larangan atau perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini,
tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap
pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesengajaan atau kealpaan yang menentukan tingkat kesalahan pembuat,tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat
melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.
76
4. Pemidanaan
Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang
telah bersalah melakukan tindak pidana. Andrew Ashworth, dalam bukunya Principles of Criminal Law sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda ”A criminal
law without sentencing would merely be a declaratory system pronouncing people guilty without any formal consequences following form that guilt
”. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang
pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan
proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ’dapat dicela’, maka di sini pemidanaan merupakan ’perwujudan dari celaan’ tersebut.
77
Chairul Huda juga sependapat dengan pendapat John Hogarth dalam bukunya Sentencing as a Human Process, bahwa ‘Looking backward’ to the
76
Ibid.
77
Ibid , Hal 125
Universitas Sumatera Utara
offence for purposes of punishment, to ‘looking forward’ to the likely impact of sentence on future behaviour of the offender, and some intences, on potential
offender in community at large” . Dengan demikian,cara pandang ke belakang
dilakukan dengan melihat tindak pidana yang telah dilakukan pembuat, yang kemudian menentukan tujuan pemidanaan. Sementara itu, cara pandang ke depan
dilakukan untuk melihat dampak dari pemidanaan bagi masa depan pembuat dan pihak-pihak lain yang mempunyai kemungkinan melakukan tindak pidana dalam
masyarakat yang lebih luas.
78
Jika dikaitkan dengan konsepsi kesalahan dalam pengertian normatif. Tujuan dan dampak dari suatu pemidanaan, baik terhadap diri pembuat maupun
masyarakat, dapat dipandang sebagai persoalan yang berhubungan dengan masa depan looking forward , dan dapat pula dipandang sebagai persoalan yang
kemudian menyebabkan cara pandang ditujukan kebelakang looking backwards, dimana keduanya sangat berpengaruh terhadap penentuan tujuan pemidanaan,
apakah pembuat dapat dicela atas perbuatannya atau tidak.
79
Berbicara mengenai tujuan pemidanaan, maka ada beberapa konsepsi mengenai tujuan pemidanaan. Berikut ini akan diuraikan beberapa konsepsiteori
mengenai tujuan-tujuan dari pemidanaan, yaitu:
80
1 Teori Retributif Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa
pemidanaan merupakan ”morality justified” pembenaran secara moral karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima balasan atas
78
Ibid, Hal. 125-126.
79
Ibid.
80
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pustaka Bangsa Press , Medan, 2008, Hal. 68-89.
Universitas Sumatera Utara
kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan
pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar. Hal ini merupakan bentuk dari tanggung
jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku. Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas
kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila didalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan
harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu
pembalasan. Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap
individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik
disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas
penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan
kunci dari konsep teori pembalasan setimpal . Ukuran yang utama dari pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan
suatu perbuatan. Ciri khas teori retiributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant 1724-
1804 dan Hegel 1770-1831 adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana ,
Universitas Sumatera Utara
sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan di arahkan pada masa lalu dan bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani
penderitaan. Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu ”imperatif kategoris” yang
merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari
pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri.
Nigel walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi 2 macam, yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Retributivist
yang murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu : 1. Retributivist terbatas the limitating retributivist, yang berpendapat bahwa
pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan
kesalahan pelaku; 2. Retributivist yan terdistribusi retribution in distribution, yang berpandangan
bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang
bersalah. Berdasarkan pembagian aliran retributif di atas, maka hanya the pure
retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkannya pidana. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu golongan ini disebut juga ”punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk
pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham retributif yang tidak murni lebih disusun berdasarkan paham yang non-retributive.
Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributive yang the limiting retributivist
yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.
2 Teori Deterrence Tujuan pemidanaan yang kedua adalah deterrence. Nigel Walker menyebut
teori ini sebagai paham reduktif reductivism karena dasar pembenaran dijatuhkan pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi
kejahatan. Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara sebagai berikut :
1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan deterring the offenders yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran
hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial deterrence potential imitators.
Dalam hal ini pidana ditujukan untuk memerikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana
yang dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;
3. Perbaikan si pelaku reforming the offender , yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelauku untuk cenderung tidak
Universitas Sumatera Utara
melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana;
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi
kejahatan; 5. Melindungi masyarakat protecting the public, melalui pidana penjara yang
cukup lama. Zimring dan Hawking menyatakan bahwa ancaman pemidanaan ditujukan
untuk memuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun, the net deterrence effect juga dapat menjadi sarana pencegahan
bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect berakar pada aliran klasik tentang pemidanaan, yang
dimotori oleh dua tokoh utama yaitu Cessare Beccaria 1738-1794 dan Jeremy Bentham 1748-1832. Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul de
Delicti e Delle Pene 1764 bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana untuk
balas dendam masyarakat. Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagai menjadi
pencegahan umum general deterrence dan pencegahan khusus individual deterrence
. Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum
ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan prevensi secara khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak lagi
menanggulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama
beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.
3 Teori Treatment Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang
berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini
adalah untuk memberi tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti hukuman. Argumen
aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan treatment dan perbaikan
rehabilitation. Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso
1835-1909, Enrico Ferri 1856-1928, dan Raffaele Garofalo 1852-1934. Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan
dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran
positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan
Universitas Sumatera Utara
Hume, teori Darwin tentang Biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx.
Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan yang penting dari ilmu alam dan ilmu sosial mempengaruhi pemikiran tentang kejahatan. August Comte 1798-
1857 seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul
”Course de Philosophie Positive” atau ”Course in Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa ”There could
be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist Scientific approach
”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin 1809-1892 dengan teori evolusinya. Lombroso
menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untuk menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia.
Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul ”L’uomo Delinquente” atau ”The Criminal Man” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya
transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak philosopis ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Lombroso dengan
teorinya born criminal menyatakan bahwa ada kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata
yang membedakan manusia kriminal dengan yang bukan kriminal yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang.
Aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Aliran positif melihat kejahatan tidak dari sudut pandang
perbuatannya, melainkan pelakunya sendiri yang harus dilihat dan didekati secara
Universitas Sumatera Utara
nyata dan persuasit. Tujuan pendekatan kepada pelaku ini adalah untuk mempengaruhi pelaku kejahatan secara positif sepanjang masih dapat dibina dan
dperbaiki. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang
dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang
potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Aliran positif
menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik dan menurut aliran ini masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan
kehendak bebas free will dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya.
Menurut Toby, perbaikan terhadap pelaku kejahatan merupakan gelombang besar dari gerakan konformis yang dipengaruhi oleh tuntutan humanisme dan
menggunakan pendekatan keilmuan dalam ilmu pemidanaan yang lebih konstruktif dari pada penghukuman. Sebagian besar dari argumen paham ini
adalah penentangan terhadap pemenjaraan dan bentuk-bentuk lain dari pemidanaan dalam kepustakaan penjara singkat yang dinyatakan secara tegas
bahwa pemidanaan punishment bertentangan denga perbaikan rehabilitation. Gerber dan McAnamy menyatakan bahwa munculnya paham rehabilitasionis
dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada
masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha memuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema
sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa paham rehabitasionist merupakan paham yang menentang
sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence
. 4 Teori Social Defence
Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo Gramatica, yang pada tahun 1945
mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat . Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan social defence ini Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949
terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang radikal ekstrim dan aliran yang moderat reformis.
Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul ”The fight against punishment” La Lotta Contra La
Pena . Gramatica berpendapat bahwa: ”Hukum perlindungan sosial harus
menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan
bukan pemidanaan terhadap perbuatannya”. Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel Perancis yang
menamakan alirannya sebagai ” Defence Sociale Nouvelle” atau ”New Social Defence
” atau ”Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang
Universitas Sumatera Utara
tidak hanya sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat
dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat: 1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-
konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat
mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri.
3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teksis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini
merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. Terlepas dari semua teori-teori mengenai tujuan pemidanaan tersebut, hal
penting yang patut dipahami bahwa konsepsi pidana ataupun pemidanaan yang dianut di negeri ini adalah memberikan penderitaan kepada setiap pelaku yang
telah terbukti melakukan tindak pidana.. Secara defenisi, pidana adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkandiberikan oleh negara pada seseorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum sanksi baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Kendati pun berat atau ringannya pidana
yang kelak dijatuhkan akan dipengaruhi berat atau ringannya tindak pidana yang dilakukan.
Mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam Pasal 10 KUHP.
81
81
Adami Chazawi,Op.Cit. Hal. 24
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis
Universitas Sumatera Utara
pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok dengan pidana
tambahan.
82
Pidana Pokok terdiri dari:
83
1. Pidana mati; 2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan ditambahkan berdasarkan UU No.20 Tahun 1946. Pidana tambahan terdiri dari:
84
1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu; 2. Pidana perampasan barang-barang tertentu;
3. Pidana pengumuman keputusan hakim.
E. Metode Penelitian