70
pelajaran PPKn atau Pendidikan Pancasila dan Kewargaegaraan pada Kurikulum 1994
Maftuh, 2008
. Tidak hanya mata pelajaran PPKn yang dijadikan alat indoktrinasi,
mata pelajaran sejarah pun tidak luput. Seperti yang diterangkan oleh Darmanintyas 2004 bahwa materi-materi mata pelajaran sejarah terutama
pada peristiwa 1965-1966 dibuat seolah-olah membangun citra penguasa Orde Baru. Kampanye anti PKI lewat materi pelajaran sejarah pun
menjadi sah-sah saja. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto menambahkan mata pelajaran PSPB Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa pada Kurikulum 1984. Materi ini pun dipandang oleh sebagian sejarahwan termasuk Sartono Kartodirjo tidak lain sebagai
kendaraan politis Orde Baru karena dirasa bertumpang tindih dengan materi pelajaran Sejarah Nasional yang sudah ada.
Era Reformasi turut membawa pembaharuan terutama terhadap materi warisan Orde Baru yang terobsesi pada pembentukan manusia
pancasilais. Lewat proses ini mata pelajaran PPkn berganti nama menjadi PKN
Maftuh , 2008. Berkaca pada model pendidikan sebelumnya, tiga
kurikulum berikut yang lahir dengan semangat otonomi daerah mulai sensitif terhadap pengalaman masyarakat lokal yang tidak dapat
diseragamkan. Bila Kurikulum 2004 masih terkesan terpusat, di mana
pemerintahan daerah dan sekolah hanya menjadi pelaksana, Kurikulum 2006 justru memberi otonomi pada sekolah untuk mengembangkan
71
pengetahuan yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerah. Masih dengan semangat otonomi, Kurikulum 2013 hadir dan menekankan pada
kemandirian guru. Meski Kurikulum 2006 dan 2013 tampak memberi perhatian pada otonomi guru, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih
terkesan “keseragaman” Rohandi, 2015. Pendekatan negara atas tapal batas yang terkesan mendua itu dapat
kita lihat dari material-material yang ada di Jagoi Babang. Di satu sisi kita akan berjumpa dengan modal asing lewat perkebunan kelapa sawit dan
barang-barang berlabel ganda, namun di saat yang bersamaan pula kita berjumpa barisan pos-pos jaga, patok batas, dan tugu perbatasan. Di
tengah ikatan ekonomi yang melampaui batas yang adalah implikasi dari kerjasama bilateral Indonesia-Malaysia, di Jagoi Babang kita pun
berjumpa dengan material masyarakat lokal yang menunjukkan keterkaitan di antara orang Bedayuh yang bermukim di Serawak dan di
Jagoi Babang. Karena mereka merasa masih dari satu nenek moyang yang sama sehingga merasa sah-sah saja merayakan upacara adat bersama-sama
di bukit Bung Jagoi dan Rumah Adat Sebujit. Meski kondisi material menunjukkan ada ikatan ekonomi dan
kultural yang melampaui batas, kebijakan negara atas Jagoi Babang dari sejak didirikan sampai saat ini 2017 masih berstatus PLB yang
berimplikasi pada aturan hanya boleh melintas batas sejauh 5km dari garis sempadan. Status ini menunjukkan keterbatasan gerak masyarakat lokal
72
dan oleh karena itu pula, di Jagoi Babang, kita lebih banyak berjumpa dengan elemen-elemen yang mengedepankan sisi keamanan.
73
BAB IV NEGOSIASI MELALUI AKTIVITAS MELINTAS BATAS
A. Pengantar
Dari ruang kedua, terlihat kondisi material Jagoi Babang yang memiliki ikatan melampaui batas dalam soal kultural, sedangkan dari ruang
ketiga menunjukkan wacana yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi Babang. Lewat pembacaan tersebut, tapal batas dimaknai
sebagai area border yang mengedepankan sisi keamanan. Pandangan tentang tapal
batas semacam ini memengaruhi pendekatan negara atas area perbatasan yang dalam kasus Jagoi Babang lebih mengedepankan sisi keamanan lewat
peran TNI, Polri, BNPP sampai lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga itu memperlakukan tapal batas cenderung kaku dan tetap.
Bab ini merupakan negosiasi yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang atas wacana tapal batas. Ruang negosiasi ini didefinisi sebagai
ruang ketiga yang dalam pandangan Soja sebagai strategi menghadapi dominasi ruang pertama dan kedua. Pembacaan kembali atas ruang pertama
dan kedua dibutuhkan untuk membuka perspektif yang baru dan kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih beragam, dalam kasus ini adalah
masyarakat perbatasan. Bab ini terdiri dari tiga subbab yaitu; pertama, Jagoi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Babang sebagai titik temu antara area di era Mondern Padat dan Modern Cair, kedua, pengalaman keseharian guru, dan ketiga, negosiasi guru.
B. Jagoi Babang: Titik Temu Antara Area di Era Modern Padat dan Modern Cair
Menurut Wadley 2005 batas teritorial yang dibayangkan antara komunitas lokal dengan negara tidak selalu sama. Batas yang dimaksudkan
oleh masyarakat lokal adalah batas-batas alam seperti, sungai, batu, dan hutan. Sedangkan bagi negara yang dimaksud dengan batas adalah
bangunan; patok, tembok, sampai tugu yang didirikan di zero point dan biasanya diperlakukan dengan pengawasan militer 24 jam. Perbedaan
makna dan perlakuan batas antara masyarakat lokal yang fleksibel dengan negara yang kaku dapat kita jelaskan dengan mengikuti konsep Zygmunt
Bauman 2003 yang membedakan area di Era Modern Padat dan Cair. Era Modern Padat adalah ketika kekuasaan berarti memaksa atau
membujuk orang lain untuk patuh dan tidak melawan. Negara memiliki otoritas yang penuh untuk menentukan nasib warganya termasuk
menentukan batas-batas teritorial dari wilayah kekuasaannya. Ini adalah masa di mana kekuasaan dilihat berdasarkan wilayah taklukan. Batas-batas
dibuat dan diperlakukan seolah-olah sudah selesai. Warga tidak dapat bebas bergerak. Obsesi negara pada wilayah semakin tampak lewat pengawasan
langsung face to face yang berjalan dari atas ke bawah top to bottom. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Gambaran area di Era Modern Padat adalah gambaran dari pandangan dominan dalam membayangkan teritorialnya. Di mana, batas-
batas teritorial itu tetap, kaku dan persis seperti yang digambarkan lewat kartografi. Batas-batas yang dibangun diandaikan mampu membatasi gerak
warga. Gambaran area di Era Modern Cair justru sebaliknya. Batas yang jelas tidak dapat mendefinisikan warga yang menempatinya. Orang-orang
bebas bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Ini adalah era di mana batas-batas teritorial menjadi usang dan beralih menjadi pertemuan
orang asing. Batas yang dimaknai oleh masyarakat lokal Jagoi Babang, saya
tempatkan sebagai area di Era Modern Cair. Mereka mengakui dan merayakan ikatan yang melampaui batas. Lewat praktik masyarakat lokal
tersebut, tampak batas diperlakukan dengan cair. Kondisi yang dimaksud di sini tidak melulu hubungan konsumsi sebagaimana kecenderungan Bauman
dan orang-orang yang melintas batas tidak melulu adalah orang asing tetapi ada hubungan kekeluargaan dan kultural. Dengan kata lain, batas yang
dipahami oleh masyarakat lokal tidak
sekaku sebagaimana yang
dibayangkan oleh pandangan dominan. Seperti yang dijelaskan pada bab III, wacana yang mendominasi
cenderung membayangkan tapal batas dengan mengikuti narasi kolonial yang adalah gambaran mental dari politisi, intelektual, dan pengacara
Eilenberg, 2012. Oleh karena itu, praktik melintas batas seolah-olah
haram. Kondisi ini yang kita jumpai di Jagoi Babang, di sana-sini kita PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
berjumpa dengan pos-pos yang selalu siap siaga. Tidak hanya pos penjagaan tetapi juga tugu dan patok batas turut mengonarmen kota Jagoi Babang.
Macam-macam rupa material yang dibangun oleh negara itu menyiratkan seperti apa Jagoi Babang dibayangkan. Dengan menempatkan pos-pos dan
patok batas semakin jelas posisi daerah tersebut sebagai border area yang dengan pengawasan ketat untuk mengontrol pergerakan masyarakat lokal.
Sementara masyarakat lokal yang mengakui ikatan nenek moyang dan hubungan darah dengan Serawak mau tak mau harus melintas batas.
Seperti identifikasi Siagian 1995 yang memotret empat karakteristik melintas batas masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak yaitu:
ulang alik yang bertujuan untuk menjual hasil produksi dan membeli barang kebutuhan sehari-hari, menginap, bertujuan untuk melakukan kunjungan
keluarga, mengikuti upacara adat, dan melancong, sirkuler biasanya dilakukan oleh anak muda yang belum menikah untuk mencari lapangan
pekerjaan, dan permanen, yang dikarenakan menikah dengan warga Sarawak dan juga karena ada sebagian warga yang membuat ladang dan
tidak mengenal tapal batas sehingga menjadi penduduk Sarawak walaupun keluarga besar berada di Kalimantan Barat.
Dari paparan di atas, kita melihat seperti apa kondisi yang dihadapi oleh guru di Jagoi Babang. Secara material mereka memiliki keterkaitan
dengan Serawak, namun wacana tapal batas justru mendikte mereka dengan narasi kolonial yang menempatkan kawasan itu sebagai border area.
Penting bagi kita untuk melihat negosiasi macam apa yang dilakukan oleh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
guru yang sekaligus adalah masyarakat di Jagoi Babang. Ruang pertama menunjukkan area di era modern Cair karena ada ikatan-ikatan yang
melampaui batas sedangkan di ruang kedua lewat wacana tapal batas kita berjumpa dengan gambaran area di era modern Padat, di mana batas
teritorial didefinisikan untuk membatasi pergerakan tubuh masyarakat perbatasan. Pertentangan ini kemudian yang membawa saya untuk
menelusuri pengalaman guru Jagoi Babang.
C. Aktivitas Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang
Adapun pengalaman guru yang melintas batas itu dikarenakan tiga motivasi yaitu sebagai berikut:
1. Motivasi Keluarga Letak geografis Jagoi Babang yang berhadapan langsung dengan
Sarawak menjadi potensi adanya pernikahan beda negara. Seperti yang diakui oleh guru-guru bahwa mereka memiliki keluarga di Serawak. Ada
yang anak dan suami berkewargaan Malaysia, ibu atau ayahnya berasal dari Serawak dan keluarga besar mereka ada di sana. Karena ikatan darah ini
pula mereka mau tak mau melintas batas. Perkenalan saya dengan Riska di SDN I Jagoi Babang. Saat itu, dia
baru saja menyelesaikan jam mengajarnya di kelas tiga. Riska menceritakan sebelum menjadi guru, dia adalah TKW demi membantu perekonomian
keluarga. Di Sarawak, Riska sempat berkerja di sebuah Restoran. Pekerjaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI