2. Memberi inspirasi bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang lebih ideal
sebagai penawar terhadap luka masyarakat dengan terjadinya perdagangan anak sebagai PSK
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat, yaitu: 1.
Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah, pendidik, aparat negara dan khususnya orangtua dalam melakukan optimalisasi pendekatan dan bergerak cepat
dalam menangani kasus perdagangan anak sebagai PSK serta pencegahannya. 2.
Sebagai bahan kajian bagi akademis untuk menambah wawasan kriminologi maupun hukum pidana terhadap perdagangan anak sebagai PSK
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum ada
penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu mengenai Penanggulangan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang
Dieksploitasi Secara Seksual Sebagai Pekerja Seks Komersial PSK. Penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,
rasional, obyektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang
membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah Penanggulangan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban ESKA..
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
Teori adalah pisau analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada. Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka teori yang digunakan adalah
teori penanggulangan kejahatan. Secara tertulis hukum dibuat untuk menciptakan dan melahirkan generasi muda
yang taat terhadap aturan akan tetapi dengan adanya penyakit sosial atau penyakit masyarakat karena gejala sosial mengakibatkan timbulnya Juveni Le Delinquency ialah
perilaku jahat dursila atau kejahatankenakalan anak-anak muda yang mungkin salah satu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku
menyimpang. ”Juvenile” berasal dari bahasa Latin “Juvenilis” artinya anak-anak, anak muda, sifat khas pada masa muda. Delinquent berasal dari kata Latin “Delinquere” yang
berarti terabaikan , mengabaikan yang diperluas menjadi jahat, kriminal.
10
Penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan kebijakan criminal Criminal Policy. Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan,
yaitu pendekatan penal penerapan hukum pidana dan pendekatan non penal pendekatan di luar hukum pidana. dalam Kongres ke-5 PBB: “Criminal policy was an aspect of
social planning and its planning therefore had to be integrated into that of general progress of community…crime prevention policy was one aspect of general social policy
and hence should be integrated into a country’s development planning as a whole.”
11
Disimpulkan dalam Kongres ke-5 PBB bahwa berbagai aspek dari kebijakan penanggulangan kejahatan harus dikoordinasikan dan secara keseluruhan harus
terintegrasi dalam kebijakan sosial pada setiap Negara The many aspects of criminal
10
Kartini Kartono, Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers, 2005, hal. 6.
11
Fifth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Department of Economic and Social Affairs, UN, 2005, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
policy should be coordinated and the whole should be integrated into general social policy of each country.
12
a. Kebijakan Di luar Hukum Pidana Non-Penal Policy
Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, oleh karena itu, sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menimbulkan kejahatan.dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang
strategis dan memegang peranan penting yang harus diintensifkan dan diefektifkan.
13
Secara universal dalam hal penanggulangan kejahatan, pada Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang
belangsung di Havana, Cuba, menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi
pencegahan kejahatan dan peradilan pidana, oleh karena aspek-aspek sosial dalam konteks pembangunan ini harus mendapat prioritas utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil
mengidentifikasi berbagai aspek sosialyang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen ACONF. 144L.3,
yaitu sebagai berikut:
14
1 Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan
sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok
12
Ibid., hal. 21.
13
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana Perkembangan Penyusunan KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2008, Selanjutnya disebut Buku III, hal. 33.
14
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
2 Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek harapan
karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan- ketimpangan sosial
3 Mengendornya ikatan sosial dan keluarga
4 Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke
kota-kota atau ke negara-negara lain 5
Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan
dan lingkungan pekerjaan 6
Menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas
lingkungan kehidupan bertetangga 7
Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di
lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya 8
Penyalahgunan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas
9 Meluasnya aktifitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat
bius dan penadahan barang-barang curian 10
Dorongan-dorongan khususnya oleh media massa mengenai ide-ide dan sikap- sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-
sikap tidak toleran. Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan
kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan, yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat, kesehatan mental masyarakat secara nasional, social
Universitas Sumatera Utara
worker and child welfare kesejahteraan anak dan pekerja sosial, serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi.
15
Pendidikan melalui lembaga sekolah dapat menggunakan pengaruhnya untuk mencegah terjadinya kejahatan kepada siswa-siswanya melalui peningkatan kepekaan
siswa terhadap lingkungan kehidupannya, baik keluarga, kelompok belajar, maupun lingkungan tempat tinggalnya. Lebih dari itu sekolah harus melibatkan diri dalam
penanggulangan kejahatan mulai dari tahun-tahun ajaran baru dengan cara mendata secara komprehensif informasi tentang siswa, baik berupa identitas dan latar belakang
kehidupan mereka, dengan demikian diharapkan sekolah dapat merumuskan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya.
b. Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy
Istilah ”kebijakan” berasal dari bahasa Inggris ”policy” atau bahasa Belanda ”politiek Istilah ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata ”politik”, oleh
karena itu kebijakan hukum pidana biasa juga disebut juga politik hukum pidana.
16
Mengenai kebijakan hukum pidana, Solly Lubis menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang
seharusnya berlaku untuk mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
17
Mahfud MD juga memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, hal
ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan
15
Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hal. 58.
16
Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hal. 65.
17
Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1989, hal. 159.
Universitas Sumatera Utara
hukum itu. Secara konteks hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsitem yang dalam
kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya pasal-pasal, maupun dalam penegakannya.
18
A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk
menentukan:
19
a Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan
perubahan atau diperbaharui; b
Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; c
Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
2. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua dubius dari suatu istilah yang dipakai, oleh karena itu, dalam penelitian ini di defenisikan beberapa konsep dasar
supaya secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: penanggulangan, perlindungan hukum, anak, eksploitasi, eksploitasi
seksual, eksploitasi seksual komersial anak.
1. Penanggulangan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah menghadapi,
atau mengatasi suatu keadaan.
20
18
Mahfud M.D, Politik hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES,1998 hal. 1-2.
19
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996 hal. 28.
20
Pius Partanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya:Arkola, 1994, hal. 332.
Universitas Sumatera Utara
2. Perlindungan hukum anak adalah perlindungan atas semua hak serta kepentingan
yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara alami, jasmani maupun sosial.
21
3. Anak menurut Pasal 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
4. Eksploitasi menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan
hukum memindahkan atau mentransplantasi organ danatau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateriil. 5.
Mengacu pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Anak Pasal 1 ayat 8, Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau
organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tekhnologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui
21
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan: USU Press, 1998, hal.26.
Universitas Sumatera Utara
proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah dikumpulkan.
22
Penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus
senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.
23
Metode penelitian adalah merupakan upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu
permasalahan berdasarkan metode tertentu.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-
kaedah atau norma-norma hukum positif, dan yuridis empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan meninjau masalah yang diteliti dari segi ilmu hukum dengan
melihat serta mengaitkan dengan kenyataan yang ada di dalam implementasinya yang bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatanperistiwa alamiah dalam praktek sehari-
hari.
24
Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal doctrinal research, yaitu peneltian yang menganalisis
hukum baik yang tertulis di dalam buku law at it is written in the book, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan law as it decided by
the jungle through judicial process.
25
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI:Press, 2005, hal. 5-6.
23
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 64.
24
Johny ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2008, hal. 282.
25
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada
majalah akreditasi, Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yuidis normatif yang digunakan dalam penyusunan tesis ini didukung oleh penelitian empiris untuk melihat perilaku hukum sebagai pola perilaku
masyarakat dan terlihat sebagai kekuatan sosial.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan yang diurut berdasarkan hierarki
26
seperti peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Undang-undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks
yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium
mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.
27
Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan,
hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan. c.
Bahan Hukum Tersier
26
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 141.
27
Jhony Ibrahim, Op. Cit., hal. 296.
Universitas Sumatera Utara
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
28
berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.
Selain itu juga menggunakan data primer yang diperoleh dari responden langsung dan lapangan. Untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan
wawancara.
29
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan Library Research yaitu melalui penelusuran dokumen-
dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.
30
Penelitian kepustakaan dalam hal ini didukung oleh penelitian lapangan yang berupa:
a. Wawancara kepada korban ESKA sebanyak 10 informan
b. Wawancara kepada Pusat Kajian Perlindungan Anak
c. Wawancara kepada aparat penegak hukum yaitu polisi yang bernama
Hotdison Manurung, SH, jaksa yang bernama J. Simamora, SH, dan hakim Nurnaningsih, SH, MH
4. Analisis Data
Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisa data. Teknik analisa data yang dipakai
adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh,
sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya
28
Ibid.
29
Tampil Anshari Siregar. Metode Penelitian Hukum. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007, hal 77.
30
Johny Ibrahim, Op. Cit., hal. 392.
Universitas Sumatera Utara
semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriftif,
31
sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi
atas permasalahan dalam penelitian ini. Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam kategori dan satuan ujraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
32
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dikumpulkan dan kemudian diedit dengan
mengelompokkan, menyusun secara sistematis, dan analisis secara kualitatif selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir
deduktif ke induktif.
31
M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 , hal. 133.
32
Lexy Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 2002, hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL
ANAK
Perdagangan dan eksploitasi seksual pada anak, khususnya perdagangan anak perempuan untuk kepentingan pelacuran merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri
dan telah memburuk seiring dengan bertambah kompleksnya persoalan sosio-ekonomi yang saat ini terjadi di Indonesia.
Ada aturan hukum yang secara tertulis memndefenisikan arti kata ”eksploitasi” yaitu dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan koban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan
atau mentransplantasi organ danatau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun immateriil. Selanjutnya lebih spesifik lagi mendefenisikan eksploitasi secara seksual, Pasal 1
ayat 8 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, bahwa eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ
tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara juga mengatur tentang perdagangan orang khususnya perdagangan perempuan dan anak yang diatur dalam PERDA No. 6
Tahun 2004. Defenisi ” perdagangan perempuan dan anak ”dalam Pasal 1 huruf o
Universitas Sumatera Utara