Aktivitas Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang
81
terpikirkan. Ia mengakui menjadi warga Indonesia lebih untung karena boleh punya tanah, sedangkan di Serawak tanah adalah milik negara
sehingga untuk mendirikan rumah atau usaha, status kita adalah penyewa. Di sana orang serba kredit bahkan untuk keperluan rumah tangga sekalipun.
Aturan ini terutama untuk para pekerja kerajaan. Dengan kata lain, mereka tidak diperkenankan untuk membayar tunai dan persoalan pajak, di sana
mereka dikenai pajak lebih bervariasi. Selain itu, ia pun terlibat dengan komunitas perbatasan dari tahun 2007-2010
3
yang melawan dominasi saluran radio dari Serawak, dengan mendirikan saluran radio perbatasan.
Mijen pun ikut merintis sekolah yang kini dikenal dengan SMP N 1 Jagoi Babang. Ia merasa prihatin terhadap nasib anak-anak Jagoi yang tamat
SD harus bersekolah ke Seluas dengan jarak yang cukup jauh dan transportasi pada masa itu belum selancar sekarang. Belum lagi banyak
anak-anak dari Jagoi yang tidak lolos saat mendaftar karena kebanjiran murid-murid di Seluas. Merasa prihatin atas kondisi itu, ia bersama rekan-
rekannya mulai merintis sekolah sejak tahun 2001 untuk menampung anak- anak yang tidak lolos tersebut. Awalnya mereka menumpang di gedung SD
selama dua tahun sampai akhirnya punya gedung sendiri. Lewat keikutsertaannya dalam komunitas perbatasan dan ikut
merintis SMPN 1 Jagoi Babang, menunjukkan Mijen memperlakukan batas tidak secair masyarakat lokal yang punya ikatan kultural dan tidak pula
3
Komunitas perbatasan yang bergerak dalam bidang komunikasi dan informasi yakni, radio. Pendirian Radio tersebut sebagai respon terhadap radio-radio dari Sarawak yang
mendominasi di perbatasan. Namun saat ini komunitas tersebut sedang mati suri karena ada kendala teknis.
82
sekaku wacana dominan yang membedakan secara kaku karena ia masih merasa punya ikatan kultural dengan keluarga besarnya di Serawak. Mereka
pun masih merayakan upacara adat secara bersama-sama. Dan setiap Gawai, Mijen akan berkunjung ke rumah keluarganya. Dari pengalaman ini tampak
Mijen mau tak mau melintas batas.
3. Motivasi Ekonomi Seperti yang sudah dipaparkan di bab II, barang-barang di Jagoi
Babang berlabel dua harga. Yang itu artinya kondisi ekonomi mereka bergantung dari pasar Serawak. Seperti di sana ada pasar Serikin yang
langsung menemukan dua masyarakat di perbatasan. Seperti penuturan beberapa guru yang saya jumpai mereka rata-rata bergantung pada barang-
barang Malaysia dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu ada pula yang ikut berbisnis ke Serawak selepas pulang mengajar.
“Keadaan Indonesia dan Malaysia tidak jauh beda. Namun untungnya mereka Malaysia karena nilai tukar mata uangnya lebih tinggi”,
ungkap Margono.
4
Margono adalah guru olahraga SDN I Jagoi Babang. Ia menjadi guru sejak tahun 1992 dan mengajar di SDN I Jagoi Babang sejak
tahun 1997. Margono berasal dari Jagoi Babang dan memiliki ibu yang sebelumnya berkewargaan Malaysia. Ia pun memiliki keluarga yang
menetap di Sarawak.
4
Margono.0708.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang
83
Melintas batas sudah menjadi aktivitasnya sehari-hari dan biasanya dimanfaatkan untuk menjual babi dan ayam. Kadang juga setelah pulang
sekolah, ia menjadi tukang ojek bagi orang-orang yang hendak melintas batas. Di matanya, Malaysia dan Indonesia sama saja. Menjadi guru di
Malaysia dan membeli di pasar Malaysia dengan Ringgit sama saja dengan menjadi guru di Indonesia dan membeli di pasar Indonesia dengan Rupiah.
Yang untungnya, adalah menjadi guru di Malaysia, lalu belanjanya di Indonesia. Sementara ruginya, menjadi guru di Indonesia tapi belanjanya di
Malaysia karena nilai tukar Ringgit lebih tinggi dari Rupiah. Apa yang dikatakan Margono berdasarkan pengalamannya yang
sering bisnis ke Malaysia. Bahkan dia merasa guru yang merangkap menjadi tukang ojek ke Malaysia, sah-sah saja karena mengingat biaya hidup di
Jagoi Babang dengan mengharapkan gaji guru saja tidak mencukupi apalagi guru-guru yang honorer. Sementara guru-guru yang mendapat sertifikasi
juga diantaranya masih bisnis ke Malaysia. Memang bila kita ke pasar Jagoi Babang, banyak barang yang berlabel RM Ringit Malayasia sehingga
mereka mau tak mau memiliki persediaan Ringgit. Perjumpaan saya dengan Eko berlangsung di SMA N 1 Jagoi
Babang
5
semakin memperjelas posisi Margono di atas. Tidak seperti Margono, Eko bukan berasal dari Jagoi Babang, lebih tepatnya ia lahir di
Solo, Jawa Tengah. Ia mengajar di SMA N 1 Jagoi Babang mulai tahun
5
Eko.12082015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMA N 1 Jagoi Babang
84
2005, namun sampai saat ini tinggal di Kecamatan Ledo yang berjarak dua kecamatan dari Jagoi Babang.
Eko tidak memiliki saudara dan bahkan merasa tidak memiliki ikatan kultural dengan Serawak,
tetapi ia tetap melintas batas. Seperti penuturannya, saat pertama kali menginjakkan kaki ke Jagoi Babang, Eko
merasa risih melihat kiblat masyarakat Jagoi Babang yang lebih banyak mengarah ke Malaysia. Tidak hanya itu, Eko pun menemukan bahwa murid-
muridnya lebih hapal lagu kebangsaan Malaysia dibandingkan lagu-lagu nasional. Sebagai guru yang mengampu pelajaran sejarah, Eko sadar
tanggungjawabnya untuk menumbuhkan rasa solidaritas nasional ke pada peserta didik akan tetapi lingkungan sehari-hari para murid, justru berbicara
sebaliknya. Kondisi inilah yang menghantui pikiran Eko. Ia sadar bahwa tanggungjawab itu tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Pernah
sekali, Eko mendengar salah satu muridnya menyanyikan lagu kebangsaan Malaysia di kantin sekolah, meski itu bukan acara resmi, Eko merasa perlu
untuk menegur murid tersebut dengan mengatakan, “lagu itu bukan punya anda, lagu anda adalah Indonesia Raya”. Sejak saat itu, Eko bertekad untuk
mengarahkan murid-muridnya agar sadar mereka adalah warga negara Indonesia.
Lewat mata pelajaran yang diampunya, Eko menegaskan pada murid-murid untuk tidak merasa kecil karena menjadi orang Indonesia.
Meski di sini Jagoi Babang tingkat kesenjangan ekonomi dan infrastruktur yang masih ketinggalan jauh dibandingkan Malaysia, namun secara
85
keseluruhan, ia menjelaskan Indonesia adalah negeri yang besar dan kaya. Sedangkan Malaysia adalah negara yang sering kali mengklaim budaya dan
wilayah Indonesia. Tidak hanya itu, Eko juga memaknai konsep “ganyang Malaysia” bukan berati fisik namun intelektual. Menurutnya, Indonesia
sudah mengganyang Malaysia lewat tenaga ahli sampai buruh kasar yang rata-rata adalah orang Indonesia. Yang apabila tenaga kerja itu ditarik
pulang maka Malaysia akan lumpuh. Itulah konsep ganyang yang ia tularkan kepada murid-muridnya.
Di sekolah, Eko tidak hanya menjadi guru mata pelajaran sejarah tetapi juga pembina kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Lewat Pramuka, Eko
memupuk kesadaran murid untuk terus melatunkan yel-yel; “NKRI harga mati dan merah putih tetap di hati” sebagai kegiatan wajib. Upaya-upaya
yang dilakukan Eko semakin menemukan bentuknya dengan terpilihnya sebagai guru yang berdedikasi tingkat nasional di Jakarta tahun 2013. Eko
menjadi perwakilan guru dari Kalimantan Barat. Lewat kegiatan yang diselenggarakan
oleh Kementerian
Pendidikan, Eko
menekankan pentingnya wacana nasionalisme di perbatasan sehingga menempatkannya
sebagai sepuluh guru yang berdedikasi di tahun 2013. Meski terpilih menjadi guru yang berdedikasi di tahun 2013, bukan
berarti Eko merasa alergi untuk melintas batas. Seperti yang diakuinya, ia tetap melintas batas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam
tataran ini, kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Eko di sekolah dan sepulang sekolah menjadi berjarak. Eko pun menekankan bahwa rasa cinta
86
terhadap tanah air tidak separalel dengan menggunakan produk berlabel nasional. Alasannya, sulit membayangkan masyarakat Jagoi Babang tidak
menggunakan produk-produk Malaysia. Ia mengambarkan dengan kasus gula yang menurutnya di Indonesia kewalahan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Bahkan ia berani bertaruh bahwa produk-produk asal Indonesia paling hanya mencapai kota Bengkayang, sementara untuk
daerah-daerah pinggiran mau tidak mau tergantung pada produk-produk Malaysia.
Dalam praktik keseharian Eko pun melintas batas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski di satu sisi ia sangat merong-rong murid untuk
lebih mencintai Indonesia tapi di sisi lain, ia sadar bahwa sulit membayangkan masyarakat Jagoi Babang tidak mengkonsumsi produk-
produk Malaysia. Pengalaman Eko ini semakin memperjelas bahwa wacana tapal batas hanya relevan selama berada di lingkungan sekolah.