Kedudukan Nikah Siri Dalam Islam

24

BAB II KEDUDUKAN ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA

MASYARAKAT ADAT ACEH MENURUT HUKUM ISLAM

A. Kedudukan Nikah Siri Dalam Islam

Perkawinanpernikahan dalam Islam memiliki kedudukan yang mulia, karena tujuannya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala dengan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan, dan sebagai sarana untuk menyempurnakan agama seseorang. Oleh karena itu Islam mengatur dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam syariatnya, sehingga dapat mengantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sah secara hukum Islam adalah yang telah sempurna rukun- rukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya. Rukun Nikah : 1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah. 2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” 24 Universitas Sumatera Utara 25 “Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah” atau “Ankahtuka Fulanah” “Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”. 3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” “Aku terima pernikahan ini” atau “Qabiltuha.” Syarat Nikah : Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan wanita dengan isyarat menunjuk atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khususkhas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri. Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu’: “Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarahdimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458.Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya. Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” HR. Al-Khamsah kecuali An- Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839. 51 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al- 51 Muhammad Nashiruddin al-Albani, 2012, Ringkasan SHAHIH MUSLIM 1-2Lengkap, Penerbit: Pustaka Azzam,Jakarta. Universitas Sumatera Utara 26 Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud, Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain”. 52 Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang kuat. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya 53 . Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayahlaki-laki, seperti ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya. Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakimpenguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 52 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2012, ShahihSunan Abu Daud 1-3Lengkap, Penerbit: Pustaka Azzam, Jakarta. 53 Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2284-285 Universitas Sumatera Utara 27 “Maka sulthan penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud. 54 Syarat keempat:Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’: “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557. 55 Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil. Al-Imam At-Tirmidzi Rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” Sunan At-Tirmidzi, 2284. 56 Tentang poligami Allah Swtberfirman : “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahlah dengan seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada sikap tidak berbuat aniaya.” QS. An-Nisa: 3. 57 54 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2012, ShahihSunan Abu Daud 1-3Lengkap, Op.Cit.hal.122 55 Muhammad Nashiruddin al-Albani, 2012, Ringkasan SHAHIH MUSLIM 1-2 – Lengkap,hal.203 56 Muhammad Nashiruddin Al-Albani , Shahih Sunan Tirmidzi 1 - 3 Lengkap, penerbit: Pustaka Azzam,Jakarta, hal.75 57 Ibid Universitas Sumatera Utara 28 Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam sikap tidak adil semacam ini. Dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang memiliki dua istri, namun dia hanya mementingkan salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat, sementara salah satu sisi badannya condong. jawa: sengkleh.” HR. Ahmad, An-Nasai, Ibn Majah, dan dishahihkan al- Albani. 58 Meskipun, bukan syarat poligami harus diizinkan istri pertama. Dua hal yang perlu dibedakan, diketahui istri dan izin dari istri. Poligami harus diketahui istri, meskipun tidak diizinkan oleh istri. Hanya saja, sebagian ulama menegaskan, bahwa dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di keluarga, membangun ketenangan dan kebahagiaan keluarga, selayaknya setiap suami yang hendak poligami meminta izin istrinya. Sebagaimana yang dinasehatkan Syaikh Sa’d al-Humaid Fatwa Islam, no. 9479. 59 Islam sebagai agama yang sempurna, tidak ketinggalan untuk memperhatikan martabat wanita. Islam memberikan hak kepada para wanita untuk menuntut suami agar menunaikan hak dan kewajibannya. Termasuk para istri dalam naungan poligami, mereka punya hak untuk menuntut suami bersikap adil dan memberikan materi yang memenuhi standar kelayakan. Jika tuntutan yang menjadi hak pokok istri ini tidak dipenuhi, istri berhak melakukan gugat cerai. Sebagaimana keterangan Syaikh Abdullah bin Jibrin Fatwa Islam no. 1859. 60 58 Ibid 59 Ustadz Ammi Nur Baits Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com 60 Op.Cit Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal.58 Universitas Sumatera Utara 29 Semua ini dalam rangka mewujudkan keadilan dan bersikap baik kepada sesama. Karena Allah hanya memerintahkan yang adil,Sesungguhnya Allah hanya menyuruh kamu untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. QS. An-Nahl: 90. 61 Abu Hurayrah Ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: ”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri”. HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. 62 Firman Allah Swt; ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allahtelah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu,Tulislah mu`amalahmu itu, kecuali jika mu`amalah itu perdagangan 61 Ibid 62 Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649 Universitas Sumatera Utara 30 tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan yangdemikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah MahaMengetahuisegala sesuatu”.QS AL Baqarah : 282 63 . Nikah Siri Dalam kitab-kitab Fikih tidak dikenal dengan istilah tersebut. Istilah ini lebih popular secara lokal dalam fikih perkawinan di Indonesia. Nikah Siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan dalam dua pengertian. Pertama: perkawinan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Kedua: perkawinan yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki- perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar- benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.dan tidak didaftarkan di P3NPegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama. Selama pernikahan siri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah secara fikih, tapi tidak sejalan dengan perintah Nabi Saw yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974. 63 Op.CitH.M.Atho’muzdhar, Khairuddin, hal.86 Universitas Sumatera Utara 31 Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Nikah siri sah menurut hukum Islam. Sebagian masyarakat berpendapat nikah siri atau nikah di bawah tangan tidak sah. Sebagian lain mengatakan sah. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia MUI mengeluarkan fatwa. Nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga. “ Pernikahan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif, “ ujar Ketua Komisi Fatwa MUI Ma’ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI Jakarta, 3052006 64 Pada prinsipnya, selama pernikahan siri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah, tapi tidak sejalan dengan perintah Nabi Saw yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan itu dalam hal diumumkan dan terang-terangannya. Orang berzina tentu takut diketahui orang karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui orang karena perbuatan mulia. Tujuan usaha pembaruan hukum keluarga berbeda antara satu negara dengan negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alasan pembaruan untuk unifikasi ini adalah karena adanya sejumlah mazhab yang diikuti di negara 64 MUI Online Universitas Sumatera Utara 32 bersangkutan, yang boleh jadi terdiri dari mazhab masih di kalangan Sunni, namun boleh juga antara Sunni dan Syah. Bahkan untuk kasus Tunisia unifikasi hukum keluarga ditujukan bukan hanya untuk kaum muslimin, tetapi juga untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaaan agama. Anderson misalnya menyebut, “Undang-Undang Tunisia berlaku untuk semua warga Tunisia, khususnya setelah dicapai kesepakatan dengan Perancis pada tanggal 1 Juli 1957, termasuk Yahudi sejak tanggal 1 Oktober 1957, kecuali untuk kasus-kasus yang belum ada aturannya dalam Undang-Undang ini, berlaku Rabbinical. Tujuan kedua, lain dari usaha pembaruan hukum keluarga Muslim adalah untuk pengangkatan status wanita. Meskipun tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, namun dapat dilihat dari sejarah munculnya, yang diantaranya untuk merespon tuntutan-tuntutan peningkatan status wanita. Undang-Undang Perkawinan Mesir dan Indonesia masuk dalam kelompok ini. Tujuan ketiga, adalah untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fikih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya. 65 Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga 66 . Dewasa ini fenomena perkawinanpernikahan siri merupakan bukan hal baru dan asing dibicarakan dalam masyarakat pada saat ini. Perbincangan dan berbagai pendapat maupun opini sering ada di dalam kalangan masyarakat baik kalangan mahasiswa, ulama, ibu rumah tangga, praktisi hukum, aktifis dan masih beragam lainnya. Adanya perbedaan 65 Tahir Mahmood, Op.Cit, hal 76 66 Ali Afandi. Hukum Waris, Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. PT. Rineka Cipta : Jakarta. 1997, hal 98 Universitas Sumatera Utara 33 pendapat dan pandangan yang setuju maupun yang menolak keberadaan perkawinan siri. Melihat bukti dan fakta saat ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan siri. Bahkan dari hari ke hari praktek perkawinan siri kian populer dikalangan masyarakat. Berbagai alasan juga mendukung tentang praktek perkawinan siri dari alasan tidak adanya persetujuan wali, biaya administrasi perkawinan yang mahal, keinginan melakukan perkawinan siri yang dilakukan adanya wali dan terpenuhinya syarat-syarat lainnya namun tidak di catat Kantor Urusan Agama. Dampak positif maupun negatif juga menyertai praktek perkawinan siri diantaranya untuk dampak postifinya meminimalisasi adanya perzinaan melalui seks bebas. Namun disisi lain juga dampak negatifnya adalah merugikan banyak pihak terutama hak dan kewajiban wanita dan anak-anak. Kata “sirri” dalam istilah nikah siri berasal dari Bahasa Arab, yaitu “sirrun” juga berarti rahasia. Nikah siri bisa didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan hukum agama dan atau adat istiadat, tetapi tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak dicatatkan secara resmi pada kantor pegawai pencatat nikah 67 . Dalam pasal 1 Undang-Undang Pokok perkawinan No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk 67 Happy Susanto. Nikah Siri Apa Untungnya. Visi Media : Jakarta Selatan. 2007 hal. 22 Universitas Sumatera Utara 34 keluarga rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 68 . Kata siri berasal dari bahasa Arab yang berarti sembunyi-sembunyi dan dapat disimpulkan bahwa nikah siri merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dirahasiakan yaitu dengan tidak mencatatkan perkawinan tersebut kepada dinas catatan sipil yang ada. Pekawinanpernikahan siri juga digolongkan menjadi dua: Perkawinanpernikahan yang dilakukan tanpa wali belum meninggal dunia dan perkawinanpernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhinya syarat- syarat lainnya tetapi tidak dicatat Kantor Urusan Agama setempat.

B. Perkawinan Siri Dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia