Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif manusia, baik sebagai wadahnya maupunsebagai faktor produksi. Oleh karena itu jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak hak atas tanah merupakan hal yang sangat penting baik bagi administrasi Negara maupun bagi perencanakan dan pengembangan pembangunan tanah itu sendiri, sertabagi kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah. Kaitan dengan hal ini Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam rangka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Pokok Agraria UUPA Nomor 5 Tahun 1960 adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat 1 Udang-undang Pokok Agraria UUPA Nomor 5 Tahun 1960 adalah tanah. Tanah adalah suatu hak milik yang sangat berharga bagi umat manusia, demikian pula untuk bangsa Indonesia, bagi orang Indonesia tanah merupakan masalah yang paling pokok, dapat di konstatir dari banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan kepengadilan yaitu berkisar sengketa mengenai tanah. Sengketa tanah tersebut antara lain menyangkut sengketa warisan, utang-piutang dengan tanah sebagai jaminan, sengketa tata usaha negara penerbitan sertifikat tanah, serta perbuatan melawan hukum lainnya. Berdasarkan banyaknya perkara yang menyangkut tanah, dapat di lihat bahwa tanah memegang peranan sentral dalam kehidupan dan perekonomian negara. 1 Dalam pengelolaan bidang pertanahan, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT, mempunyai peran yang begitu penting, karena PPAT merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi BPN guna membantu menguatkanmengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Selain itu, untuk melaksanakan tugas pokok sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum, sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa tugas pokok PPAT adalah: 1 PPAT bertugas pokok melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 2 Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sebagai berikut : 1 Maria. S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan Antara regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 35. a. jual beli; b. tukar menukar; c. hibah; d. pemasukan ke dalam perusahaan inbreng; e. pembagian hak bersama; f. pemberian Hak Guna BangunanHak Pakai atas Tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan; h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Menurut penjelasan Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 4, bahwa kecuali ada ketentuan lain, maka apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dengan membuat akta di luar daerah kerjanya, akta yang dibuatnya adalah tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran. Khusus bagi sebidang tanah atau satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak dalam daerah kerja seorang PPAT, maka dalam hal pembuatan akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta pemberian hak bersama, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta. Secara normatif, PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 24, PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Apabila dilihat, ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang PPAT, yakni : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dalam Pasal 1 angka 4 menyebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah , dalam ketentuan Pasal 37 ayat 1 menyebutkan bahwa : “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; 4. Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Melihat wilayah Indonesia yang demikian luas, diperlukan banyak PPAT dengan lingkupwilayah kerja masing-masing. Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan ada 3 tiga macam PPAT, yaitu : 1. Pejabat Pembuat Akta Tanah umum adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. 3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah Pejabat Badan, melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu khususnya dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Dengan demikian, menurut Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, kategori PPAT dapat dibagi menjadi 3 tiga jenis, yaitu : 1. PPAT biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta, yang memenuhi syarat tertentu dapat merangkap sebagai Notaris, konsultan atau penasehat hukum. 2. PPAT sementara, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT Camat atau Kepala Desa. 3. PPAT khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu Kepala Kantor Pertanahan. Pasal 1 angka 24 PP 24 Tahun 1997 menyebutkan definisi dari Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta- akta tanah tertentu. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud PPAT adalah suatu jabatan ambt dalam tata susunan hukum agraria nasional kita, khususnya hukum yang mengatur pendaftaran tanah. Dapat diartikan juga “orang” yang menjabat jabatan tersebut. Berdasarkan pengertian di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998, dapat disimpulkan bahwa, PPAT adalah “Pejabat Umum“. 2 Menurut Effendi Peranginangin, Pejabat Umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani masyarakat\umum di bidang kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu yang dimaksud di atas diantaranya untuk membuat Akta. 3 Peralihan hak atas tanah, baik karena jual-beli, maupun karena hal-hal lain, peran PPAT sangat penting. Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud beralih dan dialihkan. Besarnya peran PPAT, juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat 3 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa : “Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah 2 Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 44. 3 Efendi Perangin-angin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 62. atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat- pejabat dibawah ini sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus : “Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara”. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat 3 huruf a PP Nomor 37 Tahun 1998, tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah disebutkan, b ahwa “karena fungsinya di bidang pendaftaran tanah yang penting bagi masyarakat yang memerlukan, maka fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah Negara. Oleh karena itu di wilayah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat perlu ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut. Daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Daerah yang jumlah Pejabat Pembuat Akta Tanah-nya belum memenuhi formasi yang ditetapkan Menteri sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Didaerah yang sudah cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah dan merupakan daerah tertutup untuk pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah baru, Camat yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara. Dari pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada masyarakat di daerah-daerah tepencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan apabila harus pergi ke kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai tanahnya, Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah. Isu hukum yang timbul dalam hal pembuatan akta tanah oleh Camat pada umumnya disebabkan oleh kondisi diri pribadi dari Camat itu sendiri, seperti misalnya seringnya Camat melakukan kesalahan dan Camat kurang menguasai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesalahan-kesalahan yang sering dibuat oleh Camat antara lain tidak melakukan pengecekan sertipikat asli di Kantor Pertanahan dan kesalahan dalam pembuatan bagian-bagian akta dalam formulir akta otentik yang seringkali tidak sesuai dan menyalahi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. kesalahan-kesalahan yang dilakukan Camat ini dapat menimbulkan akibat hukum yang merugikan para pihak. Oleh karena itu kemungkinan Camat melakukan kesalahan dan kelalaian masih tetap terbuka, meskipun Camat yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan telah berpraktek sebagai PPAT. Ketidaktelitian Camat dalam melakukan pencatatan transaksi atas tanah sehingga dikhawatirkan terbitnya akta jual beli ganda terhadap satu objek bidang tanah yang sama. Hal ini disebabkan karena administrasi pertanahan yang ada pada kantor kecamatan kurang lengkap. Selain itu juga camat yang belum menguasai peraturan-peraturan yang terkait dengan PPAT. Oleh karena itu keberadaan Camat sebagai PPAT Sementara perlu ditinjau kembali. Pasal 5 ayat 3 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengamanatkan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara, tidak memberi penjelasan mengenai kata “sementara” dan juga tidak menyebut “sementara”-nya itu sampai kapan. Hal ini menunjukan adanya norma kosong dalam penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara. Berdasarkan hal tersebut, mengingat output pendidikan magister kenotariatan semakin banyak di Indonesia, maka sebagai solusinya Camat tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Hal itu bisa dilakukan dengan cara memberikan penugasan wajib bagi lulusan magister kenotariatan, sebagai halnya wajib tugas bagi dokter, untuk ditugaskan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Melalui cara ini dengan sendirinya Camat tidak lagi dibutuhkan sebagai PPAT Sementara. Berdasarkan paparan tersebut, menjadi sangatlah menarik untuk dikaji tentang : “KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH CAMAT ” Penelitian tentang “Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh Camat ” ini merupakan penelitian baru, yang belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Keaslian originalitas penelitian ini, dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, yang walaupun membahas tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, namun hasil dari pembahasannya berbeda dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian dimaksud adalah : 1. Tesis yang ditulis oleh Didik Ariyanto, dengan judul : “Pelaksanaan Fungsi dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara di Kabupaten Grobogan” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro 2006. Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah : a. Bagaimanakah Penerapan Tugas Camat sebagai PPAT Sementara di Kabupaten Grobogan ditinjau dari persfektif fungsi dan kedudukannya dalam era otonomi daerah. b. Bagaimanakah pelaksanaan pengaturan dilapangan fungsi dan kedudukan PPAT antara Camat sebagai PPAT Sementara dan NotarisPPAT di Kabupaten Grobogan Berdasarkan kajian dan analisanya, dipaparkan hasil penelitiannya sebagai berikut : a. Pelaksanaan fungsi dan kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara dalam era otonomi daerah ditemukan banyak sekali penyimpangan- penyimpangan yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara, kemudian Peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Grobogan yang lemah, serta sikap NotarisPPAT yang terkesan menutup mata terhadap penyimpangan-penyimpangn yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara sehingga mengakibatkan masyarakat dalam memandang penyimpangan-penyimpangan tersebut dibenarkan yang berakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap suatu perbuatan hukum dihadapan Camat sebagai PPAT Sementara b. Pelaksanaan Pengaturan dilapangan fungsi dan kedudukan PPAT antara Camat sebagai PPAT Sementara dan NotarisPPAT di Kabupaten Grobogan, dari segi aturan berbeda, dan dalam pelaksanaan di lapangan juga ada perbedaan. 2. Tesis dari Yulia Rumanti dengan judul : “Peranan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro 2010. Rumusan masalah dari penelitian tersebut adalah : a. Mengapa Camat di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow tidak semuanya menjadi PPAT Sementara ? b. Bagaimanakah peran Camat yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara dalam proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara ? c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dalam Proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara? Hasil Penelitian dari tesis tersebut, secara ringkas, yaitu : a. Tidak semua Camat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Sementara, disebabkan karena faktor : 1 sistem birokrasi dan pelayanan publik di Badan Pertanahan Nasional BPN masih bermasalah, seperti pungutan liar; 2 banyak calo dan pengguna jasa yang bebas keluar masuk kantor BPN; dan 3 Tidak hanya kasus percaloan, masih ada kasus pemerasan yang melibatkan oknum di BPN yang telah melakukan permintaan uang terhadap Camat yang mengajukan permohonan untuk menjadi PPAT Sementara. b. Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow masih sangat dibutuhkan keberadaannya. Selain karena formasi Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Notaris masih belum terpenuhi juga karena luasnya daerah di Kabupaten Bolaang Mongondow. Dengan diangkatnya Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Sementara maka perannya sejajar dan sama dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Notaris, sehingga semua aturan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, harus berlaku juga terhadap Camat, misalnya dalam hal pemasangan papan nama, pembuatan akta, laporan bulanan dan penyampaian akta ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow. c. Kendala seorang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow dalam menjalankan peran dan fungsinya adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah tanah. Tingkat pendidikan yang tidak berhubungan dengan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Sementara menyebabkan pelayanan kepada masyarakat umumnya di bidang pertanahan dan khususnya tentang pendaftaran tanah kurang maksimal sehingga memungkinkan timbulnya masalah-masalah baru dan timbulnya penyimpangan-penyimpangan dalam proses pendaftaran tanah 3. Tesis ditulis oleh Ni Made Asri Asti, dengan judul : “Wewenang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Sementara dalam Pembuatan Akta Pe ralihan Hak Atas Tanah” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana 2014. Rumusan masalah yang diangkat adalah : a. bagaimanakah kewenangan Camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta peralihan hak atas tanah. b. bagaimanakah tanggung jawab Camat sebagai PPAT Sementara atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya. Uraian ringkas hasil penelitian dari tesis tersebut adalah : a. Camat sebagai PPAT sementara mengandung konsekuensi hukum pada wewenangnya selaku pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik menjadi tidak terpenuhi. b. Tanggung jawab Camat apabila akta yang dibuatnya menimbulkan akibat hukum yang menyebabkan kebatalan akta tersebut berupa batal demi hukum atau dapat dibatalkan adalah tanggung jawab pribadi fautes personalles. Dimana apabila Camat tersebut dapat dibuktikan telah melakukan perbuatan hukum yang merugikan para pihak akan dikenakan sanksi perdata. Ketiga karya tulis dalam bentuk tesis sebagai tugas akhir studi Program Magister kenotariatan tentang Camat sebagai PPAT, penelitian yang pertama dan kedua tidak menyentuh sama sekali masalah kewenangan, sedangkan penelitian yang ketiga membahas tentang kewenangan namun tidak mempermasalahkan tentang keabsahan kewenangan Camat selaku PPAT serta akibat hukum dari akta yang dibuat oleh Camat selaku PPAT. Hal ini dapat dilihat dari rumusan masalahnya berbeda dengan rumusan masalah yang akan dikaji dalam proposal ini. Tesis yang ditulis oleh Ni Made Asri Asti yang berjudul: “Wewenang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Sementara dalam Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana 2014, pembahasannya lebih terfokus pada kajian dari keotentikan akta sesuai dengan ketentuan Pasal 1868 BW serta pertanggungjawaban pribadi fautes personalles. Dua permasalahan dalam proposal ini, tinjauannya lebih banyak dalam ranah hukum administrasi, yaitu : 1 keabsahan wewenang; dan 2 akibat hukum dari akta yang dibuat tidak sesuai dengan keotentikannya. Dengan demikian, 2 dua permasalahan dalam proposal ini, berbeda dari ketiga karya tulis dalam bentuk tesis tersebut di atas.

1.2 Rumusan Masalah