Tapal Batas dari Masa ke Masa
                                                                                55
mengenai tapal  batas rentan  dengan elemen-elemen  yang  dianggap penganggu yang harus dijaga  ketat,  diawasi,  hingga  orang-orangnya  pun
pantas dicurigai.
2. Masa Konfrontasi
Sejak  awal hubungan  antara  Indonesia  dengan  Malaysia  tidak  berjalan harmonis. Keberatan Indonesia  terhadap  pembentukan  Federasi  Malaysia
yang  memasukkan  wilayah  Sabah,  Brunei,  dan  Sarawak  berbuah konfrontasi.  Pembentukan  federasi  ini  dipandang  oleh  Presiden  Soekarno
tidak  lebih  sebagai  Nekolim  Neo-Colonialist-Imperialist. Konfrontasi berjalan  dari  tahun  1962-1966  dengan  slogan  terkenalnya, “Ganyang
Malaysia”. Konfrontasi ini pula menyebabkan warga dari Kalimantan Utara yang  tidak  setuju  dengan pembentukan  Federasi  Malaysia  melakukan
mobilitas ke  perbatasan  Kalimantan  Barat, salah  satunya  yang  menjadi tempat tujuan mereka adalah Bengkayang.
Bengkayang tidak hanya menjadi saksi bisu dari peristiwa berdarah itu konfrontasi
3
tetapi juga sebagai tempat perekrutan PGRS Pasukan Gerilya Rakyat  Sarawak  dan  PARAKU  Pasukan  Rakyat  Kalimantan Utara
berlangsung. Pada Mei dan Juni tahun 1964, PGRSPARAKU diberi latihan militer  oleh  Kodam  Tanjungpura  yang  kemudian  dibina  oleh
Resimen
3
Van Der Kroef, Justus M. The Sarawak—Indonesian Border Insurgency. Modern Asian Studies,Vol 2, No 3 1968, pp. 245-265.
56
Pasukan Komando Angkatan Darat atau RPKAD di Bengkayang.
4
Asal-usul PGRSPARAKU  tidak  terlepas  dari  situasi  yang  memanas  akibat  dari
pembentukan federasi Malaysia yang mau memasukkan Sabah, Brunei, dan Sarawak menjadi bagian negaranya dan campur tangan Inggris.
Bermula  dari  gerakan  sekelompok  orang  yang  menolak  pembentukan federasi  Malaysia  dengan  membentuk  Negara  Nasional  Kalimantan  Utara
NKKU  dan  Tentara  Nasional  Kalimantan  Utara  TNKU  pada  tanggal  8 Desember 1962. Gerakan ini dipimpin oleh Syekh A.M Azahari dari partai
rakyat  Brunei. Bila  Inggris  dan  sekutunya  melihat  gerakan  itu  sebagai pemberontakan,
sebaliknya  Indonesia  di  bawah  Soekarno  justru memandangnya
sebagai gerakan
nasionalisme yang
menentang Imperialisme  dan  Kolonialisme. Dukungan  dari  Indonesia  pada  masa  itu
membuat  orang-orang  yang  disingkirkan  dari  Serawak  melintas  batas  ke Kalimantan  Barat,  di  mana  mereka  kelak  dibina  dan  difasilitasi  untuk
melanjutkan  perjuangan  merebut  Kucing.  Tidak  hanya  orang-orang  yang berasal  dari  Sarawak  yang  tergabung  dalam  PGRSPARAKU  dan  Sukwan
Sukarelawan  Dwikora  juga  terdapat  penduduk  lokal  Kalimantan  Barat. Mereka ini terdiri dari etnis Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Dengan adanya
dukungan  dari  pemerintah,  TNI, BPI
Badan  Pusat Intelijen,
PGRSPARAKU  serta  Sukwan  menjadi  bagian  dari  perjalanan  konfrontasi terhadap tentara gabungan Inggris, New Zealand, dan Australia. Bila PGRS
4
https:www.usd.ac.idlembagalppmf1l3Jurnal20Historia20Vitaevol22no1april20 08KEBIJAKAN2020PEMERINTAH2020REPUBLIK2020INDONESIA2
0mithcel20vinco.pdf. Diakses, 3 september 2016
57
ditempatkan  di  kawasan  perbatasan  mulai  dari  Pantai  Barat  di  Sambas sampai Sungkung di Bengkayang, sedangkan PARAKU ditempatkan mulai
dari Sungkung sampai Benua Martinus di Kapuas Hulu
Kroef, 1968
. Pada masa konfrontasi, mobilitas yang terjadi didorong dengan motif politis yang
mana  warga  Kalimantan  Utara  yang    mau  membentuk  Negara  Nasional Kalimantan Utara meminta dukungan dari Indonesia.
Akan  tetapi,  dukungan  itu  tidak  berjalan  lama  berkat  perubahan cuaca politik  di  ibukota.  Pada  tanggal  29  Mei-1  Juni  1966  diadakan
perundingan  antara  Menteri  Luar  Negeri  Indonesia  yaitu  Adam  Malik  dan Menteri  Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak di Bangkok, perundingan
yang  menghasilkan  prinsip-prinsip  untuk  penyelesaian  konfrontasi. Puncaknya  yaitu  dengan  ditandatangani Jakarta Accord pada  tanggal  11
Agustus  1966  di  Jakarta. Pasal  1  berbunyi  pengakuan  Indonesia  terhadap Federasi  Malaysia.  Sebagai  respon  terhadap Jakarta Accord,  KOLAGA
Komando  Mandala  Siaga  mengeluarkan  instruksi    untuk  menghentikan operasi-operasi.
Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967 berdasarkan surat rahasia Pangkolaga  no  12-331967  wewenang  pengendalian  operasi  dialihkan  dari
Kopur  IVMandau  kepada  Kodam  XIITanjungpura  yang  kemudian melancarkan  operasi  yang  dikenal  dengan  Operasi  Sapu  Bersih sedangkan
di  Malaysia  dilakukan  Operasi  Sri  Aman. Operasi  Sapu  Bersih  pertama mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April-Juli 1967 dan Operasi kedua pada
Agustus  1967  sampai  Februari  1969.  Pada  operasi  kali  ini  Kodam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
XIITanjungpura mendapat  bantuan  dari  RPKAD,  Siliwangi,  Kospagat AURI, dan KKO serta mengikutsertakan warga lokal Dayak. Pada tanggal
14  Oktober  1967  terjadi  peristiwa  berdarah  yang  merupakan  bagian  dari pembasmian  PGRSPARAKU  yaitu, peristiwa  Mangkok  Merah  atau
demonstrasi  Suku  Dayak akan  tetapi  sikap  anti  PGRSPARAKU  berujung menjadi
sikap anti
etnis Tionghoa
yang diidentikkan
dengan PGRSPARAKU.  Peristiwa  ini  mengakibatkan  pengungsian  besar-besaran
etnis Tionghoa dari daerah pedalaman ke kota. Dalam  menumpas  PGRS dan  PARAKU,  masyarakat  lokal  di
perbatasan  diikutsertakan  oleh  negara  yang  berada  di  bawah  pimpinan Soeharto. Bahkan bagi masyarakat yang dapat menangkap orang-orang yang
dicap PGRS dan PARAKU diberi surat penghargaan seperti gambar 9.
Gambar 11: surat penghargaan atas penangkapan PGRS dan Paraku
Sumber: Eilenberg, 2012
59 Gambar 12: surat pernyataan kepatuhan
Sumber: Eilenberg, 2012
Pernyataan gambar  10 di  atas menunjukkan,  masyarakat  lokal  yang berada  di  perbatasan  di  Kalimantan  Barat,  dimintai kepatuhannya  untuk
tunduk  terhadap  negara dan  mereka harus siap  menerima  sanksi  bila didapati tidak setia. Dari lembaran itu kita dapat membaca seperti apa posisi
masyarakat lokal dalam situasi masa konfrontasi. Di masa Soekarno mereka menjadi saksi dari keberpihakan negara terhadap PGRSPARAKU tetapi di
bawah  Soeharto  mereka  itu  pula  yang dijadikan  buronan.  Dan  sekali  lagi masyarakat di perbatasan dilibatkan.
60
Hubungan yang berbuah konfrontasi di awal tahun 1960-an antara Indonesia-Malaysia,  diakhiri dengan  pengukuhan  praktik  melintas  batas
yang  disepakati  oleh  pemerintahan  Indonesia  di  bawah  Soeharto  dan Malaysia. Aturan praktik melintas batas itu kemudian semakin memperjelas
makna perbatasan yang selalu dijaga ketat, diawasi, hingga dicurigai tanpa memperhitungkan  ikatan  etnis  yang jauh  lebih  tua  dari  usia kedua  negara
tersebut.
3. Penetapan Praktik Melintas Batas
Bila  di perbatasan
Kalimantan  Barat sedang
dilaksanakan pembasmian
terhadap PGRSPARAKU,
di  ibukota  justru  sedang melakukan  pertemuan  dengan  Malaysia  untuk  mengatur praktik  melintas
batas.  Pertemuan  yang  berlangsung  pada  tanggal  12  Mei  1967  itu kemudian menghasilkan Border Arrangement on  Border Crossing
5
yaitu; kesepakatan yang menjadi  cikal bakal  munculnya  sistem  PLB  atau  Pas
Lintas  Batas  bagi  warga  lokal.  Namun,  melintas  batas  dengan menggunakan PLB hanya diperkenankan sejauh 5 km dari garis sempadan.
Pasca  konfrontasi,  pendekatan  yang  dipakai  untuk melihat
perbatasan adalah keamanan. Sejak kesepakatan tahun 1967, kedua negara lebih  banyak  mengedepankan soal  kemananan  di  perbatasan  terutama
untuk  mengakrabkan  antar  militer  yang  terlibat  konfrontasi  dan menghadapi  PGRS  Pasukan  Gerilya  Rakyat  Sarawak  dan  PARAKU
5
Kesepakatan ini kemudian diperhabarui kembali pada tahun 1984.
61
Pasukan  Rakyat  Kalimantan  Utara yang  dianggap  beraliran  Komunis. Pendekatan  itu  misalnya  dengan  mendirikan  GBC  atau General  Border
Committe untuk  memfasilitasi  pertemuan  antara  Indonesia-Malaysia. Sebagai  lembaga adhoc,  GBC  secara  struktural  diketuai  oleh  Panglima
TNI  dari  kedua  negara.  Lewat  salah  satu  badan  khusus  dari  GBC  yaitu, Joint  Indonesia  Malaysia  Boundary JIMBC  membicarakan  langkah-
langkah  dalam  penetapan  garis  di  perbatasan,  namun  sampai  saat  ini penetapan  patok  batas  di  Jagoi  Babang masih  menjadi  persoalan Arifin,
2014. Perjanjian  yang  berlatar  belakang  keamanan  direvisi  lagi  tahun
1970,  dan  pada  tahun  1984  diperluas  untuk  menjawab  persoalan  yang lebih  kompleks  yaitu  ideologi,  politik,  sosial,  budaya,  dan  ekonomi,
pertemuan ini pun menjadi cikal bakal dari terbentuknya kerja sama Sosek Malindo.  Sosek  Malindo  mulai  terfokus  pada  bidang  sosial  dan  ekonomi
di  daerah  perbatasan Noveria,2017. Kerja  sama  ini  pun  baru  hadir ditingkat daerah Kalimantan Barat-Serawak tahun 1985. Dari kesepakatan
ini,  PLB  mulai  diberlakukan  yaitu;  Pas  Lintas  Batas  yang  digunakan warga  lokal  untuk  melintas  batas. Lewat  kesepakatan  ini  pula,  didirikan
Pos  Lintas  Batas  di  Jagoi  Babang.  Dengan  PLB, melintas  batas  di  Jagoi Babang  hanya  boleh  lima  km  dari  garis  simpadan.  Selain  mengatur
mengatur  praktik  melintas  batas,  di  tahun  yang  sama  Indonesia-Malaysia menandatangani  perjanjian Border  Trade  Agreement BTA  yang  secara
62
khusus  mengatur  sistem  perdagangan  di  perbatasan. Dalam  kententuan Pasal 2 perjanjian tersebut menjelaskan sebagai berikut:
1 Daerah-daerah perbatasan dari kedua negara, antara  atau di dalam mana  perdaganan  lintas  batas  di  daratan  dapat  dilakukan  adalah
daerah-daerah  sebagaimana  disebut  di  dalam Basic  Arrangement on Border Crossing yang ditandatangani pada tanggal 2 Mei 1967.
2 Setiap  arus  barang  yang  keluar  masuk  suatu  daerah  lintas  batas Malaysia  harus  melalui  suatu  Pos  Pengawasan  Lintas  Batas
PPLB Indonesia
yang didirikan
sesuai dengan
Basic Arrangement on Border Crossing pada sub ayat 1.
3 Nilai  barang-barang  yang  dibawa  atau diangkut  untuk  maksud perdagangan  lintas  batas  di  daerah  setiap  orang  seperti  yang
dimaksud  pada  Pasal  1  ayat  3  tidak  diperbolehkan  melebihi jumlah  enam  ratus  ringgit  Malaysia  RM  .600  setiap  bulannya
atau setara kurang lebih satu juta delapan ratus ribu rupiah Arifin, 2014:174.
Apa yang disepakati oleh kedua negara tersebut berimplikasi pada mobilitas warga  di  perbatasan. Dengan  ada  aturan  ini, Siagian  1995
mencatat mobilitas  warga  di  perbatasan  Kalimantan  Barat-Sarawak, termasuk  Jagoi  Babang  dapat  dikategorikan  menjadi  empat  karakteristik,
sebagai  berikut  yaitu, pertama, mobilitas  ulang-alik  atau commuting, penduduk meninggalkan desa selama delapan jam sampai tiga hari. Hal ini
karena  pelintas  batas  bermalam  di tengah perjalanan  atau  desa  Serawak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
karena jarak tempuh antar desa cukup jauh dengan berjalan kaki. Biasanya tujuan  pelintas  ulang  alik  menjual  hasil  produksi  dan  membeli  barang
kebutuhan sehari-hari.
Kedua, mobilitas
menginap, penduduk
meninggalkan  desa  dan  bermalam  di  tempat  tujuan  selama  empat  hari sampai  satu  bulan.  Tujuannya  untuk  melakukan  kunjungan  keluarga,
mengikuti upacara adat istiadat dan melancong. Ketiga, mobilitas sirkuler, penduduk meninggalkan desa selama sebulan sampai satu tahun atau lebih,
kemudian kembali ke desa asal. Mobilitas sirkuler banyak dilakukan kaum muda  untuk  bekerja  di  Serawak.  Mobilitas  dengan  tujuan  bekerja  di
Serawak  jarang  dilakukan  penduduk  yang  sudah  kawin. Keempat, mobilitas  permanen,  penduduk  meninggalkan  desa  dan  menetap  di
Serawak.  Mobilitas  permanen  terjadi  karena  perkawinan  campuran, biasanya  pengantin  perempuan  berasal  dari  desa  perbatasan  Kalimantan
Barat, menetap di Sarawak dan menjadi warga Malaysia. Di samping itu, ada  mobilitas  permanen  yang  dilakukan  dengan  tidak  sengaja.  Penduduk
berladang  jauh  dari  desa  dan  menetap  serta  membentuk  perkampungan baru  di  sekitar  ladang  yang  diolah.  Setelah  penentuan  tapal  batas  oleh
kedua  pemerintah  negara,  desa  tersebut  masuk  wilayah  Serawak  dan mereka  menjadi  warga  Malaysia  walaupun sebagian  besar  keluarga
mereka di desa perbatasan Kalimantan Barat. Pada  masa  pengawasan  yang  ketat  dan  terkesan  kaku  ini,  mobilitas
warga  di  perbatasan  Kalimantan  Barat-Sarawak  tetap  berjalan,  baik  itu dikarenakan motif ekonomi maupun kultural. Bahkan dikatakan pula oleh
64
Siagian 1995:81 gerak grup etnis yang sama dalam melintas batas kerap menimbulkan persoalan  bagi  pemerintah  karena kondisi kultural mereka
yang serupa sehingga sulit mengolongkan mereka adalah WNI atau WNA.
                