Tidak ada alasan pemaaf

hukum; kedua harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. 62 KUHP di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab, yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidak mampuan bertanggung jawab. 63

4. Tidak ada alasan pemaaf

Hal ini dapat dilihat dalam rumusan KUHP Pasal 44 ayat 1 “barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. Mengenai istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf tidak ada disebutkan dalam KUHP. Dalam teori hukum pidana, yang dimaksud dengan alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangakan alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. 64 Faktor eksternal yang menyebabkan pembuat tidak dapat berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat terdapat alasan penghapus kesalahan. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi 62 Ibid 63 A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit, hal.260 64 Moeljatno, Op.Cit, hal.137 Universitas Sumatera Utara dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan terhadapnya, karena pembuat tidak dapat berbuat lain selain melakukan perbuatan itu. 65 Kesengajaan adalah pertanda kesalahan yang utama. Alasan penghapus kesalahan selalu tertuju pada tekanan dari luar yang ditujukan pada kehendak bebas pelaku, sehingga memaksanya melakukan tindak pidana. Tekanan dari luar diri pelaku ini lah yang dikatakan sebagai kondisi luar pelaku yang tidak normal. Kondisi tersebut menekan batin pembuat, sehingga kehendaknya tidak lagi bebas. Kehendak yang tidak bebas inilah yang kemudian berakibat pada dilakukannya tindak pidana dengan sengaja, tetapi hal itu tidak dapat dicelakan padanya. 66 Tidak dapat dicelanya pembuat karena memiliki alasan pemaaf ketika melakukan tindak pidana, berkaitan dengan pengertian kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif maupun represif hukum pidana. Adanya alasan pemaaf menyebabkan pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipidana. 67 Yang dipandang sebagai alasan pembenar dalam titel 3 buku I KUHP adalah Pasal 49 ayat 1 mengenai pembelaan terpaksa noodweer, Pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan Undang-Undang, Pasal 51 ayat 1 tentang melaksanakan perintah dari pihak atasan. Sedangkan yang dianggap sebagai alasan pemaaf adalah Pasal 49 ayat 2 tentang pembelaan yang melampaui batas, Pasal 51 ayat 2 alasan penghapus penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wewenang. Sedangkan tentang Pasal 48 yang dinamakan daya paksa 65 Ibid 66 Ibid, hal.120 67 Ibid, hal.121-122 Universitas Sumatera Utara overmacht ada yang mengatakan, daya paksa ini sebagai alasan pembenar dan ada pula yang mengatakan bahwa ini adalah alasan pemaaf. Disamping itu, ada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa dalam Pasal 48 itu mungkin ada alasan pembenar dan mungkin pula ada alasan pemaaf. 68 Menurut Herman Kontrowitcz, seorang sarjana hukum yang menganut pandangan dualisme, sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno, ”strafvoraussetzungen” syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya ”strafbare handlung” perbuatan pidana, lalu sesudahnya itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat. Berdasarkan realitas diatas maka dapat disimpulkan, bahwa dalam perspektif monisme, terjadi penggabungan antara unsur subjektif dan unsur objektifnya. Sedangkan dalam perspektif dualisme, unsur objektif perbuatan yang disertai sifat melawan hukum terpisah dengan unsur subjektifnya kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan yang berupa kealpaan danatau kesalahan. 69 Menurut Moeljatno yang menganut paham dualisme, unsur tindak pidana adalah : 70 1. Perbuatan; 2. Yang dilarang oleh aturan hukum; 3. Ancaman pidana bagi yang melanggar larangan; Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum . Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada 68 Moeljatno, Op.Cit, hal.138 69 Muladi Dwija Prijatno, Op.cit., Hal. 53 70 Adami Chazawi, Op.cit., Hal 79 Universitas Sumatera Utara perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman diancam dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana. 71 Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana mengatakan, ”orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya . Dengan demikian, tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban. 72 Chairul Huda menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. 71 Ibid. 72 Chairul Huda , Op.Cit. Hal. 19 Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas ’kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu. 73 Chairul Huda juga mengutip pernyataan Roeslan Saleh mengenai rumusan pertanggungjawaban pidana. Roeslan Saleh menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana kepada pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya. 74 Clarkson, sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda menyatakan bahwa Criminal liability is imposed upon blameworthy actor whose conduct has caused a forbidden harm. Criminal liability is imposed upon blameworthy actor whose conduct constitutes for forbidden harm.” Dengan demikian, hakikat celaan terhadap pembuat juga dipengaruhi oleh rumusan perbuatan yang ditetapkan sebagai tindak pidana. 75 Chairul Huda juga menegaskan bahwa celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan 73 Ibid, Hal. 68 74 Ibid, Hal. 69 75 Ibid, Hal. 70 Universitas Sumatera Utara larangan atau perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesengajaan atau kealpaan yang menentukan tingkat kesalahan pembuat,tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat. 76

4. Pemidanaan