Tapal Batas Pasca Reformasi
68
kebangsaan. Pemerintah juga mendirikan BNPP yang secara khusus untuk membangun wilayah perbatasan. Selain mengurusi pembangunan, BNPP
juga mengedepankan fungsi ideologi yang dalam arti ini adalah turut memelihara rasa kebangsaan, misalnya melakukan kegiatan bela negara di
desa-desa perbatasan yang melibatkan perangkat desa dan masyarakat yang menitikberatkan pada sosialisasi nilai-nilai kebangsaan. Peran
Sekolah dari SD-SMA juga dianggap sebagai penyangga yang tidak tergantikan dalam upaya menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai
kebangsaan terutama
lewat mata
pelajaran; PKN
Pendidikan Kewarganegaraan, Sejarah, Geografi, Bahasa Indonesia, hingga aktivitas
upacara bendera, baris berbaris dan peringatan hari-hari besar nasional Noveria,2017.
Sekolah sebagai sarana untuk memperkenalkan keindonesiaan kepada peserta didik di tapal batas.
Kondisi di atas persis apa yang dikatakan oleh Apple 1993 bahwa teks-teks pelajaran yang sampai ke tangan guru dan siswa di kelas tidak
terlepas dari proses pemilihan yang dilakukan oleh penguasa. Dengan kata lain, kurikulum nasional bukanlah pengetahuan yang netral, karena
dibelakangnya berkelindan ideologi penguasa. Paling tidak, perjalanan pendidikan di Indonesia mengambarkan seperti apa interaksi antara
pendidikan dan kekuasaan. Pada era Soekarno, upaya meng-Indonesia tercermin lewat arah pendidikan yang mau membentuk
nation and character building. Pada masa ini ditetapkan mata pelajaran civic
yang mempelajari
hak-hak dan
kewajiban menjadi
warga negara
69
Darmaningtyas, 2004. Sedangkan materinya tidak hanya berasal dari
Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga pandangan politik penguasa pada masa itu
yang sedang mengisi kemerdekaan dan konfrontasi. Pergantian dari pemerintahan Soekarno ke
Soeharto turut
mengubah wajah Kurilukum Nasional. Di era Soeharto tampak mementingkan pembentukan manusia-manusia Pancasilais. Nilai-nilai
pancasila dan nasionalisme diinternalisasikan lewat jalur pendidikan formal. Perubahan ini berdampak pada pergantian mata pelajaran civic
menjadi PKN Pendidikan Kewargakegaraan yang berisi materi Pancasila dan UUD 1945. Tidak sampai di situ, pada Kurikulum tahun 1975, mata
pelajaran PKN berganti nama menjadi PMP atau Pendidikan Moral Pancasila Darmaningtyas, 2004.
Mata pelajaran PMP meninggalkan kesan ambisi penguasa pada masa itu untuk menginternalisasikan nilai-nilai pancasila. Ambisi ini
semakin memuncak dengan dikeluarkannya P4 atau Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang diterapkan secara luas. Dengan kata lain, aturan tersebut diwajibkan dari Taman Kanak-kanak
sampai Perguruan Tinggi dan segenap lapisan masyarakat. Sejak tahun 1983-1997 penataran P4 menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh setiap
murid baru dan sekaligus menjadi proyek bagi para pengampu mata pelajaran Pancasila Darmaningtyas, 2004. P4 ini pula menjadi landasan
bagi mata pelajaran PMP pada Kurikulum 1984 dan terutama mata PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
pelajaran PPKn atau Pendidikan Pancasila dan Kewargaegaraan pada Kurikulum 1994
Maftuh, 2008
. Tidak hanya mata pelajaran PPKn yang dijadikan alat indoktrinasi,
mata pelajaran sejarah pun tidak luput. Seperti yang diterangkan oleh Darmanintyas 2004 bahwa materi-materi mata pelajaran sejarah terutama
pada peristiwa 1965-1966 dibuat seolah-olah membangun citra penguasa Orde Baru. Kampanye anti PKI lewat materi pelajaran sejarah pun
menjadi sah-sah saja. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto menambahkan mata pelajaran PSPB Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa pada Kurikulum 1984. Materi ini pun dipandang oleh sebagian sejarahwan termasuk Sartono Kartodirjo tidak lain sebagai
kendaraan politis Orde Baru karena dirasa bertumpang tindih dengan materi pelajaran Sejarah Nasional yang sudah ada.
Era Reformasi turut membawa pembaharuan terutama terhadap materi warisan Orde Baru yang terobsesi pada pembentukan manusia
pancasilais. Lewat proses ini mata pelajaran PPkn berganti nama menjadi PKN
Maftuh , 2008. Berkaca pada model pendidikan sebelumnya, tiga
kurikulum berikut yang lahir dengan semangat otonomi daerah mulai sensitif terhadap pengalaman masyarakat lokal yang tidak dapat
diseragamkan. Bila Kurikulum 2004 masih terkesan terpusat, di mana
pemerintahan daerah dan sekolah hanya menjadi pelaksana, Kurikulum 2006 justru memberi otonomi pada sekolah untuk mengembangkan