94
Ketentuan di atas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut hukum perkawinan tersebut adalah sah. Pengertian sah
menurut istilah Hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalangnya.Dengan demikian nikah yang
sah adalah nikah yang telah dilaksanakan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan itu. Seperti contoh kasus tentang
status hukum perkawinan Moerdiono Marchica. Perkawinanpernikahan mereka adalah nikah Siri, artinya tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama. Sehingga
perkawinan tersebut tidak sah di mata hukum Negara, namun sah dalam Fikih Islam dan anak dari keduanya dinyatakan sebagai anak luar kawin selama belum diakui
oleh Moerdiono.
B. Syarat Yang Harus Dipenuhi Dalam Pembagian Warisan
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan. Sebagian mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri. Rukun pembagian warisan ada tiga,
yaitu : a. Al-Muwarris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah al-muwarris benar-benar telah meninggal dunia. Apakah meninggal secara hakiki, secara yuridis hukum
atau secara taqdiry berdasarkan pemikiran. -
Mati hakiki artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
Universitas Sumatera Utara
95
- Mati hukmy adalah seseorang yang secara yuridis melalui keputusan
hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang mafqud tanpa diketahui dimana
dan bagaimana keadaannya. Melalui keputusan hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal.Sebagai keputusan hakim
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. -
Mati taqdiry yang anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan lain yang secara
lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kadat beritanya, dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal, maka
dapat dinyatakan bahwa ia telah meninggal. b. Al-Waris atau ahli waris. Ahli waris adalah orang yang dinyatakan
mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya, ahli
waris pada saat meninggalnya al-muwaris dalam keadaan hidup. c. Al-Maurus atau al-Miras yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi
biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat. Persoalannya adalah bagaimana jika si mati meninggalkan utang yang
besarnya melebihi nilai harta peninggalannya. Apakah ahli waris bertanggung jawab melunasinya sebesar hak-hak warisnya secara proporsional.
Allah Swt menentukan saham warisan bagi wanita-wanita yang menikah secara permanen dengan suaminya. Namun wanita-wanita mut’ah sekali-kali tidak
Universitas Sumatera Utara
96
akan pernah menerima warisan dari suami mereka dan suami mereka tidak menerima warisan dari mereka
110
. Dan hal ini merupakan dalil jelas bahwa keduanya tidak dapat disebut sebagai pasangan suami-istri yang sah kalau tidak demikian tentu terdapat
ayat-ayat tentang warisan mereka. Kriteria pernikahan dalam Islam bukanlah menerima atau memberi warisan
kepada pasangan suami dan istri. Pernikahan dalam pandangan Islam terdiri dari dua bagian: Permanen daim dan kedua temporal mut’ah. Terdapat kesamaan dan
perbedaan pada akad temporal mut’ah dan permanen daim yang disebabkan karena falsafah dan hikmah pernikahan temporal. Mempermudah dan meringankan
urusan pernikahan bagi orang-orang yang sangat membutuhkan untuk menikah namun dengan seribu satu macam alasan pernikahan permanen juga belum tersedia
bagi mereka merupakan salah satu falsafah pernikahan temporal. Tiadanya warisan bagi kedua pasangan suami-istri dalam pernikahan seperti ini juga atas alasan yang
sama. Namun dalam pernikahan ini, suami dan istri dapat mensyaratkan untuk memperoleh warisan dari satu dengan yang lain sebagaimana pada sebagian perkara
pernikahan permanen juga demikian adanya. Kriteria pernikahan dalam Islam bukanlah memperoleh warisan atau tidak
dalam hubungan di antara pasangan suami-istri. Tiadanya warisan istri dan suami untuk satu dengan yang lain sama sekali tidak menciderai inti dan keabsahan
pernikahan. Pernikahan dalam pandangan Islam terbagi menjadi dua bagian: Permanen daim dan temporal mut’ah. Mut’ah adalah sebuah pernikahan yang
110
Furu’ Kulaini, 247 dan al-Tahdzib 2190
Universitas Sumatera Utara
97
lantaran kemudahan dan keringanannya, sebagian hukum pernikahan telah diabaikan di dalamnya
111
. Di antara hukum yang diabaikan itu adalah pemberian nafkah dan pembagian warisan antara suami dan istri.
Karena itu, suatu hal yang wajar apabila terdapat beberapa perbedaan di antara dua jenis pernikahan ini yang bersumber dari kegunaannya masing-masing.
bahwa apabila pria dan wanita, adalah pasangan suami dan istri, harus mewarisi dari keduanya, namun dalam pernikahan mut’ah suami dan istri tidak mewarisi harta dari
keduanya karena itu mereka bukan pasangan suami dan istri. Namun sayang tiada satu pun dalil dari al-Quran dan riwayat yang menyokong pendapat ini.
Al-Qur’an dalam ayat-ayat warisan irts hanya menyatakan, “istri dan suami memperoleh warisan dari salah satunya
112
.”Dan hal ini kita ketahui bahwa bahkan sekiranya Islam menetapkan warisan di antara pasangan suami dan istri secara umum
dan global, meski ia merupakan hukum Ilahi namun tidak menjadi halangan pada sebagian perkara mengalami pengkhususan takhsish melalui sebuah dalil syariat
muktabar. Oleh itu, tatkala Islam menegaskan bahwa istri dan suami memperoleh warisan dari salah satunya, maksudnya adalah pasangan istri dan suami yang terikat
pernikahan permanen daim. Namun riwayat-riwayat Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As
113
,lainnya menyatakan pasangan istri dan suami yang mengikat pernikahan temporal tidak memperoleh warisan masing-masing dari keduanya.
111
Al-Mizân, Muhammad Husain Thabathabai, jil. 15, hal. 15, Software Jâmi’ al-Tafâsir.
112
Seperti ayat 12 surah al-Nisa 4.
113
Jâmi’ Ahâdits Syiah, Ismail Muazzi Malayiri, jil. 26, hal. 99.
Universitas Sumatera Utara
98
Sebagaimana dalil-dalil syariat pada sebagian bentuk akad permanen daim juga menafikan warisan antara pasangan suami dan istri. Sebagai contoh beberapa
misal sebagaimana berikut ini: 1. Dalam pembahasan warisan ditetapkan bahwa apabila seorang wanita
menikah dengan seorang pria yang berada dalam kondisi sakit dan meninggal dunia karena penyakit itu, maka wanita ini tidak memperoleh warisan dari
suaminya yang sakit yang tidak menggaulinya. Demikian juga pria tersebut dalam kondisi seperti ini tidak memperoleh warisan dari istrinya.
114
2. Apabila istri adalah pembunuh suaminya sendiri atau suami pembunuh istrinya sendiri maka pembunuh tidak mendapatkan warisan.
Di samping itu, dalam pernikahan mut’ah tidaklah demikian bahwa tidak ada sama sekali warisan antara pasangan istri dan suami melainkan apabila istri dan
suami mensyaratkan semenjak pertama untuk memperoleh warisan dari salah satunya maka mereka harus memenuhi syarat ini, artinya mereka memiliki saham dari harta
salah satunya. Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Imam Ridha As dimana beliau
bersabda, “Nikah mut’ah dapat dilaksanakan dengan atau tanpa warisan di dalamnya. Apabila disyaratkan bahwa terdapat warisan antara suami dan istri maka warisan
114
Lum’ah al-Damisyqiyyah, Makki, bâb Mirâts, Mirâts Izdiwâj, hal. 427. Intisyarat-e Samt, Qanun Madani, klausul 945.
Universitas Sumatera Utara
99
tersebut harus dibagikan. Apabila tidak disyaratkan maka warisan juga tidak tersisa.
115
C. Hak Waris Istri Yang Dinikahi Secara Siri Dalam Masyarakat Adat Aceh Di Kecamatan Darul Imarah Mukim DaroyJeumpet, Desa Garot,
Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Aceh. Menurut pandangan seorang imeum meunasah Bapak Tgk. Anwar yang
berada di kecamatan Darul Imarah, Mukim DaroyJeumpet, Desa Garot, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Aceh mengatakan bahwa dalam masyarakat adat Aceh hak
waris istri yang dinikahi secara siri mendapat bagian 14 bagian dari harta peninggalan suami jika di dalam perkawinanpernikahan tersebut tidak ada lahirnya
anak dan apabila didalam perkawinanpernikahan tersebut lahirnya anak maka istri mendapat 18 bagian.Sesuai dengan hukum Islam, berdasarkan Surat An–Nisa ayat
12 :
116
“Dan bagianmu suami–suami adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri–istri mu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka istri–istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan setelah dibayar utangnya. Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan setelah dibayar utang–utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki–laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki–laki seibu atau seorang saudara perempuan
seibu, maka bagi masing–masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara–saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama–sama
dalam bagian yang sepertiga itu, setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau dan
115
Jâmi’ al-Ahâdits Syiah, jil. 26, hal. 99.
116
Wawancara dengan Tgk. Anwar, imeum meunasah Desa Garot, Kabupaten Aceh Besar, tanggal 9 Oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
100
setelah dibayar utangnya dengan tidak menyusahkan kepada ahli waris. Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun. “
Wasiat wajibah juga dapat digunakan sebagai wasiat untuk memberikan bagian waris kepada istri yang dinikahi secara istri di dalam masyarakat adat Aceh.
Wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
117
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’
118
.Wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal
dunia
119
. Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu
dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain
120
.
117
Fathur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hal. 63
118
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000, Jilid 6, hal. 1930
119
Suparman, e.all., Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam,Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997, hal. 163
120
Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam,Syafi;I, Hazairin dan HKI, Pontianak : Romeo Grafika, 2006, hal. 98
Universitas Sumatera Utara
101
BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI TERHADAP ISTRI YANG
DINIKAHI SECARA SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH A. Akibat Hukum Perkawinan Siri Menurut Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dilihat dari materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidaklah ditemukan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang ini praktek nikah
siri merupakan kategori tindakan pelanggaran hukum pidana, karena tidak dijumpai pasal demi pasal dalam undang-undang ini yang menyebutkan bahwa pelanggaran
terhadap undang-undang ini dikenai sanksi hukum. Akan tetapi dalam Undang- undang
Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk disebutkan dalam Pasal 3 Ayat 1 :
“Barang siapa yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak dalam pengawasan pegawai pencatat nikah dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.
50,- Semenjak diundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1946 menjadi tidak efektif, hal mana terbukti tidak dijumpai dalam
putusan pengadilan
mengenai pelanggaran
undang-undang tersebut
dimungkinkan karena sanksi hukum yang dikenakan sangat ringan. Semestinya pelanggaran terhadap undang-undang ini nikah siri dapat dijerat hukum. Namun
realitanya di lapangan tidak demikian sehingga seolah-olah undang-undang ini menjadi mandul.
101
Universitas Sumatera Utara
102
Meskipun pencatatan bukan termasuk dalam rukun dan syarat sahnya akad nikah, tetapi dimaksudkan sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan peristiwa
pernikahan telah terjadi. Jika dilihat klausul hukum Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2 dapat dikatakan sebagai dasar atau tolak ukur untuk menilai sah atau tidaknya nikah
siri secara hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif. Dalam hal ini dapat dikatakan nikah yang tidak memenuhi ketentuan maqashid syari’ah dianggap tidak
sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri sehingga pernikahan tidak sah dan dapat berakibat pada batalnya status akad nikahnya. Berdasarkan klausul itu nikah siri
secara otomatis tidak sah menurut hukum positif. Untuk mengukur sahnya pernikahan tidak hanya itu, tetapi dalam ketentuan
yang mengatur masalah perkawinan umat Islam di Indonesia, di samping adanya suatu keharusan untuk mencatatkan peristiwa perkawinan melalui petugas yang telah
ditunjuk untuk itu dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama sehingga dengan demikian peristiwa perkawinan akan memperoleh akta nikah secara
resmi. Sementara nikah siri pencatatan tidak berlaku, tidak dicatatkannya pernikahan sudah barang tentu menyalahi kaedah yang berlaku dalam hukum positif yaitu Pasal 2
Ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang ini pada dasarnya tidak berbeda dengan hukum syari’at agama, pendekatan hukum Islam melalui
instrumen qiyas menunjukan wajibnya pencatatan dalam setiap bentuk pernikahan. Nikah siri yang tidak dicatatkan, di samping menyalahi aturan hukum positif juga
menyalahi aturan syari’at.
Universitas Sumatera Utara
103
Materi Undang-undang Perkawinan pada dasarnya memasukkan pokok-pokok syari’ah Islam telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia bahkan jauh sebelum
Undang-undang ini diberlakukan. Melihat akibat dari nikah siri yang dapat menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan masih banyaknya sebagian
masyarakat yang melakukan nikah siri semestinya ke depan harus negara mengambil lagkah-langkah untuk menertibkannya atau paling tidak meminimalisir praktek
pelaku nikah siri, dengan menerapkan denda bagi pelaku nikah siri, termasuk bagi yang terlibat di dalamnya. Permasalahan yang mendasar dari fenomena nikah siri
adalah adanya perbedaan pemahaman antara sahnya nikah siri menurut agama dan hukum negara. Perbedaan pemahaman ini tidak saja dijumpai oleh para pelaku nikah
siri dan para ulama akan tetapi juga berkembang pula di kalangan pejabat yang berwenang dalam menangani masalah nikah yaitu Pegawai Pencatat Nikah maupun
Aparat Peradilan. Perbedaan pemahaman tersebut biasanya terletak pada sah apabila dilakukan
dengan telah memenuhi syarat dan rukunnya, sedangkan pencatatan hanya aturan pemerintah sebagai kewajiban sebagai warga negara. Sedangkan pendapat lain juga
mengatakan tidak ada pembedaan antara sah menurut agama dan sah menurut aturan pemerintah. administrasi pencatatan perkawinan dengan melihat kepada kompleksitas
yang selalu dijumpai di zaman sekarang ini, dengan kata lain bahwa nikah tanpa pengawasan dan pencatatan oleh pihak berwenang dianggap tidak mempunyai
kekuatan hukum dan dianggap tidak sah karena nikah tersebut membawa danpak negatif dan tidak tercapainya maqashid al-syari’ahyaitu dalam rangka memelihara
Universitas Sumatera Utara
104
agama, jiwa, keturunan, akal dan harta benda. Apabila terancam kemaslahatan untuk memelihara salah satu yang lima itu karena akibat nikah siri, maka secara tak
langsung telah bertentangan dengan tujuan hukum disyariatkan sehingga nikah siri dapat saja dianggap tidak sah menurut hukum positif.
Dengan demikian, pencatatan perkawinan walaupun dalam Undang-undang Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat saja, namun pada dasarnya masalah
pencatatan ini sangat dominan, sehingga tidak berlebihan rasanya jika ada pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administraitif yang juga menentukan
sah tidaknya sebuah perkawinan. Institusi perkawinan merupakan salah satu media kontrol keberlangsungan
kehidupan bermasyarakat dalam suatu kelompok, sehingga kelestarian nilai-nilai yang berfungsi menjaga harmonisasi masyarakat tersebut perlu dipertahankan. Pada
masyarakat adat Acehtelah terjadi perubahan besar dalam beberapa aspek proses penyelenggaraan sistem perkawinan, namun peran wanita dalam mempertahankan
nilai-nilai perkawinan pada masyarakat adat Aceh cukup tinggi sehingga menarik untuk dikaji sebagai bahan masukan dalam mempertahankan nilai-nilai perkawinan
tersebut, dalam permasalahan ini adalah bagaimana peran wanita berpartisipasi dalam perkawinan masyarakat adat Aceh dan mempertahankan nilai-nilai perkawinan
masyarakat adat Aceh. Menurut pandangan seorang keuchik, Bapak Sulaiman yang berada di
kecamatan Darul Imarah, Mukim DaroyJeumpet, Desa Garot, Kabupaten Aceh
Besar, Propinsi Aceh mengatakan bahwa, hukum Nikah Siri mengenai nikah siri
Universitas Sumatera Utara
105
akan dianggap sah oleh hukum islam dan adat Aceh selama memenuhi beberapa persyaratan pokok perkawinan diantaranya:
121
1. Harus ada wali 2. Harus ada dua orang saksi
3. Harus ada mahar 4. Harus ada walimah, yaitu suatu hajatan, perjamuan, peusijuk , kenduri, atau
pesta dalam hal ini ialah pesta atau perjamuan yang dilaksanakan setelah akad perkawinan yang bertujuan untuk mengumumkan kepada kerabat bahwa telah
adanya suatu akad perkawinan walaupun secara sederhana dan dihadiri oleh orang yang sedikit.
Menurut Undang Undang perkawinan tahun 1974 ayat 1 berbunyi:
“perkawinan dianggap sah kalau menurut agama”. Hanya saja untuk ketertiban masyarakat,sebaiknya pernikahan dilakukan dengan terang-terangan. Perkawinan
yang tidak dilakukan secara resmi pada instansi yang berwenang dikatakan “tidak mendapat perlindungan hukum”. Atau dalam istilah KHI Kompilasi Hukum Islam
tidak mempunyai kekuatan hukum Pasal 6 ayat 2. Kekuatan hukum atau perlindungan hukum yang dimaksud disini adalah tidak dapat menyelesaikan
perselisihan atau persengketaan rumah tangga akibat perkawinan,dimuka penegak hukum. Dalam hal ini adalah pengadilan, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan
Agama, contohnya adalah tentang akte kelahiran, yang harus mencantumkan nama
121
Wawancara dengan Sulaiman, keuchuk Desa Garot, Kabupaten Aceh Besar, tanggal 10 Oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
106
bapak, tetapi karena perkawinan ini tidak mempunyai catatan bukti perkawinan akte nikah maka anak dalam akte kelahirannya dinisbahkan kepada ibunya misalnya fulan
bin fulanah. Nikah siri di Aceh di sebabkan karena ketentuan berpoligami yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah No.9 dan No.10 tahun 1975,yaitu harus mendapat izin dari istri pertama,dan kalau Pegawai Negeri harus mendapat izin atasannya. Dan izin
itu hampir tidak pernah terjadi, atau sangat sulit. Karena wali adhal wali hengkang,yakni wali tidak menyetujui dilangsungkannya perkawinan,karena tidak
setuju dengan calon mempelainya. Terhadap wali adhal ini akan digantikan oleh kepala Kantor Urusan Agama yang bertindak sebagai wali hakim. Tetapi, harus
mendapat pengesahan atau Surat Keputusan dari Pengadilan Agama. sedangkan Pengadilan Agama tidak akan mengeluarkan Surat Keputusan kalau tidak melalui
persidangan,tidak mungkin dilakukan kalau si wali adhal tidak hadir. Dan kehadiran wali adhal ini hampir tidak pernah ada.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Di IndonesiaStatus Kompilasi Hukum Islam dalam tata hukum positif nasional telah diakui dan diterapkan dalam sejumlah
putusan hukum Peradilan Agama. Secara konstitusional hadir melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Sehingga Kompilasi Hukum Islam merupakan
salah satu
bentuk positifikasi
terhadap hukum
Islam yang
bermaksud mengembangkan pesan-pesan agama dari nuansa normatif, dari sekedar dicita-citakan
ius constituendum menjadi hukum yang benar-benar berlaku ius constitutum. Bagaimana sesungguhnya pengaturan pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam ini
Universitas Sumatera Utara
107
sehingga dianggap sah, Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan pasal ini jelas sekali terlihat bagaimana posisi Kompilasi Hukum Islam yang mendukung ketentuan pernikahan
harus sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif, jadi erat kaitannya antara ketentuan tentang sah atau tidak pernikahan antara Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-undang Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 5 Ayat 1 menyebutkan bahwa
pentingnya pencatatan adalah untuk menjamin ketertiban pernikahan, penegasan ini dapat dikatakan bahwa nikah siri yang tidak dicatatkan, di samping tidak sesuai
dengan aturan formal juga dianggap tidak memenuhi ketertiban pernikahan, yang dimaksudkan agar pernikahan itu memiliki kekuatan hukum. Karenanya apapun yang
terjadi setelah berjalannya proses akad nikah bisa diproses secara hukum dan juga digunakan untuk mengurus administrasi catatan sipil bagi suami-isteri dan anak-
anaknya. Selanjutnya pada Pasal 6 Ayat 1 dijelaskan setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, Ayat
2 lebih tegas menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Aturan-aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam ini sudah mengantisipasi lebih jauh ke depan dan tidak hanya sekedar membicarakan masalah administratif.
Sehingga dalam klausul ini dinyatakan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, yakni dalam hal menyangkut ghayat al-tasyri tujuan hukum
Universitas Sumatera Utara
108
Islam yakni menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, dan klausul yang menyatakan perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak sah jika tidak
dicatat dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga pada prinsipnya Kompilasi Hukum Islam tidak membolehkan adanya praktek nikah siri, meskipun
istilah ini tidak ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam, berdasarkan ketentuan- ketentuan yang diatur di dalamnya, maka jelas sekali menunjukan ketidakbolehan
nikah siri. Menurut Pasal 7 Ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, idealnya suatu perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan adanya akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dalam Ayat
2 dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama, selanjutnya dalam Ayat 3 diberi batasan untuk mengajukan isbat.
Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. 2. Hilangnya Akta Nikah.
3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. 4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974. 5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Apabila terbukti telah terjadi akad nikah permasalahannya bagaimana sikap
hakim dalam menilai perkawinan tersebut tanpa mencatatkannya pada instansi yang
Universitas Sumatera Utara
109
diberi wewenang. Bagi Hakim yang berpandangan bahwa nikah siri sah secara agama dan kepercayaannya, sementara pencatatan perkawinan merupakan administrasi
semata, asalkan telah memenuhi syarat dan rukun nikah tersebut sudah dianggap sah, maka nikah siri yang telah terlanjur dilakukan pada masa sekarang, meskipun pasca
berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat saja dmintakan isbat nikahnya kepada Pengadilan Agama.
Namun timbul permasalahan yang perlu penegasan apabila hal itu terjadi isbat terhadap nikah siri di masa sekarang akan terjadi dualisme kekuatan hukum
dalam pencatatan perkawinan, satu sisi tidak diakui oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 akan tetapi sisi lain dapat disahkan menurut sidang isbat nikah. Hal ini
akan berakibat kepada eksistensi Undang-undang Perkawinan. Pada kasus ini bukan isbat yang dijadikan sebagai jalan keluar akan tetapi bagaimana menertibkan nikah
siri, seperti mengefektifkan ketentuan denda yang tertera dalam Undang-undang Perkawinan. Apabila nikah siri menjadi tradisi dalam arti dipatuhi oleh masyarakat,
mengikat dan dipertahankan secara terus-menerus, dengan suatu asumsi nikah tersebut bisa dimintakan isbat-nya kepada Pengadilan Agama, maka efektifitas
pelaksanaan makna Peraturan Perundang-undangan tidak akan pernah terwujud, apa lagi menghendaki adanya konsistensi antara sistem ajaran Islam dengan kehidupan
kenegaraan tidak akan pernah tercapai. Berkaitan dengan pemahaman hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, dan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sebab, jika dikaitkan ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam tersebut hampir
Universitas Sumatera Utara
110
sejalan dengan konsep fikih yang dirumuskan oleh Wahbah az-Zuhali, yang membolehkan isbat nikah yang secara substansial bahwa hukum di Indonesia
mengakui adanya lembaga isbat, untuk pengesahan nikah yang belum dicatat, dan kemudian dengan berbagai alasan tertentu telah dicantumkan dalam rincian Pasal 7
Ayat 3 Kompilasi Hukum Islam nikah dapat dicatatkan dan di-isbat-kan sehingga diakui secara administrasi pada satu sisi lain. Akan tetapi pada satu sisi yang lain pula
bahwa ketentuan ini telah memberi peluang terjadinya nikah-nikah yang tidak dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah, dan kemudian suatu hari kembali
mencatatkan sebagaimana mestinya. Adanya peluang ini menguntungkan pihak yang melakukan nikah siri dan pada waktu yang sama merupakan tanggungjawab pihak
yang berwenang
untuk meminimalisir
terwujudnya peluang
bagi yang
menginginkannya. Pada waktu yang sama juga adanya peluang untuk tidak mencatatkan perkawinan dengan munculnya kasus-kasus nikah siri. Oleh sebab itu
meskipun ketentuan pasal ini tetap diterapkan hanya sebatas hilangnya akta nikah atau adanya keraguan sah atau tidak suatu perkawinan.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia dalam hal tersebut di atas mirip dengan pendapat Hanafi dan syafii dalam satu pendapatnya. Dinyatakan dalam Pasal 194
bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur sekurang kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagai harta
bendanya kepada, orang lain atau suatu lembaga. Harta benda yang di wasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemiliknya barang yang di wasiatkan itu baru
dapat di laksanakan sesudah orang yang berwasiat itu meninggal dunia dikemukakan
Universitas Sumatera Utara
111
bahwa pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah orang yang benar- benar telah dewasa secara undang-undang, jadi berbeda dengan batasan baliq dalam
kitab – kitab fikih tradisional. Dampak dari nikah siri dalam adat Aceh, Istriyang dinikahisecara siri
berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan pada umumnya, baik secara hukum maupun sosial.
1. secara hukum istri tidak dianggap sah,istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suami meninggal dunia dan tidak berhak pula atas
harta gonogini jika terjadi perpisahan. 2. secara sosial seorang istri akan mengalami kesulitan bersosialisasi karena
telah melakukan pernikahan siri sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan.Anak, sementara terhadap anak, tidak sahnya nikah siri
menurut hukum Negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan dimata hukum yakni status anak yang dilahirkan selamanya
dianggap tidak sah konsekuensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.Pasal 42 dan 43 Undang-Undang No.1 tahun
1974 jo.Pasal 100 Kompilsai Hukum Islam. Laki-laki atau suami,hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan atau
merugikan bagi suami yang menikah siri dengan seorang perempuan. Justru yang terjadi menguntungkan suami hal ini disebabkan suami akan bebas untuk menikahi
lagi,karena pernikahan sebelumnya dilakukan dengan cara nikah siri yang mana telah dianggap tidak sah dimata hukum,disamping itu juga suami akan berkelit dan
Universitas Sumatera Utara
112
menghindar diri atas kewajibanya untuk memberi nafkah baik pada istri maupun pada anak-anaknya
serta akan
dipusingkan oleh
masalah pembagian
harta gonogini,warisan dan lain lain.
Menurut Pandangan seorang tuha peut, Bapak Syafurddin Banta yang berada di Kecamatan Darul Imarah, Mukim DaroyJeumpet, Desa Garot, Kabupaten Aceh
Besar, Propinsi Acehmengatakan bahwa, nikah siri dalam adat Aceh adalah satu pernikahan yang mana dilakukan sesuai dengan prosedur keagamaan, sah secara
agama yang dikarenakan terpenuhinya rukun pernikahan berdasarkan hukum islam, dan nikah yang dilakukan secara rahasia tanpa melaporkannya kekantor catatan
sipil,biasanya nikah siri ini sering dilaksanakan akibat kedua belah pihak merasa belum siap untuk meresmikannya,namun disisi lain untuk menjaga agartidak terjadi
pelecehan kepada hal-hal yang dilarang agama. Pada dasarnya dalam adat Aceh nikah siri akan berdampak sangat merugikan
bagi pihak istri baik secara hukum maupun sosial,disamping itu anak yang dilahirkan selamanya tidak dianggap sah dimata hukum. Konsekuensinya seorang anak yang
dilahirkan dari pernikahan siri hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu,hal ini akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis
bagi anak karena keterangan yang berupa anak luar nikah dan tidak tercantum nama si ayah anak tersebut.
122
122
Wawancara dengan Syafruddin Banta, tuha peut Desa Garot, Kabupaten Aceh Besar, Tanggal 12 Oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
113
B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Istri Yang Dinikahi Secara Siri Pada Masyarakat Adat Aceh.