Tapal Batas Kerangka Teori
21
sehari-hari yang kemudian mempertegas posisi Soja yang berlatar belakang geografi. Untuk ruang kedua, Lefebvre cenderung melihat wacana yang
dipakai untuk menggambarkan suatu ruang, sedangkan bagi Soja, ruang kedua adalah interpretasi atas ruang pertama. Dengan kata lain, bila ruang
pertama memberi gambaran material secara umum, natural, dan terkesan objektif, diruang kedua justru terkesan subkjetif. Sementara ruang ketiga
dari Lefebvre adalah live space yang berisi praktik keseharian, sementara Soja memperlakukan ruang ketiga sebagai upaya strategi menghadapi
pandangan biner atas ruang ruang pertama dan kedua. Dalam tataran ini, ruang ketiga dijadikan kesempatan untuk membuka perspektif yang lebih
beragam atas ruang. Pembacaan ruang ketiga semacam itu seolah-olah mau mengaburkan persoalan, “eithernot but rather about bothand also”
Soja,1996. Dalam analisis Soja 1996, ruang pertama atau praktik spasial berisi
data-data kuantitatif yang bisa dibaca ke dalam dua level yaitu, penjelasan yang terfokus pada apa yang terlihat atau indigenous mode of spatial
analysis dan exogenous mode of spatial analysis atau penjelasan secara umum tentang suatu ruang. Model penjelasan yang kedua dibutuhkan untuk
melampaui penjelasan data-data kuantitatif tersebut. Sebagaimana ruang pertama, ruang kedua diinterpretasikan dengan mendalam ke dalam dua
level yaitu,
introverted indigenous dan extroverted exogenous. Interpretasi pertama merupakan pembacaan atas kondisi internal dari ruang
dan interpretasi kedua adalah sisi eksternal. Singkatnya, ruang kedua yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
dibayangkan itu sedang diklaim seolah-olah adalah kondisi real atau kondisi dari ruang pertama. Sementara ruang ketiga hadir sebagai upaya
menghadapi ruang pertama dan kedua. Dengan kata lain, ruang ketiga hadir di antara yang real ruang pertama dan imagined ruang kedua sebagai
Thirding-as-Othering atau strategi menghadapi ruang real dan imagined yang cenderung biner. Penjelasan ruang dalam pandangan Soja tampak
berakar pada persoalan spatiality, historicality, dan sociality. Ruang ketiga dalam definisi Soja terbuka atas pemaknaan dan
penafsiran yang lebih beragam dan karena itu relevan dengan apa yang ditelusuri lewat penelitian ini untuk mengidentifikasi negosiasi guru-guru di
Jagoi Babang sebagai upaya menghadapi pandangan banal yang mudah melabeli atribut ganda terhadap masyarakat perbatasan. Pembacaan kembali
atas fenomena tersebut dengan meminjam gagasan Soja. Penjelasan ruang pertama merupakan kondisi material
di Jagoi Babang yang saya kombinasikan dengan pengalaman peneliti dan guru-guru di Jagoi Babang.
Pada tataran ini, saya sedikit berbeda dari Soja yang memperlakukan ruang pertama seolah-olah objektif, sebaliknya dari ruang pertama saya telah
mengambil posisi subjektif atas kondisi material yang saya lihat di Jagoi Babang. Sedangkan di ruang kedua merupakan pembacaan saya atas kondisi
material Jagoi Babang dengan merujuk pula pada pengalaman historis tapal batas. Sementara pada ruang ketiga adalah pengalaman keseharian
masyarakat perbatasan yang dibaca lewat pengalaman keseharian guru-guru di Jagoi Babang. Pada tataran ini, pengalaman keseharian guru-guru di Jagoi
23
Babang sebagai negosiasi atau ruang ketiga untuk menghadapi kondisi material dan wacana tapal batas.