61
Ketiga,dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakanmukhalafat.
Pasalnya, negara dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-
urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain
sebagainya. Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya maka pada kasus
semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Kelima, pada dasarnya, Nabi Saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy.Anjuran
untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan sunnah muakkadah.
88
D. Perkawinan Dalam Perspektif Masyarakat Adat Aceh
Keluarga adalah satu-satunya jama’ah berdasarkan hubungan darah atau hubungan perkawinan yang diakui Islam.
89
Keluarga adalah merupakan cermin dari suatu kelompok atau komunitas terkecil, sehingga dalam keluarga tersebut adanya
kepala keluarga yang merupakan sebagai imam keluarga.
88
Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif, Perikatan Nikah, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007, hal. 2.
89
Joseph Schacht, 1985, Pengantar Hukum Islam, Penerjemah Raden fatah Palembang, Direktorat jenderal Pembinaan Kelembagaan Departemen Agama RI, Jakarta, hal.1
Universitas Sumatera Utara
62
Di sebutkan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 yaitu: Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Pasal 2
1 Perkawinan adalah
sah, apabila
dilakukan menurut hukum
masing- masingagamanya dan kepercayaannya itu.
2 Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut
peraturan perundang-undangan
yangberlaku. Pasal 3
1 Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2 Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4 1 Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2 Pengadilan dimaksud data ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
Universitas Sumatera Utara
63
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Perkawinan adalah perjanjian berdasarkan hukum Islam dalam Undang- Undang No.1 Tahun 1974 dan ia meninggalkan bekas-bekas yang menunjukkan
kemajuan. Untuk memperoleh jodoh pengantin perempuan, pengantin laki-laki mengatur dan menentukan kontrak dengan wali yang sah dari pihak perempuan
tersebut dan dia berkewajiban membayar mahar, bukan kepada wali sebagaimana yang berlaku di masa Jahiliyah dalam adat kebiasaan sebelum Islam, tetapi kepada
istri itu sendiri. Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia yang mempunyai banyak
tahapan sebelum seseorang benar-benar resmi menjadi suami istri maka di Aceh pun demikian pula adanya. Sebelum mempelai resmi menjadi suami istri haruslah terlebih
dahulu melewati beberapa prosesi adat yang panjang. Prosesi adat pernikahan di Aceh ini dibagi dalam beberapa tahapan yang kesemuanya wajib dilalui oleh kedua
mempelai. Adapun tahapan-tahapan dalam pernikahan adat Aceh. 1. Tahap Melamar Ba Ranup,Ba Ranup atau tahapan melamar ini sendiri di
Aceh di atur dengan adat yang panjang yakni terlebih dahulu jika seorang lelaki yang dinilai sudah cukup dewasa sudah saatnya berumah tangga maka
untuk mencari jodoh bagi si lelaki tersebut atau jika seorang lelaki memiliki pilihan sendiri terhadap seorang perempuan untuk menjadi istrinya maka hal
pertama yang harus dilakukan adalah mengutus kerabat yang dituakan dan dianggap cakap dalam berbicara disebut sebagai theulangke untuk menemui
Universitas Sumatera Utara
64
keluarga sang perempuan untuk menanyakan status sang perempuan apakah yang bersangkutan
sudah dipinang atau belum. Jika ternyata yang
bersangkutan belum dipinang dan tidak ada ikatan apapun dengan orang lain maka barulah theulangke mengutarakan lamarannya. Pada hari yang telah
ditentukan kedua belah pihak kemudian pihak keluarga laki-laki mengutus beberapa orang yang dituakan untuk datang ke rumah orang tua pihak
perempuan untuk melamar secara resmi dengan membawa sirih dan artinya sebagai simbol penguat ikatan dan kesungguhan. Setelah acara lamaran
selesai dan rombongan pelamar telah pulang maka barulah kemudian keluarga yang dilamar yaitu keluarga sang perempuan bermusyawarah dengan anak
gadisnya mengenai diterima atau tidaknya lamaran tersebut. 2. Tahap Pertunangan Jakba TandaJika kemudian lamaran tersebut diterima
oleh pihak perempuan maka prosesi selanjutnya adalah keluarga pihak laki- laki akan datang kembali ke rumah orang tua sang perempuan untuk
membicarakan hari perkawinannya disebut peukeong haba sekaligus juga menetapkan seberapa besar mahar yang diinginkan oleh sang calon mempelai
perempuan disebut jeunamee dan seberapa banyak tamu yang akan diundang dalam resepsi tersebut.
Pada acara yang sama setelah semua musyawarah tentang besarnya mahar, hari perkawinan dan banyaknya tamu yang nanti akan diundang yang
dilakukan oleh keluarga kedua calon mempelai mencapai kata sepakat, barulah
kemudian dilanjutkan
dengan acara
berikutnya yakni
acara
Universitas Sumatera Utara
65
pertunangan atau yang disebut dengan Jakba Tanda. Dalam acara ini pihak calon mempelai laki-laki akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah
Aceh dan juga barang-barang lainnya, yang diantaranya buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan
perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Ada kalanya meski kedua pihak telah sampai pada tahap pertunangan
perkawinan itu batal karena berbagai hal maka penyelesain dalam pertunangan ini jika ternyata pada akhirnya kedua belah pihak gagal
bersanding di pelaminan maka tanda emas yang telah diberikan itu jika yang menyebabkan gagalnya perkawinan tak jadi menikah adalah calon mempelai
pria maka tanda emas itu akan dianggap hangus tapi jika ternyata penyebabnya adalah calon mempelai wanita maka tanda emas itu harus
diganti sebanyak dua kali lipat. 3. Pesta Pelaminan setelah semua tahapan dapat dilalui maka barulah kemudian
acara inti pun digelar yaitu pesta perkawinan itu sendiri. Dua prosesi lain dalam adat perkawinan masyarakat Aceh yang juga tak kalah pentingnya yaitu
dara baru yang berarti penjemputan secara adat yang dilakukan pihak pengantin laki-laki terhadap pihak pengantin perempuan dan linto baroe yang
bermakna sebaliknya. Setelah kedua mempelai melakukan akad nikah dihadapan pak kadi dan telah resmi menjadi sepasang suami istri, pesta pun
digelar untuk memberi kesempatan kepada seluruh tamu undangan yang ingin mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.Akad harus ditetapkan
Universitas Sumatera Utara
66
disahkan dengan kehadiran dua saksi yang merdeka, yaitu: dua orang laki- laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Ini memiliki maksud
ganda : memberikan bukti adanya perkawinan. Keperluan saksi untuk tujuan kedua lebih rendah dari pada untuk tujuan pertama, sehingga saksi apabila
melihat kesalahan hukum, boleh jadi meyakinkan tujuan kedua, tetapi bukan yang pertama. Kontrak ini satu-satunya perbuatan hukum yang relevant
dengan menetapkan adanya perkawinan, yaitu apabila khalwah bersunyi diri antara suami dan isteri, dan dukhul persetubuhan sehingga merupakan fakta
dapat memiliki efek yang sah manakala perkawinan terakhir, putus karena suatu sebab, tetapi itu semua tidaklah penting karena berakhirnya.
Maka nikah lebih dalam artinya daripada kawan. Sekalipun nikah itu mengandung arti kawan, tetapi lebih inti bahkan arti kawan dalam
keseluruhan terkandung dalam nikah itu. Sebelum nikah hendaklah manusia yang melakukannya mengetahui benar dan secara mendalam arti daripada
kawan. Maka dalam Islam umpamanya–sebelum kawin hendaklah mengetahui calon pasangannya sekalipun tanpa persahabatan atau pacaran yang melanggar
sopan santun dan yang menimbulkan syahwat atau sangkaan yang bermacam- macam. Perkawinan di dalam Islam harus berdasarkan suka sama suka dan
tidak ada paksaan dari siapapun juga sekalipun ibu-bapa. Tidak boleh pula disebabkan oleh sesuatu problema sebelumnya yang menjadikan pernikahan
itu terpaksa dilakukan. Umpamanya yang kerap berlaku dewasa ini
Universitas Sumatera Utara
67
disebabkan oleh pacar-pacar yang akhirnya menyeleweng dan timbul suasana yang sulit diatas.
Pada dasarnya secara alamiah perkawinan itu wajib dilakukan. Ternyata soalnya tidak dapat dielakkan, karena tabiat manusia memerlukannya. Semua
makhluk melakukan pernikahan untuk berkembang dan melestarikan jenis makluk itu. Sebenarnya menurut kebiasaan pria mencari wanita yang benar-benar wanita,
demikian pula wanita mencari pria yang jantan, sebab dasarnya masing-masing adalah penyempurna dari yang lain dan melengkapkan kekurangan masing-masing.
Di dalam bahasa Al-Qur’an perbedaan ini didapatkan dalam pemakaian bahasa itu sendiri. Ada perbedaan dalam memakai kata-kata untuk menunjuk kepada pria dan
ada pula yang spesial untuk wanita. Bahkan ada kata-kata yang dipakai sebagai wanita dan ada pula yang dipakai sebagai pria sekalipun tidak ada tanpa apa pun yang
menunjukkan kewanitaannya atau kepriaannya.
90
Perkawinan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah dan zawa.j
91
Kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan sehari- hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi. Kata na-ka-
ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat An-Nisa’ ayat 3 yang artinya : Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak
yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang.
90
Fuad Mohd.Fachruddin, 1992, Kawin Mut”ah Dalam Pandangan Islam,Pedoman Ilmu jaya, Jakarta, hal.2
91
Amir Syarifuddin, 2003, Garis-garis Besar fiqih, Prenada media, Jakarta,hal.73
Universitas Sumatera Utara
68
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37 yang artinya : Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan menceraikan istrinya : Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmun untuk mengawini mantan istri-istri
anak angkat mereka. Secara arti kata nikah atau zawaj berarti “bergabung” “hubungan kelamin”
dan juga berarti “akad”. Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fikih banyak diartikan dengan : akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja. Para ahli fikih biasa menggunakan rumusan defenisi sebagaimana tersebut
diatas dengan penjelasan sebagai berikut : a. Penggunaan lafaz akad untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu
perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan dibuat dalam bentuk akad karena ia adalah peristiwa
hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki- laki dan perempuan.
b. Penggunaan ungkapan yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin, karena pada dasarnya hubungan laki-laki dan perempuan itu adalah
terlarang, kecuali ada hal-hal yang membolehkannya secara syara’. Diantara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah
diantara keduanya. Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh itu.
Universitas Sumatera Utara
69
c. Menggunakan kata, yang berarti menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan itu mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja, oleh karena dalam awal Islam disamping akad nikah itu ada lagi
usaha yang membolehkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan itu, yaitu pemilikan seseorang laki-laki atau seseorang perempuan atau disebut
juga “perbudakan”. Bolehnya hubungan kelamin dalam bentuk ini tidak disebut perkawinan atau nikah, tetapi menggunakan kata “tasarri”.
92
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut diatas yang perlu diperhatikan : a. Digunakannya kata “seseorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti
bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh
beberapa negara Barat. b. Digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istrilah “hidup bersama”.
c. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tanggal yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan
temporal sebagaimana
yang berlaku
dalam perkawinan
mut’ah dan
perkawinan tahlil.
92
Ibid, hal.80
Universitas Sumatera Utara
70
d. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk
memenuhi perintah agama. Fiqih yang mengatur hal ihwal perkawinan ini disebut fiqhmunakahat.
Munakahat itu termasuk dalam lingkup muamalat dalam artian umum, yang mengatur hubungan antara sesama manusia. Masuknya munakahat itu ke dalam lingkup
muamalat karena ia memang mengatur hubungan antara suami dengan istri dan antara keduanya dengan anak-anak yang lahir, dalam kehidupan keluarga menurut keridhaan
Allah. Dengan demikian kajian tentang perkawinan ini begitu luas karena menyangkut hal ihwal hubungan-hubungan tersebut, menurut yang dikehendaki oleh
agama Islam. Dalam pandangan Islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah
Rasul. Sunnah Allah berarti : menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.
Sifatnya sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut :
a. Allah menciptakan
makhluk ini
dalam bentuk
berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat Az-Zuriyat ayat 49 yang artinya : Dan
segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.
Universitas Sumatera Utara
71
b. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam surat Al- Najm ayat 45 yang artinya : Dan dialah yang menciptakan berpasang-
pasangan laki-laki dan perempuan. c. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi
dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini disebutkan Allah dalam surat Al-Nisa’ ayat 1 yang artinya : Hak sekalian manusia bertaqwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari satu diri; dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. d. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat dari kebesaran Allah
dalam surat Al-Rum ayat 21 yang artinya : Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
93
Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan perkawinanpernikahan itu maka perkawinanpernikahan itu adalah perbuatan yang
lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya adalah sunat menurut pandangan jumhur ulama. Hal ini berlaku
secara umum. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan
93
Fuad Mohd.Fachruddin Op.Cit. hal.28
Universitas Sumatera Utara
72
itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya serta situasi yang melengkapi suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci jumhur ulama
menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut:
a. Sunat bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan
perkawinan. b. Makruh bagi
orang-orang yang belum
pantas untuk kawin, belum
berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinana,
namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lainnya.
c. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, ia khawatir akan terjerumus
ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin. d. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’
untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’, sedangkan dia meyakini perkawinan itu akan
merusakan kehidupan pasangannya. e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk
kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.
Universitas Sumatera Utara
73
Ada beberapa tujuan dari disyari’atkan perkawinan atas umat Islam. Diantaranya adalah :
a. Untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan datang.
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.
Ada beberapa motivasi yang mendorong seseorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan
seseorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah : karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang
laki-laki; karena
kekayaannya; karena
kebangsawanannya dan
karena keberagamaannya. Diantara alasan yang banyak itu, maka yang paling utama untuk
dijadikan motivasi adalah karena keberagamaannya. Menurut pengertian sebagian fukaha, perkawinan ialah : “Aqad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj atau semakna keduanya.
94
Pengertian itu dibuat hanya melihat dari segi saja ialah kebolehan hukum, dalamhubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang
menjadi dibolehkan. Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia pada
umumnya dalam kehidupannya sehari-hari. Dapat terjadinya perceraian, kurang
94
Zakiah Daradjat, 1995, Ilmu Fiqih jilid 2, PT.Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, hal.37
Universitas Sumatera Utara
74
adanya keseimbangan antara suami isteri, sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan bukan saja dari segi kebolehan hubungan tetapi juga dari segi tujuan dan
akibat hukumnya. Jika kita menyadari hal itu maka pengertian perkawinan diatas harus diperluas sehingga dapat mencakup pelaksanaan, tujuan dan akibat hukumnya.
Pengertian seperti ini kita dapati para ahli hukum Islam Mutaakh Khiriin seperti yang ditulis oleh Muhamad Abu Ishrah bahwa Nikah atau Ziwaj ialah : “Aqad yang
memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga suami-isteri antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi
pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”. Dari pengertian yang kedua ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum
melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta tujuan mengadakan
hubungan pergaulan
yang dilandasi
tolong-menolong. Karena
perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuanmaksud mengharapkan keridhaan Allah swt.
Tegasnya, perkawinan ialah suatu aqad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih-sayang dengan cara yang diridhai Allah Swt.
Kalau pelaksanaan perkawinan itu merupakan pelaksanaan hukum agama, maka perlulah diingat bahwa dalam melaksanakan perkawinan itu oleh agama
ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut rukun-rukun dan masing-masing rukun memerlukan syarat-syarat sahnya.
Universitas Sumatera Utara
75
1. Rukun perkawinan a.
Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yakni mempelai laki- laki dan mempelai perempuan.
b. Adanya wali
c. Adanya 2 orang saksi
d. Dilakukan dengan shighat tertentu
2. Syarat dua mempelai Syarat dua mempelai itu ialah :
a. Syarat pengantin pria
Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasar ijtihad para ulama, ialah :
1 Calon suami beragama Islam 2 Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki
3 Orangnya diketahui dan tertentu 4 Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon isteri
5 Calon mempelai laki-laki tahukenal pada calon isteri serta tahu betul calon isterinya halal baginya
6 Calon suami ridha tidak dipaksa untuk melakukan perkawinan itu 7 Tidak sedang melakukan Ihram
8 Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri 9 Tidak sedang mempunyai istri empat
Universitas Sumatera Utara
76
Pernikahan dapat membentuk suatu masyarakat, maka dalam pernikahan tersebut tercakup pula ikut sertanya masyarakat yang dimulai dari uni terkecilnya
yaitu keluarga. Adapun fungsi keluarga dalam masyarakat adalah sebagai berikut :
a. Wadah anggota masyarakat b. Sumber kebutuhan hidup sehari-hari lahir dan batin
c. Tempat pendidikan dan kebudayaan, yang merupakan salah satu dari catur pusat pendidikan
d. Pusat rohaniah dalam menjalankan syari’at agama ibadah e. Pusat kegiatan ekonomi
Pada dasarnya golongan fuqaha yakni jumhur berpendapat bahwa menikah itu hukumnya sunah, sedangkan golongn Zahiri mengatakan bahwa menikah itu wajib.
Para ulama maliki Muta’akhirin berpendapat bahwa menikah itu wajib untuk sebagian orang dan sunah untuk sebagian lainnya dan mubah bagi golongan lainnya.
Hal ini ditinjau berdasarkan kekhawatiran terhadap kesusahan atau kesulitan dirinya.
95
Perbedaan pendapat ini disebabkan permasalahan apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis berikut serta hadis-hadis lainnya yang berkenaan
dengan masalah ini, apakah harus diartikan kepada wajib, atau sunah, atau mungkin mubah.
95
Slamet Abidin, H. Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat, CV. Pustaka Setia, bandung, hal.31
Universitas Sumatera Utara
77
Islam mempunyai sesuatu karakter sosial yang mendasar, dan keluarga adalah inti masyarakatnya.
96
Islam cenderung memandang keluarga sebagai sesuatu yang mutlak baik dan mendekati suci. Di samping memberikan ketentraman dan dukungan
timbal balik dan saling pengertian antara suami isteri, fungsi yang jelas dari keluarga adalah memberikan saluran kultural dan legal yang dapat diterima dalam memuaskan
naluri seksual maupun untuk membesarkan anak sebagai generasi baru. Namun Islam mempunyai peranan yang lebih hakiki, bagi keluarga. Dalam sistem keluarga itulah
kaum Muslim mendapatkan pembinaan agama, mengembangkan watak moralnya, menegakkan hubungan sosialyang akrab, dan memelihara kesetiaan, baik kepada
keluarga maupun kepada masyarakat pada umumnya. Sistem dukungan dalam keluarga finansial, sosial, maupun emosianal samalah artinya dengan menegakkan
ketenangan pikiran dan keamanan yang diperlukan bagi perjalanan hidup. Ini terutama penting bagi para anggota yang bergantung secara sosial, yakni anak, orang
tua, orang dewasa menunggal khususnya wanita, maupun orang sakit dan orang cacat.
Keluarga dalam Islam meliputi inti keluarga suami, istri, dan anak mereka. Dan varitas-varitas yang meluas yang mencakup semua kerabat ahl. Ada hukum-
hukum khusus yang mengatur hubungan keluarga, yang detail-detailnya di luar bahasan kita sekarang.
Suami dan istri adalah unsur pokok dalam pembentukan keluarga. Hubungan mereka dalam perkawinan digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai dua kualitas pokok:
96
Abd.Al-Rahim ‘Umran, 1997, Islam KB, PT.Lentera Basritama, Jakarta, hal.11
Universitas Sumatera Utara
78
cinta birahi, persahabatan, pertemanan di satu sisi, dan rahmah pengertian, kedamaian, toleransi, dan saling memaafkan disisi lain, dalam tujuan menyeluruh
berupa ketenteraman. Al-Qur’an menyebutkan yang artinya : Dan di antara tanda- tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di anatara kamu kasih dan sayang. QS. Ar-Rum :21.
Ayat ini sering dikutip dalam menggambarkan salah satu tujuan kehidupan rumah tangga. Dimulai dengan merujuk ke kesatuan asal suami dan istri, yang
merupakan suatu pengukuhan tentang persamaan dan basis bagi keselarasan di anatara mereka. Maka kemudian menyusul dengan sendirinya ketentraman yang akan
didapatkan oleh suami dan istri. Ayat kunci ini menyimpulkan dengan merujuk kepada hubungan sosial di dalam keluarga, yang berkisar dari cinta dan kelembutan
kepada pengertian, sayang, dan belas kasih. Tidak ada ekspresi yang lebih baik tentang hubungan antara dua makhluk
manusia yang hidup bersama-sama dalam ikatan perkawinan yang diberkati. Hubungan seperti ini dinilai demikian tingginya sehingga Allah menjadikannya
sebagai bagian dari tanda-tanda-Nya, dan memanglah demikian adanya. Perkawinanpernikahan adalah hal mendasar dalam pembentukan keluarga
Islam. Nabi Muhammad Saw memuji institusi sebagai bagian dari sunah beliau. Kehidupan menunggal secara permanen atas kehendak sendiri bukanlah cara Islam.
Hal ini dilarang dengan tegas oleh Nabi. Beberapa sahabat Nabi, dalam gairah mereka untuk beribadah secara tulus tanpa putus-putusnya, hendak menggunakan
Universitas Sumatera Utara
79
baju wol kasar wol dalam bahasa Arab adalah shuf, dan dari satu lahir kata shufi, meninggalkan seks dikebiri; berpuasa terus-menerus, dan sebagainya. Ketika hal ini
disampaikan kepada Nabi, beliau menjadi marah dan mencela orang-orang yang bersangkutan dalam kata-kata yang tidak ramah.
Suatu pendirian yang ditimbulkan oleh khayalan mereka bahwa kewanitaan itu identik dengan kelemahan tubuh dan akal, dan bahwa kejantanan adalah identik
dengan kekuatan dan kecerdasan. Sebenarnya tabiat manusia pada laki-laki maupun wanita adalah sama. Allah swt. memberikan kepada wanita-wanita sebagaimana
memberikan pula kepada laki-laki, kemampuan yang cukup untuk memikul segala tanggung jawab, sehingga kedua jenis itu dapat melaksanakan tugas-tugas insan yang
umum dankhusus. Karena inilah hukum-hukum Syariat Islam menempatkan kedua jenis itu pada
satu bingkai. Laki-laki menjual dan membeli, mengawinkan dan mengawini, berbuat salah dan dihukum, mendakwa dan menjadi saksi. Perempuan demikian pula menjual
dan membeli, mengawinkan dan mengawini, berbuat salah dan dihukum serta mendakwa dan menjadi saksi.Kalau diteliti keadaan laki-laki dan perempuan tentu
dapatdilihat bahwa mereka dalam hidup ini merupakan pendiri perusahaan atau pabrik, yang tugas buruhnya dibagi-bagi dalam segi dan tulang punggungnya tidak
lain kedua jenis itu bersama-sama, masing-masing menjalankan tugasnya dalam perusahaan itu dan dalam menjalankan tugas tersebut mempunyai ilmu pengetahuan,
kebijaksanaan, pengurusan dan pandangan.
Universitas Sumatera Utara
80
Kalau Al-Qur’an telah memberikan garis-garis umum dimana laki-laki dan perempuan sama-sama berjalan diatas garis itu, dan dimana nampak bahwa
kedudukan wanita pada umumnya adalah sama dengan kedudukan laki-daki, sedang kedua kedudukan itu membentuk suatu cara hidup, yang umum dalam hal tugas,
tuntutan pertanggung jawaban dan pelaksanaannya, maka Al-Qur’an pun mengakui kedua kedudukan itu. Dalam membicarakan hal ini Al-Qur’an sama-sama
menyebutkan para pembangun laki-laki dan para pembangun perempuan demikian pula para pengrusak baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu menunjukkan dengan
jelas bahwa kedua jenis itu sejak dahulu merupakan kekuatan yang mendorong, memberi arah dan menghasilkan. Mungkin menghasilkan kebaikan dan perbaikan,
dan mungkin pula menghasilkan keburukan dan kerusakan. Pena-pena ahli sejarah yang tak terlupakan mencatat perbaikan para pembangun laki-laki dan perempuan
dan mencatat pengrusakan para pengrusak laki-laki dan perempuan. Karena itu, kedudukan laki-laki dan wanita dalam syariat Al-Qur’an sesuai dengan kedudukan
sejarahnya dalam Al-Qur’an. Dalam sejarah yang dikisahkan oleh Al-Quranul Karim tentang orang-orang
dahulu yang kita hafal sejak diutusnya Nabi Muhammad Saw. terdapat beberapa contoh yang jelas menunjukkan bahwa kedudukan sejarah wanita seperti kedudukan
sejarah laki-laki. Laki-laki mempunyai kepercayaan kepada Allah, kemurnian pendapat, kepandaian mengurus, kecerdasan pandangan, kekuatan menangkap tanda
dan alamat, kemampuan mengungkapkan fakta-fakta yang tersembunyi dan pelaksanaan berbagai urusan atas dasar yang kuat. Maka wanitapun mempunyai itu
Universitas Sumatera Utara
81
semua yang bisa mempertahankan kedudukannya, bahkan kadang-kadang melebihi kedudukan saudaranya yang laki-laki.
Nikah di bawah tangan menurut hukum Islam, maka dapat diambil suatu pelajaranyaitu syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam tersebut ialah :
1. Harus ada calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang telah akil dan baliq.
2. Adanya persetujuan yang bebas antara kedua calon pengantin tersebut. 3. Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan.
4. Harus ada 2 dua orang saksi laki-laki muslim yang adil. 5. Harus ada mahar emas kawin yang diberikan oleh pengantin laki-laki
kepada istrinya. 6. Harus ada ijab dan kabul antara calon pengantin tersebut. Ijab artinya
pernyataan kehendak dari calon pengantin perempuan yang diwakili oleh walinya, dan kabul pernyataan kehendaknya penerimaan dari calon
pengantin pria kepada calon pengantin wanita, yang tidak boleh berjarak yang lama antara ucapan ijab dengan pernyataan kabul tersebut.
7. Menurut tradisi semenjak dulu selesai mengucapkan akad nikah dalam bentuk formal ijab dan kabul, diadakan walimah atau pesta perkawinan, menurut
kemampuan para mempelai. Kewajiban dalam Pergaulan Suami-Isteri disebutkan dalam pasal
97
: Pasal 67
97
Markaz al-risalah, 2004, Hak-Hak Sipil Dalam Islam, Al-huda, Jakarta, hal.97
Universitas Sumatera Utara
82
1. Suami dan isteri haruslah bergaul menurut cara yang ma’ruf baik, yaitu saling mencintai, bergaul baik, serta memberi bantun lahir dan batin, antara
satu dengan yang lain. 2. Suami wajib memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya, yaitu
makanminum, pakaian dan tempat kediaman, sesuai dengan kedudukan suami menurut kadar kesanggupannya.
Pasal 68 1. Suami adalah pemimpin terhadap istri, keluarga dan rumah tangganya.
Kedudukannya sebagai pemimpin tidaklah memberikan hak istimewa yang lebih baginya daripada istrinya.
2. Suami harus memberikan kebebasan kepada istrinya untuk belajar ilmu pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi diri, keluarga, Nusa dan
Bangsanya. Pasal 69
Suami dan istri wajib saling memelihara kehormatan dan menyimpan rahasiarumah tangga.
Pasal 70 Suami dan istri memikul kewajiban untuk mengasih, mendidik dan
memelihara anak-anaknya, baik mengenai pertumbuhan jasmaninya atau rohani dan kecerdasannya.
Pasal 71
Universitas Sumatera Utara
83
1. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, harulah mengatur giliran dengan adil kepada istri-istrinya itu.
2. Persetujuan istri-istri dapat memberi kebebasan kepada suami untuk mengatur giliran itu menurut kebijaksanaannya.
Pasal 72 1. Apabila suami yang mempunyai istri lebih dari seorang akan berangkat ke
luar negerinya atau akan pindah negeri, karena pekerjaan, pencaharian atau lainnya, sedang ia tidak sanggup membawa serta semua istrinya, maka boleh
membawa seorang dari istri-istrinya dengan dengan persetujuan istri-istri yang lain.
2. Bila tidak mendapat persetujuan antara istri-istri itu, hendaknya diadakan undian antara mereka; istri yang menang dalam undian itulah yang dibawa
oleh suami untuk berangkat keluar negerinya. 3. Waktu yang terpakai selama perjalanan pulang-pergi, menjadi hak istri yang
berangkat bersama suami, dan tak wajib diganti bagi istri yang tinggal. 4. Istri-istri berhak menuntut, supaya diadakan giliran menurut lamanya waktu
yang sudah dimufakati antara pihak-pihak yang bersangkutan, bila suami akan membawa serta isterinya dalam berangkat keluar negeri atau pindah.
Bahagian Kewajiban Suami disebut dalam pasal: Pasal 73
Suami wajib memberi nafkah bagi istri dan anak-anaknya, baik istri itu kayaatau miskin, baik Muslim, Yahudi ataupun Nasrani.
Universitas Sumatera Utara
84
Pasal 74 1. Menurut Syafi’i suami yang kaya wajib membayarkan nafkah untuk seorang
istri dua cupak beras tiap-tiap hari, suami yang miskin secupak beras dan suami yang menengah secupak setengah, serta lauk pauknya.
2. Menurut Madzhab yang lain, nafkah itu tidak ditentukan kadarnya, melainkan sekedar mencukupi untuk istri.
Pasal 75 Selain dari memberi makanan, suami wajib memberi pakaian, tempat
kediaman, perkakas rumah, alat kebersihan dan khaam pembantu. Bahagian III. Kewajiban Istri
Pasal 76 Kewajiban istri ialah mematuhi suami dalam hal-hal yang berhubungan
antara keduanya sebagai suami istri. Pasal 77
a. Istri menyelenggarakan keperluan sehari-hari, serta mengatur urusan rumah tangga menurut semestinya.
b. Menurut Syafi’i dan Hambali, istri tidak berkewajiban menyelenggarakan demikian itu hanya kewajiban terhadap suami saja.
Pasal 78 a. Istri dianggap nusyuz, jika ia dengan tanpa alasan yang sah menyangkal
kewajiban-kewajiban sebagai dimaksud dalam pasal 76.
Universitas Sumatera Utara
85
b. Selama istri tetap dalam nusyuznya, maka kewajiban nafkah dan tempat kediaman atau suami untuk istri itu tidak berlaku lagi.
c. Kewajiban itu berlaku kembali sesudah istri insyaf dan kembali dari sikap nusyuznya.Sesungguhnya
istri adalah
mitra hidup
yang saling
mengkikatkan diri dengan seorang pria suami secara adil untuk hidup bersama, yang bersendikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbal
balik. Allah Swt berfirman, dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara-cara yang makruf.
Rasulullah Saw telah ditanya sebagian kaum Anshar, katanya: Kami sudah biasa menunggangi unta kami, namun kini unta itu menyulitkan kami, dan punggung-
nya tidak mau ditunggangi, padahal telah makan tanaman dan kurma. Sabda Rasul kepada sahabatnya: Berdirilah kalian Maka berdirilah mereka. Kemudian beliau
masuk ke kebun sedang unta itu ada di pojok. Rasulullah Saw berjalan menuju unta itu, lalu orang-orang Anshar berkata: Ya Nabiyullah, unta itu benar-benar menjadi
seperti anjing, dan kami khawatir kalau Anda diterkamnya. Tidak apa-apa, jawab Rasul. Setelah unta itu melihat Rasulullah Saw, dia datang kepada beliau, lalu sujud
dihadapannya. Karena itu, Rasulullah Saw memegang jumbul bulu kepalanya dalam keadaan sujud yang lebih rendah daripada sebelumnya, sehingga bisalah kalau beliau
mau menungganginya. Maka sahabat berkata kepada beliau: Ya Nabiyullah, hewan ini tidak- berakal, dia sujud kepada Anda, sedang kami berakal, maka tentu lebih
patut kalau kami sujud kepada Anda. jawab Rasul: tidaklah pantas bagi seseorang sujud kepada orang lain. Kalaulah sujud seseorang kepada orang lain itu pantas, tentu
Universitas Sumatera Utara
86
akan menyuruh wanita sujud kepada suaminya, karena haknya sangat besar atas istrinya. Demi Dzat yang nafsuku di tangan kekuasaan-Nya, sekiranya dari Ujung
kaki sampai Ujung rambut suami itu penuh dengan najis muntah dan nanah, kemudian isterinya menghadapinya dengan menjilatnya, itu belumlah berarti dia telah
melaksanakan hak suaminya.” HR. Ahmad.
98
Mulai dari kejadian itulah orang-orang musyrik beserta simpatisan mereka, mensujudkan untanya kepada Rasulullah Saw, dan meninggalkan sabdanya:
Tidaklah pantas bagi seseorang sujud kepada orang lain. Mereka ini lebih jahat daripada orang-orang yang mengikuti perkara mutasyabihat dan meninggalkan
perkara muhkamat. Salah satu fenomena abad ke 20 di dunia Muslim adalah adanya usaha
pembaruan hukum keluarga perkawinan, perceraian dan warisan
99
. Pertama pembaruan dalam bentuk Undang-uandang kedua dengan dekrit, seperti Yaman
selatan dengan dekrit raja 1942
100
, dan Syria tahun 1974
101
, ketiga ada Negara yang melalui ketetapan Hakim yaitu Sudan
102
dan unifikasi hukum yang tanpa
memandang agama seperti di Tunisia
103
.Sampai tahun 1996 di negara Timur Tengah
98
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, 1991, Fatwa-Fatwa Rasulullah SAW Jilid I, Pustaka Panjimas , Jakarta,hal.177
99
H.M.Atho’muzdhar, Khairuddin, 2003, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, Ciputat Press, Jakarta, hal 1
100
Kirana Gupta, 1992, Polygamy –Law Reform In Modern Muslim States; A Study In Comparative, Dalam Islamic And Comparative Law-Review,Vol Xii, No 2, hal.127
101
J.N.D. Anderson, 1955, The Syrian Law Of Personalstatus,Dalam Bulletin In The School Of Oriental And African Studies, No.17, hal 34
102
Tahir Mahmood, 1972, Family law reform in Muslim WorldThe Indian Law Institute, new Delhi, hal 64.
103
J.N.D. Anderson, 1955, The Tunisian Law Of Personal Status,Dalam International And Comparative Law Quarterly, No.7, hal 266
Universitas Sumatera Utara
87
misalnva hanya tinggal lima negara yang belum memperbaharuai hukum keluarga, bahkan negara-negara ini pun sedang dalam proses pembuaatan draft, yakni Emirat
Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain dan Oman
104
. Usaha pembaruan ini dimulai Turki pada tahun 1917, dengan lahirnya Ottoman Law of Family Right
105
.Perkawinan dalam perspektif masyarakat aceh sama seperti yang diajarkan dalam fikih Islam kendatipun
kebanyakan masyarakat Aceh belumtersosialisasikan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
104
Dawoud El-Alami Dan Doreen Hinchcliffe, 1996, Islamic Marriage And Divorce Laws Of The Arab World, London,The Hague, Boston:Kluwer Law International, hal 4
105
Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Utbmaniab,1917,Ottoman Law of Family Rights.
Universitas Sumatera Utara
88
BAB III HAK WARIS ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI
PADA MASYARAKAT ADAT ACEH A. Hukum Kewarisan
Masyarakat Aceh ialah suatu masyarakat yang majemuk dari berbagai suku didalamnya, namun dalam hal mengenai istri nikah siri masyarakat adat Aceh
menganut pada fikih Islam. Kata waris berasal dari bahasa Arab miras. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang yang meninggal
yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan istilah faraid. Kata fara’id merupakan bentuk
jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama Faradiyun semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya, menurut bahasa mempunyai
arti, antara lain sebagai berikut : 1. Taqdir, yaitu suatu ketentuan
2. Qat’u, yaitu ketetapan yang pasti 3. Inzal, yaitu menurunkan
4. Tabyin, yaitu penjelasan 5. Ihlal, yaitu menghalalkan
6. Ata’, yaitu pemberian.
106
Keenam arti tersebut diatas dapat digunakan sebab ilmu faraid mengandung saham-saham atau bagian yang telah ditentukan besar kecilnya dengan pasti dan telah
106
Kamus Bahasa Arab Indonesia Al-Munawwir
Universitas Sumatera Utara
89
dijelaskan oleh Allah Swt, tentang halalnya sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah diturunkan.
Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah
ditetapkan dan
ditentukan besar-kecilnya
oleh syara’.
Hukum-hukum pembagian waris bersumber pada :
1. Al-Qur’an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan fard tiap-tiap ahli waris.
2. Al-Hadis 3. Sebagian kecil dari ijma “para ahli, dan beberapa masalah diambil dari ijtihad
para sahabat. Ijma’ dan ijtihad sahabat, imam madzhab, dan para mujtahid dapat digunakan
dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum djelaskan oleh nash yang sharih.
Misalnya : a. Status saudara-saudara bersama-sama dengan kakek. Dalam Al-Qur’an,
masalah ini tidak dapat jelaskan, kecuali dalam masalah kalalah. Akan tetapi, menurut kebanyakan sahabat dan imam madzhab yang mengutip pendapat
Zaid bin Sabit, saudara-saudara tersebut mendapat bagian waris secara muqasamah bersama dengan kakek.
107
107
Koentjaraningrat, 1997, Metode Penelitian Masyarahat, Gramedia Pustaka Utama,
, hlm.: 440.
Universitas Sumatera Utara
90
b. Status cucu-cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek yang bakal diwarisi dan yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara
ayahnya. Menurut ketentuan mereka, cucu-cucu tersebut tidak mendapat bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut kitab
Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir yang meng-istibat-kan dari ijtihad para ulama muqaddimin, mereka diberi bagian berdasarkan wasiat wajibah.
108
Harta orang yang telah meninggal dengan sendirinva beralih kepada orang hidup yang memiliki hubungan dengan orang yang telah meninggal dunia tersebut.
Dalam literatur Hukum Islam atau Fikih, dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah mati,
yaitu hubungan kerabat, hubungan perkawinan, hubungan wala’ dan hubungan sesama Islam.
Saat ini dua hubungan terakhir, terutama hubungan. Wala’, hanya terdapat dalam tataran wacana raja. Sedangkan hubungan Islam sangat jarang terjadi,
meskipun hubungan tersebut ada dalam teori. Hubungan wala’ terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak yang dengan sukarela memerdekakan budaknya.
Sebagai imbalan dan sebagai perangsang agar orang pada waktu itu memerdekakan budak, Rasulullah memberikan hak wala’ kepada yang memerdekakan itu sesuai
hadist Nabi yang bunyinya; ‘Hak wala’ adalah untuk orang yang memerdekakan. 1. Hubungan Kekerabatan
108
Ibid
Universitas Sumatera Utara
91
Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya.
Adanya hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.
Pada tahap pertama seseorang anak menemukan hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya. Seseorang anak yang dilahirkan oleh seseorang ibu mempunyai
hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya. Hal ini bersifat alamiah. Dan tidak ada seorang pun yang membantah hal ini karena si anak jelas keluar dari rahim
ibunya itu. Memang menurut biasanya dan secara alamiah anak yang dilahirkan seseorang ibu berasal dari bibit ibu itu yang telah berpadu dengan bibit laki-laki yang
menggaulinya, sehingga dapat dikatakan bahwa ibu yang melahirkan adalah ibu yang punya bibit. Namun dengan adanya kasus bayi tabung titipan, mungkin terjadi anak
yang
,
dilahirkan seseorang ibu bukan dari bibitnya sendiri. Dalam kasus seperti ini siapa sebenamya ibu dari anak yang lahir itu, apakah yang melahirkan atau yang
mempunyai bibit atau keduanya. Hal ini masih dalam lingkup wacana, belum ada keputusan yang tuntas.
Hubungan keibuan sebagaimana disebutkan di atas bersifat alamiah dan telah berlaku semenjak adanya kelahiran di atas dunia. Dengan berlakunya hubungan anak
dengan ibu yang melahirkannya itu dengan sendirinya berlaku pula hubungan kekerabatan antara anak yang dilahirkan ibu itu dan orang-orang lain yang juga
dilahirkan oleh ibu itu, baik secara langsung yaitu anaknya sendiri atau yang
Universitas Sumatera Utara
92
dilahirkan oleh anak yang dilahirkannya itu. Dengan demikian, secara sederhana terbentuklah hubungan kekerabatan menurut garis ibu atau matrilineal.
109
Pada tahap selanjutnya seseorang mencari hubungan pula dengan laki-laki yangmenyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan, bila dapat dipastikan secara
hukum bahwa laki-laki yang menikahi ibunya itu yang menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan, maka hubungan kerabat berlaku pula dengan laki-laki itu. Laki-laki
itu selanjutnya disebut ayahnya. Bila hubungan keibuan berlaku secara alamiah maka hubungan keayahan berlaku secara hukum.
Sejatinya, seseorang laki-laki baru dapat dikatakan penyebab kehamilan dan melahirkannya seseorang ibu bila sperma si laki-laki bertemu dengan ovum si ibu
atau yang dalam kitab fikih disebut ‘uluq. Hasil pertemuan dua bibit itu menyebabkan pembuahan dan menghasilkan janin dalam rahim si ibu. Inilah
penyebab hakiki hubungan kekerabatan antara seseorang anak dengan ayahnya. Hal tersebut tidak
mungkin diketahui oleh siapa pun kecuali Allah Swt. Karena hukum harus didasarkan kepada sesuatu yang nyata dan dapat diukur serta dipersaksikan maka dicarilah
sesuatu hal yang nyata, yang dapat dipersaksikan dan yang menimbulkan anggapan kuat bahwa sebab hakiki yang disebutkan di atas terdapat padanya.
Dalam hubungan kekerabatan tersebut di atas yang dapat dijadikan nuzhinnah-nya adalah akad nikah yang sah, yang telah berlaku antara seseorang laki-
laki dan ibu yang melahirkan anak tersebut. Selanjutnya, akad nikah tersebut yang
109
Ibid, hlm.: 443.
Universitas Sumatera Utara
93
menjadi faktor penentu hubungan kekerabatan itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan kekerabatan berlaku antara seseorang anak dengan seseorang laki-
laki sebagai ayahnya, bila anak tersebut lahir dari hasil atau akibat perkawinan yang berlaku antara si laki-laki dengan ibu yang melahirkannya. Hal ini sesuai pula dengan
hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat al-Bukhari dan Muslim yang bunyinya : “seseorang anak yang sah disebabkan oleh akad nikah.
2. Hubungan Perkawinan
Di samping hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan kekerabatan, hak kewarisan juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan dengan arti bahwa suami
ahli waris bagi istrinya yang meninggal. Bagian pertama dari ayat 12 Surah al-Nisa4 menyatakan hak kewarisan
suami-istri. Dalam ayat itu digunakan kata: azwaj. Penggunaan kata azwaj yang secara leksikal berarti pasangan suami-istri, menunjukkan dengan gamblang
hubungan kewarisan antara suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara yang mempunyai hubungan kekerabatan karena adanya hubungan alamiah diantara
keduanya, maka adanya hubungan kewarisan antara suami-istri disebabkan adanya hubungan hukum antara suami dan istri.
Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan ketentuan diantara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Tentang akad
nikah yang sah ditetapkan dalamUndang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1: perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya.
Universitas Sumatera Utara
94
Ketentuan di atas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut hukum perkawinan tersebut adalah sah. Pengertian sah
menurut istilah Hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalangnya.Dengan demikian nikah yang
sah adalah nikah yang telah dilaksanakan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan itu. Seperti contoh kasus tentang
status hukum perkawinan Moerdiono Marchica. Perkawinanpernikahan mereka adalah nikah Siri, artinya tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama. Sehingga
perkawinan tersebut tidak sah di mata hukum Negara, namun sah dalam Fikih Islam dan anak dari keduanya dinyatakan sebagai anak luar kawin selama belum diakui
oleh Moerdiono.
B. Syarat Yang Harus Dipenuhi Dalam Pembagian Warisan