18
dalam memaknai batas ini dapat kita jelaskan dengan mengikuti gagasan dari Zygmunt Bauman 2000 yang membedakan gambaran area di era
Modern Padat Solid dan Cair Liquid. “Nowadays we are all on the move
”
kata Bauman 1998 bahwa orang-orang bebas bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain. Di tengah kondisi tersebut, Bauman 2000 membedakan antara era Modern Padat dan Cair. Gagasan tentang era Modern Cair dimulai sejak era
Modern Padat mengalami keterbatasan dalam menamai konsekuensi- konsekuensi yang dibawanya Blackshaw, 2005
. Modern Cair adalah Modern Padat yang datang dengan segala konsekuensinya. Pada era Modern
Cair, hampir keseluruhan aspek menuju proses pencairan; tidak menetap, mudah berubah-ubah, dan fleksibel tanpa terkecuali batas teritorial
Bauman, 2003. Sedangkan era Modern Padat, adalah di mana negara memiliki kekuasaan untuk membuat orang patuh, menahan diri dari
perlawanan, dan terobsesi pada size dan berat. Semakin banyak area yang dapat ditaklukan maka semakin berkuasa. Teritorial sebagai salah satu
penentu kekuasaan. Pada era ini, orang-orang tidak bebas bergerak. Ini adalah era face-to-face antara masyarakat dengan negara yang berlaku
secara top-down. Singkat kata, ini adalah era dari engagement. Era yang terobsesi pada tatanan yang fixed sehingga terobsesi untuk mengkategorikan
dan mengklasifikasikan segala sesuatu yang dianggap berserakan.
Gambaran area di era Modern Padat, itu fixed dan rigid, sebaliknya di area dari era Modern Cair, tampak fleksibel dan mobilitas adalah gejala dari
19
teritorial yang batas-batasnya tidak otomatis mendefinisikan warga yang menempatinya. Kondisi ini ditandai dengan orang bebas untuk berpindah-
pindah dari wilayah ke wilayah lain. Ini adalah masa di mana batas-batas teritorial menuju cair.
Mengikuti gagasan
Bauman, pandangan
dominan cenderung
memperlakukan area batas secara tetap dan kaku dapat ditempatkan sebagai gambaran dari area di era Modern Padat, di mana negara memegang kontrol
yang kuat untuk membatasi pergerakan warganya. Akan tetapi di daerah perbatasan antara Kalimantan Barat dan Serawak, kita justru menjumpai
masyarakat yang memiliki ikatan yang melampaui batas teritorial. Pengalaman tersebut kita tempatkan sebagai gambaran dari area di era
Modern Cair, yang mana batas teritorial tidak dapat mendefinisikan warga yang menempatinya.
Di tapal batas, kedua pandangan yang tampak bertentangan itu bertemu. Dengan kata lain, tapal batas yang kita pahami dari penelitian ini
adalah titik temu antara gambaran area di era Modern Padat dan Modern Cair. Berangkat dari pendapat ini, negosiasi macam apa yang dilakukan oleh
guru-guru di Jagoi Babang tersebut. Untuk menelusuri negosiasi itu dapat merujuk pada gagasan Edwards Soja 1996 tentang ruang ketiga.
2. Negosiasi Sebagai Ruang Ketiga
Secara harfiah, negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan berunding
guna mencapai kesepakatan bersama.
Situasi negosiasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
menunjukkan ada pandangan yang tampak bertentangan. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, pertentangan di tapal batas dalam kasus ini disebabkan
pertemuan pandangan
dari era
Modern Padat dan Modern
Cair. Konsekuensi orang yang tinggal di area tersebut sebagaimana yang dialami
oleh guru-guru di Jagoi Babang mau tak mau harus bernegosiasi. Jalan negosiasi itu sebagai ruang ketiga.
Ruang ketiga yang dimaksudkan di sini erat kaitannya dengan praktik spasial di tapal batas sebagaimana gagasan Soja. Gagasan Soja
1996 tentang ruang ketiga hadir dalam kerangka konseptual trialectics yaitu, ruang pertama, ruang kedua, dan ruang ketiga, yang ketiganya saling
memengaruhi satu dengan yang lain. Ruang ketiga dalam Soja diasosiasikan sebagai strategi untuk menghadapi dominasi ruang pertama dan kedua.
Sekilas gagasan Soja 1996 punya kemiripan dengan konsep Lefebvre tentang produksi ruang yang terdiri dari tiga pilar yaitu; praktik spasial,
representasi ruang, dan ruang representasional perceived, conceived, live space. Diakui oleh Soja 1996, konsep Lefebvre tersebut memberi denyut
atas konsep ruang ketiga hanya saja memiliki porsi dan tujuan yang berbeda. Lefebvre dan Soja sama-sama memberi penekanan terhadap ruang
pertama yang adalah praktik spasial, namun porsi spasial bagi Lefebvre sebagai panggung dari praktik sosial yang merupakan kekhasannya dengan
berlatar berlakang seorang sosiologi, sedangkan Soja melihat praktik spasial adalah bagian yang tak terpisahkan dari praktik keseharian. Dengan kata
lain, kondisi spasial turut mempengaruhi tindakan orang dalam kehidupan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
sehari-hari yang kemudian mempertegas posisi Soja yang berlatar belakang geografi. Untuk ruang kedua, Lefebvre cenderung melihat wacana yang
dipakai untuk menggambarkan suatu ruang, sedangkan bagi Soja, ruang kedua adalah interpretasi atas ruang pertama. Dengan kata lain, bila ruang
pertama memberi gambaran material secara umum, natural, dan terkesan objektif, diruang kedua justru terkesan subkjetif. Sementara ruang ketiga
dari Lefebvre adalah live space yang berisi praktik keseharian, sementara Soja memperlakukan ruang ketiga sebagai upaya strategi menghadapi
pandangan biner atas ruang ruang pertama dan kedua. Dalam tataran ini, ruang ketiga dijadikan kesempatan untuk membuka perspektif yang lebih
beragam atas ruang. Pembacaan ruang ketiga semacam itu seolah-olah mau mengaburkan persoalan, “eithernot but rather about bothand also”
Soja,1996. Dalam analisis Soja 1996, ruang pertama atau praktik spasial berisi
data-data kuantitatif yang bisa dibaca ke dalam dua level yaitu, penjelasan yang terfokus pada apa yang terlihat atau indigenous mode of spatial
analysis dan exogenous mode of spatial analysis atau penjelasan secara umum tentang suatu ruang. Model penjelasan yang kedua dibutuhkan untuk
melampaui penjelasan data-data kuantitatif tersebut. Sebagaimana ruang pertama, ruang kedua diinterpretasikan dengan mendalam ke dalam dua
level yaitu,
introverted indigenous dan extroverted exogenous. Interpretasi pertama merupakan pembacaan atas kondisi internal dari ruang
dan interpretasi kedua adalah sisi eksternal. Singkatnya, ruang kedua yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI