Sambungan Lewatan Lap Splice

Tabel 2.9 Beban hidup pada lantai gedung RSNI 03-1727-201x Lanjutan Hunian atau penggunaan Merata psf kNm2 Terpusat lb kN Tangga dan jalan keluar Rumah tinggal untuk satu dan dua keluarga saja 100 4.79 40 1.92 g Ruang gudang diatas langit-langit 20 0.96 Gudang penyimpang barang sebelum disalurkan ke pengecer jika diantisipasi menjadi gudang penyimpanan, maka harus dirancang untuk beban lebih berat Ringan Berat 125 6.00 250 11.97 Toko Eceran Lantai pertama Lantai diatasnya Glosir, di semua lantai 100 4.79 75 3.59 125 6.00 1000 4.45 1000 4.45 1000 4.45 Penghalang kendaraan Susuran jalan dan panggung yang ditinggikan selain jalan keluar 60 2.87 Pekarangan dan teras, jalur pejalan kaki 100 4.79 Beban hidup tersebut sudah termasuk perlengkapan ruang sesuai dengan kegunaan lantai ruang yang bersangkutan dan juga dinding-dinding pemisah dengan berat tidak lebih dari 100 kgm 2 .

2.3. Sambungan Lewatan Lap Splice

Pada balok beton bertulang, gaya tekan lentur ditahan oleh beton, dimana gaya tarik lentur ditahan oleh tulangan, seperti yang terlihat pada Gambar 2.2a. Agar proses tersebut timbul, harus terjadi gaya transfer yang disebut bond rekat, antara dua material. Reaksi gaya Universitas Sumatera Utara tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2b. Agar tulangan berada dalam kondisi kesetimbangan, bond stresses tegangan rekat harus terjadi. Jika tegangan tersebut hilang, tulangan akan tertarik keluar dari beton dan gaya tarik, T, akan menjadi nol, sehingga menyebabkan kegagalan pada balok. Mac Gregor, 2006 a Gaya-gaya dalam balok b Gaya pada tulangan Gambar 2.2 Gaya-gaya yang bekerja pada balok Gambar 2.3 Hubungan antara tegangan tulangan dengan average bond stress Bond stresses harus terjadi ketika tegangan atau gaya pada tulangan berubah di tempat disepanjang tulangan. Hal ini dapat terlihat pada free-body diagram pada Gambar 2.3. Jika f s2 lebih besar dari f s1 , bond stresses μ harus terjadi disepanjang permukaan tulangan untuk menjaga kesetimbangan. Penjumlahan gaya-gaya parallel pada tulangan menghasilkan average bond stress, μ avg yaitu: Universitas Sumatera Utara l d d f f b avg b s s 4 2 1 2 π µ π = − Dengan pemisalan s s s f f f ∆ = − 1 2 maka, l d f b s avg 4 ∆ = µ 2.10 Jika l diambil sebagai sebuah bentang yang sangat pendek, dx, persamaan ini dapat ditulis menjadi, b s d dx df µ 4 = 2.11 dimana μ adalah true bond stress yang terjadi di sepanjang dx. Pada balok, gaya di dalam tulangan baja ketika patah dapat dinyatakan sebgagai: jd M T = 2.12 Dimana jd ialah lengan momen dan M adalah momen yang terjadi. Jika ditinjau bentang balok diantara dua retakan, seperti yang terlihat pada Gambar 2.4, momen yang terjadi pada dua retakan ialah M 1 dan M 2 . Jika balok hanya bertulangan satu dengan diameter d b , gaya pada tulangan dapat dilihat pada Gambar 2.4c. Penjumlahan gaya-gaya horizontal memberikan persamaan, x d T avg b ∆ = ∆ µ π 2.13 dimana d b merupakan diameter tulangan. Persamaan 2.13 dapat pula dinyatakan dengan, avg b d x T µ π = ∆ ∆ 2.14 sedangkan jd M T ∆ = ∆ , sehingga persamaan 2.14 dapat dinyatakan dalam persamaan 2.15. Universitas Sumatera Utara jd d x M avg b µ π = ∆ ∆ 2.15 Dari free-body diagram pada Gambar 2.4d, dapat dilihat bahwa ΔM = V Δx sehingga ΔMΔx = V. Dengan memasukkan hubungan ini ke dalam persamaan 2.15, maka akan diperoleh hubungan seperti yang dapat dilihat pada persamaan 2.16. jd d V b avg π µ = 2.16 a Balok b Diagram momen c Gaya tulangan d Bagian balok antara potongan 1 dan 2 Gambar 2.4 Tegangan rekatan rata-rata akibat lentur Jika terdapat lebih dari satu tulangan, keliling lingkaran πd b diganti dengan penjumlahan keliling keseluruhan, ΣO, maka, Universitas Sumatera Utara Ojd V avg Σ = µ 2.17 Tulangan polos dapat melekat pada beton dikarenakan adhesi antara beton dan tulangan serta sedikit gesekan. Kedua efek tersebut dapat dengan cepat hilang ketika tulangan dibebani tarik, terutama karena diameter dari tulangan berkurang. Dengan alasan inilah maka tulangan polos secara umum tidak digunakan untuk penulangan. a Gaya pada tulangan b Gaya pada beton c Komponen gaya pada beton d Gaya radial pada beton dan tegangan retak pada potongan penampang Gambar 2.5 Mekanisme bond-transfer Universitas Sumatera Utara Walaupun adhesi dan gesekan terjadi ketika tulangan ulir di bebani untuk pertama kali, mekanisme bond-transfer ini secara cepat dapat menghilang, bond disalurkan dengan memikul pada ulir ditulangan dapat terlihat pada Gambar 2.5a. Kesamaan dan lawanan pemikul tegangan yang terjadi pada beton dapat dilihat pada Gambar 2.5b. Gaya pada beton memiliki komponen longitudinal dan radial, dapat dilihat pada Gambar 2.5c dan Gambar 2.5d. Hal tersebut mengakibatkan tegangan tarik melingkar didalam beton disekitar tulangan. Pada akhirnya, beton akan mengalami retakan dan retakan pada beton mengikuti tulangan disepanjang daerah bawah atau sisi samping permukaan balok. Sekali retakan terjadi, bond transfer akan sangat cepat menurun kecuali kalau tulangan ditetapkan untuk menahan retakan terbuka. Beban yang mengakibatkan terjadinya kegagalan akibat retakan splitting failure ialah dikarenakan: 1. Jarak yang sangat pendek antara tulangan ke permukaan beton atau antar tulangan dengan tulangan yang lainnya. Semakin kecil jarak, semakin kecil beban retakan. 2. Kuat tarik beton. 3. Average bond stress. Ketika ini meningkat, gaya desakan juga meningkat, mengakibatkan kegagalan akibat retakan. Tipikal kegagalan akibat retakan splitting failure permukaan dapat dilihat pada Gambar 2.6. Kegagalan tersebut cenderung umumnya terjadi disepanjang jarak terpendek antara tulangan dan permukaan atau antar tulangan. Pada Gambar 2.6 lingkaran yang menyentuh ujung dari balok dimana merupakan jarak terdekat.Jika jarak tulangan dan permukaan besar jika dibandingkan diameter tulangan, kegagalan pull-out failure bisa terjadi. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.6 Tipikal kegagalan akibat retakan permukaan splitting failure Dikarenakan terdapat banyak variasi tegangan bond yang terjadi disepanjang tulangan pada kondisi tarik, ACI lebih memilih menggunakan konsep dari development length panjang penyaluran dibandingkan tegangan bond. Development length l d merupakan bentang terpendek pada tulangan yang mana tegangan tulangan dapat meningkat dari nol sampai ke leleh f y . Jika jarak dari titik dimana tegangan tulangan sama dengan f y ke ujung tulangan lebih kecil dari l d , tulangan akan tertarik keluar dari beton yang disebut pull-out failure. Panjang penyaluran berbeda pada kondisi tarik dan tekan, karena beban tulangan pada kondisi tarik mengakibatkan tegangan in-and-out bond dan oleh karena itu maka memerlukan sebuah pertimbangan yang menggunakan panjang penyaluran yang lebih panjang. Panjang penyaluran dapat dinyatakan sebagai hubungan dari nilai ultimate average bond stress dengan menggubah f s2 – f s1 pada persamaan 2.10 menjadi sama dengan f y Universitas Sumatera Utara sehingga diperoleh hubungan yang dinyatakan dalam persamaan 2.18 berikut ini: u avg b y d d f l , 4 µ = 2.18 dengan, μ avg,u ialah nilai dari μ avg saat bond failure pada uji balok. Panjang penyaluran kondisi tekan dipertimbangkan lebih pendek dibandingkan kondisi tarik, karena beberapa gaya ditransferkan ke beton melalui pemikul pada ujung tulangan dan karena tidak terdapat retakan pada daerah pengangkuran dan oleh karena itu maka in-and-out bond tidak terjadi. Dasar panjang penyaluran tekan berdasarkan ACI yaitu: y b y b dc f d fc f d l 44 , 24 , ≥ = 2.19 dimana nilai konstanta 0,044 memakai satuan dari “mm 2 N”. Pada perencanaan suatu struktur beton bertulang, pemakaian sambungan lewatan sulit dihindari karena hampir seluruh pendetailan suatu struktur bangunan khususnya bangunan tinggi atau gedung akan menggunakan sambungan lewatan sebagai media penyalur gaya ke tulangan lainya. Oleh karena itu, penempatan sambungan lewatan tulangan longitudinal harus berada diluar daerah sendi plastisyaitu ujung kolom atau balok yang merupakan daerah momen terbesar ketika terjadi gempa, maka salah satu cara untuk menghindari kegagalan akibat lap splice ialah dengan penempatan sambungan lewatan pada tengah bentang elemen struktur tersebut yang dapat dilihat pada Gambar 2.7. Penempatan jarak antar sengkang secara spesifik harus lebih rapat pada daerah sambungan lewatan jika dibandingkan dengan jarak antar sengkang pada tulangan yang tanpa menggunakan sambungan lewatan. Hal ini khususnya untuk perencanaan kolom yang direncanakan sebagai sambungan lewatan tarik karena umumnya tulangan longitudinal pada Universitas Sumatera Utara sambungan lewatan itu cenderung mengalami tegangan tarik yang sangat besar jika dibandingkan dengan tekan, dikarenakan hal tersebut maka panjang lewatan tulangan tarik akan lebih panjang dibandingkan tekan dan harus diikat dengan tulangan spiral atau sengkang tertutup. Makin besar diameter tulangan kolom, makin panjang pula sambungan lewatan yang diperlukan. a Letak daerah dilakukan lap splices b Bidang momen akibat beban gempa Lap splices pada daerah sendi plastis kolom kurang baik Lap splices pada daerah titik balik momen di tengah kolom baik Gambar 2.7 Sketsa letak sambungan lewatan yang baik pada kolom Pada sambungan lewatan, mekanisme penyaluran gaya tarik dari suatu tulangan disalurakan ke beton yang mana dari beton tersebut gaya tarik didistribusikan lagi ke tulangan yang disambungnya. Penggunaan tulangan polos sangat dihindari untuk tulangan utama karena pendistribusian gaya dari satu tulangan yang lain tidak bisa distribusikan secara sempurna bahkan hampir dikatakan tidak bisa. Oleh sebab itu, diwajibkan menggunakan tulangan ulir pada tulangan utama. Pemakaian tulangan ulir akan mengakibatkan terjadinya gaya yang tegak lurus sumbu tulangan dimana gaya tersebut menekan beton, sehingga akan terjadi distribusi tegangan seperti yang terlihat pada Gambar 2.8. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.8 Distribusi tegangan Dari Gambar 2.8, dapat diperhatikan bahwa distribusi gaya dari tulangan disebar secara melingkar ke beton yang terdapat di sekeliling tulangan. Pada daerah yang paling dekat dengan tulangan, tegangannya sangat besar, dan tegangan semakin kecil ketika menjauh atau keluar dari tulangan.Mac Gregor, 2006 Jika beton di sekeliling tulangan tidak cukup tebal, maka beton tersebut akan retak dan mengakibatkan hilangnya kemampuan menyalurkan gaya dari satu tulangan ke tulangan lainnya. Dikarenakan hal tersebut, tebal selimut beton sangat berpengaruh terhadap kerusakan lap splice, dimana panjang lewatan dan selimut beton berbanding terbalik, semakin tebal selimut beton maka panjang sambungan lewatan semakin kecil. Panjang minimum sambungan lewatan tarik harus diambil berdasarkan persyaratan kelas yang sesuai tetapi tidak kurang dari 300 mm. ketentuan masing-masing kelas sambungan tersebut adalah: 1. Sambungan kelas A, panjang minimum sambungan lewatan tarik ialah 1,0 l d . 2. Sambungan kelas B, panjang minimum sambungan lewatan tarik ialah 1,3l d . dimana l d adalah panjang penyaluran tarik untuk kuat leleh f y . Panjang penyaluran l d , dinyatakan dalam diameter d b untuk batang ulir dan kawat ulir dalam kondisi tarik, yang harus ditentukan berdasarkan pada persamaan yang dicantumkan Universitas Sumatera Utara pada Tabel 2.10 atau persamaan 2.10. Tabel 2.10 Panjang penyaluran batang ulir dan kawat ulir SK-SNI 03-2847-2002 Batang D-19 dan lebih kecil atau kawat ulir Batang D-22 atau lebih besar Spasi bersih batang-batang yang disalurkan atau disambung tidak kurang dari d b , selimut beton bersih tidak kurang dari d b , dan sengkang atau sengkang ikat yang dipasang di sepanjang l d tidak kurang dari persyartan minimum sesuai peraturan atau Spasi bersih batang-batang yang disalurkan atau disambung tidak kurang dari 2 d b dan selimut beton bersih tidak kurang dari d b 25 12 c y b d f f d l αβλ = 5 3 c y b d f f d l αβλ = Kasus-kasus lain 25 18 c y b d f f d l αβλ = 10 9 c y b d f f d l αβλ = Untuk batang ulir atau kawat ulir, l d d b harus diambil:       + = b tr c y b d d K c f f d l αβγλ 10 9 2.20 dimana, nilai c+K tr d b tidak boleh diambil lebih besar dari 2,5. Adapun faktor-faktor yang digunakan pada persamaan-persamaan untuk penyaluran batang ulir dan kawat ulir yang berada dalam kondisi tarik tertera dalam tabel 2.11. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.11 Faktor penyaluran batang ulir dan kawat ulir SK-SNI 03-2847-2002 α = faktor lokasi penulangan Tulangan horizontal yang ditempatkan sedemikian hingga lebih dari 300 mm beton segar dicor pada komponen di bawah panjang penyaluran atau sambungan yang ditinjau 1,3 Tulangan lain 1,0 β = factor pelapis Batang atau kawat tulangan berlapis epoksi dengan selimut beton kurang dari 3d b , atau spasi bersih kurang dari 6d b 1,5 Batang atau kawat tulangan berlapis epoksi lainnya 1,2 Tulangan tanpa pelapis 1,0 γ = factor ukuran batang tulangan Batang D-19 atau lebih kecil dan kawat ulir 0,8 Batang D-22 atau lebih besar 1,0 λ = factor beton agregat ringan Apabila digunakan beton agregat ringan 1,3 Walaupun demikian, apabila f ct disyaratkan, maka λ boleh diambil sebesar 8 , 1 ct c f f tetapi tidak kurang dari 1,0 Apabila digunakan beton berat normal 1,0 c = spasi atau dimensi selimut beton, mm. Pergunakan nilai terkecil antara jarak dari sumbu dating atau kawat ke permukaan beton terdekat dan setengah spasi sumbu ke sumbu batang atau kawat yang disalurkan; Universitas Sumatera Utara K tr = indeks tulangan transversal = sn f A yt tr 10 dimana: A tr = luas penampang total dari semua tulangan transversal yang berada dalam rentang daerah berspasi s dan yang memotong bidang belah potensial melalui tulangan yang disalurkan, mm 2 ; f yt = kuat leleh yang disyaratkan untuk tulangan transversal, MPa; s = spasi maksimum sumbu ke sumbu tulangan transversal yang dipasang di sepanjang l d , mm; n = jumlah batang atau kawat yang disalurkan di sepanjang bidang belah. sebagai penyederhanaan perencanaan, diperbolehkan mengasumsikan K tr = 0 bahkan untuk kondisi dimana tulangan transversal dipasang. Untuk sambungan lewatan yang menggunakan tulangan polos pada perencanaannya, daya rekat tulangan polos ke beton hanya menggandalkan adhesi antara beton dengan tulangan dan sedikit gesekan. Agar terjadi keseimbangan antara gaya horisontal, maka beban N yang dapat ditahan sama dengan luas penampang baja dikalikan dengan kuat lekat: µ π × × × = b d d l P 2.21 Dengan mendistribusikan nilai b s A f P × = , dimana untuk mencapai kesetimbangan suatu perencanaan selalu bertujuan tercapainya kondisi leleh pada baja, maka f s = f y , sehingga persamaan 2.21 menjadi: µ π × × × = × b d b s d l A f 2.22 Dengan mensubstitusikan 2 4 b b d A π = dan z d V b × = π µ ke dalam persamaan 2.22, maka akan diperoleh persamaan 2.23 berikut ini: Universitas Sumatera Utara V z f d l y b d 4 2 × × = π 2.23 dimana: f y = tegangan baja leleh, MPa; d b = diameter baja tulangan, mm; l d = panjang penyaluran, mm; V = gaya geser, N; z = lengan momen, mm; Universitas Sumatera Utara

BAB III ANALISIS BEBAN DORONG

NONLINEAR STATIC PUSHOVER

3.1. Pengertian Analisis Beban Dorong

Analisis nonlinear static pushover beban dorong merupakan penyerdehanaan dari analisis nonlinear dynamic time history riwayat waktu. Analisis beban dorong ini menerapkan beban dimana besar beban meningkat terus menerus sampai kondisi yang diinginkan. Dalam analisis ini, beban gempa terdistribusi vertikal dan diasumsikan sebagai beban static yang bekerja pada titik pusat massa disetiap lantai. Beban gempa inilah yang akan ditingkatkan secara bertahap sampai terjadi sendi plastis.

3.2. Analisis Beban Dorong Berdasarkan ATC-40 Capacity-Spectrum Method

Capacity-spectrum method merupakan analisis statis nonlinier yang memberikan hasil berupa grafik dari kurva global force-displacement capacity dengan respone spectra. Hasil tersebut memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana bangunan merespon gerakan gempa. Prinsip metode ini adalah mencari titik temu antara pada spectrum kapasitas dengan respon spectrum sesuai dengan permintaan demand.

3.2.1. Kapasitas Capacity

Kurva kapasitas dibuat untuk mewakili respons dari struktur pada mode pertama, dengan asumsi mode pertama ini adalah mode yang dominan yang bekerja pada struktur.Hal ini umumnya berlaku untuk bangunan dengan periode getaran sampai dengan 1 detik. Universitas Sumatera Utara