan sambungan lewatan pada ujung kolom akan mengalami keruntuhan lebih awal jika dibandingkan dengan bangunan yang menempatkan sambungan lewatan pada daerah di luar sendi plastis kolom.

Kata Kunci : Sambungan Lewatan (Lap Splices), Beban Gempa, Analisis Statik Nonlinear, Taraf Kinerja


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan berkat-Nya hingga selesainya tugas akhir ini dengan judul “Evaluasi Kinerja Struktur Bangunan Yang Menggunakan Sambungan Lewatan (Lap Splices) Pada Ujung Kolom”. Tugas akhir ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam ujian sarjana Teknik Sipil bidang Studi Struktur pada Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (USU).

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih memiliki banyak kekurangan. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pemahaman penulis. Dengan tangan terbuka dan hati yang tulus penulis menerima saran kritik Bapak dan Ibu dosen serta rekan mahasiswa demi penyempurnaan tugas akhir ini.

Penulis juga menyadari bahwa selesainya tugas akhir ini tidak lepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan semua pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Ir. Besman Surbakti, M.T., selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan yang tiada hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku ketua departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Syahrizal, M.T., selaku sekretaris departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

4. Teristimewa kepada kedua Orang Tua penulis, William Surya Wijaya, Harry Putra Wijaya dan Cindy Michelle yang telah mendukung, menyemangati serta mendoakan penulis di setiap kegiatan akademis penulis.


(4)

5. Rudi Kirana, Deni Hermawan, John Thedy, Rudy Tiara, selaku teman seperjuangan penulis yang selalu mengingatkan dan memberikan dukungan moral kepada penulis hingga tugas akhir ini dapat selesai tepat waktu.

6. Erwin Kwok, selaku abang senior stambuk 2004 yang memberikan kontribusi besar kepada penulis dalam hal memberikan semangat dan arahan hingga selesainya tugas akhir ini.

7. Teman-teman jurusan Teknik Sipil, terutama teman-teman seangkatan 2010 khususnya Ricky Bokir yang senantiasa membantu dikala penulis menemui kendala, abang/ kakak stambuk 2007, 2008 dan 2009 serta adik-adik 2013 terima kasih atas dukungan dan informasi mengenai kegiatan sipil selama ini.

8. Para pegawai Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik USU atas ketersediannya untuk mengurus administrasi Tugas akhir ini.

9. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih untuk semuanya.

Medan, 12 Agustus 2014 Penulis

DESINDO WIJAYA 10 0404 163


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB II ... vii

BAB III ... vii

BAB IV ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR NOTASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Umum ... 1

1.2. Latar Belakang ... 3

1.3. Studi Literatur ... 6

1.4. Perumusan Masalah ... 8

1.5. Pembatasan Masalah ... 9

1.6. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.7. Metodologi Penulisan ... 10

1.8. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II PENDAHULUAN ... 12

2.1. Peraturan Pembebanan Gempa Berdasarkan RSNI2 03-1726-201x ... 12

2.1.1. Gempa Rencana dan Faktor Keutamaan ... 12

2.1.2. Klasifikasi Situs dan Parameter ... 14


(6)

2.1.4. Parameter Percepatan Spektral Desain ... 18

2.1.5. Periode Fundamental Pendekatan ... 20

2.1.6. Kinerja Struktur Gedung ... 20

2.2. Peraturan Pembebanan Berdasarkan RSNI 03-1727-201x ... 22

2.2.1. Beban Mati ... 22

2.2.2. Beban Hidup ... 24

2.3. Sambungan Lewatan (Lap Splice) ... 28

BAB III ANALISIS BEBAN DORONG (NONLINEAR STATIC PUSHOVER) ... 42

3.1. Pengertian Analisis Beban Dorong ... 42

3.2. Analisis Beban Dorong Berdasarkan ATC-40 (Capacity-Spectrum Method)... 42

3.2.1. Kapasitas (Capacity) ... 42

3.2.2. Permintaan (Demand) ... 43

3.2.3. Kinerja (Performance) ... 50

3.3. Analisis Beban Dorong Berdasarkan FEMA-356 (Target Displacement) ... 52

3.4. Analisis Beban Dorong Berdasarkan FEMA-440 (Displacement Coefficient Method) ... 56

3.5. Analisis Beban Dorong Berdasarkan FEMA-440 (Linearization Method) ... 57

3.6. Sendi Plastis ... 59

3.6.1. Hasil Analisis Sendi Plastis ... 60

3.6.2. Distribusi Sendi Plastis ... 62

3.6.3. Mekanisme Pembentukan Sendi Plastis ... 63

3.7. Taraf Kinerja Struktur ... 68

3.8. Klasifikasi Deformasi Batas ... 69

BAB IV PEMBAHASAN ... 71


(7)

4.2 Data Material ... 74

4.3 Pembebanan Struktur ... 75

4.4 Pra-Dimensi Komponen Struktur ... 76

4.5 Kombinasi Pembebanan ... 79

4.6 Analisa Struktur untuk Menentukan Gaya-Gaya Dalam Komponen Struktur ... 79

4.7 Dimensi Penulangan Pada Kolom dan Kekuatan Kolom ... 80

4.8 Dimensi Penulangan Pada Balok dan Kekuatan Balok ... 85

4.9 Analisis Beban Dorong dengan SAP2000 ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

5.1 Kesimpulan ... 96

5.2 Saran ... 97

LAMPIRAN A Perhitungan Beban Gempa Statik Ekivalen ... 98

LAMPIRAN B Hasil Output Analisis Penampang dengan XTRACT ... 104

LAMPIRAN C Analisis Beban Dorong Dengan SAP2000 ... 107

LAMPIRAN D Penyebaran Sendi Plastis Pada Analisis Beban Dorong ... 129


(8)

DAFTAR GAMBAR

BAB I

Gambar 1.1 Kurva histerisis kolom (Sumber: Kim, T.H, dkk 2006) ... 7

BAB II Gambar 2.1 Spektrum respons desain ... 19

Gambar 2.2 Gaya-gaya yang bekerja pada balok ... 29

Gambar 2.3 Hubungan antara tegangan tulangan dengan average bond stress ... 29

Gambar 2.4 Tegangan rekatan rata-rata akibat lentur ... 31

Gambar 2.5 Mekanisme bond-transfer ... 32

Gambar 2.6 Tipikal kegagalan akibat retakan permukaan (splitting failure) ... 34

Gambar 2.7 Sketsa letak sambungan lewatan yang baik pada kolom ... 36

Gambar 2.8 Distribusi tegangan ... 37

BAB III Gambar 3.1 Kurva kapasitas (ATC-40) ... 43

Gambar 3.2 Kurva kapasitas dan spektrum kapasitas (ATC-40) ... 45

Gambar 3.3 Respons spektrum tradisional dan demand spectrum (ATC-40) ... 46

Gambar 3.4 Spektrum kapasitas yang dicantumkan bersama demand spectrum (ATC-40) .... 46

Gambar 3.5 Representasi bilinier dari spektrum kapasitas (ATC-40) ... 47

Gambar 3.6 Enerji redaman (ATC-40) ... 48

Gambar 3.7 Enerji regangan maksimum (ATC-40) ... 48

Gambar 3.8 Grafik perpotongan spektrum kapasitas dengan demand spectrum (ATC-40) .... 51

Gambar 3.9 Tahapan Direct Coefficient Method (DCM) berdasarkan FEMA-356 ... 53 Gambar 3.10 Grafik hubungan periode efektif dengan redaman dalam format ADRS


(9)

(FEMA-440) ... 57

Gambar 3.11 Perkiraan peralihan maksimum ... 59

Gambar 3.12 Kurva hubunagn momen-rotasi, setipe dengan kurva hubungan gaya-perpindahan (FEMA-356) ... 61

BAB IV Gambar 4.1 Pemodelan gedung 3-D ... 72

Gambar 4.2 Denah gedung ... 73

Gambar 4.3 Diagram interaksi kolom C700×700 20D22 mm ... 81

Gambar 4.4 Kapasitas lentur kolom pada sudut bangunan ... 81

Gambar 4.5 Kapasitas lentur kolom pada tepi bangunan ... 82

Gambar 4.6 Kapasitas lentur kolom pada tengah bangunan ... 82

Gambar 4.7 Detail penampang dan penulangan kolom ... 84

Gambar 4.8 Kurva kapasitas ... 90


(10)

DAFTAR TABEL

BAB II

Tabel 2.1 Faktor keutaman untuk berbagai kategori gedung dan bangunan (RSNI

03-1726-201x) ... 13

Tabel 2.2 Faktor keutaman gempa (RSNI 03-1726-201x) ... 14

Tabel 2.3 Klasifikasi situs ... 15

Tabel 2.4 Koefisien situs, Fa ... 17

Tabel 2.5 Koefisien situs, Fv ... 18

Tabel 2.6 Koefisien Ct dan x ... 20

Tabel 2.7 Simpangan antar lantai izin (Δa)... 21

Tabel 2.8 Berat sendiri bahan bangunan dan komponen gedung (RSNI 03-1727-201x) ... 22

Tabel 2.9 Beban hidup pada lantai gedung (RSNI 03-1727-201x) ... 24

Tabel 2.10 Panjang penyaluran batang ulir dan kawat ulir (SK-SNI 03-2847-2002) ... 38

Tabel 2.11 Faktor penyaluran batang ulir dan kawat ulir (SK-SNI 03-2847-2002) ... 39

BAB III Tabel 3.1 Nilai k (ATC-40) ... 50

Tabel 3.2 Nilai SRAmin dan SRVmin (ATC-40) ... 50

Tabel 3.3 Tipe struktur (ATC-40) ... 50

Tabel 3.4 Faktor modifikasi Cm berdasarkan FEMA-356 ... 54

Tabel 3.5 Faktor modifikasi C2 berdasarkan FEMA-356 ... 55

Tabel 3.6 Modeling parameters and numerical acceptance criteria untuk prosedur nonlinear – kolom beton bertulang (FEMA-356) ... 65

Tabel 3.7 Modeling parameters and numerical acceptance criteria untuk prosedur nonlinear –balok beton bertulang (FEMA-356) ... 66


(11)

BAB IV

Tabel 4.1 Informasi model bangunan yang akan dianalisis ... 71

Tabel 4.2 Parameter percepatan Ssdan S1 untuk beberapa kota di Indonesia ... 74

Tabel 4.3 Dimensi awal rencana komponen-komponen struktur bangunan ... 78

Tabel 4.4 Gaya-gaya dalam maksimum pada balok dan kolom ... 80

Tabel 4.5 Variasi kekuatan kolom pada beban aksial yang berbeda ... 83

Tabel 4.6 Detail penulangan pada balok ... 87

Tabel 4.7 Kinerja struktur untuk struktur yang tidak menggunakan sambungan lewatan pada ujung kolom (WOLS) untuk beban dorong arah X ... 92

Tabel 4.8 Kinerja struktur untuk struktur yang tidak menggunakan sambungan lewatan pada ujung kolom (WOLS) untuk beban dorong arah Y ... 93

Tabel 4.9 Kinerja struktur untuk struktur yang menggunakan sambungan lewatan pada ujung kolom (WLS) untuk beban dorong arah X... 94

Tabel 4.10 Kinerja struktur untuk struktur yang menggunakan sambungan lewatan pada ujung kolom (WLS) untuk beban dorong arah Y ... 95


(12)

DAFTAR NOTASI

Ag = Luas bruto penampang (mm2)

Ash = Luas penampang total tulangan transversal, termasuk sengkang pengikat (mm2) As,max = Luas tulangan maximum (mm2)

As,min = Luas tulangan minimum (mm2) a = Panjang pelat (mm)

b = Lebar pelat (mm)

bw = Lebar badan penampang persegi (mm) D = Beban mati

d = Jarak dari serat tekan terluar ke titik berat tulangan tarik (mm) E = Beban gempa

Fa = Koefisien situs untuk perioda pendek (pada perioda 0,2 detik)

Fv = Koefisien situs untuk perioda panjang (pada perioda 1 detik)

f’c = Kuat tekan Beton (MPa) fy = Kuat leleh tulangan (MPa)

hx = Spasi horizontal maksimum untuk kaki-kaki sengkang tertutup atau sengkang ikat pada semua muka kolom (mm)

Ie = Faktor keutamaan Gempa L = Beban Hidup

ld = Panjang Sambungan Lewatan` P = Gaya aksial terfaktor (N)

PF1 = Modal participation factor untuk mode 1 R = Faktor reduksi gempa


(13)

pendek, redaman 5 persen

S1 = Parameter percepatan respons spectral MCE dari peta gempa pada perioda 1

detik, redaman 5 persen

SDS = Parameter percepatan respons spectral pada perioda pendek, redaman 5 persen

SD1 = Parameter percepatan respons spectral pada perioda 1 detik, redaman 5 persen

SMS = Parameter percepatan respons spectral MCE pada perioda pendek yang sudah

disesuaikan terhadap pengaruh kelas situs

SM1 = Parameter percepatan respons spectral MCE pada perioda 1 detik yang sudah

disesuaikan terhadap pengaruh kelas situs S = Spasi tulangan transversal (mm)

Sx = Spasi tulangan transversal (mm) t = Tebal pelat (mm)]

T = Perioda fundamental bangunan ∆roof = Peralihan atap

ADRS = Acceleration-Displacement Response Spectra ATC = Applied Technology Council

IO = Immediate Occupancy DC = Damage Control

FEMA = Federal Emergency Management Agency SRPMK = Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus


(14)

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kerawanan gempa yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, bangunan yang dibangun hendaknya memiliki tingkat daktilitas yang cukup untuk menghadapi bencana gempa yang mungkin akan terjadi. Standar-standar perencanaan yang menjadi pedoman perencanaan gedung di Indonesia telah menjadikan desain tahan gempa sebagai materi yang cukup penting. Namun, pada kenyataannya, di lapangan masih banyak dijumpai pelaksanaan konstruksi pembangunan yang kurang sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam standar.

Penggunaan sambungan lewatan pada ujung kolom merupakan salah satu faktor yang dapat mengakibatkan berkurangnya daktilitas dari suatu bangunan karena ujung kolom merupakan daerah sendi plastis. Pada umumnya panjang sambungan lewatan yang digunakan ini kurang dari ketentuan yang berlaku. Oleh sebab itu, dalam Tugas Akhir ini akan dikaji mengenai pengaruh penggunaan sambungan lewatan pada ujung kolom ini terhadap daktilitas dan kinerja bangunan. Dua macam penempatan sambungan lewatan pada kolom akan dianalisis yaitu pada ujung kolom dan tidak pada ujung kolom.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan sambungan lewatan pada ujung kolom akan mengurangi kapasitas deformasi inelastic dari bangunan. Pada kondisi gempa yang cukup besar, diyakini bahwa bangunan yang menempatkan sambungan lewatan pada ujung kolom akan mengalami keruntuhan lebih awal jika dibandingkan dengan bangunan yang menempatkan sambungan lewatan pada daerah di luar sendi plastis kolom.

Kata Kunci : Sambungan Lewatan (Lap Splices), Beban Gempa, Analisis Statik Nonlinear, Taraf Kinerja


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Umum

Dalam merencanakan bangunan baik gedung maupun jembatan ataupun jenis bangunan lainnya, hal terpenting yang harus dijadikan pertimbangan oleh seorang insinyur bangunan adalah beban yang akan dipikul oleh bangunan yang akan direncanakan tersebut. Beban ini dapat berasal dari berat sendiri bangunan ataupun dari beban luar lainnya seperti beban hidup yang berasal dari manusia ataupun benda yang bersifat sementara di dalam suatu bangunan seperti perabotan ataupun dinding partisi yang bersifat sementara dan lain sebagainya. Disamping itu, beberapa beban yang berasal dari alam seperti beban hujan, salju, angin, gempa dan sebagainya, juga harus diperhitungkan di dalam mendesain sebuah bangunan.

Beban gempa merupakan salah satu beban yang memiliki tingkat ketidakpastian yang tertinggi diantara beban-beban yang akan bekerja pada suatu bangunan karena sampai saat ini masih belum terdapat metode yang cukup akurat untuk memprediksi waktu dan besarnya kekuatan gempa yang mungkin terjadi pada suatu daerah tertentu. Oleh sebab itu, desain terhadap gempa merupakan salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh seorang insinyur bangunan. Mengingat Indonesia terletak pada zona gempa yang cukup besar dimana Indonesia terletak diantara beberapa lempeng aktif seperti lempeng Indo-Australia dan lempeng samudra Pasifik, kejadian gempa menjadi tidak langka bagi Indonesia. Beberapa gempa besar juga telah tercatat pernah terjadi di Indonesia dan menyebabkan kerusakan yang cukup parah pada bangunan-bangunan pada daerah gempa tersebut. Beban gempa telah menjadi perhatian besar yang harus diperhatikan oleh para insinyur bangunan di Indonesia.


(16)

jiwa pada saat terjadinya bencana gempa, struktur bangunan hendaknya memiliki kekuatan dan kekakuan serta daktilitas yang cukup untuk dapat mengakomodasikan gempa yang terjadi. Beberapa jenis sturktur bangunan yang sudah umum digunakan pada masa kini adalah struktur baja dan struktur beton bertulang. Walaupun struktur baja merupakan salah satu alternatif bangunan tahan gempa yang cukup baik dalam perihal daktilitas struktur jika dibandingkan dengan struktur beton bertulang, namun penggunaan sistem struktur dari baja masih jarang digunakan di Indonesia jika dibandingkan dengan struktur beton bertulang. Hal ini dikarenakan diperlukannya modal pembangunan yang cukup tinggi untuk bangunan baja mengingat masih kurangnya teknologi yang diperlukan untuk dapat mengakomodasikan pembangunan bangunan baja dengan lebih ekonomis, disamping itu harga material untuk bangunan baja juga masih relatif lebih mahal dibandingkan dengan struktur beton bertulang di Indonesia.Oleh sebab itu, pada tugas akhir ini akan difokuskan kepada masalah yang terdapat pada struktur beton bertulang dalam kaitannya sebagai struktur penahan beban gempa.

Seiring dengan semakin berkembangnya dunia konstruksi bangunan, beberapa metode telah digunakan dalam mendisain struktur bangunan.Beberapa diantaranya seperti metode tegangan izin (working stress design), metode gaya (strength desing), metode disain berdasarkan kapasitas komponen struktur (capacity design), metode disain plastis (plastic design), dan yang metode disain yang berdasarkan kepada perpindahan struktur (displacement design) serta metode disain berdasarkan kinerja bangunan (performance based design). Metode tegangan izin merupakan metode yang diadopsi pada peraturan perencanaan lama seperti PBI 71 untuk struktur beton bertulang. Metode gaya menjadi metode yang sangat populer selama beberapa dekade ini yang sedang diadopsi di dalam standar peraturan perencanaan yang sedang menjadi acuan pada masa sekarang yaitu SNI 03-2847-2002 untuk struktur beton bertulang. Dewasa ini, metode yang sedang berkembang dan mulai banyak


(17)

menjadi perhatian dari perencana yaitu metode disain berdasarkan kinerja bangunan.Tujuan dari metode ini adalah menghasilkan struktur dengan kinerja akibat beban gempa yang dapat diprediksi agar pemilik bangunan dapat mendapatkan gambaran dan memutuskan untuk memilih bentuk kerusakan struktur yang diharapkan pada saat terjadi bencana berupa gempa. Metode disain berdasarkan kepada kinerja bangunan ini masih dalam masa perkembangan pada saat ini, namun beberapa rekomendasi prosedur untuk melakukan disain dengan menggunakan metode ini telah diterbitkan sejak beberapa tahun yang lalu seperti ATC 40, FEMA 356 dan FEMA 440.FEMA 440 diterbitkan sebagai revisi atas beberapa koefisien yang digunakan di dalam FEMA 356 dan ATC 40 yang dinilai masih kurang keandalaannya untuk digunakan di dalam analisa struktur nonlinear statik. Namun, prosedur disain masih mengacu kepada ATC 40 dan FEMA 356. Dalam tugas akhir ini, kedua prosedur analisis yang terdapat dalam ATC 40 dan FEMA 356 akan digunakan untuk menilai kinerja bangunan yang akan dianalisis. Koefisien yang diperlukan akan diadopsi dari FEMA 440.

1.2. Latar Belakang

Suatu hal yang perlu diperhatikan agar suatu bangunan dapat dikategorikan sebagai bangunan tahan gempa yaitu bangunan hendaknya harus mampu mendisipasi energi akibat gempa yang cukup besar. Salah satu cara agar bangunan dapat tetap kokoh atau tidak runtuh ketika terjadi gempa besar yaitu dengan melalui pembentukan sendi plastis yang sebanyaknya sebelum bangunan mengalami keruntuhan. Hal ini merupakan salah satu filosofi dalam mendesain bangunan terhadap beban gempa dimana bangunan diizinkan untuk mengalami kerusakan berat melalui terbentuknya sendi plastis yang tersebar cukup banyak di sepanjang bangunan tetapi tidak diharapkan untuk runtuh pada batas beban gempa yang ditentukan.


(18)

terjadinya kegagalan pada daerah dilakukannya sambungan lewatan (lap splice) khususnya yang dilakukan pada daerah sendi plastis seperti pada daerah ujung kolom tepat di atas pelat lantai yang merupakan tempat yang paling berpotensi terjadinya sendi plastis pada saat beban gempa bekerja karena memiliki tingkat momen yang cukup besar.

Kolom merupakan komponen tekan yang juga sekaligus memikul momen lentur pada suatu sistem struktur bangunan. Momen lentur yang dipikul oleh kolom dalam suatu sistem rangka pemikul momen pada saat beban gempa terjadi adalah cukup besar terutama pada bagian ujung kolom. Hal ini mengakibatkan bagian pada ujung kolom menjadi daerah yang paling berpotensi untuk terjadi deformasi plastis. Oleh sebab itu, pendetilan pada daerah ini harus direncanakan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan kolom untuk dapat mengalami deformasi plastis yang cukup besar sebelum kolom tersebut mengalami kegagalan.

Sambungan lewatan yang umumnya digunakan pada kolom merupakan sambungan lewatan tekan untuk tulangan berdiameter 20-24 danumumnya pendek, dan biasanya hanya sedikit tulangan sengkang yang digunakan pada daerah sambungan lewatan tersebut. Pada saat terjadi gempa, umumnya pada kolom terjadi peningkatan momen lentur yang signifikan terutama pada bagian ujung kolom sehingga menyebabkan tulangan longitudinal di daerah tersebut mengalami tegangan tarik yang relative besar (Sharmin R. Chowdhury, 2012).

Jika sambungan lewatan terletak pada daerah tersebut, contohnya di daerah tepat diatas plat lantai, dimana hal tersebut masih banyak ditemui pada pelaksanaan konstruksi saat ini, maka panjang penyaluran yang digunakan menjadi tidak cukup. Oleh karena itu diperlukan panjang sambungan lewatan untuk tarik yang lebih panjang dibandingkan untuk tekan.Kegagalan bond slip di sepanjang daerah sambungan lewatan ini mungkin saja dapat terjadi pada tingkat beban yang lebih kecil dari yang diperlukan untuk mencapai kapasitas momen nominal kolom, menyebabkan hilangnya kekuatan, kekakuan, daktilitas dan kapasitas


(19)

rotasi, serta kemampuan disipasi enerjipada kolom. Kinerja atau performa dari sistem struktur yang demikian adalah kurang baik.

Hubungan respon perpindahan akibat beban pada kolom harus dimengerti dengan lebih baik, dimana terjadinya pengurangan kekuatan, kekakuan rotasi dan daktilitas pada kolom yang berkaitan dengan kegagalan sambungan lewatan (lap splices failure) menjadikan hal ini sangat menarik untuk diteliti. Akibat dari penurunan kapasitas ikatan dan meningkatnya kemungkinan terjadinya deformasi slip terhadap keseluruhan respon kolom dengan sambungan lewatan yang tidak cukup panjang harus dimodelkan dengan model analitis yang cukup andal, khususnya untuk melakukan analisis dengan menggunakan metode analisis nonlinear (nonlinear analysis methods) yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu struktur bangunan dalam memikul beban gempa.

Oleh karena itu, sangat penting untuk diketahui bahwa sambungan lewatan memiliki peranan yang penting dalam mempengaruhi prilaku struktur elemen lainnya, yang mungkin dapat menyebabkan kegagalan dari keseluruhan sistem struktur bangunan. Perancangan struktur yang menggunakan sambungan lewatan sangat penting untuk dipastikan bahwa ikatan antara beton dan tulangan cukup kuat. Dikarenakan sambungan lewatan sangat kuat pengaruhnya terhadap daktilitas kolom, dimana pada peraturan ACI 318-95 rincian bagian 21.4.3.2 disebutkan bahwa “sambungan lewatan tidak seharusnya digunakan pada sambungan dan pada daerah sendi plastis yang diperkirakan”. Begitu juga pada SK-SNI-03-2847-2002 pada pasal 23.3 .2.3 disebutkan bahwa “sambungan lewatan (lap splice) tidak boleh digunakan pada daerah hubungan balok kolom, pada daerah hingga jarak dua kali tinggi balok dari muka kolom, dan pada tempat-tempat yang berdasarkan analisis, memperlihatkan kemungkinan terjadinya leleh lentur akibat perpindahan lateral inelastic struktur rangka.” Namun banyak pelaksanaan konstruksi yang masih menggunakan sambungan lewatan pada


(20)

daerah sendi plastis. Penempatan sambungan lewatan disarankan terletak pada tengah bentang kolom ataupun pada lokasi dimana terjadi perubahan arah momen.

Tugas akhir ini akan memfokuskan pembahasan masalah sambungan lewatan karena masalah ini berhubungan dengan kerusakan pada kolom dan dapat berakibat fatal terhadap keseluruhan sistem bangunan. Salah satu alasan yang menyebabkan hal tersebut terjadi ialah karena pelaksanaan pembuatan sambungan lewatan tengah kolom agak sulit karena tulangan yang akan disambung perlu ditahan melayang di udara pada saat hendak disambungkan. Pada konstruksi rumah tinggal umumnya tidak dilaksanakan karena pembangunan tersebut tidak memakai mesin keran, namun pada proyek besar seharusnya tidak menjadi kendala karena tulangan dapat dirakit terlebih dahulu dilokasi selanjutnya diangkat dengan menggunakan mesin keran.

1.3. Studi Literatur

Penelitian Kim, T.H, dkk 2009 menunjukkan bahwa penggunaan sambungan lewatan pada dasar kolom jembatan di daerah rawan gempa mengakibatkan kerusakan yang sangat serius, karena dasar kolom jembatan tersebut merupakan zona sendi plastis. Kesalahan tersebut berpotensi tinggi mengurangi kuat lentur dan daktilitas selama terjadi gempa. Hal tersebut terjadi karena jembatan yang telah lama tersebut dirancang berdasarkan kondisi pada peraturan gempa yang belum diperbaharui dengan performa gempa yang terbaru. Bahkan pada saat gempa kecil atau pun sedang, tiang jembatan mengalami penurunan daktilitas yang sangat signifikan karena kegagalan lekatan antara tulangan denga beton (bond failure) pada sambungan lewatan (lap splice) dari tulangan memanjang disekitar daerah sendi plastis. Gambar 1.1 memberikan gambaran perilaku histerisis dari kolom yang tidak menggunakan sambungan lewatan pada ujung kolom dan yang menggunakan sambungan lewatan pada ujung kolom.


(21)

(a) Tanpa sambungan lewatan pada ujung kolom

(b) Sambungan lewatan pada ujung kolom

Gambar 1.1 Kurva histerisis kolom (Sumber: Kim, T.H, dkk 2006)

Dari Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa pada specimen yang tidak menggunakan sambungan lewatan (lap splice) pada ujung kolom, daktilitas strukturnya lebih besar jika dibandingkan dengan specimen yang menggunakan sambungan lewatan pada ujung kolom dimana mengakibatkan daktilitas struktur menjadi sangat kecil. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada suatu struktur bangunan yang menggunakan sambungan lewatan pada ujung kolom dapat menyebabkan struktur tersebut kehilangan sebagian besar daktilitasnya, sehingga memungkinkan terjadinya kerusakan yang cukup parah ketika gempa terjadi.

Dewasa ini, walaupun ketentuan untuk menghindari penggunaan sambungan lewatan pada daerah sendi plastis, namun praktek lapangan seperti ini masih sering dijumpai. Di samping menggunakan sambungan lewatan pada daerah sendi plastis, panjang sambungan lewatan yang digunakan juga pada umumnya kurang panjang. Sebagai contohnya, pada proyek gedung Telkom ditemukan bahwa terdapat beberapa kekurangan pada detail strukturnya dimana penggunaan sambungan lewatan (lap splice) terletak pada ujung kolom tepat diatas pelat lantai, kurang panjangnya penyaluran pada daerah sambungan kolom dan


(22)

balok juga menjadi salah satu kendala dalam perencanaan struktur terhadap ketahanan gempa. Hal ini mungkin akan menyebabkan perencana salah menafsirkan gaya gempa rencana yang sesuai dengan ketentuan SNI karena penggunaan faktor reduksi gempa, R, yang terlalu tinggi padahal jenis detail struktur dengan menggunakan sambungan lap splice pada daerah sendi plastis dapat menghilangkan hampir seluruh sifat daktilitas yang ada pada struktur. Hal ini dapat mengakibatkan kemungkinan komponen struktur menjadi tidak aman untuk menahan beban gempa yang seharusnya direncanakan. Selain sambungan balok kolom juga terdapat penggunaan panjang kait yang kurang panjang pada sengkang ikat dan letak kait yang tidak memenuhi peraturan SNI.

1.4. Perumusan Masalah

Dalam tugas akhir ini, penulis akan melakukan evaluasi kinerja bangunan yang menggunakan sambungan lewatan pada ujung kolom yang merupakan daerah yang paling berpotensi untuk mengalami deformasi plastis pada saat beban gempa terjadi untuk dibandingkan dengan kinerja bangunan yang menggunakan sambungan lewatan pada bagian tengah kolom yang diyakini akan memberikan kinerja yang lebih baik. Kinerja bangunan ini akan dinyatakan dalam bentuk perpindahan rencana (target displacement) yang akan dihitung berdasarkan pedoman FEMA-356 dan dalam bentuk titik kinerja (performance point) yang akan dihitung berdasarkan pedoman ATC-40.

Metode analisis yang akan digunakan dalam tugas akhir ini adalah metode analisis nonlinear statik seperti yang tertera di dalam pedoman FEMA-356 dan ATC-40. Perpindahan rencana akan dihitung dengan menggunakan metode koefisien (coefficient method) yang direkomendasikan di dalam FEMA-356 sedangkan titik kinerja akan ditentukan dengan menggunakan metode spektrum kapasitas (capacity spectrum) yang direkomendasikan di dalam ATC-40. Analisis beban dorong (pushover analysis) terhadap bangunan gedung yang


(23)

akan di analisis perlu dilakukan untuk memperoleh kurva kapasitas (capacity curve) yang akan diperlukan di dalam analisis dengan metode spektrum kapasitas. Parameter dan koefisien yang diperlukan pada analisis dengan kedua metode ini akandiadopsi dari FEMA-440 yang merupakan parameter yang telah direkomendasikan kembali sebagai revisi untuk peningkatan tingkat keandalan analsisi dengan menggunakan metode statik nonlinier.

1.5. Pembatasan Masalah

Agar analisis dan pembahasan masalah dalam tugas akhir ini tidak terlalu luas, maka perlu dilakukan beberapa pembatasan masalah sebagai berikut:

a. Pemodelan struktur berupa rangka beton bertulang terbuka tiga dimensi.

b. Pemodelan gedung tiga dimensi dengan ukuran tiap bentang untuk arah x dan y sepanjang 8 m.

c. Bangunan yang dianalisis adalah bangunan bertingkat 12 dengan elevasi tiap lantai 3.5 m. d. Mutu beton yang digunakan adalah mutu beton fc’ = 30 MPa dan mutu baja yang

digunakan adalah mutu baja dengan tegangan leleh fy = 420 Mpa (ASTM A615 Gr.60). e. Analisa beban gempa untuk merencanakan ukuran komponen struktur dengan

mengasumsikan:

1. Bangunan terletak di Medan

2. Bangunan berdiri di atas tanah sedang (kelas situs SD). 3. Fungsi gedung adalah bangunan perkantoran.

4. Beban gempa rencanaberdasarkan pada peraturan RSNI3 03-1726-201x, berdasarkan peta respon spektra dengan probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun.

f. Analisis yang digunakan dalam studi ini adalah analisis statik nonlinier berupa analisis beban dorong statik yang akan dilakukan dengan menggunakan bantuan program SAP2000 untuk mendapatkan kurva kapasitas dan titik kinerja dari bangunan yang


(24)

dianalisis.

g. Properti sendi plastis untuk kolom dan balok yang akan digunakan dalam analisis beban dorong akan didasarkan kepada nilai yang direkomendasikan di dalam FEMA-356.

h. Kinerja bangunan akan ditentukan berdasarkan pedoman yang tercantum di dalam FEMA-356 dan ATC 40.

1.6. Maksud dan Tujuan Penelitian

Tugas akhir ini dimaksudkan untuk mengamati perilakustruktur bangunan yang menggunakan sambungan lewatan (lap splice) pada daerah sendi plastis yang terdapat pada ujung kolom tepat diatas pelat lantai serta kinerja bangunan tersebut akibat pengaruh gaya gempa. Oleh sebab itu, maka dilakukan pengecekan terhadap kemungkinan terjadinya sendi plastisdi kolom. Dari dalam tugas akhir ini, penulis juga akan membandingkan kinerja bangunan yang sama jika memakai sambungan lewatan pada daerah tepat diatas plat lantai dengan yang tanpa menggunakan sambungan lewatan.

1.7. Metodologi Penulisan

Dalam penulisan tugas akhir ini, metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah dengan mengumpulkan teori-teori dan rumus-rumus yang dibutuhkan untuk melakukan analisa melalui beberapa sumber antara lain: text book (buku-buku yang berkaitan dengan tugas akhir ini), jurnal-jurnal, standar-standar yang berkaitan dengan tugas akhir ini dan sebagainya. Kemudian, analisa dilakukan berdasarkan dengan teori-teori dan rumus-rumus yang telah dikumpulkan. Dalam melakukan analisa tersebut, penulis akan menggunakan bantuan perangkat lunak (software) SAP2000 untuk digunakan dalam perhitungan analisis beban dorong.


(25)

1.8. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan terdiri dari 5 bab, yaitu : Bab I : Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Menjelaskan teori-teori yang akan menjadi acuan dalam pembahasan masalah Bab III : Analisis Pushover

Mencakup dasar-dasar dan teori mengenai analisis pushover Bab IV : Pembahasan

Mencakup pemodelan gedung 12 lantai 3D dan analisis untuk menentukan kinerja bangunan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis dansaran atas hasil yang telah dicapai.


(26)

BAB II

PENDAHULUAN

2.1. Peraturan Pembebanan Gempa Berdasarkan RSNI2 03-1726-201x

Perencanaan suatu konstruksi gedung harus memperhatikan aspek kegempaan, terutama di Indonesia karena merupakan salah satu daerah dengan zona gempa yang tinggi. Aspek kegempaan tersebut dianalisis berdasarkan peraturan yang berlaku di Negara tersebut dan Indonesia memiliki peraturan sendiri dan peta gempanya. Peraturan yang berlaku saat ini ialah RSNI2 03-1726-201x yang merupakan revisi dari SNI 03-1726-2002 dimana parameter wilayah gempanya sudah tidak digunakan lagi dan diganti berdasarkan dari nilai Ss (parameter respons spectral percepatan gempa pada periode pendek) dan nilai S1 (parameter respons spectral percepatan gempa pada periode 1 detik) pada setiap daerah yang ditinjau. Dalam hal ini, tata cara perencanaan bangunan gedung tahan gempa menjadi lebih rasional dan akurat.

2.1.1. Gempa Rencana dan Faktor Keutamaan

Tata cara ini menentukan pengaruh gempa rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan dan evaluasi struktur bangunan gedung dan non gedung serta berbagai bagian dan peralatannya secara umum. Gempa rencana ditetapkan sebagai gempa dengan kemungkinan terlewati besarannya selama umur struktur bangunan 50 tahun adalah sebesar 2 persen.

Untuk berbagai kategori resiko struktur bangunan gedung dan non gedung sesuai Tabel 2.1 pengaruh gempa rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu faktor keutamaan Ie


(27)

Tabel 2.1 Faktor keutaman untuk berbagai kategori gedung dan bangunan (RSNI 03-1726-201x)

Katergori risiko

- Fasilitas pertanian, perkebunan, perternakan, dan perikanan - Fasilitas sementara

- Gudang penyimpanan

- Rumah jaga dan struktur kecil lainnya

- Perumahan

- Rumah toko dan rumah kantor - Pasar

- Gedung perkantoran

- Gedung apartemen/ Rumah susun - Pusat perbelanjaan/ Mall - Bangunan industri - Fasilitas manufaktur - Pabrik

- Bioskop

- Gedung pertemuan - Stadion

- Fasilitas penitipan anak - Penjara

- Bangunan untuk orang jompo

- Pusat pembangkit listrik biasa - Fasilitas penanganan air - Fasilitas penanganan limbah - Pusat telekomunikasi

II

III Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit gawat darurat

Gedung dan struktur lainnya, tidak termasuk kedalam kategori risiko IV, yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan/atau gangguan massal terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari bila terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:

Gedung dan struktur lainnya yang tidak termasuk kedalam kategori risiko IV, (termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses, penanganan, penyimpanan, penggunaan atau tempat pembuangan bahan bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau bahan yang mudah meledak) yang mengandung bahan beracun atau peledak dimana jumlah kandungan bahanya melebihi nilai batas yang disyaratkan oleh instansi yang berwenang dan cukup menimbulkan bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran.

Jenis pemanfaatan

Gedung dan struktur lainnya yang memiliki risiko rendah terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:

I

Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori risiko I,III,IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:

Gedung dan struktur lainnya yang memiliki risiko tinggi terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:


(28)

Tabel 2.1 Faktor keutaman untuk berbagai kategori gedung dan bangunan (RSNI 03-1726-201x) (Lanjutan)

- Bangunan-bangunan monumental - Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan

-Gedung dan struktur lainnya yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur bangunan lain yang masuk ke dalam kategori risiko IV.

IV

Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki penyimpanan bahan bakar, menara pendingin, struktur stasiun listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam kebakaran) yang disyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan darurat

Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat

Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai, dan tempat perlindungan darurat lainnya

Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi dan fasilitas lainnya untuk tanggap darurat

Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat keadaan darurat

Gedung dan struktur lainnya yang ditunjukkan sebagai fasilitas yang penting, termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk:

Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi, serta garasi kendaraan darurat

dibutuhkan pintu masuk untuk operasional dari struktur bangunan yang bersebelahan, maka struktur bangunan yang bersebelahan tersebut harus didesain sesuai dengan kategori resiko IV.

Tabel 2.2 Faktor keutaman gempa (RSNI 03-1726-201x)

IV 1,5

Kate gori risiko Faktor ke utamaan ge mpa, Ie

I atau II 1,0

III 1,25

2.1.2. Klasifikasi Situs dan Parameter

Prosedur untuk klasifikasi suatu situs untuk memberikan kriteria seismik adalah berupa faktor-faktor amplifikasi pada bangunan. Dalam perumusan kriteria seismik suatu bangunan di permukaan tanah atau penentuan amplifikasi besaran percepatan gempa puncak dari batuan


(29)

dasar ke permukaan tanah untuk suatu situs, maka situs tersebut harus diklasifikasi terlebih dahulu. Profil tanah di situs harus diklasifikasikan berdasarkan profil tanah lapisan 30 m paling atas. Penetapan kelas situs harus melalui penyelidikan tanah di lapangan dan di laboratorium, yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang atau ahli desain geoteknik bersertifikat. Tabel 2.3 berisi klasifikasi situs tanah yang diperlukan dalam perumusan criteria seismik suatu bangunan.

Tabel 2.3 Klasifikasi situs

Kelas Situs (m/detik) atau (kPa)

SA (batuan keras) >1500 N/A N/A

SB (batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A

SC (tanah keras, sangat padat dan batuan lunak)

350 sampai 750 >50 ≥ 100

SD (tanah sedang) 175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100

SE (tanah lunak) < 175 < 15 < 50

Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Indeks plastisitas, PI > 20, 2. Kadar air,

3. Kuat geser niralir

SF (tanah khusus, yang membutuhkan investigasi

geoteknik spesifik dan analisis respons spesifik-situs yang mengikuti Pasal 6.10.1)

Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih dari karakteristik berikut:

- Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban gempa seperti mudah likuifaksi, lempung sangat sensitive, tanah tersementasi lemah - Lempung sangat organic dan/atau gambut (ketebalan H > 3m)

- Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H > 7,5 m dengan Indeks Plastisitas PI > 75 )

Lapisan lempung lunak/setengah teguh dengan ketebalan H > 35 m dengan


(30)

Nilai harus ditentukan sesuai dengan persamaan (2.1).

= =

=

n i si i n i i s

v

d

d

v

1 1 (2.1) Keterangan:

di = tebal setiap lapisan antara kedalaman 0 sampai 30 meter;

vsi = kecepatan gelombang geser lapisan i dalam satuan m/detik;

= n i i

d

1

= 30 meter

Nilai dan harus ditentukan sesuai dengan persamaan (2.2) dan (2.3).

= =

=

n i i i n i i

N

d

d

N

1 1 (2.2)

Dimana Nidan di dalam persamaan 2 berlaku untuk tanah non-kohesif, tanah kohesif, dan lapisan batuan.

=

=

m i i i s ch

N

d

d

N

1 (2.3)

Dimana Ni dan di dalam persamaan 3 berlaku untuk tanah non-kohesif saja, dan

= = m i s i d d

1

=

= m j s i d d 1

, di mana ds adalah ketebalan total dari lapisan tanah non-kohesif di


(31)

yang terukur langsung di lapangan tanpa koreksi, dengan nilai tidak lebih dari 305 pukulan/m. Jika ditemukan perlawanan lapisan batuan, maka nilai Ni tidak boleh diambil lebih dari 305 pukulan/m.

2.1.3. Parameter Percepatan Gempa

Parameter Ss (percepatan batuan dasar pada perioda pendek) dan S1 (percepatan batuan

dasar pada perioda 1 detik) harus ditetapkan masing-masing dari respons spectral percepatan 0,2 detik dan 1 detik dalam peta gerak tanah seismic pada Bab 14 yang tertera dalam RSNI 03-1726-201x dengan kemungkinan 2 persen terlampaui dalam 50 tahun (MCER, 2 persen dalam 50 tahun), dan dinyatakan dalam bilangan desimal terhadap percepatan gravitasi.

Untuk penentuan respons spectral percepatan gempa MCER di permukaan tanah, diperlukan suatu factor amplifikasi seismic pada perioda 0,2 detik dan perioda 1 detik. Faktor amplifikasi meliputi faktor amplifikasi getaran terkait percepatan pada getaran perioda pendek (Fa) dan factor amplifikasi terkait percepatan yang mewakili getaran perioda 1 detik

(Fv). Parameter spectrum respons percepatan pada perioda pendek (SMS) dan perioda 1 detik

(SM1) yang disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs, harus ditentukan dengan

menggunakan persamaan (2.4) dan (2.5).

s a MS F S

S = (2.4)

1 1 F S

SM = a (2.5)

Keterangan:

Ss = parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk perioda pendek; Ss = parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk perioda 1,0 detik.

Koefisien situs Fa dan Fv dicantumkan pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5.


(32)

Kelas situs

Parameter respons spectral percepata gempa (MCER) terpetakan pada perioda pendek, T = 0,2 detik, Ss

Ss0,25 Ss0,5 Ss0,75 Ss1,0 Ss1,25

SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8

SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0

SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0

SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0

SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9

SF SSb

Tabel 2.5 Koefisien situs, Fv

Kelas situs

Parameter respons spectral percepata gempa (MCER) terpetakan pada perioda 1 detik, S1

S1 0,1 S1 0,2 S1 0,3 S1 0,4 S1 0,5

SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8

SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0

SC 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3

SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0

SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9

SF SSb

2.1.4. Parameter Percepatan Spektral Desain

Bila spectrum respons desain diperlukan oleh tata cara ini dan prosedur gerak tanah dari speksifik-situs tidak digunakan, maka kurva spectrum respons desain harus dikembangkan dengan mengacu Gambar 2.1dan mengikuti ketentuan berikut:

1. Untuk perioda yang lebih kecil dari To, spektrum respons percepatan desain, Sa , harus


(33)

   

 

+ =

0 6 , 0 4 , 0

T T S

Sa DS (2.6)

2. Untuk perioda lebih besar dari atau sama dengan T0 dan lebih kecil dari atau sama dengan Ts, spectrum respons percepatan desain, Sa , sama dengan SDS.

3. Untuk perioda lebih besar dari Ts , spectrum respons percepatan desain, Sa , dihitung

berdasarkan persamaan (2.7).

T S Sa D

1

= (2.7)

Keterangan:

SDS = parameter respons spectral percepatan desain pada perioda pendek;

SD1 = parameter respons spectral percepatan desain pada perioda 1 detik;

T = perioda getar fundamental struktur; T0 = 0,2

DS D S S 1

TS =

DS D S S 1


(34)

2.1.5. Periode Fundamental Pendekatan

Perioda fundamental pendekatan (Ta), dalam detik, harus ditentukan dengan

menggunakan persamaan (2.8).

x n t a C h

T = (2.8)

Keterangan:

hn = ketinggian struktur di atas dasar sampai tingkat tertinggi struktur ,m;

Ct = koefisien yang ditentukan dari Tabel 2.6;

x = koefisien yang ditentukan dari Tabel 2.6;

Tabel 2.6 Koefisien Ct dan x

Tipe Struktur Ct x

Sistem rangka pemikul momen di maan rangka memikul 100 persen gaya gempa yang disyaratkan dan tidak dilingkupi atau dihubungkan dengan komponen yang lebih kaku dan akan mencegah rangka dari defleksi jika dikenai gaya gempa:

Rangka baja pemikul momen 0,0724a 0,80

Rangka beton pemikul momen 0,0466a 0,90

Rangka baja dengan bresing eksentris 0,0731a 0,75

Rangka baja dengan bresing terkekang terhadap tekuk 0,0731a 0,75

Semua sistem struktur lainnya 0,0488a 0,75

2.1.6. Kinerja Struktur Gedung

Kinerja struktur gedung dipengaruhi adanya simpangan antar tingkat, akibat pengaruh gempa rencana. Penentuan simpangan antar lantai tingkat disain (Δ) harus dihitung sebagai perbedaan defleksi pada pusat massa di tingkat teratas dan terbawah yang ditinjau. Apabila pusat massa tidak terletak segaris dalam arah vertical, diijinkan untuk menghitung defleksi di dasar tingkat berdasarkan proyeksi vertical dari pusat massa tingkat di atasnya.


(35)

Defleksi pusat massa di tingkat x, (δx), dalam mm harus ditentukan sesuai dengan

persamaan (2.9).

e xe d x

I

C δ

δ = × (2.9)

Keterangan:

Cd = faktor pembesaran defleksi;

δxe = defleksi pada lokasi yang diisyaratkan, yang ditentukan dengan analisis elatis, mm;

Ie = faktor keutamaan.

Simpangan antar tingkat desain (Δ) yang ditentukan tidak boleh melebihi simpangan antar lantai ijin (Δa) seperti yang didapatkan dari Tabel 2.7 untuk semua tingkat.

Tabel 2.7 Simpangan antar lantai izin (Δa)

Struktur

Kategori Resiko

I atau II III IV

Struktur, selain dari struktur dinding geser batu bata, 4 tingkat atau kurang dengan dinding interior, partisi, langit-langit dan sistem dinding eksterior yang telah didesain untuk

mengakomodasi simpangan antar lantai

0,025 hsx 0,025 hsx 0,025 hsx

Struktur dinding geser kantilever batu bata 0,010 hsx 0,010 hsx 0,010 hsx

Struktur dinding geser batu bata lainnya 0,007 hsx 0,007 hsx 0,007 hsx

Semua struktur lainnya 0,020 hsx 0,015 hsx 0,010 hsx

Keterangan:


(36)

2.2. Peraturan Pembebanan Berdasarkan RSNI 03-1727-201x

2.2.1. Beban Mati

Berat sendiri dari bahan-bahan bangunan penting dan dari beberapa komponen gedung diambil dari Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Berat sendiri bahan bangunan dan komponen gedung (RSNI 03-1727-201x)

No

Bahan bangunan

kg/m3 kN/m3 kg/m2 kN/m2

1 Baja 7850 76.93

2 Batu belah, batu bulat, batu gunung (berat tumpuk) 2600 25.48

3 Batu karang (berat tumpuk) 1500 14.7

4 Batu pecah 700 6.86

5 Besi tuang 1450 14.21

6 Beton (1) 7250 71.05

7 Beton bertulang (2) 2200 21.56

8 Kayu (Kelas I) (3) 2400 23.52

9 Kerikil, Koral (kerikil udara sampai lembab, tanpa

diayak) 1000 9.8

10 Pasangan batu bata 1650 16.17

11 Pasangan batu belah, batu bulat, batu gunung 1700 16.66

12 Pasangan batu karang 2200 21.56

13 Pasir (kering udara sampai lembab) 1450 14.21

14 Pasir (jenuh air) 1600 15.68

15 Pasir kerikil, koral (kering udara sampai lembab) 1800 17.64 16 Tanah, lempung dan lanau (kering udara sampai

lembab) 1850 18.13

17 Tanah, lempung dan lanau (basah) 1700 16.66

18 Timah hitam (timbal) 2000 19.6

19 Komponen gedung 11400 111.72

20 Adukan, per cm tebal :


(37)

Tabel 2.8 Berat sendiri bahan bangunan dan komponen gedung (RSNI 03-1727-201x) (Lanjutan)

21 - dari kapur, semen merah atau tras 17 0.17 17 0.17

22 Aspal, termasuk bahan-bahan mineral penambah, per

cm tebal 14 0.14 14 0.14

23 Dinding pasangan batu bata :

- satu batu 450 4.41

- setengah batu 250 2.45

24 Langit-langit dan dinding (termasuk rusuk-rusuknya, tanpa penggantung langit-langit atau pengaku), terdiri dari :

- semen asbes (eternit dan bahan lain sejenis), dengan

tebal maksimum 4 mm 11 0.11

- kaca, dengan tebal (3-4) mm 10 0.1

25 Lantai kayu sederhana dengan balok kayu, tanpa langit-langit dengan bentang maksimum 5 m dan untuk beban hidup maksimum 200 kg/m2

40 0.4

26 Penggantung langit-langit (dari kayu), dengan bentang maksimum 5 m dan jarak sumbu ke sumbu minimum 0.8 m

7 0.068

27 Penutup atap genting dengan reng dan usuk/kaso per

m2 bidang atap 50 0.49

28 Penutup atap sirap dengan reng dan usuk/kaso per m2

bidang atap 40 0.39

29 Penutup atap seng gelombang (BWG 24) tanpa

gording 24 0.24

30 Penutup lantai dari ubin semen Portland, teraso dan

beton tanpa adukan, per cm tebal 11 0.11

CATATAN :

(1) Nilai ini berlaku untuk beton pengisi;

(2) Untuk beton getar, beton kejut, beton mampat dan beton padat lain sejenis, berat sendirinya harus ditentukan tersendiri;

(3) Nilai ini adalah nilai rata-rata, untuk jenis-jenis kayu tertentu dapat dilihat pada NI 5 Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia.


(38)

2.2.2. Beban Hidup

Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu gedun, termasuk beban-beban pada lantai yang berasal dari barang-barang yang dapat berpindah, mesin-mesin, serta peralatan yang bukan bagian tak terpisahkan dari gedung itu, sehingga mengakibatkan perubahan dalam pembebanan lantai dan atap. Khusus pada atap, beban hidup juga mencakup beban hujan, baik akibat genangan maupun akibat tekanan jatuh (energi kinetik) butiran air. Beberapa beban hidup yang bekerja pada gedung dapat diambil dari Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Beban hidup pada lantai gedung (RSNI 03-1727-201x)

Hunian atau penggunaan Merata psf

(kN/m2)

Terpusat lb (kN)

Apartemen (lihat rumah tinggal) Sistem lantai akses

Ruang kantor Ruang komputer

50 (2.4) 100 (4.79)

2000 (8.9) 2000 (8.9) Gudang persenjataan dan ruang latihan 150 (7.18)

Ruang pertemuan dan bioskop Kursi tetap (terikat di lantai) Lobi

Kursi dapat dipindahkan Panggung pertemuan Lantai podium

60 (2.87) 100 (4.79) 100 (4.79) 100 (4.79) 150 (7.18) Balkon (eksterior)

Rumah untuk satu atau dua keluarga, dan luas tidak melebihi 100 ft2 (9.3 m2)

100 (4.79)

60 (2.87) Lintasan bowling, ruang kolam renang, dan tempat

rekreasi sejenis lainnya 75 (3.59)


(39)

Tabel 2.9 Beban hidup pada lantai gedung (RSNI 03-1727-201x) (Lanjutan)

Hunian atau penggunaan Merata psf

(kN/m2)

Terpusat lb (kN)

Koridor

Lantai pertama

Lantai lain, sama seperti pelayanan hunian kecuali

disebutkan lain 100 (4.79)

Ruang dansa dan ruang ballroom/pesta 100 (4.79) Dek (pekarangan dan atap)

Sama seperti daerah yang dilayani, atau untuk jenis hunian yang diakomodasi

Ruang makan dan restoran 100 (4.79)

Hunian (lihat rumah tinggal)

Ruang mesin elevator (pada daerah seluas 4 in2 [2580

mm2]) 300 (1.33)

Konstruksi pelat lantai finishing ringan (pada luasan 1

in2[645 mm2]) 200 (0.89)

Jalur penyelamatan terhadap kebakaran Hunian satu keluarga saja

100 (4.79) 40 (1.92)

Tangga permanen Lihat pasal 4.4

Garasi (mobil penumpang saja)

Truk dan bus 40 (1.92)

a,b

Tribun (lihat stadion dan arena, tempat duduk di stadion)

Lantai utama gymnasium dan balkon 100 (4.79)

Susunan tangga, rel pengaman dan batang pegangan Lihat pasal 4.4 Rumah sakit :

Ruang operasi, laboratorium Ruang pasien

Koridor diatas lantai pertama

60 (2.87) 40 (1.92) 80 (3.83)

1000 (4.45) 1000 (4.45) 1000 (4.45) Hotel (lihat rumah tangga)


(40)

Tabel 2.9 Beban hidup pada lantai gedung (RSNI 03-1727-201x) (Lanjutan)

Hunian atau penggunaan Merata psf

(kN/m2) Terpusat lb (kN) Perpustakaan Ruang baca Ruang penyimpanan

Koridor di atas lantai pertama

60 (2.87) 150 (7.18)c

80 (3.83) 1000 (4.45) 1000 (4.45) 1000 (4.45) Pabrik Ringan Berat 125 (6.00) 250 (11.97) 2000 (8.90) 3000 (13.40) Kanopi di depan pintu masuk gedung 75 (3.59)

Gedung perkantoran:

Ruang arsip dan komputer harus dirancang untuk beban yang lebih berat berdasarkan pada perkiraan hunian Lobi dan koridor lantai pertama

Kantor

Koridor di atas lantai pertama

100 (4.79) 50 (2.40) 80 (3.83) 2000 (8.90) 2000 (8.90) 2000 (8.90) Lembaga hukum Blok sel Koridor 40 (1.92) 100 (4.79) Rumah tinggal

Hunian (satu keluarga dan dua keluarga) Loteng yang tidak dapat didiami tanpa gudang Loteng yang tidak dapat didiami dengan gudang Loteng yang dapat didiami dan ruang tidur Semua ruang kecuali tangga dan balkon Hotel dan rumah susun

Ruang pribadi dan koridor yang melayani mereka Ruang publik dan koridor yang melayani mereka

10 (0.48) 20 (0.96) 30 (1.44) 40 (1.92) 40 (1.92) 100 (4.79) Stand pemantauan, tribun, dan tempat duduk di stadion 100 (4.79)d


(41)

Tabel 2.9 Beban hidup pada lantai gedung (RSNI 03-1727-201x) (Lanjutan)

Hunian atau penggunaan Merata psf

(kN/m2)

Terpusat lb (kN)

Atap

Atap datar, pelana, dan lengkung Atap digunakan untuk tempat berjalan

Atap yang digunakan untuk taman atap atau tujuan pertemuan

Atap yang digunakan untuk tujuan khusus Awning dan kanopi

Konstruksi struktur yang didukung oleh struktur rangka kaku ringan

Semua konstruksi lainnya

Komponen struktur atap utama, yang terhubung langsung dengan perkerjaan lantai

Titik panel tunggal dari batang bawah ranga atap atau setiap titik sepanjang komponen struktur utama yang mendukung atap diatas pabrik, gudang, dan perbaikan garasi

Semua hunian lainnya

Semua permukaan atap dengan beban pekerja pemeliharaan

20 (0.96)h 60 (2.87)

100 (4.79)

5 (0.24) tidak dapat direduksi 20 (0.96) I 2000 (8.9) 300 (1.33) 300 (1.33) Sekolah Ruang kelas

Koridor diatas lantai pertama Koridor lantai pertama

40 (1.92) 80 (3.83) 100 (4.79) 1000 (4.5) 1000 (4.5) 1000 (4.5) Bak-bak/scuttles, rusuk untuk atap kaca dan langit-langit

yang dapat diakses 200 (0.89)

Pinggir jalan untuk pejalan kaki, jalan lintas kendaraan,

dan lahan/jalan untuk truk-truk 250 (11.97) e

8000 (35.6)f Stadion dan arena

Tribun

Tempat duduk tetap (terikat di lantai)

100 (4.79)d 60 (2.87)d


(42)

Tabel 2.9 Beban hidup pada lantai gedung (RSNI 03-1727-201x) (Lanjutan)

Hunian atau penggunaan Merata psf

(kN/m2)

Terpusat lb (kN)

Tangga dan jalan keluar

Rumah tinggal untuk satu dan dua keluarga saja

100 (4.79)

40 (1.92) g

Ruang gudang diatas langit-langit 20 (0.96) Gudang penyimpang barang sebelum disalurkan ke

pengecer (jika diantisipasi menjadi gudang penyimpanan, maka harus dirancang untuk beban lebih berat)

Ringan Berat

125 (6.00) 250 (11.97) Toko

Eceran

Lantai pertama Lantai diatasnya Glosir, di semua lantai

100 (4.79) 75 (3.59) 125 (6.00)

1000 (4.45) 1000 (4.45) 1000 (4.45) Penghalang kendaraan

Susuran jalan dan panggung yang ditinggikan (selain jalan

keluar) 60 (2.87)

Pekarangan dan teras, jalur pejalan kaki 100 (4.79)

Beban hidup tersebut sudah termasuk perlengkapan ruang sesuai dengan kegunaan lantai ruang yang bersangkutan dan juga dinding-dinding pemisah dengan berat tidak lebih dari 100 kg/m2.

2.3. Sambungan Lewatan (Lap Splice)

Pada balok beton bertulang, gaya tekan lentur ditahan oleh beton, dimana gaya tarik lentur ditahan oleh tulangan, seperti yang terlihat pada Gambar 2.2(a). Agar proses tersebut timbul, harus terjadi gaya transfer yang disebut bond (rekat), antara dua material. Reaksi gaya


(43)

tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2(b). Agar tulangan berada dalam kondisi kesetimbangan, bond stresses (tegangan rekat) harus terjadi. Jika tegangan tersebut hilang, tulangan akan tertarik keluar dari beton dan gaya tarik, T, akan menjadi nol, sehingga menyebabkan kegagalan pada balok. (Mac Gregor, 2006)

(a) Gaya-gaya dalam balok

(b) Gaya pada tulangan

Gambar 2.2 Gaya-gaya yang bekerja pada balok

Gambar 2.3 Hubungan antara tegangan tulangan dengan average bond stress

Bond stresses harus terjadi ketika tegangan atau gaya pada tulangan berubah di tempat disepanjang tulangan. Hal ini dapat terlihat pada free-body diagram pada Gambar 2.3. Jika fs2

lebih besar dari fs1, bond stresses (μ) harus terjadi disepanjang permukaan tulangan untuk

menjaga kesetimbangan. Penjumlahan gaya-gaya parallel pada tulangan menghasilkan average bond stress, (μavg) yaitu:


(44)

l d d

f

f b avg b

s

s ( )

4 ) (

2 1

2 µ π

π

= −

Dengan pemisalan (fs2fs1)=∆fs maka,

l d fs b avg

4 ∆ =

µ (2.10)

Jika l diambil sebagai sebuah bentang yang sangat pendek, dx, persamaan ini dapat ditulis menjadi,

b s

d dx df

= (2.11)

dimana μ adalah true bond stress yang terjadi di sepanjang dx.

Pada balok, gaya di dalam tulangan baja ketika patah dapat dinyatakan sebgagai:

jd M

T = (2.12)

Dimana jd ialah lengan momen dan M adalah momen yang terjadi. Jika ditinjau bentang balok diantara dua retakan, seperti yang terlihat pada Gambar 2.4, momen yang terjadi pada dua retakan ialah M1 dan M2. Jika balok hanya bertulangan satu dengan diameter

db, gaya pada tulangan dapat dilihat pada Gambar 2.4(c). Penjumlahan gaya-gaya horizontal

memberikan persamaan,

x d

T = b avg

∆ (π )µ (2.13)

dimana db merupakan diameter tulangan. Persamaan (2.13) dapat pula dinyatakan dengan,

avg b

d x

T π µ

) ( = ∆ ∆ (2.14) sedangkan jd M T = ∆


(45)

jd d

x M

avg b µ

π ) ( = ∆ ∆

(2.15)

Dari free-body diagram pada Gambar 2.4(d), dapat dilihat bahwa ΔM = V Δx sehingga ΔM/Δx = V. Dengan memasukkan hubungan ini ke dalam persamaan (2.15), maka akan diperoleh hubungan seperti yang dapat dilihat pada persamaan (2.16).

jd d

V

b avg

) (π

µ = (2.16)

(a) Balok

(b) Diagram momen

(c) Gaya tulangan

(d) Bagian balok antara potongan 1 dan 2

Gambar 2.4 Tegangan rekatan rata-rata akibat lentur

Jika terdapat lebih dari satu tulangan, keliling lingkaran (πdb) diganti dengan


(46)

Ojd V

avg

Σ =

µ (2.17)

Tulangan polos dapat melekat pada beton dikarenakan adhesi antara beton dan tulangan serta sedikit gesekan. Kedua efek tersebut dapat dengan cepat hilang ketika tulangan dibebani tarik, terutama karena diameter dari tulangan berkurang. Dengan alasan inilah maka tulangan polos secara umum tidak digunakan untuk penulangan.

(a) Gaya pada tulangan

(b) Gaya pada beton

(c) Komponen gaya pada beton

(d) Gaya radial pada beton dan tegangan retak pada potongan penampang


(47)

Walaupun adhesi dan gesekan terjadi ketika tulangan ulir di bebani untuk pertama kali, mekanisme bond-transfer ini secara cepat dapat menghilang, bond disalurkan dengan memikul pada ulir ditulangan dapat terlihat pada Gambar 2.5(a). Kesamaan dan lawanan pemikul tegangan yang terjadi pada beton dapat dilihat pada Gambar 2.5(b). Gaya pada beton memiliki komponen longitudinal dan radial, dapat dilihat pada Gambar 2.5(c) dan Gambar 2.5(d). Hal tersebut mengakibatkan tegangan tarik melingkar didalam beton disekitar tulangan. Pada akhirnya, beton akan mengalami retakan dan retakan pada beton mengikuti tulangan disepanjang daerah bawah atau sisi samping permukaan balok.

Sekali retakan terjadi, bond transfer akan sangat cepat menurun kecuali kalau tulangan ditetapkan untuk menahan retakan terbuka.

Beban yang mengakibatkan terjadinya kegagalan akibat retakan (splitting failure) ialah dikarenakan:

1. Jarak yang sangat pendek antara tulangan ke permukaan beton atau antar tulangan dengan tulangan yang lainnya. Semakin kecil jarak, semakin kecil beban retakan.

2. Kuat tarik beton.

3. Average bond stress. Ketika ini meningkat, gaya desakan juga meningkat, mengakibatkan kegagalan akibat retakan.

Tipikal kegagalan akibat retakan (splitting failure) permukaan dapat dilihat pada Gambar 2.6. Kegagalan tersebut cenderung umumnya terjadi disepanjang jarak terpendek antara tulangan dan permukaan atau antar tulangan. Pada Gambar 2.6 lingkaran yang menyentuh ujung dari balok dimana merupakan jarak terdekat.Jika jarak tulangan dan permukaan besar jika dibandingkan diameter tulangan, kegagalan pull-out failure bisa terjadi.


(48)

Gambar 2.6 Tipikal kegagalan akibat retakan permukaan (splitting failure)

Dikarenakan terdapat banyak variasi tegangan bond yang terjadi disepanjang tulangan pada kondisi tarik, ACI lebih memilih menggunakan konsep dari development length (panjang penyaluran) dibandingkan tegangan bond. Development length (ld) merupakan

bentang terpendek pada tulangan yang mana tegangan tulangan dapat meningkat dari nol sampai ke leleh (fy). Jika jarak dari titik dimana tegangan tulangan sama dengan fy ke ujung

tulangan lebih kecil dari ld, tulangan akan tertarik keluar dari beton yang disebut pull-out

failure. Panjang penyaluran berbeda pada kondisi tarik dan tekan, karena beban tulangan pada kondisi tarik mengakibatkan tegangan in-and-out bond dan oleh karena itu maka memerlukan sebuah pertimbangan yang menggunakan panjang penyaluran yang lebih panjang.

Panjang penyaluran dapat dinyatakan sebagai hubungan dari nilai ultimate average bond stress dengan menggubah (fs2 – fs1) pada persamaan (2.10) menjadi sama dengan fy


(49)

sehingga diperoleh hubungan yang dinyatakan dalam persamaan (2.18) berikut ini:

u avg

b y d

d f l

,

= (2.18)

dengan, μavg,u ialah nilai dari μavg saat bond failure pada uji balok.

Panjang penyaluran kondisi tekan dipertimbangkan lebih pendek dibandingkan kondisi tarik, karena beberapa gaya ditransferkan ke beton melalui pemikul pada ujung tulangan dan karena tidak terdapat retakan pada daerah pengangkuran dan oleh karena itu maka in-and-out bond tidak terjadi. Dasar panjang penyaluran tekan berdasarkan ACI yaitu:

y b y

b

dc d f

fc f d

l 0,24 0,44

' ≥

= (2.19)

dimana nilai konstanta 0,044 memakai satuan dari “mm2/N”.

Pada perencanaan suatu struktur beton bertulang, pemakaian sambungan lewatan sulit dihindari karena hampir seluruh pendetailan suatu struktur bangunan khususnya bangunan tinggi atau gedung akan menggunakan sambungan lewatan sebagai media penyalur gaya ke tulangan lainya. Oleh karena itu, penempatan sambungan lewatan tulangan longitudinal harus berada diluar daerah sendi plastisyaitu ujung kolom atau balok yang merupakan daerah momen terbesar ketika terjadi gempa, maka salah satu cara untuk menghindari kegagalan akibat lap splice ialah dengan penempatan sambungan lewatan pada tengah bentang elemen struktur tersebut yang dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Penempatan jarak antar sengkang secara spesifik harus lebih rapat pada daerah sambungan lewatan jika dibandingkan dengan jarak antar sengkang pada tulangan yang tanpa menggunakan sambungan lewatan. Hal ini khususnya untuk perencanaan kolom yang direncanakan sebagai sambungan lewatan tarik karena umumnya tulangan longitudinal pada


(50)

sambungan lewatan itu cenderung mengalami tegangan tarik yang sangat besar jika dibandingkan dengan tekan, dikarenakan hal tersebut maka panjang lewatan tulangan tarik akan lebih panjang dibandingkan tekan dan harus diikat dengan tulangan spiral atau sengkang tertutup. Makin besar diameter tulangan kolom, makin panjang pula sambungan lewatan yang diperlukan.

(a) Letak daerah dilakukan lap splices (b) Bidang momen

akibat beban gempa Lap splices pada daerah

sendi plastis kolom (kurang baik)

Lap splices pada daerah titik balik momen di tengah kolom

(baik)

Gambar 2.7 Sketsa letak sambungan lewatan yang baik pada kolom

Pada sambungan lewatan, mekanisme penyaluran gaya tarik dari suatu tulangan disalurakan ke beton yang mana dari beton tersebut gaya tarik didistribusikan lagi ke tulangan yang disambungnya.

Penggunaan tulangan polos sangat dihindari untuk tulangan utama karena pendistribusian gaya dari satu tulangan yang lain tidak bisa distribusikan secara sempurna bahkan hampir dikatakan tidak bisa. Oleh sebab itu, diwajibkan menggunakan tulangan ulir pada tulangan utama. Pemakaian tulangan ulir akan mengakibatkan terjadinya gaya yang tegak lurus sumbu tulangan dimana gaya tersebut menekan beton, sehingga akan terjadi distribusi tegangan seperti yang terlihat pada Gambar 2.8.


(51)

Gambar 2.8 Distribusi tegangan

Dari Gambar 2.8, dapat diperhatikan bahwa distribusi gaya dari tulangan disebar secara melingkar ke beton yang terdapat di sekeliling tulangan. Pada daerah yang paling dekat dengan tulangan, tegangannya sangat besar, dan tegangan semakin kecil ketika menjauh atau keluar dari tulangan.(MacGregor, 2006)

Jika beton di sekeliling tulangan tidak cukup tebal, maka beton tersebut akan retak dan mengakibatkan hilangnya kemampuan menyalurkan gaya dari satu tulangan ke tulangan lainnya. Dikarenakan hal tersebut, tebal selimut beton sangat berpengaruh terhadap kerusakan lap splice, dimana panjang lewatan dan selimut beton berbanding terbalik, semakin tebal selimut beton maka panjang sambungan lewatan semakin kecil.

Panjang minimum sambungan lewatan tarik harus diambil berdasarkan persyaratan kelas yang sesuai tetapi tidak kurang dari 300 mm. ketentuan masing-masing kelas sambungan tersebut adalah:

1. Sambungan kelas A, panjang minimum sambungan lewatan tarik ialah 1,0 ld.

2. Sambungan kelas B, panjang minimum sambungan lewatan tarik ialah 1,3ld.

dimana ld adalah panjang penyaluran tarik untuk kuat leleh fy.

Panjang penyaluran (ld), dinyatakan dalam diameter db untuk batang ulir dan kawat ulir


(52)

pada Tabel 2.10 atau persamaan (2.10).

Tabel 2.10 Panjang penyaluran batang ulir dan kawat ulir (SK-SNI 03-2847-2002) Batang D-19 dan lebih

kecil atau kawat ulir

Batang D-22 atau lebih besar Spasi bersih batang-batang yang disalurkan

atau disambung tidak kurang dari db , selimut

beton bersih tidak kurang dari db, dan

sengkang atau sengkang ikat yang dipasang di sepanjang ld tidak kurang dari persyartan

minimum sesuai peraturan atau

Spasi bersih batang-batang yang disalurkan atau disambung tidak kurang dari 2 db dan

selimut beton bersih tidak kurang dari db

' 25 12 c y b d f f d l αβλ = ' 5 3 c y b d f f d l αβλ = Kasus-kasus lain ' 25 18 c y b d f f d l αβλ = ' 10 9 c y b d f f d l αβλ =

Untuk batang ulir atau kawat ulir, ld /db harus diambil:

      + = b tr c y b d d K c f f d l αβγλ ' 10 9 (2.20)

dimana, nilai (c+Ktr)/db tidak boleh diambil lebih besar dari 2,5.

Adapun faktor-faktor yang digunakan pada persamaan-persamaan untuk penyaluran batang ulir dan kawat ulir yang berada dalam kondisi tarik tertera dalam tabel 2.11.


(53)

Tabel 2.11 Faktor penyaluran batang ulir dan kawat ulir (SK-SNI 03-2847-2002) α = faktor lokasi penulangan

Tulangan horizontal yang ditempatkan sedemikian hingga lebih dari 300 mm beton segar dicor pada komponen di bawah panjang penyaluran atau sambungan yang ditinjau

1,3

Tulangan lain 1,0

β = factor pelapis

Batang atau kawat tulangan berlapis epoksi dengan selimut beton kurang dari 3db, atau spasi bersih kurang dari 6db

1,5

Batang atau kawat tulangan berlapis epoksi lainnya 1,2

Tulangan tanpa pelapis 1,0

γ = factor ukuran batang tulangan

Batang D-19 atau lebih kecil dan kawat ulir 0,8

Batang D-22 atau lebih besar 1,0

λ = factor beton agregat ringan

Apabila digunakan beton agregat ringan 1,3

Walaupun demikian, apabila fctdisyaratkan, maka λ boleh diambil sebesar )

8 , 1 /(

' ct

c f

f tetapi tidak kurang dari 1,0

Apabila digunakan beton berat normal 1,0

c = spasi atau dimensi selimut beton, mm. Pergunakan nilai terkecil antara jarak dari sumbu dating atau kawat ke permukaan beton terdekat dan setengah spasi sumbu ke sumbu batang atau kawat yang disalurkan;


(54)

Ktr = indeks tulangan transversal = sn

f Atr yt

10 dimana:

Atr = luas penampang total dari semua tulangan transversal yang berada dalam rentang

daerah berspasi s dan yang memotong bidang belah potensial melalui tulangan yang disalurkan, mm2;

fyt = kuat leleh yang disyaratkan untuk tulangan transversal, MPa;

s = spasi maksimum sumbu ke sumbu tulangan transversal yang dipasang di sepanjang ld ,

mm;

n = jumlah batang atau kawat yang disalurkan di sepanjang bidang belah.

sebagai penyederhanaan perencanaan, diperbolehkan mengasumsikan Ktr = 0 bahkan untuk

kondisi dimana tulangan transversal dipasang.

Untuk sambungan lewatan yang menggunakan tulangan polos pada perencanaannya, daya rekat tulangan polos ke beton hanya menggandalkan adhesi antara beton dengan tulangan dan sedikit gesekan. Agar terjadi keseimbangan antara gaya horisontal, maka beban (N) yang dapat ditahan sama dengan luas penampang baja dikalikan dengan kuat lekat:

µ π× × ×

=ld db

P (2.21)

Dengan mendistribusikan nilai P= fs×Ab, dimana untuk mencapai kesetimbangan suatu perencanaan selalu bertujuan tercapainya kondisi leleh pada baja, maka fs = fy ,

sehingga persamaan (2.21) menjadi:

µ π× × ×

=

× b d b

s A l d

f (2.22)

Dengan mensubstitusikan 2

4 b

b d

A =π dan

z d V

b)

( ×

=

π

µ ke dalam persamaan (2.22), maka


(55)

V z f

d

l y

b d

4

2

× ×

= π (2.23)

dimana:

fy = tegangan baja leleh, MPa;

db = diameter baja tulangan, mm;

ld = panjang penyaluran, mm;

V = gaya geser, N; z = lengan momen, mm;


(56)

BAB III

ANALISIS BEBAN DORONG

(NONLINEAR STATIC PUSHOVER)

3.1. Pengertian Analisis Beban Dorong

Analisis nonlinear static pushover (beban dorong) merupakan penyerdehanaan dari analisis nonlinear dynamic time history (riwayat waktu). Analisis beban dorong ini menerapkan beban dimana besar beban meningkat terus menerus sampai kondisi yang diinginkan. Dalam analisis ini, beban gempa terdistribusi vertikal dan diasumsikan sebagai beban static yang bekerja pada titik pusat massa disetiap lantai. Beban gempa inilah yang akan ditingkatkan secara bertahap sampai terjadi sendi plastis.

3.2. Analisis Beban Dorong Berdasarkan ATC-40 (Capacity-Spectrum Method)

Capacity-spectrum method merupakan analisis statis nonlinier yang memberikan hasil berupa grafik dari kurva global force-displacement capacity dengan respone spectra. Hasil tersebut memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana bangunan merespon gerakan gempa. Prinsip metode ini adalah mencari titik temu antara pada spectrum kapasitas dengan respon spectrum sesuai dengan permintaan (demand).

3.2.1. Kapasitas (Capacity)

Kurva kapasitas dibuat untuk mewakili respons dari struktur pada mode pertama, dengan asumsi mode pertama ini adalah mode yang dominan yang bekerja pada struktur.Hal ini umumnya berlaku untuk bangunan dengan periode getaran sampai dengan 1 detik.


(57)

Kurva kapasitas merupakan kurva yang memperlihatkan hubungan antara peralihan lantai atap dengan gaya geser dasar (base shear) akibat dari pemberian beban laterak secara bertahap pada struktur. Kurva kapasitas ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Kurva kapasitas (ATC-40)

3.2.2. Permintaan (Demand)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kinerja erat kaitannya dengan permintaan. Oleh karena itu, sebelum menentukan hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk mendesain struktur gedung sesuai dengan permintaan, maka kita harus mengetahui hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk memperoleh suatu nilai kinerja. Dimana dalam kondisi ini, lokasi titik kinerja (performance) berada pada perpotongan:

1. Titik berada di kurva spectrum kapasitas mewakili struktur saat terjadi perpindahan. 2. Titik berada pada demand spectrum. Demand spectrum tersebut merupakan reduksi dari

kurva spectrum dengan redaman 5%.

Kurva spectrum dengan redaman 5% diperoleh dengan mengalikan kurva spectrum tersebut dengan suatu factor reduksi. Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk memperoleh factor reduksi:


(58)

1. Mengubah kurva kapasitas menjadi spectrum kapasitas (capacity spectrum).

Spectrum kapasitas adalah representasi dari kurva dengna format Acceleration-Displacement Respons Spectra (ADRS) atau disebut juga kurva Sa versus Sd. Persamaan

(3.1) hingga (3.4) dapat digunakan untuk mengubah kurva kapasitas menjadi spectrum kapasitas.

= = = ∫ N i i i N i i i m m PF 1 2 1 1 1 1 ) . ( ) . ( φ φ (3.1)

= = = = N i i i N i i N i i i m m m 1 2 1 1 1 2 1 1 ) . ( ). ( ) . ( φ φ α (3.2) 1 αW V

Sa = (3.3)

1 . 1 roof roof d PF S φ ∆ = (3.4) dengan:

PF1 = faktor partisipasi modal untuk mode 1; α1 = koefisien massa modal untuk mode 1; mi = massa lantai ke-i;

i

φ = amplitudo dari mode 1 pada lantai ke-i; N = tingkat ke-N, tingkat utama;

V = gaya geser dasar; W = berat mati bangunan; Δroof = perpindahan pada atap;


(59)

Sd = spektral perpindahan.

Ilustrasi konversi kurva kapasitas menjadi kurva spektrum kapasitas diberikan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Kurva kapasitas dan spektrum kapasitas (ATC-40)

2. Mengubah respons spectrum tradisional dengan redaman 5% menjadi demand spectrum dalam format ADRS.

Persamaan (3.5) dapat digunakan untuk mengubah respons spectrum tradisional menjadi deman spectrum dalam format ADRS.

2 2

4 1

T S

Sd a

π

= (3.5)

dengan:

Sa = spektral percepatan, mm;

Sd = spektral perpindahan, mm;

T = perioda bangunan, detik.

Spektral percepatan (Sa), spektral perpindahan (Sd), dan spektral kecepatan (Sv) memiliki


(60)

v

d S

S ω

1

= (3.6)

v a S

S =ω (3.7)

dimana:

ω = frekuensi natural = m

k

Ilustrasi konversi respons spektrum tradisional menjadi demand spectrum ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Respons spektrum tradisional dan demand spectrum (ATC-40)

Spektral perpindahan

Spektral akselerasi


(61)

3. Menampilkan spectrum kapasitas dan demand spectrum dalam satu grafik.

Langkah ini dilakukan untuk menentukan perkiraan awal api dan dpi. Grafik kedua

spectrum ini dapat dilihat pada Gambar 3.4.

4. Membentuk kurva representasi biliner.

Kurva representasi bilinier diberikan pada Gambar 3.5 yang dibentuk dari spektrum kapasitas dengan menyamakan luas A1 dengan luas A2. Tujuan menyamakan kedua luasan ini adalah agar masing-masing daerah memiliki energi disipasi akibat redaman yang sama.

Gambar 3.5 Representasi bilinier dari spektrum kapasitas (ATC-40)

5. Menentukan nilai β0.

Nilai β0 dapat dihitung dengan menggunakan enerji redaman (ED) yang diberikan dalam

persamaan (3.8).

(

2 1 2 2 3

)

4a d A A A

ED = pi pi − − −

(

)

(

)(

)

[

pi pi y pi y y y pi y pi y

]

D a d d a a a d d d a a

E =4 −2 − − − − −

(

y pi y pi

)

D a d d a

E =4 − (3.8)


(62)

Gambar 3.6 Enerji redaman (ATC-40) Keterangan:

ED = luasan yang dilingkupi oleh kurva histeresis = 4 kali luas jajar genjang yang

diarsir; A1 = dy

(

apiay

)

; A2 = dyay 2;

A3 =

(

dpidy

)(

apiay

)

;

Gambar 3.7 Enerji regangan maksimum (ATC-40)

Selain enerji redaman (ED) yang diperlukan untuk menentukan nilai β0, nilai enerji


(63)

2

0 pi pi S a d

E = (3.9)

Besaran yang digunakan dalam persamaan (3.9) dapat dilihat pada .

Dari nilai-nilai yang telah diperoleh, maka nilai β0 (dalam %) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (3.11).

pi pi pi y pi y pi pi pi y pi y S D d a a d d a d a a d d a E

E 0,637( )

2 / ) ( 4 4 1 4 1 0 0 − = − = = π π β (3.10) pi pi pi y pi y d a a d d a ) ( 7 , 63 0 − = β (3.11)

6. Menghitung factor reduksi spektral (SRA dan SRV).

Faktor reduksi SRA dan SRV dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (3.12) dan (3.13). min 12 . 2 ) ( . 68 . 0 21 . 3 SRA Ln

SRA= − βeff ≥ (3.12)

min 65 . 1 ) ( . 41 . 0 31 . 2 SRV Ln

SRV = − βeff ≥ (3.13)

Nilai βeff dapat dihitung dengan persamaan (3.14).

5

0 +

= β

βeff k (3.14)

Nilai k dapat diperoleh dari Tabel 3.1.

Nilai SRAmin dan SRVmin dapat diperoleh dari Tabel 3.2.


(64)

Tabel 3.1 Nilai k (ATC-40)

Tipe Struktur β0 (%) k

Tipe A

≤ 16,25 1

>16,25 pi pi pi y pi y d a a d d a ) ( 51 , 0 13 ,

1 − −

Tipe B

≤ 25 0.67

> 25 pi pi pi y pi y d a a d d a ) ( 446 , 0 −

Tipe C Any value 3,33

Tabel 3.2 Nilai SRAmin dan SRVmin (ATC-40)

Tipe Struktur SRAmin SRVmin

A 0,33 0,50

B 0,44 0,56

C 0,56 0,67

Tabel 3.3 Tipe struktur (ATC-40)

Shaking Duration Essentially Existing Building Average Existing Building Poor Existing Building

Short Type A Type B Type C

Long Type B Type C Type C

3.2.3. Kinerja (Performance)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, level kinerja diperoleh dari perpotongan spektrum kapasitas dengan demand spectrum. Grafik perpotongan tersebut dapat diperoleh dari Gambar 3.8.


(65)

Gambar 3.8 Grafik perpotongan spektrum kapasitas dengan demand spectrum (ATC-40)

Titik perpotongan antara spektrum kapasitas dengan demand spectrum dalam hal ini adalah titik (di,ai). Nilai dari titik perpotongan tersebut harus berada dalam suatu batas

toleransi 5% dari titik (api,dpi). Bila nilai tersebut diluar batas toleransi, maka prosedur dalam

mencari faktor reduksi diulangi dari tahap mencari representasi bilinier, dengan api = ai dan

dpi = di sampai batas toleransi terpenuhi.

Hasil yang diperoleh setelah batas toleransi terpenuhi, api (spektral percepatan, Sa) dan

dpi (spektral perpindahan, Sd) perlu diubah menjadi gaya geser untuk api dan perpindahan

(displacement) untuk dpi. Konversi hasil tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan

persamaan (3.15) dan (3.16).

Konversi nilai spektral perpindahan menjadi perpindahan lateral pada lantai atap dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah berikut dengan catatan bahwa diketahui Sd = dpi:


(1)

(2)

D.

Penyebaran Sendi Plastis Pada Bangunan WOLS Akibat Beban Dorong Arah Y


(3)

(4)

(5)

(6)