Pembahasan terhadap masalah ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi pembaca, terutama dari kalangan akademisi dan lebih khusus lagi
bagi korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya wajib terikat dengan aturan-aturan yang didalamnya memuat aspek hukum pidana korporasi
tersebut kemudian dapat diimplementasikan dengan sebaik-baiknya sehingga membawa manfaat baik bagi kalangan akademisi, bagi
korporasi, bagi pemerintah, bagi maupun bagi masyarakat secara umum.
D. Keaslian Penulisan ”Aspek Hukum Pidana Korporasi Dalam Peristiwa Lumpur Panas di
Sidoarjo
” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Kalaupun ada terdapat judul yang
hampir sama dengan yang ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda. Penulis menyusunnya melalui bahan-bahan referensi buku-buku, media cetak dan
elektronik, serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Hukum Pidana
Satochid Kartanegara mengemukakan bahwa Istilah hukum pidana mengandung beberapa arti, atau lebih tepat jika dikatakan, bahwa hukum pidana
itu dapat dipandang dari beberapa sudut,yaitu :
13
a Hukum Pidana dalam arti Objektif Ius Poenale yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana
terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman. Ius Poenale dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil.
b Hukum pidana dalam arti Subjektif Ius Puniendi yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan
perbuatan yang dilarang. Menurut Hazewinkel-Suringa yang mengutip pernyataan W.L.G. Lemaire
mengenai pengertian hukum pidana yang berbunyi sebagai berikut : Hukum pidana itu terdiri dari norma – norma yang berisi keharusan-
keharusan dan larangan-larangan yang oleh pembentuk undang-undang teleh dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu
penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu system norma-norma yang
menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan
untuk melakukan sesuatu dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat
dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut”.
14
Rumusan mengenai hukum pidana menurut Lemaire tersebut dapat dibenarkan jika yang dimaksudkan oleh Lemaire itu adalah hukum pidana
13
Satochid K., Hukum Pidana : Kumpulan Kuliah, Balai Lektur, Hal. 1-2
14
P.AF. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 2
Universitas Sumatera Utara
material. Akan tetapi hukum pidana itu bukan saja terdiri dari hukum pidana material, karena disamping hukum pidana material tersebut, kita mengenal juga
apa yang disebut sebagai hukum pidana formal ataupun yang sering disebut hukum acara pidana yang dinegara kita dewasa ini telah diatur dalam Undang-
Undang no. 8 tahun 1981, yang dikenal sebagai Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
15
Defenisi lain dikemukakan oleh Andi Hamzah yang menyatakan bahwa hukum pidana objektif atau disebut dengan ius poenale adalah hukum pidana
yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan-larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi
hukum pidana objektif memiliki arti yang sama dengan hukum pidana materil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenale adalah sejumlah
peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancap pidana bagi si pelanggarnya.
16
Sementara itu, hukum pidana subjektif atau disebut ius puniendi sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai
hak atau kewenangan negara :
17
a. Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum;
b. Untuk memberlakukan sifat memaksanya hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut; serta
15
Ibid.
16
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana : Bagian I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 9
17
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
c. Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
W.F.C van Hattum dalam bukunya Hand-en Leerboek telah merumuskan hukum pidana positif sebagai berikut:
Suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan
pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.
18
Hukum pidana itu sam halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata, dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang diabstrahrir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.”
Mengenai rumusan hukum pidana ini, Pompe pun memberikan rumusan yang sedikit berbeda dari rumusan yang lain. W.J.P Pompe merumuskan secara
singkat mengenai hukum pidana, yaitu :
19
Defenisi lain dikemukakan Pompe dalam bukunya Handboek Nederlands Strafrecht 4e dr. 1953 sebagaimana dikutip oleh Moeljatno, ” hukum pidana
adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu”.
20
Moeljatno
21
18
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal. 2 - 3
19
Ibid, hal . 3
20
Moeljatno, 2002, Asas-asas hukum pidana , Rineka Cipta , Jakarta, Hal. 7
21
Ibid, hal. 1
merumuskan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar
dan aturan-aturan untuk :
Universitas Sumatera Utara
1 Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan , yang dilarang , dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagai
barangsiapa melanggar larangan tersebut . 2 Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan .
3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Beberapa rumusan hukum pidana dari sarjana hukum lain juga dikemukakan Moeljatno dalam bukunya Asas-asas hukum pidana . Seperti,
Perkins dalam bukunya Elements of Police Science, Chicago 1942, merumuskan sebagai hukum pidana berikut : ” Criminal law oftern used to include all that is
involved in the administration of criminal jugtice ”. Simon dalam bukunya
Leerboek Nederlands Strafrecht 1937, mendefenisikan bahwa hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh
negara dan yang diancam dengan suatu nestapa pidana barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi
akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan menjatuhi dan menjalankan pidana tersebut”.
22
Sedangkan van Hamel dalam bukunya Inlending Studie Ned. Strafrecht 1927 menyatakan bahwa hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-
aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum
22
Moeljatno , Loc.cit. Hal. 7
Universitas Sumatera Utara
rechtsorde yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.
23
2. Tindak Pidana
Tindak pidana berasal dari istilah hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit
. Walaupun istilah tersebut terdapat dalam WvS Belanda, namun WvS tidak ada memberikan defenisi yang jelas mengenai strafbaar feit tersebut. Para sarjana
pun berusaha untuk menginterpretasikan istilah strafbaar feit tersebut, walaupun hingga kini masih belum tercapai kesepakatan yang bulat mengenai defenisi
strafbaar feit tersebut.
Moeljatno mengartikan strafbaar feit dengan istilah perbuatan pidana. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefenisikan beliau
sebagai ”perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.”
24
Moeljatno juga mengutip apa yang ada dalam Kenny’s Outlines of Criminal Law 1952 pag. 13
tentang criminal act atau dalam bahasa Latin : actus reus ini diterangkan sebagai berikut : actus reus may be
defined as such result of human conduct as the law seeks mencoba to prevent. It is important to note that the actus reus , which is the result of conduct, must be
distinguished from conduct which produced the result.
25
Hezewinkel-Suringa telah memberi rumusan yang bersifat umum dari strafbaar feit
sebagai suatu prilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah
23
Ibid , Hal. 8
24
Adami Chazawi, Op.Cit., Hal 71
25
Moeljatno, Op.Cit. Hal. 57
Universitas Sumatera Utara
ditolak didalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana
yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”
26
Sedangkan Van Hamel dalam bukunya Inleiding mendefenisikan strafbaar feit sebagai ”suatu serangan
atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain”.
27
Defenisi lain dikemukakan sebagaimana dikutip oleh S.R.Sianturi dalam bukunya Asas-asas hukum pidana di
Indonesia dan Penerapannya. Van Hamel mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang dirumuskan dalam undang-undang , bersifat melawan hukum ,
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
28
Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum
yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”
29
Rumusan lain diberikan oleh Vos sebagaimana dikutip oleh Martiman P, yang menyatakan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
30
Satochid Kartanegara merumuskan bahwa strafbaar feit adalah perbuatan dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman.
31
26
Lamintang, Op.Cit., Hal 181-182
27
Ibid, hal 182
28
Chairul Huda,2006, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Kencana Prada Media, Jakarta, Hal. 25
29
Lamintang, Loc.Cit. hal. 182
30
Adami Chazawi, Op.Cit., Hal 72
31
Satochid K., Op.Cit., Hal 74
Universitas Sumatera Utara
S.R. Sianturi juga mengutip rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh Simons, yaitu kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan
hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
32
Beberapa rumusan tindak pidana yang dari sarjana-sarjana hukum yang lain, dikemukakan oleh Chairul Huda dalam bukunya Dari Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan.
Beberapa diantaranya yaitu :
33
• Schaffmeister mendefenisikan tindak pidana sebagai perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum , dan
dapat dicela. • Komariah E. Sapardjaja mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.
• Indriyanto Seno Adji memberikan defenisi mengenai tindak pidana yaitu perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan
hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
• Savitz mengemukakan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi lima syarat, yaitu :
”1 An act must take place that involves harm inflicted on someone by the actor; 2 the act must be legally prohibited in the time it is committed; 3 the
perpetrator must have criminal intent mens rea when he engages in the act;
32
Chairul Huda,Loc.cit.
33
Ibid , hal 26 – 27.
Universitas Sumatera Utara
4 there must be causal relationship between the voluntary misconduct and the harm that result from it; and 5 there must some be legally prescribed
punishment for anyone convicted of the act.”
• Curzon menyatakan : ”A crime is any state of affairs ensuring directly from an act or omission
resulting from human conduct which is considered in itself or in its outcome to be harmful and which the state wishes to prevent, which renders the person
responsible liable to some kind of punishment, generally of a stigmatic nature, as the result of proceedings which are usually initiated behalf of the state and
which are designed to ascertain the nature, the extent and the legal consequence of that person’s responsibility”.
• Marshall, sebagaimana dikutip Andi Hamzah dalam bukunya Asas-asas hukum pidana mengatakan :
”A crime is any act or omission prohibited by law for protection of the public, and punishable by the state in a judicial proceeding in its own name”.
3. Pertanggungjawaban Pidana
Suatu pertanggungjawaban pidana tidak terlepas dari perbuatan pidana. Seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila tidak melakukan
perbuatan pidana. Unsur perbuatan pidana dan kesalahan mampu bertanggungjawab adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana. Unsur
perbuatan pidana ini terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum. Sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur
subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggungjawab dan adanya kesalahan kesengajaan dan kealpaan.
34
34
Mahmud Mulyadi, Op.cit.,hal 46 dan 47.
Universitas Sumatera Utara
Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, ternyata terdapat dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis.
Pandangan yang monistis antara lain dikemukakan oleh Simons yang merumuskan ”strafbaar feit” sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam
dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya.
35
Jonkers, yang menganut paham monisme merinci unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
36
a. Perbuatan yang; b. Melawan hukum yang berhubungan dengan;
c. Kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat; d. Dipertanggungjawabkan.
Sementara, Schravendijk merinci unsur-unsur tindak pidana antara lain :
37
a. Kelakuan orang yang; b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c. Diancam dengan hukuman; d. Dilakukan oleh orang yang dapat;
e. Dipersalahkan disalahkan Oleh karena itu sebagaimana dinyatakan oleh A.Z.Abidin, penganut
monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi :
38
35
Ibid. Hal. 50
36
Adami Chazawi, Op.cit., Hal 81
37
Ibid.
38
Muladi Dwija Prijatno, Op.cit., Hal. 51-52
Universitas Sumatera Utara
a. Kemampuan bertanggungjawab; b. Kesalahan dalam arti luas; sengaja danatau kealpaan;
c. Tidak ada alasan pemaaf Senada dengan A.Z. Abidin, dalam ruang lingkup asas
pertanggungjawaban pidana, Sudarto menegaskan bahwa disamping kemampuan bertanggungjawab, kesalahan Schuld, melawan hukum wederechtelijk sebagai
syarat untuk pengenaan pidana, ialah pembahayaan masyarakat oleh pembuat . Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya
pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
39
1. Ada suatu tindak pidana yang harus dilakukan oleh pembuat; 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
3. Ada pembuat yang mampu bertanggung jawab; dan 4. Tidak ada alasan pemaaf.
Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai syarat-syarat pertanggungjawaban pidana dapat dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana,
yaitu:
1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-Undang
melawan hukum formilformelle wederrechttelijk dan dapat bersumber pada
masyarakat melawan hukum materilmaterieel wederrechttelijk. Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan
39
Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia Strict Liability dan Vicarious Liability, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 12
Universitas Sumatera Utara
dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela itu tidak tertulis. Sering kali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti
perbuatan menghilangkan nyawa orang lain pada pembunuhan Pasal 338 KUHP, adalah dilarang baik dalam UU maupun dalam masyarakat. Adalah wajar
setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat adalah tercela pula menurut Undang-Undang, walaupun kadangkala ada perbuatan yang tidak tercela menurut
masyarakat tetapi tercela menurut Undang-Undang, misalnya perbuatan mengemis Pasal 504 KUHP dan bergelandang Pasal 505 KUHP. Sebaliknya
ada perbuatan yang tercela menurut masyarakat tetapi tidak menurut Undang- Undang, contohnya perbuatan bersetubuh suka sama suka antara bujang dan gadis
yang saling berpacaran.
40
Dari sudut Undang-Undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya
sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-
undangan.
41
Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai yang dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-
undangan menjadi tindak pidana, tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan, maka dengan demikian tindak
pidana itu sudah mempunyai unsur melawan hukum. Artinya melawan hukum adalah unsur mutlak dari suatu tindak pidana. Dalam putusan Mahkamah Agung
40
Adami Chazawi, Buku I, Op.Cit, hal.86
41
Ibid
Universitas Sumatera Utara
No. 30 KKr.1969 tanggal 6 Juni 1970 menyatakan bahwa “ dalam setiap tindakan pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum dari perbuatan-perbuatan
yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.
42
Perkataan melawan hukum dalam KUHP yang berlaku sekarang, kadang- kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana dan kadang-kadang tidak.
Menurut Schaffmeister ditambahkannya kata melawan hukum sebagai salah satru unsur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup
rumusan delik yang telah dibuat terlalu luas. Ia menambahkan bahwa, tanpa ditambahkannya perkataan melawan hukum mungkin timbul bahaya, yaitu
mereka yang menggunakan haknya akan termasuk kedalam ketentuan Undang- Undang pidana.
43
Sedangkan, alasan tidak dicantumkannya dalan tiap-tiap Pasal dalam KUHP adalah bilamana dari rumusan Undang-Undang, perbuatan yang
tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit.
44
Kedudukan sifat melawan hukum sangat khas di dalam hukum pidana. Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak pidana. Roeslan Saleh
mengatakan “ memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak ada artinya “. Sementara itu Andi A. Zainal Abidin mengatakan “salah satu unsur essensial delik
ialah sifat melawan hukum wederrechtelijkheid dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu Pasal Undang-Undang pidana, karena alangkah janggalnya
kalau seseorang dipidana yang melakuakan perbuatan tidak melawan hukum “.
42
Ibid
43
Chairul Huda, Op.Cit, hal.50
44
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hal.240
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya itu harus bersifat melawan hukum.
45
Rancangan KUHP juga menentukan masalah melawan hukum tindak pidana. Mulanya dalam Pasal 15 Ayat 2 rancangan KUHP Tahun 2000,
menentukan bahwa, “ untuk dipidananya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan, perbuatan tersebut harus juga
bersifat melawan hukum.
46
Menurut Hoffman, bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila memenuhi 4 unsur, yaitu :
47
1. Harus ada yang melakukan perbuatan 2. Perbuatan itu harus melawan hukum
3. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain 4. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya.
2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan
Kesalahan schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu
melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan
dan akibat serta sifat melawan hukum dan perbuatan dengan si pelaku. Istilah kesalahan schuld dalam hukum pidana adalah berhubungan dengan
45
Chairul Huda, Op. Cit, hal.49
46
Ibid
47
Komariah Emong Sapardjadja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia
, Bandung: Alumni, 2002, hal.34
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban pidana atau mengandung beban pertanggung jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan dolus atau opzet dan kelalaian culpa.
48
Hukum pidana mengenal adanya tiga macam kesengajaan, yaitu:
49
1 Kesengajaan sebagai maksud opzet alsoogmerk adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan utuk mencapai suatu tujuan.
2 Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, menyadari
bahwa apabila perbuatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran akan terjadi.
3 Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana.
Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis
. Dalam hal ini, Fockema Andrease, sebagaimana dikutip oleh Hamzah
Hatrik, menyatakan bahwa dolus eventualis dianggap ada pada suatu perbuatan pidana, bila ada gambaran ada penglihatan atau bayangan bahwa setelah
terjadinya perbuatan itu akan terdapat suatu akibat dari perbuatannya meskipun tidak dikehendaki, tetapi tetapi bersikap ”apa boleh buat” terhadap akibat
perbuatannya.
50
Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak pidana, pembuatnya dan hubungan keduanya, yang dari situ dapat disimpulkan bahwa
48
Adami Chazawi, Buku I, Op.Cit, hal 90
49
Hamzah Hatrik.,Op.Cit. Hal. 89
50
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pembuatnya dapat dicela karena sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana.
51
Menurut Capacity theory, kesalahan merupakan refleksi dari choice pilihan atau freewill kebebasan kehendak pembuat tindak pidana. Kesalahan
merupakan kapasitas pembuat untuk mengontrol perbuatannya. Dengan kata lain, dikatakan ada kesalahan jika pembuat melakukan tindak pidana dalam kontrolnya.
Ketidakmampuan mengontrol perbuatan yang berujung pada dilakukannya tindak pidana merupakan dasar untuk mencela pembuat. Dengan demikian kesalahan
merupakan konsekuensi atas pilihan sebagai anggota masyarakat yang bebas sepanjang dalam koridor hukum. Sementara pandangan lain justru melihat
kesalahan bukan masalah “choice”, tetapi masalah “character”. Pembuat bersalah melakukan tindak pidana bukan sebagai konsekuensi pilihannya atau
wujud dari kehendak bebasnya tetapi lebih kepada karakter jahat yang ada pada dirinya.
52
Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ini ada disebagian rumusan tindak pidana yakni kejahatan tertentu dengan dicantumkan secara tegas,
misalnya, Pasal 104, Pasal 179, Pasal 204, Pasal 205, Pasal 362, Pasal 368, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 406 dan Pasal 480 KUHP dan disebagian lagi tidak
dicantumkan, misalnya : Pasal 162, Pasal 167, Pasal 170, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 289, Pasal 294 dan Pasal 422 KUHP.
53
51
Chairul Huda, Op.Cit, hal.78
52
Ibid, hal.79-80
53
Adami Chazawi, Buku I, Op.Cit, hal.91
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan kealpaan, maka tidak ada penjelasan secara rinci didalam KUHP. Namun, berkaitan dengan hal ini, Hamzah Hatrik mengutip
penjelasan yang ada dalam MvT sebagai berikut:
54
Berdasarkan rumusan diatas, Moeljatno berkesimpulan sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya, bahwa kesengajaan adalah
kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan
Pada umumnya bagi kejahatan, undang-undang mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Kecuali itu, keadaan yang dilarang mungkin begitu besar bahayannya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi akan menimbulkan
banyak kerugian, sehingga undang-undang harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati. Secara singkat; yang menimbulkan keadaan yang
kealpaan. Di sini, sikap batin orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu, bukan menentang larangan tersebut. Ia tidak menghendaki atau menyetujui
timbulnya hal yang dilarang itu. Jadi, bukanlah semata-mata menentang larangan dngan melakukan hal yang dilarang itu, tetapi ia tidak begitu mengindahkan
larangan yang ternyata dari perbuatannya. Ia lalai melakukan perbuatan, sebab jika ia cukup menghindarkan adanya larangan waktu melakukan perbuatan,
tentunya tidak alpa atau kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal-hal yang dilarang tadi.
54
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 90-91
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang
mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif, kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.
55
3. Pembuat yang mampu bertanggung jawab
Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban tindak pidana, maka tindak pidana merupakan suatu yang bersifat eksternal dari
pertanggungjawabang pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya
kesalahan, ada pula syarat internal, yaitu persyaratan yang justru terletak pada diri si pembuat. Konkritnya, kondisi si pembuatlah yang dapat dipersalahkan atas
suatu tindak pidana. Syarat internal tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.
56
Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian keadaan
batin pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain
55
Mahmud Mulyadi, Op.Cit. Hal. 61.
56
Chairul Huda, Op.Cit, hal.88
Universitas Sumatera Utara
mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada di luar pengertian kesalahan.
57
Mampu bertanggung jawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu, kesalahan adalah unsur pertanggungjawaban pidana. Mampu bertanggungjawab
merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental pembuat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Allen mengatakan bahwa keadaan
mental pembuat termasuk dalam masalah kemampuan bertanggung jawab. Tepatnya, keadaan mental pembuat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana. Dalam hal ini pembuat tidak mempunyai kemampuan untuk sepenuhnya menyadari atau mengerti mengenai perbuatannya. Dengan demikian,
keadaan batinnya tidak normal, karena tidak menyadari dan mengerti bahwa perbuatannya adalah sesuatu yang tidak diharapkan masyarakat. Dalam kondisi
demikian, masyarakat tidak dapat mengharapkan kepadanya untuk berbuat sesuai yang ditentukan oleh hukum. Oleh karena itu, dirinya tidak patut untuk dinilai
dapat dicela karena tindakan pidana yang dilakukannya. Pada dirinya tidak terdapat syarat adanya kesalahan. Dengan kata lain pembuat tidak mampu
bertanggung jawab.
58
Tidak mampu bertanggung jawab ditandai dari dua hal, yaitu jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Mengenai hal ini, haruslah
diambil sikap, bahwa mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk menjatuhkan pidana
dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Tidak mampu bertanggung jawab
57
Ibid, hal.89
58
Ibid, hal.91
Universitas Sumatera Utara
adalah ketidak normalan keadaan bati pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa
apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggung jawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan
tersebut.
59
Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda sebab seseorang tidak mampu
bertanggung jawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai
disini. Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana.
60
D. Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki
oleh orang yang sehat rohaninya, orang yang memiliki pandangan normal, yang dapat menerima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapkan, yang
dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang normal pula.
61
Moeljatno menarik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggung jawab ialah pertama harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara
perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan
59
Ibid, hal.94
60
Ibid, hal.95
61
Adami Chazawi, Buku I, Op.Cit, hal.144
Universitas Sumatera Utara
hukum; kedua harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
62
KUHP di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab, yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidak
mampuan bertanggung jawab.
63
4. Tidak ada alasan pemaaf
Hal ini dapat dilihat dalam rumusan KUHP Pasal 44 ayat 1 “barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
Mengenai istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf tidak ada disebutkan dalam KUHP. Dalam teori hukum pidana, yang dimaksud dengan
alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang
patut dan benar. Sedangakan alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat
melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.
64
Faktor eksternal yang menyebabkan pembuat tidak dapat berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat
terdapat alasan penghapus kesalahan. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan yang
menghapuskan kesalahan pembuat. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi
62
Ibid
63
A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit, hal.260
64
Moeljatno, Op.Cit, hal.137
Universitas Sumatera Utara
dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan terhadapnya, karena pembuat tidak dapat berbuat lain selain melakukan
perbuatan itu.
65
Kesengajaan adalah pertanda kesalahan yang utama. Alasan penghapus kesalahan selalu tertuju pada tekanan dari luar yang ditujukan pada kehendak
bebas pelaku, sehingga memaksanya melakukan tindak pidana. Tekanan dari luar diri pelaku ini lah yang dikatakan sebagai kondisi luar pelaku yang tidak normal.
Kondisi tersebut menekan batin pembuat, sehingga kehendaknya tidak lagi bebas. Kehendak yang tidak bebas inilah yang kemudian berakibat pada dilakukannya
tindak pidana dengan sengaja, tetapi hal itu tidak dapat dicelakan padanya.
66
Tidak dapat dicelanya pembuat karena memiliki alasan pemaaf ketika melakukan tindak pidana, berkaitan dengan pengertian kesalahan dalam
hubungannya dengan fungsi preventif maupun represif hukum pidana. Adanya alasan pemaaf menyebabkan pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan
tidak dapat dipidana.
67
Yang dipandang sebagai alasan pembenar dalam titel 3 buku I KUHP
adalah Pasal 49 ayat 1 mengenai pembelaan terpaksa noodweer, Pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan Undang-Undang, Pasal 51 ayat 1 tentang
melaksanakan perintah dari pihak atasan. Sedangkan yang dianggap sebagai alasan pemaaf adalah Pasal 49 ayat 2 tentang pembelaan yang melampaui batas,
Pasal 51 ayat 2 alasan penghapus penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wewenang. Sedangkan tentang Pasal 48 yang dinamakan daya paksa
65
Ibid
66
Ibid, hal.120
67
Ibid, hal.121-122
Universitas Sumatera Utara
overmacht ada yang mengatakan, daya paksa ini sebagai alasan pembenar dan
ada pula yang mengatakan bahwa ini adalah alasan pemaaf. Disamping itu, ada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa dalam Pasal 48 itu mungkin ada alasan
pembenar dan mungkin pula ada alasan pemaaf.
68
Menurut Herman Kontrowitcz, seorang sarjana hukum yang menganut pandangan dualisme, sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno,
”strafvoraussetzungen” syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya ”strafbare handlung” perbuatan
pidana, lalu sesudahnya itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat. Berdasarkan realitas diatas maka dapat disimpulkan, bahwa dalam
perspektif monisme, terjadi penggabungan antara unsur subjektif dan unsur objektifnya. Sedangkan dalam perspektif dualisme, unsur objektif perbuatan yang
disertai sifat melawan hukum terpisah dengan unsur subjektifnya kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan yang berupa kealpaan danatau
kesalahan.
69
Menurut Moeljatno yang menganut paham dualisme, unsur tindak pidana adalah :
70
1. Perbuatan; 2. Yang dilarang oleh aturan hukum;
3. Ancaman pidana bagi yang melanggar larangan; Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum .
Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada
68
Moeljatno, Op.Cit, hal.138
69
Muladi Dwija Prijatno, Op.cit., Hal. 53
70
Adami Chazawi, Op.cit., Hal 79
Universitas Sumatera Utara
perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman diancam dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya
benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito orang yang
melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.
71
Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana mengatakan, ”orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau dia tidak
melakukan perbuatan pidana”. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban
pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada
apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun
tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya . Dengan demikian, tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana, seseorang dapat dimintai
pertanggungjawaban.
72
Chairul Huda menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya,
yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
71
Ibid.
72
Chairul Huda , Op.Cit. Hal. 19
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada
hakekatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas ’kesepakatan menolak’ suatu perbuatan
tertentu.
73
Chairul Huda juga mengutip pernyataan Roeslan Saleh mengenai rumusan pertanggungjawaban pidana. Roeslan Saleh menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang
terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana kepada pembuatnya.
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap
pembuatnya.
74
Clarkson, sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda menyatakan bahwa Criminal liability is imposed upon blameworthy actor whose conduct has caused
a forbidden harm. Criminal liability is imposed upon blameworthy actor whose conduct constitutes for forbidden harm.”
Dengan demikian, hakikat celaan terhadap pembuat juga dipengaruhi oleh rumusan perbuatan yang ditetapkan
sebagai tindak pidana.
75
Chairul Huda juga menegaskan bahwa celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan
73
Ibid, Hal. 68
74
Ibid, Hal. 69
75
Ibid, Hal. 70
Universitas Sumatera Utara
larangan atau perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini,
tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap
pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesengajaan atau kealpaan yang menentukan tingkat kesalahan pembuat,tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat
melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.
76
4. Pemidanaan
Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang
telah bersalah melakukan tindak pidana. Andrew Ashworth, dalam bukunya Principles of Criminal Law sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda ”A criminal
law without sentencing would merely be a declaratory system pronouncing people guilty without any formal consequences following form that guilt
”. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang
pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan
proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ’dapat dicela’, maka di sini pemidanaan merupakan ’perwujudan dari celaan’ tersebut.
77
Chairul Huda juga sependapat dengan pendapat John Hogarth dalam bukunya Sentencing as a Human Process, bahwa ‘Looking backward’ to the
76
Ibid.
77
Ibid , Hal 125
Universitas Sumatera Utara
offence for purposes of punishment, to ‘looking forward’ to the likely impact of sentence on future behaviour of the offender, and some intences, on potential
offender in community at large” . Dengan demikian,cara pandang ke belakang
dilakukan dengan melihat tindak pidana yang telah dilakukan pembuat, yang kemudian menentukan tujuan pemidanaan. Sementara itu, cara pandang ke depan
dilakukan untuk melihat dampak dari pemidanaan bagi masa depan pembuat dan pihak-pihak lain yang mempunyai kemungkinan melakukan tindak pidana dalam
masyarakat yang lebih luas.
78
Jika dikaitkan dengan konsepsi kesalahan dalam pengertian normatif. Tujuan dan dampak dari suatu pemidanaan, baik terhadap diri pembuat maupun
masyarakat, dapat dipandang sebagai persoalan yang berhubungan dengan masa depan looking forward , dan dapat pula dipandang sebagai persoalan yang
kemudian menyebabkan cara pandang ditujukan kebelakang looking backwards, dimana keduanya sangat berpengaruh terhadap penentuan tujuan pemidanaan,
apakah pembuat dapat dicela atas perbuatannya atau tidak.
79
Berbicara mengenai tujuan pemidanaan, maka ada beberapa konsepsi mengenai tujuan pemidanaan. Berikut ini akan diuraikan beberapa konsepsiteori
mengenai tujuan-tujuan dari pemidanaan, yaitu:
80
1 Teori Retributif Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa
pemidanaan merupakan ”morality justified” pembenaran secara moral karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima balasan atas
78
Ibid, Hal. 125-126.
79
Ibid.
80
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pustaka Bangsa Press , Medan, 2008, Hal. 68-89.
Universitas Sumatera Utara
kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan
pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar. Hal ini merupakan bentuk dari tanggung
jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku. Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas
kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila didalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan
harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu
pembalasan. Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap
individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik
disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas
penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan
kunci dari konsep teori pembalasan setimpal . Ukuran yang utama dari pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan
suatu perbuatan. Ciri khas teori retiributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant 1724-
1804 dan Hegel 1770-1831 adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana ,
Universitas Sumatera Utara
sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan di arahkan pada masa lalu dan bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani
penderitaan. Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu ”imperatif kategoris” yang
merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari
pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri.
Nigel walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi 2 macam, yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Retributivist
yang murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu : 1. Retributivist terbatas the limitating retributivist, yang berpendapat bahwa
pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan
kesalahan pelaku; 2. Retributivist yan terdistribusi retribution in distribution, yang berpandangan
bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang
bersalah. Berdasarkan pembagian aliran retributif di atas, maka hanya the pure
retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkannya pidana. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu golongan ini disebut juga ”punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk
pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham retributif yang tidak murni lebih disusun berdasarkan paham yang non-retributive.
Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributive yang the limiting retributivist
yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.
2 Teori Deterrence Tujuan pemidanaan yang kedua adalah deterrence. Nigel Walker menyebut
teori ini sebagai paham reduktif reductivism karena dasar pembenaran dijatuhkan pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi
kejahatan. Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara sebagai berikut :
1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan deterring the offenders yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran
hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial deterrence potential imitators.
Dalam hal ini pidana ditujukan untuk memerikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana
yang dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;
3. Perbaikan si pelaku reforming the offender , yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelauku untuk cenderung tidak
Universitas Sumatera Utara
melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana;
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi
kejahatan; 5. Melindungi masyarakat protecting the public, melalui pidana penjara yang
cukup lama. Zimring dan Hawking menyatakan bahwa ancaman pemidanaan ditujukan
untuk memuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun, the net deterrence effect juga dapat menjadi sarana pencegahan
bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect berakar pada aliran klasik tentang pemidanaan, yang
dimotori oleh dua tokoh utama yaitu Cessare Beccaria 1738-1794 dan Jeremy Bentham 1748-1832. Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul de
Delicti e Delle Pene 1764 bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana untuk
balas dendam masyarakat. Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagai menjadi
pencegahan umum general deterrence dan pencegahan khusus individual deterrence
. Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum
ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan prevensi secara khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak lagi
menanggulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama
beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.
3 Teori Treatment Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang
berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini
adalah untuk memberi tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti hukuman. Argumen
aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan treatment dan perbaikan
rehabilitation. Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso
1835-1909, Enrico Ferri 1856-1928, dan Raffaele Garofalo 1852-1934. Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan
dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran
positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan
Universitas Sumatera Utara
Hume, teori Darwin tentang Biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx.
Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan yang penting dari ilmu alam dan ilmu sosial mempengaruhi pemikiran tentang kejahatan. August Comte 1798-
1857 seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul
”Course de Philosophie Positive” atau ”Course in Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa ”There could
be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist Scientific approach
”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin 1809-1892 dengan teori evolusinya. Lombroso
menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untuk menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia.
Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul ”L’uomo Delinquente” atau ”The Criminal Man” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya
transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak philosopis ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Lombroso dengan
teorinya born criminal menyatakan bahwa ada kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata
yang membedakan manusia kriminal dengan yang bukan kriminal yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang.
Aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Aliran positif melihat kejahatan tidak dari sudut pandang
perbuatannya, melainkan pelakunya sendiri yang harus dilihat dan didekati secara
Universitas Sumatera Utara
nyata dan persuasit. Tujuan pendekatan kepada pelaku ini adalah untuk mempengaruhi pelaku kejahatan secara positif sepanjang masih dapat dibina dan
dperbaiki. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang
dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang
potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Aliran positif
menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik dan menurut aliran ini masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan
kehendak bebas free will dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya.
Menurut Toby, perbaikan terhadap pelaku kejahatan merupakan gelombang besar dari gerakan konformis yang dipengaruhi oleh tuntutan humanisme dan
menggunakan pendekatan keilmuan dalam ilmu pemidanaan yang lebih konstruktif dari pada penghukuman. Sebagian besar dari argumen paham ini
adalah penentangan terhadap pemenjaraan dan bentuk-bentuk lain dari pemidanaan dalam kepustakaan penjara singkat yang dinyatakan secara tegas
bahwa pemidanaan punishment bertentangan denga perbaikan rehabilitation. Gerber dan McAnamy menyatakan bahwa munculnya paham rehabilitasionis
dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada
masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha memuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema
sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa paham rehabitasionist merupakan paham yang menentang
sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence
. 4 Teori Social Defence
Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo Gramatica, yang pada tahun 1945
mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat . Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan social defence ini Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949
terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang radikal ekstrim dan aliran yang moderat reformis.
Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul ”The fight against punishment” La Lotta Contra La
Pena . Gramatica berpendapat bahwa: ”Hukum perlindungan sosial harus
menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan
bukan pemidanaan terhadap perbuatannya”. Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel Perancis yang
menamakan alirannya sebagai ” Defence Sociale Nouvelle” atau ”New Social Defence
” atau ”Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang
Universitas Sumatera Utara
tidak hanya sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat
dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat: 1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-
konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat
mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri.
3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teksis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini
merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. Terlepas dari semua teori-teori mengenai tujuan pemidanaan tersebut, hal
penting yang patut dipahami bahwa konsepsi pidana ataupun pemidanaan yang dianut di negeri ini adalah memberikan penderitaan kepada setiap pelaku yang
telah terbukti melakukan tindak pidana.. Secara defenisi, pidana adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkandiberikan oleh negara pada seseorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum sanksi baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Kendati pun berat atau ringannya pidana
yang kelak dijatuhkan akan dipengaruhi berat atau ringannya tindak pidana yang dilakukan.
Mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam Pasal 10 KUHP.
81
81
Adami Chazawi,Op.Cit. Hal. 24
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis
Universitas Sumatera Utara
pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok dengan pidana
tambahan.
82
Pidana Pokok terdiri dari:
83
1. Pidana mati; 2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan ditambahkan berdasarkan UU No.20 Tahun 1946. Pidana tambahan terdiri dari:
84
1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu; 2. Pidana perampasan barang-barang tertentu;
3. Pidana pengumuman keputusan hakim.
E. Metode Penelitian
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan supaya dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan
yang digunakan antara lain: 1. Jenis Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, digunakan Metode Penelitian Hukum Normatif Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan
menggunakan data-data sekunder.
82
Ibid,Hal. 25
83
Ibid.
84
Ibid. Hal. 26
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder, yang
terdiri dari :
85
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari:
a. Normakaidah dasar, yaitu: Pembukaan UUD 1945 b. Peraturan dasar:
1. Batang Tubuh UUD 1945 2. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR
c. Peraturan Perundang-undangan: 1. Undang-Undang dan peraturan yang setaraf,
2. Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf, 3. Keputusan Presiden dan keputusan yang setaraf,
4. Keputusan Menteri dan keputusan yang setaraf, 5. Peraturan-peraturan Daerah.
d. Bahan Hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti Hukum Adat. e. Yurisprudensi
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang
RUU, hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum.
85
Amiruddin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 31-32.
Universitas Sumatera Utara
3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus hukum, ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data Keseluruhan data dikumpulkan melalui studi kepustakaan Library Research,
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun
elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang- undangan. Sebagai data pendukung maka akan dilakukan wawancara secara
mendalam kepada informan yang terkait dengan pokok permasalahan. Namun, wawancara tersebut dilakukan jika memungkinkan untuk dilakukan.
4. Analisis Data Keseluruhan data pada penelitian ini dianalisa melalui pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan
manusia , atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk
memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.
86
86
Burhan Ashofa , 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta , Jakarta, Hal. 20-21
Universitas Sumatera Utara
F. Sistematika Penulisan