1 Tidak kasat mata low visibility 2 Sangat kompleks complexity
3 Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana diffusion of responsibility 4 Ketidakjelasan korban diffusion of victim
5 Aturan hukum yang samar ambiguous criminal law 6 Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan weak detection and
prosecution .
3. Pertanggungjawaban pidana korporasi
c. Ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi
Hukum pidana telah mengalami pergeseran mainstream. Pertanggungjawaban pidana yang pada awalnya selalu dikonsepsikan hanya
dapat dijatuhkan pada manusia dengan adanya guilty mind, kini telah dapat pula dijatuhkan pada korporasi, kendatipun secara hakiki korporasi hanyalah
institusi yang tidak mungkin memiliki guilty mind tadi. Pergeseran ini terjadi bukannya tanpa sebuah argumentasi, melainkan ada beberapa teori yang
mendasari mengapa pembebanan pertanggungjawaban kepada korporasi dapat dibenarkan.
Setidaknya ada dua mainstream yang menjadi landasan pokok pembenaran pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, yaitu Doctrine of
strict liability dan doctrine of vicarious liability. Walaupun secara faktual, masih ada beberapa ajaran lain yang dapat dijadikan landasan teoretis bagi
pembenaran pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi. Berikut
Universitas Sumatera Utara
akan dijelaskan satu persatu mengenai ajaran-ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:
1 Doctrine of Strict Liability
Salah satu pemecahan praktis bagi masalah pembebanan
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang berkerja di lingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat ia bekerja
adalah dengan menerapkan doctrine of strict liability. Menurut doktrin atas ajaran strict liability ini, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada
pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan kesengajaan atau kelalaian pada pelakunya. Oleh karena menurut
ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan, maka strict liability disebut juga absolute liability. Jika
diistilahkan dengan istilah bahasa Indonesia disebut pertanggungjawaban mutlak.
114
Hamzah Hatrik mendefenisikan bahwa strict liability
adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan liability without fault, yang dalam hal
ini si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang, tanpa
melihat lebih jauh sikap batin si pembuat.
115
Siswanto Sunarso dalam bukunya Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa juga menerangkan bahwa menurut doktrin
”strict liability” pertanggungjawaban ketat seseorang sudah dapat
114
Sutan Remy Sjahdeini,Op.Cit. Hal. 78
115
Hamzah Hatrik, Loc Cit.Hal. 110
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan mens rea . Secara singkat, strict liability diartikan
sebagai ”liability without fault” pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.
116
Pendapat senada juga diutarakan oleh Muladi sebagaimana dikutip oleh M. Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana Pencemar
Lingkungan.
117
Arief memberikan defenisi mengenai strict liability, sebagaimana dikemukakan Hamzah Hatrik dalam bukunya Asas Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, yaitu bahwa strict liability adalah adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan liability without fault.
Ini berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana, jika telah melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat
bagaimana sikap batinnya.
118
Hukum pidana menganut asas ”actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau ”tiada pidana tanpa kesalahan”, yaitu yang dikenal sebagai doctrine of
mens rea . Namun kini, dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi
belakangan diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun
pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu
melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak
116
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa,
Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 141
117
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung, 2000, Hal. 89-90.
118
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 13
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering
dikenal juga sebagai offences of absolute prohibition.
119
Berkaitan dengan mens rea ini, Siswanto Sunarso mengutip pendapat Roeslan Saleh sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dalam bukunnya,
bahwa kata ini diambil orang dari suatu maxim yang berbunyi: Actus non est reus nisi mens sit rea, yang maksudnya adalah suatu perbuatan tidak
menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya salah.
120
Menurut LB.Curzon, sebagaimana dikutip oleh M.Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa doktrin
Strict Liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
121
a Adalah sangat esensisal untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peratuan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat.
b Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan
masyarakat. c Tingginya tingkat ”bahaya sosial” yang ditimbulkan oleh perbuatan yang
bersangkutan. Sutan Remy mengutip pendapat Loeby Loeqman yang menyatakan bahwa
dalam praktiknya di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan antara lain untuk pelanggaran lalu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang
melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu
119
Sutan Remy, Loc.Cit. Hal. 78
120
Siswanto Soenarso, Op.Cit. Hal, 141-142
121
M.Hamdan, Loc.Cit. Hal. 90
Universitas Sumatera Utara
lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyala, akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan disidang dimuka pengadilan. Hakim dalam
memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidaknya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas
tersebut.
122
Namun, menurut common law, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya Perbandingan Hukum Pidana, Strict Liability berlaku
untuk tiga macam delik, yaitu:
123
1 Public nuisance ganguan terhadap ketertiban umum,menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan.
2 Criminal libel fitnah, pencemaran nama; 3 Contempt of court pelanggaran tata tertib pengadilan.
Ajaran strict liability ini telah diakomodir oleh RUU KUHP Tahun 2005 , dimana pada pasal 38 ayat 1 mengemukakan sebagai berikut:
Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsusr-
unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan Selanjutnya, penjelasan pasal 37 ayat 2 juga dikemukakan bahwa:
Ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu perkecualian seperti halnya ayat 2. Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak
pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tetentu yang ditetapkan oelh undang-undang. Untuk tindak pidana tetentu tersebut, pembuat tindak
pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana
122
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 80
123
Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta, 2003, Hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas ”strict liability”
Kondisi demikian menunjukkan bahwa RUU KUHP telah menkonsepsikan bahwa apabila terhadap suatu tindak pidana perlakunya akan
dipertanggungjawabkan tanpa keharusan melakukan pembuktian terhadap adanya kesalahan mens rea pada pihak pelaku ketika perilaku actus reus,
baik perilaku yang berupa ”melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang” commision maupun ”tidak melakukan perbuatan yang
diwajibkan oleh undang-undang” ommision, dilakukan oleh pelaku, haruslah hal itu dengan tegas ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Apabila
tidak ditentukan secara tegas di dalam undang-undang itu bahwa ”seseorang dapt dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan” perlu diingat bahwa ”kesalahan” bukan merupakan unsur tindak pidana tetapi merupakan unsur
pertanggungjawaban pidana.
124
Berkaitan dengan korporasi, maka korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk tindak pidana yang tindak pidana yang
tidak dipersyaratkan adanya mens rea bagi pertanggungjawaban tindak pidana itu berdasarkan doktrin strict liability. Ternyata tidak banyak tindak pidana
yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya tanpa adanya unsur mens rea
. Sementari banyak sekali tindak pidana yang idlakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan korporasi yang dipimpinnya, yang
124
Sutan Remy,Op.Cit. Hal. 82
Universitas Sumatera Utara
sangat merugikan masyarakat. Misalnya, tindak pidana yang menyangkut pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen, dan keuangan perusahaan.
Oleh karena itu mulai timbul pemikiran di kalangan hukum tentang bagaimana dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi
atas dilakukannya tindak-tindak pidana yang mensyaratkan adanya unsur mens rea
bagi pertanggungjawabannya. Ketika asas pertanggungjawaban mutlak diterapkan secara luas, yaitu bagi semua tindak pidana, ternyata
banyak kritik atau tantangan yang diperoleh. Oleh karena itu, perlu ada alasan pembenar agar korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana bagi
tindak pidana-tindak pidana yang mengharuskan adanya mens rea untuk pertanggungjawabannya. Alasannya, korporasi tidak mungkin memiliki mens
rea karena tidak memiliki kalbu, tetapi juga korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri tindak pidana tersebut. Dengan demikian, tindak pidana
pastilah hanya dapat dilakukan oleh manusia untuk dan atas nama korporasi. Sebagai suatu fuksi hukum, yaitu bahwa korporasi adalah suatu legal entity.
Korporasi hanya dapat melakukan perbuatan hukum yang mengikat dirinya, apabila perbuatan hukum itu dilakukan oleh perngurusnya atau oleh pegawai
yang memperoleh wewenang dari pengurus untuk melakukan perbuatan hukum itu.
125
125
Ibid. Hal. 83
Universitas Sumatera Utara
o
Doctrine of Vicarious Liability
Vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain.
126
Barda Nawawi Arief, mengistilahkan konsep pertanggungjawaban ini dengan istilah
”pertanggungjawaban pengganti”.
127
Sutan Remy mengutarakan hal yang senada bahwa ajaran ”vicarious liability
”, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah ”pertanggungjawaban vikarius pertanggungjawaban pengganti”, adalah
pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.”
128
Terori Atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam
hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum the law of torts berdasarkan doctrine of respondeat superior Low,1990:251. Menurut asas
repondeat superior, di mana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium
facit per se Jowitt dan Walsh,1977:1564. Menurut maxim tersebut seorang
yang berbuat melalui orang lain dianggap di sendiri yang melakukan perbuatan itu. Contohnya adalah seorang principal pemberi kuasa
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh agent penerima kuasa sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam lingkup kewenangannya
126
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidang, Mandar Maju, Bandung, 2000, Hal. 79
127
Barda Nawawi Arief, Op.Cit. Hal. 33
128
Sutan Remy, Op.Cit.Hal 84
Universitas Sumatera Utara
Jowitt dan Walsh,1977:1485. Oleh karena itu ajaran vicarious liability juga disebut sebagai ajaran respondent superior.
129
Hamzah Hatrik mengutip pendapat Black mengenai vicarious liability ini, yaitu indirect legal responsibility, for example, the liability of an employer for
the acts of an employes, or principal for torts an contracts of an agent.
130
Hatrik juga mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tetapi ada yang
disebut vicarious liability, maka orang yang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-
siapakah yang dipandang bertanggung jawab sebagai pembuat.
131
Pertanggungjawaban pidana yang demikian ini misalnya terjadi dalam hal perbuatan –perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu ada dalam ruang
lingkup pekerjaan atau jabatannya. Jadi pada umumnya terbatas pada kasus- kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu,
atau bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian ”vicarious liability” ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak
mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap dipertanggungjawabkan.
132
Sistem pertanggungjawaban seperti ini tidak dikenal dalam sistem hukum civil law
. Vicarious liability ini berlaku hanya pada jenis tindak pidana
129
Ibid.
130
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 115.
131
Ibid. Hal. 116
132
M. Hamdan, Op.Cit. Hal. 90
Universitas Sumatera Utara
tertentu menurut hukum pidana Inggris. Vicarious liability hanya berlaku terhadap:
133
1. Delik-delik yang mensyaratkan kualitas. 2. Delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan
majikan. Apabila teori ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi
dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapa
pun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Doktrin ini, yang semula dikembangkan berkaitan dengan konteks pertanggungjawaban
perbuatan melawan hukum tortius liability dalam hukum perdata, dengan ragu-ragu telah diambil kedalam hukum pidana, terutama apabila tindak
pidana tersebut adalah jenis tindak pidana yang merupakan absolute liability offences
strict liability offences Boisvert,1999, yaitu tindak pidana yang tidak mensyaratkan adanya mens rea bagi pemidanaannya.
134
Doktrin pertanggungjawaban pengganti seringkali dikritik oleh mereka yang berpendirian bahwa doktrin ini bertentangan dengan ketentuan moral
yang berlaku dala sistem keadilan justice system yang didasarkan pada pemidanaan punishment atas kesalahan manusia individual fault untuk
mempertanggungjawabkan seseorang karena telah melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh hukum. Teori ini secara serius dianggap
menyimpang dari doktrin mens rea karena teori ini berpendapat bahwa
133
Romli Atmasasmita, Ibid. Hal. 79.
134
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 85-86
Universitas Sumatera Utara
kesalahan manusia secara otomatis begitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan kesalahan apa pun Boisvert,1999.
135
Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapt dibuktikan bahwa memang terdapat hubunan subordinasi antara pemberi kerja employer
dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Luasnya otonomi dari seorang pegawai profesional, perwakilan, atau kuasa dari korporasi tersebut,
dapat menimbulkan keragu-raguan mengenai hubungan subordinasi tersebut, yaitu apakah hubungan itu merupakan hubungan yang cukup memadai untuk
dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu kepada pemberi kerjanya. Lebih lanjut, harus dipastikan
apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah
bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab atas perbuatannya. Sementara itu, tidak dapat
diketahui dengan jelas apakah perbuatan pelaku tindak pidana itu memang telah dilakukan dalam rangka tugasnya Boisvert:1999.
136
135
Ibid.
136
Ibid. Hal 87.
Saat ini, KUHP tidak menganut asas pertanggungjawaban pengganti vicarious liability. Akan tetapi asas ini diadopsi dan dimasukkan kedalam
RUU KUHP 2005 sebagaimana ternyata dari bunyi pasal 38 ayat 2 sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu
undang-undang. Dalam penjelasannya juga dikemukakan sebagai berikut:
Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan
pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada
tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang
dalam kenyataannya tidak melakukan tindak piana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika
perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini
penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara
sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas tanggung jawab mutlak atau ”vicarious liability”.
Sebagaimana penerapan asas pertanggungjawaban mutlak doctrine of strict liability atau absolute liability
berdasarkan ketentuan pasal 38 ayat 2 RUU KUHP 2005 yang hanya dapat dilakukan apabila secara tegas suatu
undang-undang menentukan demikian, bagitu juga halnya dengan penerapan asas pertanggungjawaban pengganti, bahwa asas tersebut hanya diterapkan
Universitas Sumatera Utara
apabila undang-undang yang bersangkutan menentukan demikian. Dengan kata lain, penuntut umum dan hakim tidak boleh mempertanggungjawabkan
perbuatan seseorang kepada pihak lain, baik pihak lain itu adalah orang lain misalnya pegawainya maupun korporasi misalnya yang dikelolanya
apabila undang-undang tidak menentukan secara tegas bahwa tindak pidana yang bersangkutan boleh dipertanggungjawabkan kepada pihak lain melalui
cara penggantian.
d. Korporasi sebagai subjek tindak pidana
Konsep hukum pidana yang sangat dipengaruhi asas universitas delinquere non potest
atau societas delinquere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana, kini telah mengalami
pergeseran. Perkembangan tatanan kehidupan yang menunjukkan bahwa peranan korporasi saat ini semakin dominan dan berpengaruh dalam segala aspek
kehidupan masyarakat, melahirkan sebuah kondisi dimana sangat dimungkinkan munculnya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan korporasi sebagai sebuah
konsekuensi logis dari eksistensinya dalam kancah kehidupan. Kondisi seperti inilah yang akhirnya mendorong reformasi konsepsi dalam hukum pidana, yang
awalnya tidak menerima korporasi sebagai pelaku tindak pidana, namun karena realitas menunjukkan sebaliknya, pun akhirnya menerima keberadaan korporasi
sebagai pelaku tindak pidana. Rudi Prasetya mengungkapkan, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik
dalam bukunya Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara
Indonesia , bahwa perkemangan mengenai konsep korporasi sebagai subjek tindak
pidana, sebenarnya merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat ketika menjalankan aktivitas usaha. Masyarakat yang masih
sederhana, menjalankan usahanya secara perorangan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja sama
dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberpa faktor pertimbangan untuk mengadakan kerjasama antara lain adalah terhimpunnya
modal yang lebih banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan seorang diri, dan mungin pula
pertimbangan dapat membagi resiko kerugian.
137
Hamzah Hatrik juga mengutip pendapat dari I.S Soesanto, yang mengungkapkan mengenai perbedaan dan perubahan dalam kegiatan
perekonomian masyarakat tersebut dilatarbelakangi beberapa hal, yaitu:
138
1 Kebutuhan modal dalam jumlah besar, sehingga menghasilkan usaha-usaha untuk mengumpulkan dana masyarakat secara intensif;
2 Perubahan dalam pemikiran yang dapat dilihat ke dalam kekuasaan dan hak- hak yang tidak tampak seprti, deposito, saham dan surat berharga;
3 Kegiatan ekonomi yang berorientasi ke pasar internasional; 4 Terjadinya perpindahan kepemilikan, yakni dari milik pribadi ke pemilikan
korporasi; 5 Korporasi semakin meluas dalam kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan.
137
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 27-28.
138
Ibid. Hal. 28
Universitas Sumatera Utara
Paradigma mengenai peranan korporasi yang semakin penting, turut dibahas pada Kongres PBB VII dalam tahun 1985 dengan tema ”Dimensi Baru
Kejahatan dalam Konteks Pembangunan ”. Pertemuan tesebut menyoroti gejala
kriminalitas sebagai kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya, seperti terjadinya manipulasi pajak,
kerusakan lingkungan hidup, penipuan ansuransi, dan sebagainya yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Karena
menimbulkan efek negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari subjek hukum biasa menjadi subjek hukum pidana.
139
Berkaitan dengan pembahasan mengenai perkembangan konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana, Rudy Prasetya sebagaimana dikutip oleh Mahmud
Mulyadi dalam Tesisnya, mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum adalah sekedar konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk
menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi badan hukum merupakan ciptaan hukum, yaitu pemberian status sebagai subjek hukum
kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melukan suatu
tindakan hukum.
140
Rudy Prasetya menambahkan, sebagaimana yang dimuat Mahmud Mulyadi dalam tesisnya, bahwa dalam pemberian status hukum khusus yang
berupa badan tersebut, dalam perkembangannya dapat terjadi karena macam alasan danatau motivasi. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan
139
Muladi Dwija Prijatno, Op.Cit, Hal. 27.
140
Mahmud Mulyadi, Tesis, Op.Cit. Hal. 73
Universitas Sumatera Utara
menentukan siapa yang harus bertanggungjawab di antara mereka yang terhimpun dalam badan hukum tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan dengan
menunjuk badan hukum sebagai subjek yang bertanggungjawab.
141
Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi korporasi sebagai subjek hukum,
diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata, misalnya hukum pajak dan hukum administrasi negara serta hukum pidana.
142
Pengakuan hukum pajak terhadap korporasi tercantum dalam Undang- Undang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang No. 6
Tahun 1983. Pada Bab I ketentuan Umum, Pasal 1 butir a menyebutkan bahwa wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.
143
Hamzah Hatrik memuat pendapat Rudy Prasetya yang mengatakan bahwa korporasi dalam hukum administrasi negara, tampak dalam pemberian izin usaha,
yang dalam beberapa hal mensyaratkan bahwa izin usahanya hanya dapat diberikan jika pemohon izin mengambil bentuk badan hukum atau Perseoran
Terbatas. Ketentuan demikian, tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi berlaku universal di berbagai negara. Sedangkan, ketentuan yang mensyaratkan bentuk
badan hukum didasarkan atas berbagai pertimbangan, yang paling dominan ialah atas dasar alasan agar lebih mudah menunjuk siapa penanggungjawabnya dan atau
terjaminnya kontinuitasnya.
144
141
Ibid.
142
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 29
143
Ibid.
144
Ibid. Hal. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
Senada dengan hukum pajak dan hukum administrasi negara, hukum pidana pun mengakui keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang
dapat pula dimintai pertanggungjawabannya. Walaupun KUHP masih menganut konsepsi bahwa yang dapat menjadi pelaku tindak pidana hanya manusia alamiah
Pasal 59 KUHP, namun dalam rumusan RUU KUHP Tahun 2004 pasal 44 dinyatakan bahwa ”Korporasi merupakan subjek tindak pidana”. Dalam pasal 165
RUU tersebut juga dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ”setiap orang” adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.
145
Berkaitan dengan keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana, masih ditemui adanya pro dan kontra mengenai konsepsi ini. Berkaitan dengan hal
ini, A.Z. Abidin, yang mendukung korporasi sebagai subjek tindak pidana menyatakan bahwa:
146
Pihak yang pro menjadikan korporasi sebagai subjek tindak pidana beralasan sebagai berikut:
”Pembuat delik yang merupakan korporasi itu oleh Rolling dimasukkan kedalam fuctioneel daderschaap pelaku fungsional, oleh karena korporasi dalam dunia
modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa dan lain-
lain.
147
• Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dipidananya pengurus tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau
145
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 39-40
146
Muladi Dwija Prijatno, Op.Cit. Hal. 29
147
Ibid. Hal. 31-32
Universitas Sumatera Utara
dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan mempidana korporasi, korporasi dan perngurus atau pengurus saja.
• Roeslan Saleh juga mengingatkan bahwa dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peranan yang penting.
Sehingga menjadi hal yang penting pula untuk memasukkan korporasi kedalam subjek hukum pidana untuk mengantisipasi access negatif yang
mungkin muncul. • Schaffmeister menuturkan bahwa hukum pidana harus mempunyai fungsi
dalam masyarakat yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma- norma dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum
pidana hanya ditekankan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan
untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi. • George E. mengatakan bahwa dipidananya korporasi dengan ancaman
pidana adalah salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.
Sutan Remy mengutip pendapat Boisvert yang menyatakan bahwa pihak yang setuju bahwa korporasi dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana
berpendapat bahwa korporasi bukanlah suatu fiksi. Korporasi benar-benar eksis dan menduduki posisi penting di dalam masyarakat dan berkemampuan untuk
menimbulkan kerugian bagi pihak lain dalam masyarakat seperti halnya manusia. Memperlakukan korporasi seperti manusia natural person dan membebani
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat oleh korporasi, sejalan
Universitas Sumatera Utara
dengan asas hukum bahwa siapa pun sama di hadapan hukum principle of equality before the law
. Korporasi-korporasi yang memberikan dampak yang besar bagi kehidupan sosial, seharusnya diwajibkan juga untuk menghormati
nilai-nilai fundamental dari masyarakat kita yang ditentukan oleh hukum pidana.
148
Sementara itu, Elliot dan Quinn yang pendapatnya dikutip oleh Sutan Remy, menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengenai perlunya pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Alasan-alasan tersebut adalah:
149
a Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya para
pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh
perusahaan. b Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut
suatu perusahaan daripada para pegawainya. c Dalam hal suatu tindak pidana yang serius, sebuah perusahaan lebih memiliki
kemampuan untuk membayar denda yang dijatuhkan daripada pegawai perusahaan tersebut.
d Ancaman penuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan
prusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya.
148
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 55.
149
Ibid. Hal. 55-56
Universitas Sumatera Utara
e Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal, maka seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas
tindak pidana yang dilakukan, bukannya pegawai perusahaan itu. f Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan
menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung, agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari melakukan usaha yang
ilegal. g Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan
itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan yang ilegal, dimana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut
itu adalah para pegawainya. Secara pribadi, Sutan Remy mencoba memberikan suatu rumusan
mengenai alasan-alasan mengapa suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjwaban pidana,sekalipun korporasi tidak dapat melakukan perbuatan
sendiri, melainkan melalui orang-orang yang menjalankan kepengurusan atau kegiatan korporasi. Alasan-alasan tersebut antara lain:
150
1 Sekalipun korporasi dalam melaksanakan kegiatannya tidak melakukannya sendiri tetapi melalui orang-orang yang merupakan pengurus dan para
pegawainya, namun apabila perbuatan itu dilakukan dengan maksud memberikan keuntungan finansial ataupun menghindarkanmengurangi
kerugian finansial bagi korporasi yang bersangkutan, maka tidak adil bagi masyarakat yang dirugikan baik berupa kerugian nyawa, badaniah
150
Ibid. Hal. 57-58
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan cacat jasmani maupun materiil apabila korporasi tidak harus ikut bertanggungjawab atas perbuatan pengurus atau para pegawainya.
2 Tidak cukup pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus korporasi atas tindak pidana yang dilakukannya karena pengurus jarang
memiliki harta kekayaan yang cukup untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan kepadanya untuk biaya sosial yang harus dipikul sebagai akibat
perbuatannya itu. 3 Membebankan pertanggungjawaban pidana hanya kepada pengurus korporasi,
tidak cukup menjadi pendorong untuk dilakukannya tindakan-tindakan pencegahan precautionary measures sehingga mengurangi tujuan
pencegahan detterence dari pemidanaan. 4 Pembebanan pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi akan menempatkan aset perusahaan ke dalam resiko berkenaan dengan perbuatan-
perbuatan tidak terpuji dari para pengurus korporasi harus memikul beban pidana denda yang berat, kemungkinan dirampas oleh negara, dan lain-lain
sehingga akan mendorong para pemegang saham dan para komisarispengawas korporasi untuk melakukan pemantauanpengawasan
yang lebih ketat terhadap kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi.
Menurut Muladi, sebagaimana diutarakan oleh Dwija Prijatno dan dikutip oleh Edi Yunara dalam bukunya Korupsi dan Pertanggungjawaban Korporasi,
Universitas Sumatera Utara
pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
151
1. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu
dan kepentingan sosial. 2. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
3. Untuk memberantas anomie of success sukses tanpa aturan. 4. Untuk perlindungan konsumen.
5. Untuk kemajuan teknologi. Sedangkan pihak yang kontra mengemukakan alasan-alasan sebagai
berikut:
152
a. Menyangkut masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada para persona alamiah;
b. Bahwa tingkah laku materiil yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah
mencuri barang, menganiaya, orang dsb.; c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak
dapat dikenakan terhadap korporasi. d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa orang yang tidak bersalah;
151
Edi Yunara, Op.Cit. Hal. 31
152
Muladi dan Dwija Prijatna.Op.Cit. Hal. 31
Universitas Sumatera Utara
e. Dalam prakteknya tidak mudah menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri
atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana. Van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik
mengungkapkan bahwa cukup banyak yang tidak menyetujui rumusan pertanggungjawaban korporasi sebagai pembuat tindak pidana dalam buku I
KUHP Belanda. Alasan-alasan yang dikemukakan berkisar pada hal berikut:
153
1 Kesengajaan dan kesalahan hanya ada pada personal alamiah. 2 Tingkah laku material sebagai syarat dapat dipidananya beberapa macam
delik, hanya dapat dilakukan oleh persona alamiah; 3 Pidana dan tindakan perampasan kemerdekaan tidak dapat dikarenakan
terhadap korporasi; 4 Tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dapat merugikan orang-orang
yang tidak bersalah; 5 Dalam praktek akan sulit menentukan apakah hanya pengurus atau korporasi
yang dituntut dan dipidana, atau kedua-duanya hasur dituntut dan dipidana. Frank dan Lynch mengemukakan bahwa keberatan-keberatan prinsipil dari
corporate criminal responsibility adalah bahwa orang yang tidak bersalah dapat terkena hukuman. Derita dari pemidanaan terhadap korporasi dapat terbebankan
kepada pihak-pihak lain. Akibatnya , para konsumen akhirnya harus membayar harga yang lebih tinggi untuk barang-barang yang dibuat atau jasa-jasa korporasi
yang diberikan oleh korporasi yang terpidana itu. Para pemegang saham
153
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 32
Universitas Sumatera Utara
korporasi yang pada kenyataannya tidak mengetahui mengenai keputusan- keputusan yang dibuat, yaitu keputusan-keputusan yang telah menimbulkan
kerugian, akan terpaksa harus menerima deviden yang jauh lebih kecil atau menderita kerugian karena nilai sahamnya mengalami penurunan. Sementara para
pegawai korporasi tersebut kemungkinan terpaksa harus di PHK, atau diturunkan upahnya.
154
Clarkson dan Keating mengemukakan pendapat yang sejalan dengan pendapat Frank dan Lynch, yaitu bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada suatu
perusahaan berupa pidana denda sama saja artinya dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak-pihak yang tidak bersalah, yaitu para pemegang saham, para
kreditor, para pegawai, dan masyarakat yang harus memikul denda tersebut. Dengan kata lain, yang menderita justru mereka yang justru ingin dilindungi oleh
hukum.
155
Terlepas dari pro dan kontra terhadap dapat dipertanggungjawabkannya korporasi dengan menempatkannya sebagai subjek hukum pidana, menurut
Oemar Seno Adji, yang pernyataannya dikutip oleh Muladi Dwija Prijatna, ...kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan,
didasarkan tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilitis melainkan pula atas dasar-dasar teoritis dibenarkan.
156
154
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 53
155
Ibid. Hal. 54
156
Muladi Dwija Prijatna, Op.Cit. Hal. 32
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan masalah dapat dipidananya korporasi, Sudarto, sebagaimana dikutip oleh Muladi Dwija Prijatno dalam bukunya yang berjudul
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, menyatakan:
157
Private Member’s Bill C-284 ”Saya tidak akan menyangkal kemungkinan peranan korporasi dikemudian hari,
akan tetapi saya ingin mengetahui lam berlakunya undang-undang Tindak Pidana Ekonomi yang hampir 20 tahun itu Sekarang hampir 55 Tahun-pen. berapakah
korporasi yang telah dijatuhi pidana. Sayang sekali tidak dapat dijumpai angka- angka yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan perkiraan untuk masa depan.
Angka-angka in dapat memberikan petunjuk sampai dimana kebutuhan akan perluasan pertanggungjawaban dari korporasi. Kalau pada delik-delik yang
termasuk hukum pidana khusus itu kenyataannya tidak banyak pemidanaan yang dikenakan kepada korporasi, apakah perluasan itu memang diperlukan? Kalau
aturan itu nanti betul-betul diterima, maka Indonesia akan tergolong sangat maju di seluruh dunia di bidang ini.
Berbicara mengenai masalah pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada korporasi, maka perlu pula dikaji beberapa aspek yang terkait
dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab korporasi, masalah kulpabilitas
dan alasan-alasan pemaaf pada korporasi.
158
157
Ibid.
telah menetapkan bahwa penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap direksi dan pejabat-pejabat korporasi
Universitas Sumatera Utara
lainnya dimana mereka bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, dan mensahkan authorize tindakan atau kelalaian yang menjadi tindak
kejahatan. Jika direksi atau pejabat korporasi lainnya: i mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakan atau kelalaian itu merupakan tindak
pidana, ii mengetahui bahwa tindakan itu dilakukan atau akan dilakukan, dan iii tidak atau gagal mengambil langkah yang memungkinkan untuk mencegah
dilakukannya tindakan itu, maka mereka dapat dipidana atau dibenbankan tanggung jawab.
• Korporasi dan masalah kemampuan bertanggung jawab.
Kemampuan bertanggung jawab dalam ilmu hukum pidana merupakan masalah yang menyangkut keadaan batin orang yang melakukan tindak pidana.
Van Hamel, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik, menyatakan bahwa kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan
kematangan atau kedewasaan, sehingga seseorang mempunyai tiga macam kemampuan yaitu:
159
a Mampu mengerti maksud perbuatannya; b Mampu menyadari perbuatannya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat;
c Mampu menentukan kehendak dalam melakukan peruatannnya. Pendapat lain mengatakan bahwa mampu bertanggung jawab adalah
mampu menginsyafi sifat melawan hukum wederechtelijke perbuatan dan mampu menentukan kehendak.
160
158
Undang-undang ini adalah peraturan yang ditetapkan untuk mengamandemen atau menambah ketentuan isi Penal Code Kanada, menyangkut kejahatan Korporasi beserta para pengurusnya.
159
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 84
160
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Apabila rumusan kemampuan bertanggung jawab dihubungkan dengan korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka muncul pertanyaan, apakah kriteria
kemampuan bertanggung jawab seperti tersebut diatas, berlaku juga untuk korporasi?
161
Menurut Wolter, sebagaimana dikutip oleh Setiyono, kepelakuan fungsional functional daderschaap adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim
menginterpretasikan tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi presyaratan dari masyarakat. Ciri khas dari kepelakuan fungsional,
yaitu perbuatan fisik dari yang satu yang sebenarnya melakukan atau membuatnya menghasilkan perbuatan fungsional terhadap yang lain. Sedangkan
untuk meyakini adanya interpretasi fungsional dari hakim harus melalui 3 tahap, yaitu:
162
1. Kepentingan yang manakah yang ingin dilindungi oleh pembentuk undang- undang.
2. Pribadi yang manakah dalam suatu kasus pidana ini yang dapat menjalankan atau melakukan tindak pidana. Siapa yang berada dalam posisi yang sangat
menentukan untuk jadi atau tidaknya dilakukan atau dijalankan tindak pidana itu. Hal ini perlu bilamana hakim telah menetapkan bahwa dengan penjelasan
yang wajar secara harfiah, ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan. Berkaitan dengan ini, Sahetapy mengemukakan, dalam proses interpretasi
fungsional akan ditemukan pelaku fisik, namun diputuskan bahwa undang- undang pidana tidak memaksudkan mereka.
161
Ibid , Hal. 86
162
Setiyono. Hal. 105-106
Universitas Sumatera Utara
3. Diajukan pertanyaan pembuktian, apakah ada cukup pembuktian secara sahih ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Jika kita menerima konsep functioneel daderschap maka kemampuan bertanggung jawab dalam hukum pidana berlaku juga terhadap korporasi. Sebab,
keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan aktivitas pencapaian tujuan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia.
Dengan demikian, kemampuan bertanggung jawab dari korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kemampuan
bertanggung jawab.
163
• Korporasi dan masalah kulpabilitas Kesengajaan dan Kealpaan
Rumusan mengenai kesengajaan dan kealpaan secara umum telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka pada Bab I. Selanjutnya, jika masalah
kulpabilitas kesengajaan dan kealpaan ini dinisbatkan pada korporasi, apa kondisi demikian dibenarkan oleh hukum pidana? Bagaimana pula menentukan
kesengajaan atau kealpaan pada korporasi yang akan dibebani pertanggungjawaban berdasarkan pidana? Sedangkan, secara konseptual, hukum
pidana Indonesia masih mengadopsi pemikiran bahwa yang dapat melakukan kesalahan hanyalah persona alamiah, sehingga yang dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana adalah persona alamiah. Berkaitan dengan hal ini , Van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh
Hatrik menyatakan bahwa kesulitan yang kita dapati dalam hukum perdata dalam hal pertanggungjawabkan tindakan secara melawan hukum pada korporasi, yaitu
163
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 86
Universitas Sumatera Utara
selalu disyaratkan jiwa dari persona alamiah kesengajaan atau kealpaan, sehingga lebih sulit untuk menjawab pertanyaan ; apakah korporasi juga dapat
bertanggung jawab menurut hukum pidana.
164
Untuk menjawab pertanyaan diatas, Muladi Dwija Prijanto, dalam bukunya Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, mengutip
pendapat beberapa sarjana, antara lain:
165
D. Schaffmeister, menyatakan bahwa sangat sulit untuk menentukan kapan suatu badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan. Selanjutnya
beliau mengatakan ”kesengajaan pada badan hukum pertama-tama berada, apabila kesengajaan itu pada kenyataannya terletak pada politik perusahaan, atau berada
dalam keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu”. Torrings dalam hubungan ini mengatakan adanya suatu macam ”suasana kejiwaan” psychisch
klimaat yang dapat berlaku dalam suatu badan hukum. Hal ini mengingatkan kepda suatu perseroan tertutup dengan pimpinan kembar, yang didirikan untuk
melakukan kekacauan. Juga terjadi pada perusahaan pengangkutan di mana berlaku pemikiran bahwa perusahaan tidak dapat berjalan tanpa melanggar
undang-undang ”waktu penggunaan kendaraan”. Oleh karena itu dengan melihat kenyataan tersebut, maka perusahaan tidak dapat menjalankan perusahaan.
Kejadian-kejadian tersebut harus diselesaikan dengan konstruksi pertanggungjawaban, kesengajaan dari perorangan, yang bertindak atas nama
perserikatanbadan usaha di mana dapat menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut.
164
Ibid, Hal. 92
165
Muladi Dwija Prijanto, Op.Cit. Hal. 102
Universitas Sumatera Utara
Menurut Arrest Bijenkorf menyatakan bahwa kesengajaan dari suatu organ dari badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum.
Sedangkan Remmelink berpendapat bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika
mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan bahwa kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat kesalahan
besar dari korporasi itu sendiri. Suprapto juga mengungkapkan hal yang senada, bahwa jika hukum
memperkenankan badan-badan melakukan perbuatan-perbuatan sebagai orang- orang, dengan melalui alat-alatnya, maka dapatlah dimengerti, bahwa pada badan-
badan bisa didapatkan kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individuil,
karena hal itu mengenai badan sebagai suatu kolektiviet, dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dibebankan kepada pengurusnya.
Hamzah Hatrik menambahkan, dari apa yang diutarakan oleh Soeprapto, bahwa ada cukup alasan untuk menganggap badan hukum korporasi mempunyai
kesalahan dan karena itu, harus pula menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia yang menerima keuntungan yang terlarang.
166
Terlepas dari pendapat-pendapat diatas, Muladi sendiri menegaskan,sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik, bahwa masalah yang
mungkin timbul adalah mengenai ukuran-ukuran apakah yang dapat dijadikan pedoman untuk mempertanggungjawabkan badan hukum. Masalah lain yang
166
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 95
Universitas Sumatera Utara
mungkin muncul adalah bagaimana menentukan kesengajaan dan kealpaan badan hukum. Sebagai bahan pemecahan persoalan pertanggungjawaban korporasi serta
untuk menentukan kesengajaan dan kealpaan korporasi, Muladi mengajukan pedoman sebagai berikut:
167
a Untuk mempertanggungjawabkan korporasi dapat dipecahkan dengan cara melihat; apakah tindakan para pengurus korporasi dalam kerangka tujuan
statutair korporasi dan atau sesuai dengan kebijakan perusahaan. Bahkan, sebenarnya cukup untuk melihat apakah tindakan korporasi sesuai dengan
ruang lingkup pekerjaan korporasi. Kepelakuan korporasi tidak mudah diterima, jika tindakan korporasi dalam pergaulan masyarakat, tidak dianggap
sebagai perilaku korporasi; b Untuk menentukan kesengajaan dan kealpaan korporasi, dapat dilakukan
dengan cara melihat; Apakah kesengajaan bertindak pengurus korporasi pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada dalam kegiatan
yang nyata dari suatu perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan. Jadi harus dideteksi melalui suasana kejiwaan yang berlaku
pada korporasi. Dengan konstruksi pertanggungjawaban kesengajaan perorangan ang bertindak atas nama koporasi dapat menjadi kesengajaan
korporasi.
• Korporasi dan masalah alasan pemaaf.
Dalam hukum pidana berlaku asas bahwa tidak selalu kepada pelakunya dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana sekalipun secara nyata dapat di
167
Ibid. Hal. 93
Universitas Sumatera Utara
buktikan tanpa keraguan sedikit pun bahwa perilaku, baik yang berupa commission
maupun omission, telah dilakukan oleh pelakunya. Tidak dapat dibebankannya, pertanggungjawaban pidana tersebut bukan karena tidak terbukti
adanya perilaku actus reus oleh pelakunya , tetapi karena pada waktu perilaku itu dilakukan terdapat alasan tertentu yang diakui oleh hukum sebagai alasan
untuk tidak dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Dalam hukum pidana alasan tersebut dibagi dalam dua jenis, yaitu alasan
pembenar justification dan alasan pemaaf excuse.
168
Dengan berlakunya asas tersebut diatas, maka sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi timbul pertanyaan: Apakah adanya alasan
peniadaan pertanggungjawaban pidana, baik berupa alasan pembenar maupun alasan pemaaf, yang terdapat pada orang yang perbuatannya dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi, misalnya anggota direksi dari suatu perseroan, dapat meniadakan pertanggungjawaban pidana korporasi?
169
Untuk menjawab pertanyaan ini, Muladi dan Dwija Prijatna mengutarakan pendapatnya bahwa sebagaimana halnya orang, badan hukum atau korporasi dapat
mempunyai dasar untuk menghapuskan pidana, sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan pada korporasi.
170
168
Sutan Remy,Op.Cit.Hal. 194-195
169
Ibid. Hal. 195
170
Muladi Dwija Prijatna, Op.Cit. Hal. 106
Remmelink juga memberikan rumusan mengenai hal ini, sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy. Remmelink
mengemukakan bahwa seberapa jauh alasan-alasan peniadaan kesalahan yang berlaku bagi perseorangan juga memiliki daya menghilangkan kesalahan itu
dalam hal korporasi. Sebagai penegasan, Remmelink juga mengatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
dalam hal demikian sering muncul situasi rumit. Dan ketiadaan kesalahan, misalnya pada direktur, tidak selamanya akan membebaskan korporasi dari
kesalahan.
171
Korporasi sebagai subjek hukum pidana, pada dasarnya harus diakui korporasi dapat menunjuk pada alasan-alasan pengapus pidana, yang berkaitan
dengan gejala kejiwaan tertentu. Seperti keadaan sakit jiwa pasal 44 KUHP maupun pembelaan yang melampaui batas pasal 49 ayat 2 KUHP. Kedua
alasan ini mensyaratkan adanya suatu keadaan kejiwaan tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia.
172
Berkaitan dengan hal ini, Sutan Remy berpendapat bahwa alasan peniadaan pertanggungjawaban pidana, baik yang berupa alasan pembenar
maupun alasan pemaaf, yang terdapat pada orang yang merupakan directing mind korporasi ketika perbuatan itu dilakukan oleh orang itu bukan saja akan
meniadakan pertanggungjawaban pidana dari orang itu, juga meniadakan pertanggungjawaban korporasi perbuatan orang yang menjadi directing mind
korporasi perbuatan orang yang menjadi directing mind korporasi diatributkan kepada korporasi dianggap sebagai perbuatan korporasi itu sendiri, maka
logikanya adalah bahwa alasan peniadaan pertanggungjawaban yang dimiliki oleh orang tersebut harus juga diatributkan kepada korporasi. Artinya, bila orang itu
dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana, maka dengan sendirinya demi
171
Sutan Remy,Op.Cit.Hal. 195
172
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
hukum atau secara otomatis korporasi juga harus dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
173
Berkaitan dengan bunyi pasal diatas, Sutan Remy memberikan pandangan, bahwa bunyi pasal tersebut mengandung pengertian sebagai berikut:
Berkenaan dengan hal ini, RUU KUHP 2004 berpendapat telah memberikan rumusan sebagaimana dimuat didalam pasal 50 yang berbunyi
sebagai berikut: Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang
bertindak untuk danatau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang
didakwakan kepada korporasi.
174
• Adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar yang terdapat pada manusia pelaku tindak pidana yang bertindak untuk danatau atas nama korporasi yang
pertanggungjawabannya dapat dibebankan kepada korporasi, bukan saja dapat meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi manusia pelakunya, tetapi juga
dapat meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang bersangkutan.
• Peniadaan pertanggungjawaban pidana kepada manusia pelaku tindak pidana yang bertindak untuk danatau atas nama korporasi tersebut karena adanya
alasan pemaaf atau alasan pembenar, tidak demi hukum berlaku secara otomatis meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang
173
Sutan Remy,Op.Cit.Hal. 196-197
174
Sutan Remy,Op.Cit.Hal. 197
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan. Peniadaan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi tersebut harus terlebih dahulu diajukan oleh korporasi.
Sutan Remy menambahkan bahwa sebaiknya peniadaan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi terjadi demi hukum berlaku secara
otomatis apabila manusia yang menjadi pelaku tindak pidana itu dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana karena adanya alasan pemaaf atau alasan
pembenar.
175
Berkaitan dengan penerapan dasar-dasar peniadaan pidana alasan pemaaf dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, masih terdapat perbedaan pendapat.
Hal tersebut dapat dipahami melalui pendapat-pendapat yang dikutip Hamzah Hatrik, anrara lain sebagai berikut:
176
a Muladi menegaskan bahwa alasan-alasan penghapus pidana, tentu saja juga berlaku untuk tindak pidana yang dilakukan korporasi. Hal ini, tidak hanya
terbatas pada afwezigheid van alle schuld avas saja, melainkan dapat mencakup yang lain, misalnya daya paksa overmacht.
b Pohan mengatakan bahwa sesuai dengan sifat kemandirian alasan-alasan peniadaan pidana, harus dicari pada korporasi itu sendiri. Dalam hal ini,
mungkin sekali terjadi pada diri seseorang terdapat alasan peniadaan pidana, tetapi tidak demikian halnya pada korporasi, meskipun orang tersebut
dianggap sebagai perbuatan korporasi. Dalam kaitan ini diajukan contoh sebagai berikut:
175
Ibid. Hal. 198
176
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 102 - 103
Universitas Sumatera Utara
Seorang sopir truk, terpaksa bersedia mengangkut narkotik, karena jiwa keluarganya terancam. Sementara itu, perusahaan pengangkutan tempat si
sopir bekerja, atas dasar pertimbangan mendapatkan keuntungan membiarkan atau mengizinkan pengangkutan narkotik itu. Padahal
perusahaan itu mampu mencegah perbuatan mengangkut narkotik tanpa perlu mengorbankan kepentingan pihak si sopir sebagai karyawan perusahaan.
Berdasarkan contoh diatas ada pendapat yang menyatakan bahwa pada diri si sopir terdapat situasi daya paksa overmacht, sedangkan korporasi dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan si sopir. Namun, dalam hal perusahaan membiarkan pengangkutan narkotik atas dasar pertimbangan untuk melindungi
kepentingan sopir sebagai karyawan dan perusahaan tidak mampu mencegah pengangkutan narkotik itu, maka keadaaan daya paksa overmacht pada diri sopir
sebagai karyawan, sesungguhnya telah diambil alih oleh perusahaan. Jadi, keadaan daya paksa pada karyawan dalam keadaan tertentu, merupakan daya
paksa bagi korporasi.
177
Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam menentukan ada tidaknya alasan penghapus pidana pada korporasi tidak selalu
dapat dicari secara terpisah antara perorangan dan korporasi. Dalam beberapa hal mungkin terjadi suatu ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri
perorangan.
178
177
Ibid. Hal. 103
178
Muladi Dwija Prijatna, Op.Cit. Hal. 107
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan pembahasan mengenai Badan Hukum dan Dasar-dasar Peniadaan Hukuman, Schaffmeister menulis, sebagaimana dikutip oleh Hamzah
Hatrik, bahwa sebagaimana halnya perorangan, badan hukum juga dapat menunjuk kepada dasar peniadaan hukuman. Namun tidak selalu ada tempat
untuk menunjuk dasar peniadaan hukuman badan hukum. Jika makin subjektif kriteria kepelakuan pidana, maka makin sedikit ruang untuk menerima ketiadaan
semua kesalahan afwezigheid van alle schuld. Dengan mengutip tulisan Toringa, Schaffmeister menegaskan, bahwa: Berdasarkan dasar-dasar peniadaan kesalahan
schulduitsluitingsgronden sebenarnya hanya ”avas” yang dapat diterima sebagai akibat kesesatan yang dapat dimaafkan veronschuldigbaredwaling. Dasar-dasar
peniadaan hukuman lainnya, adalah sangat bersifat pribadi manusiawi kalau digunakan untuk tindakan badan hukum, kecuali menyangkut suatu badan hukum
dengan hanya seorang direktur, beberapa pemegang saham yang juga merangkap pelaksana.
179
Pendapat-pendapat diatas, cenderung berpendirian bahwa alasan pemaaf berlaku juga bagi korporasi. Sedangkan J.M. van Bemmelen, sebagaimana dikutip
oleh Hamzah Hatrik mengatakan bahwa dasar penghapusan pidana yang pasti bagi para pengurus dan sebagainya tidka diperlukan lagi, karena manusia alamiah
terhadap tingkah laku yang dilaksanakan oleh korporasi, hanya dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan secara hukum pidana, apabila ia memerintahkan
179
Hamzah Hatrik Op.Cit. Hal.103
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan itu, atau merupakan pemimpin dalam melaksanakan perbuatan itu.
180
Menurut Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwija Prijatno, mengenai kedudukan korporasi sebagai pembuat dan sifat
pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat sistem-sistem sebagai berikut: Jika kembali kepada konsepsi bahwa korporasi dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana, lalu sistem pertanggungjawaban seperti apa yang dapat dijatuhkan kepada korporasi? Untuk menjawab hal ini, dibawah ini akan
diuraikan beberapa konsepsi mengenai sistem pertanggungjawban pidana korporasi.
181
1 Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab;
2 Korporasi sebagai pembuat, dan penguruslah yang bertanggung jawab. 3 Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.
RUU KUHP 2004 juga mengadopsi konsepsi yang sama dengan yang diutarakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagaimana dimuat didalam pasal 47
RUU KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan sifat
pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan sebagai berikut:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu
penguruslah yang bertanggung jawab;
180
Ibid Hal. 103-104.
181
Muladi Dwija Prijatno, Op.Cit. Hal. 67 - 68
Universitas Sumatera Utara
b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung
jawab; atau c.
Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Konsepsi yang sedikit berbeda disampaikan oleh Sutan Remy dalam bukunya Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Remy mengkonsepsikan
adanya empat kemungkinan sistem pertanggungjawaban korporasi, yaitu:
182
1 Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
2 Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
3 Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
4 Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban
tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana.
Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat
182
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam
pidana dan dipidana.
183
Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan natuurlijk
persoon . Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan
korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Sistem ini membedakan ”tugas mengurus” dari pengurus.
184
KUHP menganut sistem yang pertama. KUHP menganut pendirian bahwa oleh karena korporasi tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan yang
merupakan tindak pidana dan tidak dapat memiliki kalbu yang salah guilty mind, tetapi yang melakukan perbuatan tersebut adalah pengurus korporasi yang
didalam melakukan perbuatan itu dilandasi oleh sikap kalbu tertentu baik yang berupa kealpaan atau kesengajaan, maka pengurus dari korporasi itulah yang
harus memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya sekalipun perbuatannya itu dlakukan untuk dan atas nama korporasi yang
dipimpinnya.
185
Dengan kata lain, KUHP tidak menganut pendirian bahwa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Pendirian KUHP yang menganut sistem
yang pertama sejalan atau sebagai konsekuensi dari pendirian KUHP bahwa hanya manusia yang merupakan subjek tindak pidana. Hal tersebut tampak pada
pasal 59 KUHP Dalam hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana
183
Muladi Dwija Prijatno, Op.Cit. Hal. 68
184
Setiyono, Op.Cit. Hal. 12
185
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 59
Universitas Sumatera Utara
terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, yang ternyata tidak
ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana . Tidak demikian halnya
dengan berbagai undang-undang diluar KUHP selain manusia, korporasi juga dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Atau dengan kata lain, korporasi
dapat dipidana.
186
Bila dihubungkan dengan tahap-tahap perkembangan korporasi, merupakan tahap pertama, yaitu pertanggungjawaban korporasi belum dikenal,
karena pengaruh yang sangat kuat dari asas ”societas delinquere non potest” yaitu bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas
”universitas delinquere non potest” yang artinya badan hukum korporasi tidak dapat dipidana.
187
Sedangkan fiksi badan hukum rechtpersoon yang dipengaruhi pemikiran von Savigny yang terkenal dengan teori fiksi fiction theory tidak
diakui dalam hukum pidana. Sebab, pemerintah Belanda pada waktu itu tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum pidana.
188
Sistem pertanggungjawaban korporasi yang kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak
pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha korporasi, akan tetapi tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum korporasi
tersebut. Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan
apabila melalaikan memimpin korporasi secara sesungguhnya. Dalam sistem
186
Ibid. Hal. 59
187
Muladi Dwija Prijatno, Op.Cit.Hal. 70
188
Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 30
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban ini, korporasi dapat menjadi pembuat tindak pidana, akan tetapi yang bertanggung jawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan
dalam peraturan itu.
189
Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab, maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk
sebagai yang bertanggung jawab; yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang
berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari
badan hukum tesebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah ”onpersoonlijk”. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab
pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Roeslan Saleh, sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwija Prijatno, menyatakan
setuju bahwa prinsip ini hanya berlaku untuk pelanggaran saja. Contoh dari peraturan yang mengadopsi konsepsi seperti ini adalah Undang-Undang No. 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, pasal 27 ayat 1 berbunyi ”Jika sesuatu hal yang diancam dengan hukuman dalam undang-
undang ini dilakukan oleh badan hukum atau perserikatan, maka tuntutan ditujukan atau hukuman dijatuhkan terhadap pengurus atau pemimpin badan
hukum atau perserikatan itu.
190
Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka
189
Setiyono, Op.Cit. Hal. 13-14
190
Muladi Dwija Prijatno, Loc.Cit Hal. 70
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang dapat dipakai sebagai dasar pembenar atau alasan-
alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggung jawab dalah sebagai berikut: pertama, karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan
fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat sedemikian besar sehingga tidak akan mungkin seimbang
bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua, dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak
akan mengulangi tindak pidana lagi. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan berat sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapat menaati
peraturan yang bersangkutan.
191
1 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut
maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu
atau terhadap kedua-duanya. Peraturan perundang-undangan yang mengadopsi konsepsi ini salah
satunya adalah UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 46 UU tersebut berbunyi sebagai berikut:
191
Setiyono, Op.Cit. Hal. 14-15
Universitas Sumatera Utara
2 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau
atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan
pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat
apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau
bersama-sama. 3
Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan
surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
4 Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri
di pengadilan.
Berkaitan dengan sistem keempat sebagaimana yang disampaikan oleh Sutan Remy, dimana yang bertanggung jawab ketika dilakukannya suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah korporasi beserta pengurus
Universitas Sumatera Utara
korporasinya. Ada beberapa alasan yang digunakan Remy berkaitan dengan konsepsinya tersebut, antara lain:
192
1. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena
pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau
menghindarkan mengurangi kerugian finansial bagi korporasi. 2. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi
sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap ”lempar batu sembunyi
tangan ”. Dengan kata lain, pengurus akan selalu dapat berlindung di balik
punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih bahwa perbuatannya itu bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan
untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi.
3. Pembebebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin secara vikarius, atau bukan langsung Doctrine of vicrious liability,
pertanggungjawaban atas tidak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibebankan kepada pihak lain. Dalam hal pertanggungjawaban pidana,
korporasi dialihkan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin
dilakukan secara vikarius karena korporasi tidak mungkin dapat melakukan
192
Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 162-163
Universitas Sumatera Utara
sendiri suatu perbuatan hukum. Artinya, segala perbuatan hukum yang benar atau yang salah, baik dalam lapangan keperdataan maupun yang diatur oleh
ketentuan pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi.
Dalam hal perbuatan hukum itu merupakan tindak pidana, actus reus tindak pidana itu dilakukan oleh manusia pelaku tindak pidana itu pengurus .
Dengan mendasarkan pada pemahaman atas kenyataan yang demikian itu, maka tidak seyogianya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut adalah
bahwa hanya korporasi yang harus memikul pertanggungjawaban pidana sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi,harus terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa tindak pidana tersebut benar telah dilakukan oleh pengurus
korporasi dan sikap kalbu pengurus dalam melakukan tindak pidana itu adalah benar bersalah dan karena itu pengurus yang bersangkutan harus bertanggung
jawab atas tindak pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab atas tindak
pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak
pidana dan harus bertanggung jawab secara pidana, maka pertanggungjawaban pidana itu dapat dibebankan secara vikarius kepada
korporasi. Tanpa terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa pengurus memang benar telah melakukan tindak pidana dan memang benar pengurus tersebut
memiliki sikap kalbu yang bersalah dalam melakukan tindak pidan itu, tidak
Universitas Sumatera Utara
mungkin dapat dilakukan pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi yang dipimpin oleh pengurus tersebut.
Remy menambahkan bahwa apabila sistem yang diberlakukan bukan sistem yang ke empat, yaitu membebankan pertanggungjawaban pidana baik
kepada korporasi yang melakukan tindak pidana maupun membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi, maka kemungkinan
lain yang dapat terjadi adalah manusia pelakunya pengurus korporasi yang harus memikul pertanggungjawaban pidana sedangkan korporasinya bebas. Ini adalah
sistem yang dianut oleh KUHP yang berlaku sekarang, yang justru ingin ditinggalkan. Namun tidak mungkin memberlakukan yang sebaliknya, yaitu
membebankan pertanggungjawaban pidana hanya kepada korporasi sedangkan manusia pelakunya bebas. Hal ini bertentangan dengan sifat pembebanan
pertanggungjawaban pidana secara vikarius. Kondisi seperti ini jelas bertentangan pula dengan asas bahwa korporsi tidak dapat bertindak sendiri tetapi harus melalui
pengurusnya
193
193
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
BAB III ASPEK HUKUM PIDANA KORPORASI DALAM PERISTIWA
LUMPUR PANAS DI SIDOARJO
A. Profile Lapindo Brantas Inc.