Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan

Dengan demikian untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya itu harus bersifat melawan hukum. 45 Rancangan KUHP juga menentukan masalah melawan hukum tindak pidana. Mulanya dalam Pasal 15 Ayat 2 rancangan KUHP Tahun 2000, menentukan bahwa, “ untuk dipidananya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan, perbuatan tersebut harus juga bersifat melawan hukum. 46 Menurut Hoffman, bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila memenuhi 4 unsur, yaitu : 47 1. Harus ada yang melakukan perbuatan 2. Perbuatan itu harus melawan hukum 3. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain 4. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya.

2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan

Kesalahan schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum dan perbuatan dengan si pelaku. Istilah kesalahan schuld dalam hukum pidana adalah berhubungan dengan 45 Chairul Huda, Op. Cit, hal.49 46 Ibid 47 Komariah Emong Sapardjadja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia , Bandung: Alumni, 2002, hal.34 Universitas Sumatera Utara pertanggungjawaban pidana atau mengandung beban pertanggung jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan dolus atau opzet dan kelalaian culpa. 48 Hukum pidana mengenal adanya tiga macam kesengajaan, yaitu: 49 1 Kesengajaan sebagai maksud opzet alsoogmerk adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan utuk mencapai suatu tujuan. 2 Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, menyadari bahwa apabila perbuatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran akan terjadi. 3 Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis . Dalam hal ini, Fockema Andrease, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik, menyatakan bahwa dolus eventualis dianggap ada pada suatu perbuatan pidana, bila ada gambaran ada penglihatan atau bayangan bahwa setelah terjadinya perbuatan itu akan terdapat suatu akibat dari perbuatannya meskipun tidak dikehendaki, tetapi tetapi bersikap ”apa boleh buat” terhadap akibat perbuatannya. 50 Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak pidana, pembuatnya dan hubungan keduanya, yang dari situ dapat disimpulkan bahwa 48 Adami Chazawi, Buku I, Op.Cit, hal 90 49 Hamzah Hatrik.,Op.Cit. Hal. 89 50 Ibid. Universitas Sumatera Utara pembuatnya dapat dicela karena sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana. 51 Menurut Capacity theory, kesalahan merupakan refleksi dari choice pilihan atau freewill kebebasan kehendak pembuat tindak pidana. Kesalahan merupakan kapasitas pembuat untuk mengontrol perbuatannya. Dengan kata lain, dikatakan ada kesalahan jika pembuat melakukan tindak pidana dalam kontrolnya. Ketidakmampuan mengontrol perbuatan yang berujung pada dilakukannya tindak pidana merupakan dasar untuk mencela pembuat. Dengan demikian kesalahan merupakan konsekuensi atas pilihan sebagai anggota masyarakat yang bebas sepanjang dalam koridor hukum. Sementara pandangan lain justru melihat kesalahan bukan masalah “choice”, tetapi masalah “character”. Pembuat bersalah melakukan tindak pidana bukan sebagai konsekuensi pilihannya atau wujud dari kehendak bebasnya tetapi lebih kepada karakter jahat yang ada pada dirinya. 52 Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ini ada disebagian rumusan tindak pidana yakni kejahatan tertentu dengan dicantumkan secara tegas, misalnya, Pasal 104, Pasal 179, Pasal 204, Pasal 205, Pasal 362, Pasal 368, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 406 dan Pasal 480 KUHP dan disebagian lagi tidak dicantumkan, misalnya : Pasal 162, Pasal 167, Pasal 170, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 289, Pasal 294 dan Pasal 422 KUHP. 53 51 Chairul Huda, Op.Cit, hal.78 52 Ibid, hal.79-80 53 Adami Chazawi, Buku I, Op.Cit, hal.91 Universitas Sumatera Utara Berkaitan dengan kealpaan, maka tidak ada penjelasan secara rinci didalam KUHP. Namun, berkaitan dengan hal ini, Hamzah Hatrik mengutip penjelasan yang ada dalam MvT sebagai berikut: 54 Berdasarkan rumusan diatas, Moeljatno berkesimpulan sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya, bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan Pada umumnya bagi kejahatan, undang-undang mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali itu, keadaan yang dilarang mungkin begitu besar bahayannya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi akan menimbulkan banyak kerugian, sehingga undang-undang harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati. Secara singkat; yang menimbulkan keadaan yang kealpaan. Di sini, sikap batin orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu, bukan menentang larangan tersebut. Ia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang itu. Jadi, bukanlah semata-mata menentang larangan dngan melakukan hal yang dilarang itu, tetapi ia tidak begitu mengindahkan larangan yang ternyata dari perbuatannya. Ia lalai melakukan perbuatan, sebab jika ia cukup menghindarkan adanya larangan waktu melakukan perbuatan, tentunya tidak alpa atau kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal-hal yang dilarang tadi. 54 Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 90-91 Universitas Sumatera Utara bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif, kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. 55

3. Pembuat yang mampu bertanggung jawab