1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah  merupakan  kebutuhan  dasar  dalam  pelaksanaan  kegiatan  produktif manusia, baik sebagai wadahnya maupunsebagai faktor produksi. Oleh karena itu
jelaslah  bahwa  pencatatan  yang  sistematis  dari  tanah  dan  hak  hak  atas  tanah merupakan  hal  yang  sangat  penting  baik  bagi  administrasi  Negara  maupun  bagi
perencanakan  dan  pengembangan  pembangunan  tanah  itu  sendiri,  sertabagi kepastian hukum  dalam  peralihan, pemindahan  atau pembebanan hak atas tanah.
Kaitan dengan hal  ini  Pasal  33 ayat  3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 menyebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya  dikuasai  oleh  Negara  dan  dipergunakan  untuk  sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam rangka kesejahteraan dan  kemakmuran  rakyat  Indonesia.  Pengertian  bumi  menurut  Pasal  1  ayat  4
Undang-undang Pokok Agraria UUPA Nomor 5 Tahun 1960 adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
Permukaan  bumi  menurut  Pasal  4  ayat  1  Udang-undang  Pokok  Agraria UUPA Nomor 5 Tahun 1960 adalah tanah. Tanah adalah suatu hak milik  yang
sangat  berharga bagi  umat manusia, demikian pula untuk  bangsa  Indonesia, bagi orang  Indonesia tanah merupakan masalah  yang  paling  pokok, dapat  di  konstatir
dari banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan kepengadilan yaitu berkisar  sengketa  mengenai  tanah.  Sengketa  tanah  tersebut  antara  lain
menyangkut  sengketa  warisan,  utang-piutang  dengan  tanah  sebagai  jaminan,
sengketa  tata  usaha  negara  penerbitan  sertifikat  tanah,  serta  perbuatan  melawan hukum lainnya. Berdasarkan banyaknya perkara yang menyangkut tanah, dapat di
lihat bahwa tanah memegang peranan sentral dalam kehidupan dan perekonomian negara.
1
Dalam  pengelolaan  bidang  pertanahan,  terutama  dalam  kegiatan pendaftaran  tanah,  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  selanjutnya  disebut  PPAT,
mempunyai  peran  yang  begitu  penting,  karena  PPAT  merupakan  pejabat  umum yang  menjadi  mitra  instansi  BPN  guna  membantu  menguatkanmengukuhkan
setiap perbuatan hukum  atas bidang tanah  yang  dilakukan oleh subyek hak  yang bersangkutan  yang  dituangkan  dalam  suatu  akta  otentik.  Selain  itu,  untuk
melaksanakan  tugas  pokok  sebagimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  Peraturan Pemerintah  Nomor  37  Tahun  1998  tentang  Peraturan  Jabatan  Pejabat  Pembuat
Akta  Tanah  selanjutnya  disebut  PP  Nomor  37  Tahun  1998,  seorang  PPAT mempunyai  kewenangan  membuat  akta  otentik  mengenai  semua  perbuatan
hukum, sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
Berdasarkan  ketentuan  Pasal  2  PP  Nomor  37  Tahun  1998,  bahwa  tugas pokok PPAT adalah:
1 PPAT  bertugas  pokok  melaksanakan  kegiatan  pendaftaran  tanah  dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang
akan  dijadikan  dasar  bagi  pendaftaran  perubahan  data  pendaftaran  tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
2 Perbuatan  hukum  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  adalah  sebagai
berikut :
1
Maria.  S.W.  Sumardjono,  2005,  Kebijakan  Pertanahan  Antara  regulasi  dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 35.
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan inbreng;
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna BangunanHak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Dalam  melaksanakan  tugas  pokok  tersebut,  PPAT  mempunyai kewenangan  untuk  membuat  akta  otentik  mengenai  semua  perbuatan  hukum
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam  daerah  kerjanya.  Menurut  penjelasan  Pasal  3  PP  Nomor  37  Tahun  1998,
bahwa PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi  kedudukan sebagai  akta otentik.  Selanjutnya menurut  penjelasan  Pasal 4, bahwa kecuali ada
ketentuan  lain,  maka  apabila  seorang  PPAT  melakukan  pelanggaran  dengan membuat  akta di  luar daerah kerjanya, akta  yang dibuatnya adalah tidak  sah dan
tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran. Khusus bagi sebidang tanah atau satuan  rumah  susun  yang  tidak  semuanya  terletak  dalam  daerah  kerja  seorang
PPAT, maka dalam hal pembuatan akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta pemberian hak bersama, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah
kerjanya  meliputi  salah  satu  bidang  tanah  atau  satuan  rumah  susun  yang  haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta.
Secara  normatif,  PPAT  adalah  Pejabat  Umum  yang  diberi  wewenang untuk  membuat  akta-akta  otentik  mengenai  perbuatan  hukum  tertentu  mengenai
hak  atas  tanah  atau  hak  milik  satuan  rumah  susun,  atau  membuat  alat  bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan
dasar  pendaftarannya  Pasal  1  angka  1  PP  Nomor  37  Tahun  1998  jo.  Pasal  1
angka  24,  PP  24  Tahun  1997  tentang  Pendaftaran  Tanah.  Apabila  dilihat,  ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang PPAT, yakni :
1. Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  1996  tentang  Hak  Tanggungan  Atas
Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dalam Pasal 1 angka  4  menyebutkan  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah,  yang  selanjutnya
disebut  PPAT,  adalah  pejabat  umum  yang  diberi  wewenang  untuk membuat  akta  pemindahan  hak  atas  tanah,  akta  pembebanan  hak  atas
tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ,
dalam ketentuan  Pasal  37 ayat 1 menyebutkan bahwa : “Peralihan hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,  hibah,  pemasukan  dalam  perusahaan  dan  perbuatan  hukum
pemindahan  hak  lainnya,  kecuali  pemindahan  hak  melalui  lelang  hanya dapat  didaftarkan,  jika  dibuktikan  dengan  akta  yang  dibuat  oleh  PPAT
yang  berwenang  menurut  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  yang berlaku”.
3. Peraturan  Pemerintah  Nomor  37  Tahun  1998  tentang  Peraturan  Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah; 4.
Peraturan  Menteri  AgrariaKepala  Badan  Pertanahan  Nasional  Nomor  1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Melihat  wilayah  Indonesia  yang  demikian  luas,  diperlukan  banyak  PPAT
dengan lingkupwilayah kerja masing-masing. Untuk melayani masyarakat dalam
pembuatan  akta  PPAT  di  daerah  yang  belum  cukup  terdapat  PPAT  atau  untuk melayani  golongan  masyarakat  tertentu  dalam  pembuatan  akta  PPAT  tertentu,
Menteri  dapat  menunjuk  pejabat-pejabat  sebagai  PPAT  Sementara  atau  PPAT Khusus. Dalam Pasal 1  Peraturan Pemerintah  Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan
ada 3 tiga macam PPAT, yaitu : 1.
Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  umum  adalah  pejabat  umum  yang diberikan  kewenangan  untuk  membuat  akta-akta  otentik  mengenai
perbuatan  hukum  tertentu  mengenai  hak  atas  tanah  atau  Hak  Milik  Atas Satuan Rumah Susun.
2. Pejabat  Pembuat Akta Tanah Sementara adalah  pejabat  pemerintah  yang
ditunjuk  karena  jabatannya  untuk  melaksanakan  tugas  Pejabat  Pembuat Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah Pejabat Badan, melaksanakan
tugas  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  dengan  membuat  Akta  Pejabat Pembuat  Akta  Tanah  tertentu  khususnya  dalam  rangka  pelaksanaan
program atau tugas pemerintah tertentu. Dengan  demikian,  menurut  Pasal  1  PP  Nomor  37  Tahun  1998,  kategori
PPAT dapat dibagi menjadi 3 tiga jenis, yaitu : 1.
PPAT biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta, yang memenuhi syarat tertentu dapat merangkap sebagai
Notaris, konsultan atau penasehat hukum. 2.
PPAT  sementara,  yaitu  PPAT  yang  diangkat  untuk  melayani  pembuatan akta  di  daerah  yang  belum  cukup  terdapat  PPAT  Camat  atau  Kepala
Desa.
3. PPAT khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta
tertentu  atau  untuk  golongan  masyarakat  tertentu  Kepala  Kantor Pertanahan.
Pasal  1  angka  24  PP  24  Tahun  1997  menyebutkan  definisi  dari  Pejabat Pembuat  Akta  Tanah,  yaitu  pejabat  umum  yang  diberi  kewenangan  untuk
membuat  akta-  akta  tanah  tertentu.  Menurut  Boedi  Harsono,  yang  dimaksud PPAT  adalah  suatu  jabatan  ambt  dalam  tata  susunan  hukum  agraria  nasional
kita,  khususnya  hukum  yang  mengatur  pendaftaran  tanah.  Dapat  diartikan  juga “orang”  yang  menjabat  jabatan  tersebut.  Berdasarkan  pengertian  di  dalam  PP
Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998, dapat disimpulkan bahwa, PPAT adalah “Pejabat Umum“.
2
Menurut Effendi  Peranginangin, Pejabat  Umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani
masyarakat\umum  di  bidang  kegiatan  tertentu.  Kegiatan  tertentu  yang  dimaksud di atas diantaranya untuk membuat Akta.
3
Peralihan  hak  atas  tanah,  baik  karena  jual-beli,  maupun  karena  hal-hal lain, peran PPAT sangat penting. Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor
40  Tahun  1996  tidak  memberikan  pengertian  apa  yang  dimaksud  beralih  dan dialihkan.
Besarnya peran PPAT, juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal  5 ayat 3 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa :
“Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah
2
Boedi  Harsono,  2002,  Hukum  Agraria  Indonesia,  Himpunan  Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 44.
3
Efendi  Perangin-angin,  1994,  Hukum  Agraria  di  Indonesia,  Raja  Grafindo  Persada, Jakarta, hal. 62.
atau untuk melayani  golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  tertentu,  Menteri  dapat  menunjuk  pejabat-
pejabat dibawah ini sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara atau Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  Khusus  :  “Camat  atau  Kepala  Desa  untuk
melayani  pembuatan  akta  di  daerah  yang  belum  cukup  terdapat  Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah Sementara”. Dalam  penjelasan  Pasal  5  ayat  3  huruf  a  PP  Nomor  37  Tahun  1998,
tentang  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  disebutkan,  b ahwa  “karena  fungsinya  di
bidang pendaftaran tanah yang penting bagi masyarakat  yang memerlukan, maka fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah Negara. Oleh karena itu di
wilayah  yang  belum  cukup  terdapat  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah,  Camat  perlu ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut.
Daerah  yang  belum  cukup  terdapat  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  adalah Daerah  yang jumlah Pejabat  Pembuat Akta Tanah-nya belum memenuhi  formasi
yang ditetapkan Menteri sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Didaerah yang sudah cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah dan merupakan
daerah  tertutup  untuk  pengangkatan  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  baru,  Camat yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara.
Dari  pertimbangan  untuk  memenuhi  pelayanan  kepada  masyarakat  di daerah-daerah tepencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan apabila harus
pergi  ke  kantor  Kecamatan  untuk  melaksanakan  transaksi  mengenai  tanahnya, Menteri  juga  dapat  menunjuk  Kepala  Desa  untuk  melaksanakan  Tugas  Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Isu hukum yang timbul dalam hal pembuatan akta tanah oleh Camat pada
umumnya  disebabkan  oleh  kondisi  diri  pribadi  dari  Camat  itu  sendiri,  seperti misalnya  seringnya  Camat  melakukan  kesalahan  dan  Camat  kurang  menguasai
peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku.  Kesalahan-kesalahan  yang  sering dibuat  oleh  Camat  antara  lain  tidak  melakukan  pengecekan  sertipikat  asli  di
Kantor  Pertanahan  dan  kesalahan  dalam  pembuatan  bagian-bagian  akta  dalam formulir akta otentik yang seringkali tidak sesuai dan menyalahi ketentuan dalam
Peraturan  Pemerintah  Nomor  24  Tahun  1997  maupun  Peraturan  Pemerintah Nomor  37  Tahun  1998.  kesalahan-kesalahan  yang  dilakukan  Camat  ini  dapat
menimbulkan  akibat  hukum  yang  merugikan  para  pihak.  Oleh  karena  itu kemungkinan  Camat  melakukan  kesalahan  dan  kelalaian  masih  tetap  terbuka,
meskipun  Camat  yang  bersangkutan  telah  memenuhi  persyaratan  dan  telah berpraktek sebagai PPAT.
Ketidaktelitian  Camat  dalam  melakukan  pencatatan  transaksi  atas  tanah sehingga dikhawatirkan terbitnya akta jual beli ganda terhadap satu objek bidang
tanah  yang  sama.  Hal  ini  disebabkan  karena  administrasi  pertanahan  yang  ada pada  kantor  kecamatan  kurang  lengkap.  Selain  itu  juga  camat  yang  belum
menguasai  peraturan-peraturan  yang  terkait  dengan  PPAT.  Oleh  karena  itu keberadaan Camat sebagai PPAT Sementara perlu ditinjau kembali.
Pasal  5  ayat  3  huruf  b  Peraturan  Pemerintah  Nomor  37  Tahun  1998 tentang  Peraturan  Jabatan  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  yang  mengamanatkan
penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara, tidak memberi penjelasan mengenai kata “sementara” dan juga tidak menyebut “sementara”-nya itu sampai kapan. Hal
ini  menunjukan  adanya  norma  kosong  dalam  penunjukan  Camat  sebagai  PPAT Sementara.
Berdasarkan  hal  tersebut,  mengingat  output  pendidikan  magister kenotariatan  semakin  banyak  di  Indonesia,  maka  sebagai  solusinya  Camat  tidak
lagi  ditunjuk  sebagai  PPAT  Sementara.  Hal  itu  bisa  dilakukan  dengan  cara
memberikan penugasan  wajib bagi  lulusan magister kenotariatan, sebagai  halnya wajib  tugas  bagi  dokter,  untuk  ditugaskan  di  daerah-daerah  terpencil  di  seluruh
Indonesia.  Melalui  cara  ini  dengan  sendirinya  Camat  tidak  lagi  dibutuhkan sebagai PPAT Sementara.
Berdasarkan  paparan  tersebut,  menjadi  sangatlah  menarik  untuk  dikaji tentang :
“KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH CAMAT
”
Penelitian  tentang  “Kedudukan  Hukum  Akta  Tanah  yang  dibuat  oleh Camat
”  ini  merupakan  penelitian  baru,  yang  belum  pernah  diteliti  oleh  peneliti lain.  Keaslian  originalitas  penelitian  ini,  dapat  dilihat  dari  beberapa  hasil
penelitian sebelumnya, yang walaupun membahas tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat  Akta  Tanah  PPAT,  namun  hasil  dari  pembahasannya  berbeda  dengan
penelitian ini. Penelitian-penelitian dimaksud adalah : 1.
Tesis  yang  ditulis  oleh  Didik  Ariyanto,  dengan  judul  :  “Pelaksanaan Fungsi  dan  Kedudukan  Camat  Sebagai  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah
Sementara  di  Kabupaten  Grobogan”  sebagai  tugas  akhir  studi  pada Program  Magister  Kenotariatan  Universitas  Diponegoro  2006.    Adapun
rumusan  masalah yang diangkat adalah : a.
Bagaimanakah  Penerapan  Tugas  Camat  sebagai  PPAT  Sementara  di Kabupaten Grobogan ditinjau dari persfektif fungsi  dan kedudukannya
dalam era otonomi daerah. b.
Bagaimanakah  pelaksanaan  pengaturan  dilapangan  fungsi  dan kedudukan  PPAT  antara  Camat  sebagai  PPAT  Sementara  dan
NotarisPPAT di Kabupaten Grobogan
Berdasarkan kajian dan analisanya, dipaparkan hasil penelitiannya sebagai berikut :
a. Pelaksanaan  fungsi  dan  kedudukan  Camat  sebagai  PPAT  Sementara
dalam  era  otonomi  daerah  ditemukan  banyak  sekali  penyimpangan- penyimpangan  yang  dilakukan  oleh  Camat  sebagai  PPAT  Sementara,
kemudian  Peranan  Kantor  Pertanahan  Kabupaten  Grobogan  yang lemah, serta sikap NotarisPPAT yang terkesan menutup mata terhadap
penyimpangan-penyimpangn yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara  sehingga  mengakibatkan  masyarakat  dalam  memandang
penyimpangan-penyimpangan  tersebut  dibenarkan  yang  berakibatkan terjadinya  ketidakpastian  hukum  terhadap  suatu  perbuatan  hukum
dihadapan Camat sebagai PPAT Sementara b.
Pelaksanaan Pengaturan dilapangan fungsi dan kedudukan PPAT antara Camat  sebagai  PPAT  Sementara  dan  NotarisPPAT  di  Kabupaten
Grobogan, dari segi aturan berbeda, dan dalam pelaksanaan di lapangan juga ada perbedaan.
2. Tesis dari Yulia Rumanti dengan judul : “Peranan Camat Sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan  Universitas
Diponegoro 2010. Rumusan masalah dari penelitian tersebut adalah : a.
Mengapa  Camat  di  wilayah  Kabupaten  Bolaang  Mongondow  tidak semuanya menjadi PPAT Sementara ?
b. Bagaimanakah  peran  Camat  yang  ditunjuk  sebagai  PPAT  Sementara
dalam  proses  Pendaftaran  Tanah  di  Kabupaten  Bolaang  Mongondow propinsi Sulawesi Utara ?
c. Apakah  kendala-kendala  yang  dihadapi  Camat  sebagai  Pejabat
Pembuat  Akta  Tanah  Sementara  dalam  Proses  Pendaftaran  Tanah  di Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara?
Hasil Penelitian dari tesis tersebut, secara ringkas, yaitu : a.
Tidak  semua  Camat  menjadi  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  PPAT Sementara,  disebabkan  karena  faktor  :  1  sistem  birokrasi  dan
pelayanan  publik  di  Badan  Pertanahan  Nasional  BPN  masih bermasalah,  seperti  pungutan  liar;  2  banyak  calo  dan  pengguna  jasa
yang  bebas  keluar  masuk  kantor  BPN;  dan  3  Tidak  hanya  kasus percaloan, masih ada kasus pemerasan yang melibatkan oknum di BPN
yang  telah  melakukan  permintaan  uang  terhadap  Camat  yang mengajukan permohonan untuk menjadi PPAT Sementara.
b. Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Sementara
di  Kabupaten  Bolaang  Mongondow  masih  sangat  dibutuhkan keberadaannya.  Selain  karena  formasi  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah
PPAT Notaris masih belum terpenuhi juga karena luasnya daerah di Kabupaten Bolaang Mongondow. Dengan diangkatnya Camat Sebagai
Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  PPAT  Sementara  maka  perannya sejajar dan sama dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Notaris,
sehingga  semua  aturan  yang  diatur  dalam  Peraturan  Pemerintah
Nomor  24  Tahun  1997  tentang  Pendaftaran  Tanah  dan  Peraturan Pemerintah  Nomor  37  Tahun  1998  tentang  Jabatan  Pejabat  Pembuat
Akta  Tanah,  harus  berlaku  juga  terhadap  Camat,  misalnya  dalam  hal pemasangan  papan  nama,  pembuatan  akta,  laporan  bulanan  dan
penyampaian  akta  ke  Kantor  Pertanahan  Kabupaten  Bolaang Mongondow.
c. Kendala seorang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT
Sementara  di  Kabupaten  Bolaang  Mongondow  dalam  menjalankan peran  dan  fungsinya  adalah  kurangnya  pengetahuan  tentang  masalah
tanah.  Tingkat  pendidikan  yang  tidak  berhubungan  dengan  Camat Sebagai
Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT
Sementara menyebabkan pelayanan  kepada  masyarakat  umumnya  di  bidang  pertanahan  dan
khususnya  tentang  pendaftaran  tanah  kurang  maksimal  sehingga memungkinkan  timbulnya  masalah-masalah  baru  dan  timbulnya
penyimpangan-penyimpangan dalam proses pendaftaran tanah 3.
Tesis ditulis oleh  Ni Made Asri Asti, dengan  judul : “Wewenang Camat Sebagai  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  PPAT  Sementara  dalam
Pembuatan  Akta  Pe ralihan  Hak  Atas  Tanah”  sebagai  tugas  akhir  studi
pada  Program  Magister  Kenotariatan  Universitas  Udayana  2014. Rumusan masalah yang diangkat adalah :
a. bagaimanakah  kewenangan  Camat  sebagai  PPAT  Sementara  dalam
membuat akta peralihan hak atas tanah. b.
bagaimanakah  tanggung  jawab  Camat  sebagai  PPAT  Sementara  atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya.
Uraian ringkas hasil penelitian dari tesis tersebut adalah : a.
Camat  sebagai  PPAT  sementara  mengandung  konsekuensi  hukum pada  wewenangnya  selaku  pejabat  umum  yang  berwenang  untuk
membuat akta otentik menjadi tidak terpenuhi. b.
Tanggung  jawab  Camat  apabila  akta  yang  dibuatnya  menimbulkan akibat hukum yang menyebabkan kebatalan akta tersebut berupa batal
demi  hukum  atau  dapat  dibatalkan  adalah  tanggung  jawab  pribadi fautes personalles. Dimana apabila Camat tersebut dapat dibuktikan
telah  melakukan  perbuatan  hukum  yang  merugikan  para  pihak  akan dikenakan sanksi perdata.
Ketiga  karya  tulis  dalam  bentuk  tesis  sebagai  tugas  akhir  studi  Program Magister kenotariatan tentang Camat sebagai PPAT, penelitian yang pertama dan
kedua  tidak  menyentuh  sama  sekali  masalah  kewenangan,  sedangkan  penelitian yang  ketiga  membahas  tentang  kewenangan  namun  tidak  mempermasalahkan
tentang keabsahan kewenangan Camat selaku PPAT serta akibat hukum dari akta yang  dibuat  oleh  Camat  selaku  PPAT.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  rumusan
masalahnya  berbeda  dengan  rumusan  masalah  yang  akan  dikaji  dalam  proposal ini. Tesis yang ditulis oleh Ni Made Asri Asti yang berjudul:
“Wewenang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Sementara dalam Pembuatan Akta
Peralihan  Hak  Atas  Tanah”  sebagai  tugas  akhir  studi  pada  Program  Magister Kenotariatan  Universitas  Udayana  2014,  pembahasannya  lebih  terfokus  pada
kajian  dari  keotentikan  akta  sesuai  dengan  ketentuan  Pasal  1868  BW  serta pertanggungjawaban  pribadi  fautes  personalles.  Dua  permasalahan  dalam
proposal ini, tinjauannya lebih banyak dalam ranah hukum administrasi, yaitu : 1 keabsahan  wewenang;  dan  2  akibat  hukum  dari  akta  yang  dibuat  tidak  sesuai
dengan keotentikannya.  Dengan demikian, 2  dua permasalahan dalam  proposal ini, berbeda dari ketiga karya tulis dalam bentuk tesis tersebut di atas.
1.2 Rumusan Masalah