Fragmentasi Habitat TINJAUAN PUSTAKA

Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990, hutan Indonesia telah berkurang akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan permukiman, kebakaran hutan, serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan 10 desentralisasi pengelolaan hutan pada 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi di Indonesia. Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi orangutan Soehartono et al. 2007. Kawasan hutan tropis dalam lingkup Daerah Aliran Sungai DAS Batang Toru yang menjadi kawasan habitat orangutan Sumatera berdasarkan peta vegetasi Sumatera yang disusun oleh Laumonier et al. 1987 dapat dikategorikan menjadi 2 sub-tipe formasi hutan. Pertama, sub-tipe Formasi Air Bangis-Bakongan yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan Barat perbukitan berelevasi menengah 300 sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Kedua, sub-tipe Hutan Montana 1000-1800 meter di atas permukaan laut yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan di atas 1000 meter dari permukaan laut Perbatakusuma et al. 2007.

2.6. Fragmentasi Habitat

Tilson et al. 1993, Rijksen Meijaard 1999, van Schaik et al. 2001, dan Robertson van Schaik 2001 menyatakan bahwa orangutan yang sudah dikategorikan terancam secara global, kelangsungan hidupnya sangat terancam akibat dari rusak dan hilangnya habitat alamiah serta terpecahnya habitat fragmentasi yang diakibatkan oleh penebangan kayu liar, penebangan kayu komersil yang tidak berkelanjutan, perladangan berpindah dan konversi hutan alam skala besar untuk perkebunan atau pertambangan mineral secara terbuka. Ditambahkan karakter perilaku orangutan yang rentan terhadap kepunahan, seperti mempunyai daerah jelajah yang luas 1500-4000 hektar untuk individu jantan dewasa dan 850-950 hektar untuk individu betina dewasa Singleton van Schaik, 2001, berukuran besar, sebaran geografisnya relatif sempit, membentuk Universitas Sumatera Utara kelompok secara tetap atau sementara, menghendaki lingkungan habitat yang relatif stabil dari gangguan dan tidak mempunyai kemampuan menyebar dan adaptasi yang baik jika habitatnya mengalami gangguan yang berat. Ancaman kerusakan habitat orangutan di Kawasan Hutan Batang Toru semakin tinggi akibat dari aktifitas pertambangan, perambahan hutan dan illegal logging. Peta 2.3 berikut ini menunjukkan laju kerusakan habitat orangutan di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat dari tahun 2001 sampai 2003. Gambar 2.3. Kondisi Perubahan Peningkatan Kerusakan Habitat Alamiah Orangutan Sumatera di Kawasan Hutan DAS Batang Toru Barat pada Tahun 2001 Dibandingkan pada Tahun 2003 CI Indonesia, PT. Newmont Horas Nauli, Departemen Kehutanan Hutan yang telah terdegradasi komposisi pohonnya sudah bercampur dengan tanaman budidaya masyarakat seperti karet, coklat, durian, aren, kemenyan, kopi dan petai. Pada titik-titik orangutan ditemukan, kondisi vegetasinya masih sangat baik walaupun itu hanya merupakan pecahan-pecahan hutan alam yang disekelilingnya sudah berubah menjadi kebun-kebun masyarakat. Situasi ini mengindikasikan bahwa walaupun tekanan perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan yang sangat tinggi, orangutan di Blok Batang Toru Barat masih dapat bertahan hidup, karena didukung ketersediaan sumber pakan aren, durian, petai dan tajuk berlapis kebun-kebun masyarakat. Hal itu juga menunjukan terjadinya kompetisi sumber makanan antara manusia dan orangutan, akibat kemungkinan kelangkaan sumber pakan di hutan alam. Situasi ini Universitas Sumatera Utara menjadikan masyarakat setempat pada beberapa tempat menyatakan orangutan sebagai hama pengganggu tanaman budidaya masyarakat. Kondisi ini tentunya menyebabkan kelangsungan hidup orangutan secara jangka panjang tidak berjalan harmonis dengan pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat yang ada sekarang ini disekitar habitat orangutan. Sehingga habitat alami orangutan menjadi penting untuk tidak dirusak guna mendukung ketersediaan sumber pakannya Perbatakusuma et al. 2007. Gambar 2.4. Kerusakan Habitat Alamiah Berupa Penebangan Kayu Liar Adalah Salah Satu Ancaman Bagi Habitat dan Populasi Orangutan Sumatera di DAS Batang Toru CI Indonesia, PT. Newmont Horas Nauli, Departemen Kehutanan. Menurut Meijaard et al. 2001, penebangan hutan telah menurunkan produktivitas makanan satwa liar frugifora karena mengganggu siklus hara dan keseimbangan ekosistem. Menurut Conservation International, 2006 di Pulau Sumatera dalam kurun waktu 25 tahun populasi orangutan menurun hingga 80. Penebangan hutan secara langsung telah mengakibatkan penurunan kualitas habitat satwaliar, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kegiatan eksploitasi kayu secara resmi ataupun illegal yang mencapai puncaknya pada tahun 1980-an telah merusak habitat orangutan antara 50 sampai kerusakan total Populationand Habitat Viability Assessment PHVA, 2004. Dampaknya, komunitas orangutan terpecah menjadi unit-unit yang lebih kecil dan tidak mampu bertahan hidup. Selain itu, kerusakan habitat sangat mempengaruhi kemampuan orangutan untuk melakukan reproduksi, yang akhirnya akan menyebabkan populasinya di alam semakin menurun Kuswanda, 2007. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 BAHAN DAN METODE