g. Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum
primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen
pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian
hukum ini.
48
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,
49
Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.
50
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode pengumpulan bahan hukum dan iventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti kemudian diklasifikasi secara sistematis dan tujuannya serta mengkaji isinya menurut kelompoknya sesuai dengan hirarkhi
peraturan perundang-undangan. Dimana bahan hukum skunder dan tersier
48
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Op.Cit, hal. 24.
49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15.
50
Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
dikumpulkan dengan cara teknik studi dokumen study document diproleh melalui penelitian kepustakaan Library reasearch, dengan cara mengkaji isinya
secara mendalam, menelah, mengola bahan-bahan hukum leteratur, artikel ataupun tulisan yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Penelitian
dokumen ini dilakukan dengan sistem kartu yakni dengan mencatat dan memahami dari masing-masing bahan imformasi yang didapatkan baik dari bahan
hukum primer, skunder maupun tersier menitik beratkan pada penelitian kepustakaan library research dan juga bahan-bahan hukum lainya.
Jadi, teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek
penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya
antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara interpretatif,
evaluatif, argumentatif dan deskriptif.
51
1. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran historis,sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya
51
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi Magister Hukum, Universitas Udayana. hal. 14.
bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif ,sistematis dan argumentatif.
2. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,
proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.
3. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum
atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat.
4. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
5. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya.
49
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
DAN CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
2.1 Tinjauan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT
2.1.1 Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT
Kepala Kantor Pertanahan memiliki kewenangan untuk melaksanakan pendaftaran tanah. Dalam melaksanakan pelaksanaan pendaftaran tanah ini
Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang bersangkutan dengan hal itu. Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, PPAT
adalah Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta tanah tertentu, yaitu akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan
hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, sebagai dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
52
Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PPAT dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum memiliki kewenangan untuk membantu membuat akta atas
perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah. Bersama-sama dengan pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan, PPAT dapat
melaksanakan pendaftaran tanah, pemindahan hak atas tanah dan akta lain yang berkaitan dengan hak atas tanah.
52
Effendi Perangin, 1986, Pertanyaan dan Jawaban Tentang Hukum Agraria, Rajawali, Jakarta, hal. 3.