Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar AlamPangandaran Jawa Barat

(1)

STUDI KOHABITASI MONYET EKOR PANJANG

DENGAN LUTUNG DI CAGAR ALAM PANGANDARAN

JAWA BARAT

YOHAN HENDRATMOKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat“ adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009 Yohan Hendratmoko NRP. E351070101


(3)

ABSTRACT

YOHAN HENDRATMOKO. Study of Cohabitation Long-tailed Macaque and

Silver Leaf Monkey in Pangandaran Nature Reserve, West Java. Under supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and YANTO SANTOSA.

This study searched degree of space utilization and dietary overlap between long-tailed macaque (Macaca fascicularis) and silver leaf monkey (Trachypithecus auratus) was conducted in Pangandaran Nature Reserve (PNR). The aim of the study

is 1). to estimate the niche overlap in space utilization between long-tailed macaque and silver leaf monkey and, 2). to estimate the degree of dietary overlap between long-tailed macaque and silver leaf monkey. This research also evaluated food-niche differentiation among these cohabiting primates and how niche separation influence interspecific relationships.

Collecting data was conducted by using focal animal sampling based on sex and age structure. Field data was collected from January to April 2009 by direct observation. Tools used in research consisted of digital map of PNR, binoculars, digital camera, phi-ban, hagameter, GPS receiver, stopwatch, and tallysheet.

This research found that cohabiting primates’ home range overlap is 54,10% and vertical stratification overlap is 17,38% with Simplified Morista’s Index 0,58. Moreover, this research found that dietary overlap between them is 48,45% with Simplified Morista’s Index 0,47.

Key words : cohabiting species, long-tailed macaque, silver leaf monkey, niche separation, Pangandaran Nature Reserve


(4)

RINGKASAN

YOHAN HENDRATMOKO.Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di

Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan YANTO SANTOSA.

Informasi tentang penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber pakan spesies yang berkohabitasi sangat penting bagi konservasi satwa liar. Studi primata telah berhasil menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan pemanfaatan habitat dalam relung. Penelitian ini bertujuan untuk 1). mengkaji besarnya tumpang tindih penggunaan ruang dan, 2). mengkaji tingkat kesamaan pemanfaatan jenis tumbuhan pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung di Cagar Alam Pangandaran (CAP).

Penelitian yang berlangsung dari Bulan Januari sampai dengan Bulan April 2009 ini juga menyajikan derajat asosiasi interspesifik antara monyet ekor panjang dengan lutung berdasarkan Indeks Jaccard. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara terstruktur dengan petugas lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu focal animal sampling pada 28 individu

dalam 4 koloni monyet ekor panjang dan 22 individu dalam 4 koloni lutung di CAP. Unit contoh penelitian ini adalah pohon yang digunakan oleh monyet ekor panjang, lutung dan digunakan oleh keduanya. Alat dan bahan yang digunakan antara lain peta CAP, 1 buah kompas Shunto, 1 buah teropong binokuler 8x21 Konica, 1 buah

hagameter, 1 buah GPSreceiver Garmin Maps 76 CSX, 1 buah pita meter, 2 buahphi ban, 1 buah kamera digital Olympus E420, 1 buah stopwatch, tali rafia, 1 botol

alkohol 70%, kertas koran, sasak, 1 buah gunting, label gantung, alat tulis,tally sheet,

bagian tumbuhan yang tidak teridentefikasi, perangkat lunak Arcview 3.3 dan SPSS 16.0for Windows.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat kohabitasi antara monyet ekor panjang dengan lutung dengan tumpang tindih wilayah jelajah sebesar 54,10% dan tumpang tindih penggunaan ruang secara vertikal yaitu 17,38% dengan Indeks Morisita sebesar 0,58. Terdapat kesamaan jenis tumbuhan sumber pakan yaitu 48,45% dengan Indeks Morisita sebesar 0,47.

Kata kunci : Kohabitasi, relung, monyet ekor panjang, lutung, Cagar Alam Pangandaran


(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

STUDI KOHABITASI MONYET EKOR PANJANG

DENGAN LUTUNG DI CAGAR ALAM PANGANDARAN

JAWA BARAT

YOHAN HENDRATMOKO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

Judul Penelitian : Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat

Nama : Yohan Hendratmoko NRP : E351070101

Mayor : Konservasi Biodiversitas Tropika

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA NIP. 196602211991031001 NIP. 131430800

Diketahui,

Koordinator Mayor Dekan

Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof.Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS NIP. 194802081980011001 NIP. 195604041980111002


(8)

HALAMAN PERSEMBAHAN


(9)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Baik atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat” ini. Penyusunan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pada tesis ini diuraikan tentang besarnya tumpang tindih penggunaan ruang baik secara vertikal maupun horizontal dan kesamaan pemanfaatan spesies tumbuhan pakan monyet ekor panjang dengan lutung di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat. Selain itu disajikan pula perbedaan relung dan pengaruh pemisahan relung terhadap asosiasi interspesifik diantara kedua primata yang berkohabitasi tersebut.

Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Departemen Kehutanan atas ijin dan beasiswanya. Untuk teman seperjuangan (Andi, Pak Aswan, Dewi, Glen, Imanudin, Bu Meri, Bu Rosa, Tedi, Toto dan Bu Yayuk) terima kasih atas guyonan dan kelakarnya. Semoga potongan-potongan puzzle yang telah kita

susun bersama menjadi sebuahmozaikyang apik dan harmonis dalam ikatan keluarga

besar Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Angkatan I. Kepada Pak Sopwan, Bu Irma dan Pak Ismail terima kasih untuk bantuannya serta untuk Bi Uum terima kasih atas segelas kopinya yang menyegarkan.

Tak lupa pula penulis sampaikan terima kasih kepada Babe “Ketua Panti Asuhan” sekeluarga di Pangandaran yang telah sudi menampung penulis selama pengambilan data lapangan. Kepada teman-teman di Resort Pangandaran (Pak Yana, Pak Syamsudin, Pak Asep Wawan, Pak Kusnadi, Pak Rahmat, Mas Yudi dan Mas Encek) terima kasih atas persahabatannya, kapan FC lagi?. Untuk Pak Kusai terima kasih banyak telah setia mendampingi penulis “menggembala” monyet ekor panjang dan lutung.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing Dr. Ir. Agus P Kartono, MSi dan Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA atas waktu, masukan, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan tesis ini.

Terima kasih yang tulus dan khusus penulis sampaikan kepada istri tercinta “Uthie” Nur Prapti Ahadiati yang telah mengiklaskan sebagian waktunya selama


(10)

penyelesaian tesis ini. Seperti harmoninya sandal jepit, keluarga adalah keindahan sederhana dalam sebuah perbedaan. Kepada orang tuaku tercinta Bapak Haryandoko (Alm) dan Ibu Kas Setyanah serta adik-adik tersayang, terima kasih banyak atas dukungan dan doa yang selalu diberikan.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2009 Penulis,

Yohan Hendratmoko


(11)

STUDI KOHABITASI MONYET EKOR PANJANG

DENGAN LUTUNG DI CAGAR ALAM PANGANDARAN

JAWA BARAT

YOHAN HENDRATMOKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PERNYATAAN

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat“ adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009 Yohan Hendratmoko NRP. E351070101


(13)

ABSTRACT

YOHAN HENDRATMOKO. Study of Cohabitation Long-tailed Macaque and

Silver Leaf Monkey in Pangandaran Nature Reserve, West Java. Under supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and YANTO SANTOSA.

This study searched degree of space utilization and dietary overlap between long-tailed macaque (Macaca fascicularis) and silver leaf monkey (Trachypithecus auratus) was conducted in Pangandaran Nature Reserve (PNR). The aim of the study

is 1). to estimate the niche overlap in space utilization between long-tailed macaque and silver leaf monkey and, 2). to estimate the degree of dietary overlap between long-tailed macaque and silver leaf monkey. This research also evaluated food-niche differentiation among these cohabiting primates and how niche separation influence interspecific relationships.

Collecting data was conducted by using focal animal sampling based on sex and age structure. Field data was collected from January to April 2009 by direct observation. Tools used in research consisted of digital map of PNR, binoculars, digital camera, phi-ban, hagameter, GPS receiver, stopwatch, and tallysheet.

This research found that cohabiting primates’ home range overlap is 54,10% and vertical stratification overlap is 17,38% with Simplified Morista’s Index 0,58. Moreover, this research found that dietary overlap between them is 48,45% with Simplified Morista’s Index 0,47.

Key words : cohabiting species, long-tailed macaque, silver leaf monkey, niche separation, Pangandaran Nature Reserve


(14)

RINGKASAN

YOHAN HENDRATMOKO.Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di

Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan YANTO SANTOSA.

Informasi tentang penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber pakan spesies yang berkohabitasi sangat penting bagi konservasi satwa liar. Studi primata telah berhasil menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan pemanfaatan habitat dalam relung. Penelitian ini bertujuan untuk 1). mengkaji besarnya tumpang tindih penggunaan ruang dan, 2). mengkaji tingkat kesamaan pemanfaatan jenis tumbuhan pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung di Cagar Alam Pangandaran (CAP).

Penelitian yang berlangsung dari Bulan Januari sampai dengan Bulan April 2009 ini juga menyajikan derajat asosiasi interspesifik antara monyet ekor panjang dengan lutung berdasarkan Indeks Jaccard. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara terstruktur dengan petugas lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu focal animal sampling pada 28 individu

dalam 4 koloni monyet ekor panjang dan 22 individu dalam 4 koloni lutung di CAP. Unit contoh penelitian ini adalah pohon yang digunakan oleh monyet ekor panjang, lutung dan digunakan oleh keduanya. Alat dan bahan yang digunakan antara lain peta CAP, 1 buah kompas Shunto, 1 buah teropong binokuler 8x21 Konica, 1 buah

hagameter, 1 buah GPSreceiver Garmin Maps 76 CSX, 1 buah pita meter, 2 buahphi ban, 1 buah kamera digital Olympus E420, 1 buah stopwatch, tali rafia, 1 botol

alkohol 70%, kertas koran, sasak, 1 buah gunting, label gantung, alat tulis,tally sheet,

bagian tumbuhan yang tidak teridentefikasi, perangkat lunak Arcview 3.3 dan SPSS 16.0for Windows.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat kohabitasi antara monyet ekor panjang dengan lutung dengan tumpang tindih wilayah jelajah sebesar 54,10% dan tumpang tindih penggunaan ruang secara vertikal yaitu 17,38% dengan Indeks Morisita sebesar 0,58. Terdapat kesamaan jenis tumbuhan sumber pakan yaitu 48,45% dengan Indeks Morisita sebesar 0,47.

Kata kunci : Kohabitasi, relung, monyet ekor panjang, lutung, Cagar Alam Pangandaran


(15)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(16)

STUDI KOHABITASI MONYET EKOR PANJANG

DENGAN LUTUNG DI CAGAR ALAM PANGANDARAN

JAWA BARAT

YOHAN HENDRATMOKO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(17)

Judul Penelitian : Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat

Nama : Yohan Hendratmoko NRP : E351070101

Mayor : Konservasi Biodiversitas Tropika

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA NIP. 196602211991031001 NIP. 131430800

Diketahui,

Koordinator Mayor Dekan

Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof.Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS NIP. 194802081980011001 NIP. 195604041980111002


(18)

HALAMAN PERSEMBAHAN


(19)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Baik atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat” ini. Penyusunan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pada tesis ini diuraikan tentang besarnya tumpang tindih penggunaan ruang baik secara vertikal maupun horizontal dan kesamaan pemanfaatan spesies tumbuhan pakan monyet ekor panjang dengan lutung di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat. Selain itu disajikan pula perbedaan relung dan pengaruh pemisahan relung terhadap asosiasi interspesifik diantara kedua primata yang berkohabitasi tersebut.

Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Departemen Kehutanan atas ijin dan beasiswanya. Untuk teman seperjuangan (Andi, Pak Aswan, Dewi, Glen, Imanudin, Bu Meri, Bu Rosa, Tedi, Toto dan Bu Yayuk) terima kasih atas guyonan dan kelakarnya. Semoga potongan-potongan puzzle yang telah kita

susun bersama menjadi sebuahmozaikyang apik dan harmonis dalam ikatan keluarga

besar Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Angkatan I. Kepada Pak Sopwan, Bu Irma dan Pak Ismail terima kasih untuk bantuannya serta untuk Bi Uum terima kasih atas segelas kopinya yang menyegarkan.

Tak lupa pula penulis sampaikan terima kasih kepada Babe “Ketua Panti Asuhan” sekeluarga di Pangandaran yang telah sudi menampung penulis selama pengambilan data lapangan. Kepada teman-teman di Resort Pangandaran (Pak Yana, Pak Syamsudin, Pak Asep Wawan, Pak Kusnadi, Pak Rahmat, Mas Yudi dan Mas Encek) terima kasih atas persahabatannya, kapan FC lagi?. Untuk Pak Kusai terima kasih banyak telah setia mendampingi penulis “menggembala” monyet ekor panjang dan lutung.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing Dr. Ir. Agus P Kartono, MSi dan Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA atas waktu, masukan, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan tesis ini.

Terima kasih yang tulus dan khusus penulis sampaikan kepada istri tercinta “Uthie” Nur Prapti Ahadiati yang telah mengiklaskan sebagian waktunya selama


(20)

penyelesaian tesis ini. Seperti harmoninya sandal jepit, keluarga adalah keindahan sederhana dalam sebuah perbedaan. Kepada orang tuaku tercinta Bapak Haryandoko (Alm) dan Ibu Kas Setyanah serta adik-adik tersayang, terima kasih banyak atas dukungan dan doa yang selalu diberikan.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2009 Penulis,

Yohan Hendratmoko


(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1978 di Desa Piyono, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Haryandoko (Alm) dan Ibu Kas Setyanah. Pada tahun 1990 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Piyono-Purworejo, tahun 1993 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Grabag-Purworejo. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri I Purworejo dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Universitas Gadjah Mada. Penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2001.

Sejak tahun 2002 sampai sekarang penulis bekerja di Taman Nasional Kerinci Seblat sebagai Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Pada tahun 2007 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Departemen Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Fakultas Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB, penulis melakukan penelitian tentang “Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi sebagai Ketua dan Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA sebagai Anggota Komisi Pembimbing.


(22)

(i)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vii I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan ... 2 C. Manfaat Penelitian ... 2 D. Kerangka Pemikiran ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Taksonomi dan Morfologi ... 6 B. Habitat ... 8 C. Penyebaran ... 10 D. Teritori dan Wilayah Jelajah ... 12 E. Pakan ... 13 F. Perilaku dan Kohabitasi ... 16

III. KONDISI UMUM WILAYAH ... 21

A. Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan ... 21 B. Kondisi Fisik Kawasan ... 22 1. Topografi ... 22 2. Geologi dan Tanah ... 22 3. Iklim ... 23 4. Hidrologi ... 23 5. Aksesibilitas ... 23 C. Ekosistem dan Kondisi Biologis Kawasan ... 24 1. Ekosistem ... 24 2. Kondisi Biologis ... 24

IV. METODE PENELITIAN ... 26

A. Lokasi dan Waktu ... 26 B. Alat dan Bahan Penelitian ... 26 C. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 26 D. Metode Pengumpulan Data ... 26 1. Penggunaan Ruang ... 27 2. Tumbuhan Sumber Pakan ... 28 3. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi ... 28 E. Analisis Data ... 29 1. Penggunaan Ruang ... 29 2. Derajat Asosiasi dan Tumpang Tindih Relung ... 30 3. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi ... 31


(23)

(ii)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Penggunaan Ruang ... 32 1. Penggunaan Ruang secara Horizontal ... 32 2. Penggunaan Ruang secara Vertikal ... 40 3. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi ... 61 B. Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan... 63

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 75 DAFTAR PUSTAKA ... 76 LAMPIRAN ... 84


(24)

(iii)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Luas wilayah jelajah setiap koloni monyet ekor panjang di CAP... 33 2. Ukuran populasi masing-masing koloni monyet ekor panjang ... 33 3. Luas wilayah jelajah setiap koloni lutung di CAP... 36 4. Ukuran populasi masing-masing koloni lutung ... 37 5. Luas tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung... 39 6. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang pada pohon

berdasarkan frekuensi... 46 7. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang pada pohon ... 47 8. Posisi ketinggian aktivitas harian lutung pada pohon berdasarkan

frekuensi... 55 9. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas lutung pada pohon ... 55 10. Pengasuhan bersama anak lutung dalam koloni... 60 11. Persentase posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dan lutung

pada strata tajuk berdasarkan frekuensi... 60 12. Rata-rata peubah pohon bersama antara monyet ekor panjang dengan lutung ... 63

13. Persentase bentuk tajuk dan keberadaan pakan pohon yang digunakan antara

monyet ekor panjang dengan lutung... 64 14. Derajat asosiasi jenis pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung... 70


(25)

(iv)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Morfologi monyet ekor panjang ... 6 2. Morfologi lutung ... 7 3. Peta sebaran lutung di Pulau Jawa ... 11 4. Peta CA-TWA Pangandaran ... 21 5. Peta wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang... 35 6. Peta wilayah jelajah koloni lutung... 38 7. Peta tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan

lutung ... 40 8. Persentase penggunaan pohon untuk beraktivitas monyet ekor panjang... 42 9. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Cihaur

berdasarkan kelas umur... 43 10. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Goa

Cirengganis berdasarkan kelas umur... 43 11. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Pasir

Putih Utara berdasarkan kelas umur... 44 12. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Pasir

Putih Selatan berdasarkan kelas umur ... 45 13. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang

berdasarkan koloni ... 46 14. Aktivitas sosial monyet ekor panjang ... 48 15. Lutung istirahat ... 48 16. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian monyet ekor panjang ... 49 17. Monyet minum air sungai ... 50 18. Monyet menggendong anak... 50 19. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian monyet ekor panjang

berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin ... 50 20. Persentase penggunaan pohon untuk beraktivitas lutung... 51 21. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Cihaur

berdasarkan kelas umur... 52 22. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Goa

Cirengganis berdasarkan kelas umur... 52 23. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Pasir Putih


(26)

(v)

24. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Pasir Putih

Selatan berdasarkan kelas umur ... 54 25. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung berdasarkan koloni... 54 26. Lutung makan daun kopeng... 57 27. Lutung istirahat ... 57 28. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian lutung ... 58 29. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian lutung berdasarkan kelas

umur dan jenis kelamin ... 59 30. Pengasuhan bersama anak lutung... 59 31. Kiara karet digunakan lutung bersama monyet ekor panjang ... 64 32. Kipapeteh digunakan lutung bersama monyet ekor panjang... 64 33. Buah kikores ... 65 34. Buah tangoli... 65 35. Monyet makan bunga dan buah laban... 67 36. Buah jejerukan ... 67 37. Aktivitas gerak dan istirahat lutung di tanah... 69 38. Pengambilan data analisis vegetasi pada wilayah jelajah lutung... 69 39. Daun dan pucuk kondang... 70 40. Buah kimokla... 70 41. Pohon ketapang tertekan ... 73 42. Pohon kopeng tertekan... 73


(27)

(vi)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Analisis vegetasi wilayah jelajah monyet ekor panjang ... 86 2. Analisis vegetasi pada wilayah jelajah lutung …………... 88 3. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang

dengan lutung pada pohon... 91 4. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan makan

pada monyet ekor panjang... 92 5. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan makan

pada monyet ekor panjang... 93 6. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan sosial

pada monyet ekor panjang... 94 7. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan istirahat

pada monyet ekor panjang... 95 8. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan sosial

pada monyet ekor panjang... 96 9. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas istirahat dengan sosial

pada monyet ekor panjang... 97 10. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan makan

pada lutung... 98 11. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan istirahat

pada lutung... 99 12. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan sosial

pada lutung... 100 13. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan istirahat

pada lutung... 101 14. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan sosial

pada lutung... 102 15. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas istirahat dengan sosial

pada lutung... 103 16. Analisis vegetasi pada daerah tumpang tindih wilayah jelajah monyet

ekor panjang dengan lutung... 104 17. Penghitungan tumpang tindih posisi ketinggian aktivitas monyet ekor

panjang dan lutung pada pohon... 107 18. Daftar spesies tumbuhan pakan monyet ekor panjang dan lutung... 109 19. Penghitungan kesamaan tumbuhan pakan antara monyet ekor panjang


(28)

(vii)

20. Analisis vegetasi daerah yang tidak terdapat monyet ekor panjang dan

lutung... 119 21. Analisis vegetasi tingkat semai kawasan Cagar Alam Pangandaran... 122 22. Analisis vegetasi tingkat pancang kawasan Cagar Alam Pangandaran... 124 23. Analisis vegetasi tingkat tiang kawasan Cagar Alam Pangandaran ... 126 24. Analisis vegetasi tingkat pohon kawasan Cagar Alam Pangandaran... 127 25. Analisis vegetasi tingkat semak, perdu dan liana kawasan Cagar Alam


(29)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nilai yang terkandung pada ekologi satwaliar adalah pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan pakan dan perilaku spesies yang berkohabitasi dalam suatu komunitas. Teori relung menyatakan bahwa spesies yang berkohabitasi beradaptasi untuk menghindari atau mengurangi persaingan interspesifik dalam memanfaatkan sumberdaya yang terbatas (Pianka 1981). Akan tetapi hal tersebut masih sulit dipelajari, misalnya mekanisme pembagian sumberdaya dan bagaimana pengaruh persaingan interspesifik terhadap relung suatu spesies (Walter 1991). Meskipun sulit, ketertarikan pada teori relung mendorong banyaknya penelitian tentang bagaimana perbedaan eksploitasi sumberdaya dalam suatu komunitas oleh spesies-spesies berkohabitasi. Spesies-spesies yang berkohabitasi membagi sumberdaya seperti dalam bentuk perbedaan pemanfaatan ruang dalam habitat (Vrcibradic & Rocha 1996), metode pencarian pakan (Slater 1994), pemilihan pakan (Luiselliet al. 1998), dan pola aktivitas (Wright 1989).

Primata adalah subyek penting dalam mempelajari relung karena kemudahan dalam mengumpulkan data perilaku makan dan strategi pencarian pakan secara detail dan lama. Studi tentang primata telah berhasil menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan pemanfaatan habitat dalam relung (Ungar 1995). Spesies primata membedakan pakannya seperti frugifory dan folyvory (Clutton-Brock & Harvey 1977), namun sering juga perbedaan pakan karena alasan lainnya. Sebagai contoh, buah-buahan dipilih primata berdasarkan kemasakannya, ukuran, keasaman dan komposisi kimiawinya (Ungar 1995). Selain itu ukuran tubuh juga menjadi faktor penting dalam pemilihan pakan (Kay 1984)

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung (Trachypithecus auratus) adalah spesies yang berkohabitasi di Cagar Alam dan Taman Wisata

Alam Pangandaran (CA TWAP). Pada primata yang berkohabitasi, persaingan intraspesifik pencarian pakan berkembang seiring dengan semakin besarnya koloni melalui persaingan interferensi (Isbell 1991). Namun data tentang pengaruh eksploitasi pada persaingan spesies yang berkohabitasi masih sangat


(30)

2 sedikit (Connell 1983). Oleh karena itu penelitian tentang kohabitasi monyet ekor panjang dan lutung di CAP sangat penting dilakukan. Data dan informasi tentang penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber pakan spesies yang berkohabitasi sangat penting bagi konservasi satwa liar (Singh et al. 2000) dan pengelolaan

kawasan konservasi secara menyeluruh (integrated). Pengelolaan kawasan

konservasi secara menyeluruh lebih menguntungkan daripada pengelolaan secara parsial, diantaranya yaitu keuntungan secara ekologi, ekonomi dan manajemen (Forsythet al.2000).

B. Tujuan

Penelitian tentang kohabitasi monyet ekor panjang dengan lutung di CAP, Jawa Barat bertujuan untuk:

a) Menduga besarnya tumpang tindih penggunaan ruang antara monyet ekor panjang dengan lutung,

b) Menduga tingkat kesamaan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengelolaan kawasan konservasi CA TWA Pangandaran dan pengembangan ilmu pengetahuan, terutama untuk :

a). Pembinaan habitat monyet ekor panjang dan lutung,

b). Perancangan pengelolaan kawasan konservasi CA dan TWA Pangandaran untuk melestarikan spesies dan populasi berbagai jenis satwaliar.

D. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini mengkaji kohabitasi monyet ekor panjang dengan lutung. Kajian ini penting karena di kawasan CAP kedua primata ini secara umum mempunyai kesamaan sumber pakan dan penggunaan habitat secara bersama yang berimbas pada konservasi sumberdaya. Interaksi interspesifik diantara keduanya seperti persaingan dalam memanfaatkan sumber pakan dan pembagian sumberdaya menjadi salah satu isu perdebatan tentang teori ekologi dan praktek pengelolaan satwaliar.


(31)

3 Kohabitasi yang berlangsung lama akan menimbulkan terjadinya proses seleksi alami yang mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian ekologis spesies dalam komunitas. Akibat selanjutnya adalah terjadinya pemisahan relung (Pianka 1988). Kohabitasi memaksa spesies beradaptasi terhadap lingkungannya untuk mengurangi atau menghindari persaingan interspesifik pada sumberdaya yang terbatas (Pianka 1981). Persaingan penggunaan habitat, termasuk ruang fisik dan peran fungsional pada komunitas, serta posisi di dalam gradien suhu, kelembaban, pH, tanah dan keadaan lainnya disebut relung ekologi (Odum 1971). Grinnell (1928) menyatakan bahwa tidak mungkin dua spesies yang hidup bersama pada suatu habitat dapat menempati relung ekologi yang identik dalam waktu yang lama. Fleagle (1978) menyatakan bahwa relung ekologi kebanyakan merupakan pemanfaatan mikrohabitat oleh suatu spesies yang disebut relung ruang (spatial niche). Studi tentang ekologi satwaliar dipandang penting karena membandingkan

segala hal yang berhubungan dengan makanan dan perilaku spesies yang berkohabitasi pada kondisi lingkungan yang mirip (Porter 2001).

Penelitian ini berusaha mengukur besarnya tumpang tindih penggunaan ruang baik secara horizontal maupun vertikal dan mengkaji tingkat kesamaan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung. Kohabitasi menyebabkan kedua primata ini akan menghindari persaingan atau meningkatkan efisiensi pada area tumpang tindih penggunaan ruang dan kesamaan tumbuhan sumber pakan dengan cara segregasi relung. Pada kasus ini, pemisahan relung dapat menurunkan tingkat kompetisi dan meningkatkan kesempatan kedua primata yang berkohabitasi ini untuk memanfaatkan area tumpang tindih wilayah jelajah tersebut (Garcia & Arroyo 2005).

Sumberdaya yang terbatas mendorong kedua primata yang berkohabitasi ini bergantian untuk memanfaatkannya secara efektif dan efisien. Oleh karena itu untuk pemanfaatan sumberdaya oleh kedua primata ini maka dilakukan pengamatan langsung dengan metode focal animal sampling. Metode ini

diterapkan pada kedua primata ini dengan melakukan penandaan pada sumberdaya yang dimanfaatkannya. Penandaan ini bertujuan untuk mengetahui sumberdaya yang dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang, lutung atau dimanfaatkan oleh keduanya. Sumberdaya atau unit contoh yang diamati dalam


(32)

4 penelitian ini adalah pohon. Pohon dimanfaatkan oleh kedua primata ini sebagai sarana penggunaan ruang baik secara horizontal maupun vertikal dan juga sebagai tumbuhan sumber pakan. Data tentang jenis-jenis pohon yang digunakan oleh monyet ekor panjang, lutung atau digunakan secara bersama berguna bagi pengelolaan kawasan konservasi CAP beserta isinya.


(33)

13 Taman Nasional Alas Purwo pada Resor Rowobendo adalah 27,71 ha, Trianggulasi 23,64 ha dan Pura Giri Salaka 20,84 ha. Hal ini menunjukkan bahwa luas wilayah jelajah monyet ekor panjang di CAP relatif lebih kecil.

2. Lutung

Luas wilayah jelajah lutung di TWAP adalah 4,7–8,8 ha (Brotoisworo & Dirgayusa 1991, Megantara & Dirgayusa 1992) sedangkan menurut Husodo & Megantara (2002), luas wilayah jelajah lutung di TWAP sebesar 2,78–6,67 ha atau rata-rata 3,46 ha. Berdasarkan hal tersebut maka luas wilayah jelajah lutung di TWAP mengalami penurunan. Apabila dibandingkan dengan luas wilayah jelajah lutung di kawasan hutan jati Jawa Tengah sebesar 32-43 ha (Djuwantoko 1994) maka luas wilayah jelajah lutung tersebut sangatlah kecil.

E. Pakan

Primata membedakan pakannya dalam secara luas seperti frugivory dan folivory (Cluton Brock & Harvey 1977) namun sering kali lebih detil. Sebagai contoh buah-buahan mungkin dipilih sebagai pakan karena tingkat kemasak-kannya, ukuran, keasaman, kandungan kimiawi (Ungar 1995), ukuran butiran dan penyebarannya (Peres 1996). Ukuran tubuh juga menjadi faktor utama dalam pemilihan pakan. Satwa bertubuh kecil yang membutuhkan pakan berenergi tinggi cenderung lebih banyak makan serangga, sedangkan satwa yang bertubuh besar yang memerlukan pakan berenergi rendah cenderung memakan dedaunan (Kay 1984).

1. Monyet Ekor Panjang

Monyet ekor panjang lebih bersifat omnivora daripada lutung. Monyet ekor panjang memakan buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska (Lekagul & Mc Neely 1977). Jenis pakan monyet ekor panjang adalah buah karet (Hevea brasiliensis), pucuk padi (Oryza sativa) dan jagung (Zea mays). Pada daerah rawa mangrove monyet ekor panjang juga merupakan satwa

yang bersifat frugivore–omnivore karena memakan buah Sonneratia spp. dan Nypa fruticansserta kepiting (Crockett & Wilson 1977).


(34)

14 Menurut Lucas & Corlett (1998), monyet ekor panjang dapat membantu penyebaran biji tumbuhan tetapi tergantung dari morfologi biji dan buah itu sendiri. Buah yang berdaging dengan lebar biji sekitar 3-4 mm akan tertelan, karena mulutnya tidak dapat merasakan biji tersebut. Biji yang tercampur dengan dagingnya akan dikunyah dan dimuntahkan setelah bersih. Daun yang umum dimakan oleh monyet ekor panjang di Suaka Alam Bukit Timah Singapura adalah Moraceae (Artocarpus elasticus, Ficus spp. dan Streblus elongatus),

Anacardiaceae (Gluta walichii), Polygalaceae (Xantophyllum maingayi),

Rubiaceae (Urophyllum spp.) dan Symplococaceae (Symplocos fasciculata).

Jenis tumbuhan yang tergolong sering dimakan oleh monyet ekor panjang di Pulau Tinjil adalah peuris (Antidesma montanum), songgom (Melanorhoea walichii), butun (Barringtonia asiatica), waru (Hibiscus tiliaceus), jambu

klampok (Eugenia cymosa), ketapang (Terminalia catapa), kiampelas (Ficus ampelas), kopeng (Ficus variegata) dan kiara (Ficus glomerata). Dari jenis-jenis

tersebut tumbuhan yang paling disukai adalah butun (Barringtonia asiatica),

sedangkan berdasarkan tingkatannya vegetasi yang disukai adalah pada tingkat pancang (Santosa 1996). Menurut Yeager (1976), urutan bagian tumbuhan yang paling banyak dimakan berturut-turut adalah buah, daun dan bunga.

Jenis pohon yang sering dimakan buahnya oleh monyet ekor panjang adalah

Ganua molucana, Diospyros maingayi, Licania splendes, Eugenia sp. dan Lophopetalum javanicum dengan total konsumsi sekitar 86%, kemudian sebagai

pelengkapnya yaitu daun, bunga, insekta, jamur dan lumpur (Wheatley 1974). Menurut Hadinoto (1993), kebutuhan pakan monyet ekor panjang setiap ekor perhari sebanyak 4% dari bobot tubuhnya, serta memerlukan air untuk minum sebanyak 1 liter per ekor setiap harinya. Lawrence (1989) menemukan bahwa buah yang besar oleh monyet akan dimakan langsung tanpa dipetik terlebih dahulu dengan tujuan efisiensi energi. Untuk memperoleh air dalam memenuhi kebutuhannya, selain minum dari sumber air, primata dan burung juga memanfaatkan embun yang menempel pada dedaunan dan air yang menggenang pada batang-batang pohon (Alikodra 1990).


(35)

15

2. Lutung

Jenis pakan lutung terdiri dari 66 jenis tumbuhan, 50% daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga (Supriatna & Hendras 2000). Pakan lutung di CAP 27–37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5– 27% buah mentah dan 10–12% buah masak. Pakan lutung terdiri dari dedaunan baik muda atau tua, buah-buahan baik matang ataupun mentah, bunga, kuncup bunga, dan larva serangga (Kool 1993).

Menurut Kool (1992, 1993) separuh pakan sub spesiesT. auratus sondaicus

terdiri atas dedaunan berprotein tinggi. Daun yang dipilih untuk dikonsumsi yaitu mempunyai kandungan serat rendah dan mudah dicerna. Pucuk daun jati (Tectona grandis) merupakan sumber pakan penting apabila jumlah pakan langka.

Bebuahan juga dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool 1992). Menurut Goltenboth (1976) dan Davies et al. (1988) kadar tanin ini berguna untuk mengurangi kadar

keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Menurut Kool (1993), spesies tumbuhan penting sumber pakan lutung di CAP adalah Ficus sinuata, Ficus sumatrana dan Vitex pinnata. Namun demikian di CAP wisatawan sering

memberikan pakan yang tidak semestinya pada lutung (Watanabeet al. 1996).

Pada komunitas dimana terdapat spesies yang berkohabitasi, seperti monyet ekor panjang dan lutung di CAP, maka terjadi persaingan yang intensif untuk mendapatkan pakan. Seleksi alami mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian ekologis spesies dalam komunitas dan pada akhirnya terjadi pemisahan relung (Pianka 1988)

Pada beberapa primata, persaingan intraspesifik dalam mencari pakan berkembang dengan bertambahnya ukuran kelompok melalui persaingan campur tangan/gangguan (Isbell 1991). Terdapat sedikit data yang tersedia tentang pengaruh persaingan eksploitasi pada spesies yang berkohabitasi (Connell 1981). Teori relung memprediksi bahwa persaingan makan akan mencapai titik tertinggi pada saat makanan kurang dan spesies primata juga akan menunjukkan banyaknya jenis pakan yang berbeda selama periode ini (Schoener 1974).

Meskipun kedekatan hubungan spesies dalam pakan dan pemilihan habitat terbentuk karena ukuran tubuh, morfologi pencernaan/usus dan kemampuan organ


(36)

16 gerak (Clutton-Brock & Harvey 1977), namun pada Callimico goeldii, Saguinus fuscicollis dan S. labiatusmengungkapkan bahwa perbedaan anatomi

menyebab-kan perbedaan dalam adaptasi pencarian mamenyebab-kan yang ditunjukmenyebab-kan dalam jenis pakannya (Fleagle et al. 1997). Perbedaan morfologis tangan diantara spesies

callitrichine direfleksikan dalam bentuk perbedaan strategi dalam pencarian pakan (Bicca-Marques 1999).

F. Perilaku dan Kohabitasi

Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002). Fungsi utama perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978).

Satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdayahabitat, pendeteksian adanya bahaya, dan untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial.

Lutung dan monyet ekor panjang adalah primata yang hidup berkelompok. Lutung adalah satwa arboreal yang beraktivitas pada siang hari (Lekagul & McNeely 1977) dan quadropedal yaitu berjalan, berlari dan bergerak secara

horizontal dan kontinyu menggunakan keempat tungkainya (Fleagle 1978). Kartikasari (1982) menyatakan bahwa lutung hidup berkelompok yang beranggotakan sekitar 10 ekor, yaitu 1 ekor jantan, beberapa betina dewasa, anak dan bayi serta poligami. Menurut Medway (1970) lutung budeng berkelompok dengan anggota 6–23 ekor, dengan 1 ekor jantan dewasa sebagai pemimpin


(37)

17 kelompok. Aldrich-Blake (1980) menyatakan bahwa monyet ekor panjang adalah primata pemakan buah, sering berada di tajuk pohon, hidup berkelompok dan menguasai suatu daerah kecil dekat sungai pada ketinggian kurang dari 300 mdpl. Jumlah individu dalam koloni monyet ekor panjang yaitu 29 ekor (Rowe 1996) sedangkan menurut Sularso (2004) yaitu 39 ekor.

Sistem perkawinan/kekerabatan pada primata berpengaruh pada perbedaan area pencarian pakan yang dimonopoli dengan perilaku teritorial sebagai salah satu bentuk persaingan interfensi, dan juga memungkinkan terjadinya pemisahan area pencarian pakan (Schoener 1993). Membandingkan dua spesies yang secara ekologi mirip namun berbeda ukuran tubuh dan perilaku sosialnya sangat membantu untuk mengetahui pengaruh kebutuhan energi atau dominasi dalam strategi pencarian dan pembagian pakan (Fedrianiet al. 2000). Sistem hierarki dan

teritorialisme pada primata menyebabkan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984). Pada komunitas dimana satwa berkohabitasi maka terjadi interaksi diantaranya (sympatric).Sympatricadalah keadaan dimana suatu populasi spesies

bertemu dan mengalami tumpang tindih (overlap) daerah jelajahnya (Caughley

1984). Tumpang tindih dapat terjadi interaksi ruang, waktu dan sumberdaya dalam suatu habitat. Sebagai contoh adalah interaksi monyet ekor panjang dengan lutung di CAP.

Mekanisme koeksistensi spesies menjadi isu utama dalam ekologi komunitas (Begon et al. 1990). Koeksistensi spesies ini diharapkan dapat

memberikan strategi pembedaan relung, terutama ketika sumberdaya langka. Perbedaan pemilihan sumberdaya merupakan proses dasar peran bersama spesies untuk tetap berkoeksistensi. Pada dekade ini perhatian peneliti terfokus pada interaksi biotik khususnya menerangkan perbedaan penggunaan habitat diantara spesies yang berkoeksistensi (Rosenzweig 1981). Berkurangnya kesamaan relung pakan dapat terjadi karena pembagian pakan menurut tipe suatu ukuran mangsa dan pemisahan area pencarian pakan (Chesson & Huntly 1997). Koeksistensi spesies tergantung pada pembagian sumberdaya sebagai upaya setiap spesies dalam menjamin kelangsungan hidup dan reproduksinya. Koeksistensi atau hidup bersama pada suatu habitat mungkin saja terjadi dimana spesies memanfaatkan


(38)

18 sumberdaya yang sama dan terbatas (Basset 1995). Berdasarkan teori pencarian pakan optimal, Brown (1989) melakukan pendekatan dengan menguji dua spesies yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dan terbatas akhirnya mengetahui bagaimana mekanisme koeksistensi terjadi. Hal tersebut memperkuat pendapat Martin (1986) yang menyatakan bahwa perbedaan pemanfaatan sumberdayaoleh spesies yang berkoeksistensi merupakan refleksi yang berbeda dalam sejarah evolusi. Pada spesies yang berkohabitasi mungkin juga tidak terjadi asosiasi pada skala temporal sehingga tidak terjadi koeksistensi (Kronfeld-Schor & Dayan 2003). Pemisahan relung secara temporal terjadi pada skala diurnal dimana pemisahan puncak aktivitas spesies pesaing pada waktu yang berbeda dalam satu hari (Gutman & Dayan 2005). Pemisahan relung temporal tersebut dapat menyebabkan pemisahan relung antar spesies yang membutuhkan habitat mirip, meskipun hal tersebut secara sejarah kurang mendapat perhatian daripada pemisahan habitat atau preferensi pakan (Schoener 1974).

Salah satu teori relung menyatakan bahwa ketika dua atau lebih spesies yang berkohabitasi, dalam memanfaatkan habitat dan pakan serta mempengaruhi struktur komunitas tidak akan mutlak mirip/sama (Diamond 1978). Pemilihan relung adalah pemanfaatan suatu habitat yang tidak dikuasai oleh pesaing interspesiknya (Boughman et al. 2005). Misalnya, penggunaan ruang secara

vertikal pada satwa yang berkohabitasi berupa pembagian strata tajuk dalam beraktivitas disebabkan karena agresivitas salah satu atau lebih spesies tersebut (Johns 1986, Peres 1993, Lopes 1993, Walker 1996, Singh et al. 2000). Hal ini

yang perlu dikaji lebih lanjut pada kohabitasi monyet ekor panjang dan lutung pada kawasan konservasi CAP.

Pada hakekatnya makluk hidup di muka bumi ini tidak hidup sendirian atau hanya hidup bersama individu dalam masyarakatnya sendiri, namun selalu berasosiasi dengan spesies lain. Ukuran sejauh mana tingkat seringnya dua spesies ditemukan secara bersama-sama dalam lokasi yang sama disebut asosiasi interspesifik (Odum 1971). Asosiasi interspesifik terjadi karena: a) kedua spesies memilih atau menghindari habitat atau faktor habitat yang sama, b) kedua spesies pada umumnya mempunyai kebutuhan dan persyaratan lingkungan abiotik dan


(39)

19 biotik yang sama, dan c). salah satu atau kedua spesies memiliki afinitas terhadap yang lainnya, baik atraksi maupun repulsi (Ludwig & Reynold 1988).

Asosiasi tersebut bisa bersifat menguntungkan, merugikan atau tidak berpengaruh bagi anggotanya. Keeratan hubungan spesies yang terdapat secara bersama-sama dalam suatu komunitas disebut kohabitasi spesies. Kohabitasi spesies dalam suatu habitat menggunakan sumberdayayang ada secara bersama dan terdapat beberapa kesamaan. Nilai ukuran kesamaan penggunaan sumberdayaoleh pasangan spesies berdasarkan data ekologis disebut afinitas spesies yang biasanya diukur dalam fungsi kesamaan. Fungsi kesamaan (resemblance function) adalah ukuran kesamaan atau ketidaksamaan antar unit

contoh dalam kaitannya dengan komposisi spesies atau antar spesies dalam penggunaan sumberdaya (Krebs 1989).

Faktor utama yang dapat mempengaruhi hubungan tropis interspesifik spesies dan potensi pembagian sumberdayapakan antara lain kelimpahan pakan, ukuran tubuh, dan sistem perkawinan/kekerabatannya (misalnya pada perilaku teritorial). Kelimpahan pakan berkaitan langsung dengan kemampuan menghabiskan dan tingkat persaingan eksploitasi antar individu. Kemudian berkurangnya kesamaan relung pakan terjadi apabila sumberdaya berkurang dan dibutuhkan pengorbanan yang lebih besar (May 1973). Ukuran tubuh berpengaruh pada kekuatan masing-masing spesies. Ukuran tubuh yang besar bermanfaat dalam melawan pesaing interspesifiknya (Shelley et al. 2004) tetapi juga menjadi

kelemahan ketika sumberdaya pakan terpatas, karena tubuh yang besar memerlukan pakan yang lebih banyak (Julien-Laferriere 1999). Oleh karena itu maka pembagian pakan berdasarkan ukuran tubuh mangsa mungkin saja terjadi pada spesies yang berbeda ukuran tubuh, dimana diharapkan semakin besar ukuran pakan semakin besar pula ukuran tubuh predatornya (Martiet al.1993).

Nilai penting informasi perilaku spesies yang berkohabitasi yaitu pertama, spesies dapat membentuk asosiasi interspesifik dalam menyelingi/mengisi kokosongan asosiasi spesies dalam sebuah komunitas tanpa terjadi interaksi secara fisik atau asosiasi polyspesifik antar dua spesies yang berinteraksi sosial (Burton & Chan 1996). Apabila dua spesies bersaing dalam memanfaatkan sumberdayayang terbatas, maka studi tentang spesies yang berkohabitasi akan


(40)

20 memberikan informasi tentang proses penyesuaian yang menunjukkan seleksi relung (niche) dimana iklim, hutan, dan spesies yang bersaing tetap (Fleagle

1978). Kedua, pada kasus kohabitasi spesies yang terancam, informasi tentang substrata pemanfaatan pakan, jenis pakan, aktivitas dan lain-lain dapat membantu dalam membuat rancangan ilmiah yang memperhatikan aspek konservasi dan strategi pengelolaan (Singhet al. 2000).


(41)

 

 

 

BAB

 

II

 

TINJAUAN

 

PUSTAKA

 

Tidak

 

ada

 


(42)

III. KONDISI UMUM WILAYAH

A. Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan

Kawasan Cagar Alam Pangandaran (CAP) menyatu dengan Taman Wisata Alam Pangandaran (TWAP) merupakan semenanjung kecil yang terletak dipantai selatan Pulau Jawa. Semenanjung ini merupakan sebuah pulau yang dihubungkan dengan daratan utama dan dipisahkan oleh jalur sempit yang diapit antara dua teluk selebar±200 meter.

Gambar 4. Peta CA-TWA Pangandaran

Secara administratif pemerintahan CAP dan TWAP berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat, sedangkan secara geografis kawasan CA dan TWAP terletak pada koordinat 108°39′05” - 108°40′48” Bujur Timur dan 7°42′03“ - 7°43′48” Lintang Selatan dengan sebelah utara berbatasan dengan Desa Pangandaran, sebelah timur dengan Teluk Pangandaran, sebelah selatan dengan Samudera Hindia dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Parigi.

Sejarah terbentuknya Kawasan Konservasi Pangandaran dimulai pada saat Residen Priangan yakni Y. Eycken berkuasa tahun 1922 yang mengusulkan untuk menjadikan kawasan yang semula tempat perladangan menjadi taman buru. Pada


(43)

22 tahun 1934 dilakukan penunjukan kawasan Pananjung Pangandaran seluas 457 ha menjadi Suaka Margasatwa berdasarkan GB No. 19 Stbl 669 yang dikeluarkan oleh Director Van Scomishe Zoken, tanggal 7 Desember 1934.

Pada tahun 1961 dilakukan perubahan status dari Suaka Margasatwa menjadi CAP seluas ± 457 ha berdasarkan SK Mentan No.34/KMP/1961, tanggal 20 April 1961 dengan ditemukannya bunga Rafflesia padma. Pada tahun 1978

terjadi perubahan fungsi sebagian kawasan CAP menjadi TWA seluas 37,7 ha, sehingga luas CAP menjadi 419,3 ha, berdasarkan SK Mentan No. 170/Kpts/Um/1978 tanggal 10 Maret 1978. Pada tahun 1990 dilakukan Penunjukkan Perairan Pantai di sekitar CA dan TWAP seluas 470 ha menjadi Cagar Alam Laut. Berdasarkan SK Menhut No.225/Kpts-II/1990 tanggal 8 Mei 1990 (BKSDA 2006).

B. Kondisi Fisik Kawasan

1. Topografi

Topografi kawasan CAP mulai dari landai sampai berbukit kecil dengan ketinggian tempat antara 0 sampai dengan 139 m dari permukaan laut. Keadaan fisiografi berbukit di temukan dibagian utara CAP, memanjang di sepanjang perbatasan wilayah tersebut mulai dari Ciborok (Barat) sampai Cirengganis (Timur), keadaan bukit tersebut dalam bentuk tonjolan–tonjolan batu karang terjal dan terpisah-pisah.

2. Geologi dan Tanah

Pembentukan Semenanjung Pangandaran bersamaan dengan terbentuknya dataran Pulau Jawa, yakni pada periode miocene. Kondisi ini ditandai dengan batuan breccia dan susunan kapur yang terdapat pada bagian pantai. Susunan miocene ini tertutup oleh karang dan endapan aluvial yang berasal dari laut, endapan tersebut terdiri dari pasir dan tanah yang kondisinya hampir menutupi seluruh areal pantai CAP.

Jenis tanah, yang berada dikawasan ini antara lain: podsolik merah kuning, podsolik kuning, latosol coklat, dan litosol, sedangkan yang berbentuk endapan


(44)

23 aluvial terdapat di antara pantai sebelah utara semenanjung yang berbentuk karang-karang terjal.

3. Iklim

Kawasan CAP berdasarkan klasifikasi Schmidt & Ferguson termasuk ke dalam Type A dan mempunyai curah hujan rata–rata 3.196 mm/tahun dengan suhu berkisar 25°–30°C dan kelembaban udara antara 80–90%. Musim basah atau hujan terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Maret bersamaan dengan bertiupnya angin barat/ barat laut, sedangkan musim kering terjadi pada bulan Juli sampai dengan September selama periode musim angin tenggara.

4. Hidrologi

Dalam Kawasan CAP terdapat 2 (dua) buah sungai yang panjangnya tidak lebih dari 500 m – 2 km. Sungai terbesar adalah Sungai Cikamal yang mempunyai muara di pantai barat dan Sungai Cirengganis yang bermuara di pantai timur. Selain itu dalam kawasan CAP juga terdapat air terjun.

5. Aksesibilitas

CAP relatif mudah dicapai lewat jalan raya dari beberapa kota, antara lain dari:

a) Jakarta (400 km) Bandung (223 km), Tasikmalaya (108 km) dan dari Ciamis (92 km) Jalan tersebut secara umum sudah memadai dan juga terdapat trayek angkutan, namun untuk kelancaran arus wisata perlu beberapa pengembangan. b) Cirebon (291 km) dengan rute: Cirebon – Kuningan – Panawangan – Kawali –

Ciamis – Banjar – Banjarsari – Pangandaran.

c) Jawa Tengah: Purwokerto/Cilacap – Majenang – Karang Pucung - Banjar – Banjarsari – Pangandaran atau Purwokerto/Cilacap – Karang Pucung – Sidareja – Kali Pucang – Pangandaran.

d) Lapangan terbang yang khusus untuk komersil telah dibangun di Nusawiru, Cijulang ± 26 km dari Pangandaran) yang sudah dapat didarati pesawat jenis CN 250, dan sampai sekarang sudah digunakan untuk kegiatan olahraga dirgantara, namun belum dibuka untuk penerbangan komersil.


(45)

24

C. Ekosistem dan Kondisi Biologis Kawasan

1. Ekosistem

Kawasan CAP mempunyai beberapa tipe ekosistem, antara lain:

a). Ekosistem pantai didominasi oleh butun Barringtonia asiatica, ketapang Terminalia cattapa, nyamplung Calophylum inophyllum, pandan Pandanus tectorius.

b). Ekosistem hutan dataran rendah, didominasi oleh jenis labanVitex pubescens,

kondang Ficus variegata, marong Cratoxylon formosum, kisegel Dilenia excelsa.

c). Ekosistem hutan tamanan, didominasi oleh jati Tectona grandis dan mahoni Swietenia macrophyla.

2. Kondisi Biologis Kawasan a. Keanekaragaman Flora

Lebih dari 642 jenis tumbuhan hidup di dalam kawasan CAP dari berbagai tingkatan pohon, herba, perdu, tumbuhan bawah, liana, epifit, dan 80 jenis diantaranya merupakan jenis tumbuhan obat. Jenis flora yang terdapat di kawasan CAP antara lain kelompok pohon sebanyak 249 species, perdu 71 species, liana 65 species dan semak 193 species. Terdapat 53 species jenis rumput yang tersebar hampir diseluruh kawasan terutama mendominasi ketiga lapangan penggembalaan. Epifit terdapat sebanyak 26 species dan parasit berjumlah 10 species (BKSDA 2006).

Tumbuhan yang paling mendominasi kawasan CAP dan merupakan hutan tanaman yaitu jenisT. grandisdan mahoniS. macrophyllamencapai luas ± 20 ha.

Hampir± 30 % dari seluruh kawasan CAP ditutupi oleh hutan sekunder tua yang didominasi oleh V. pubescens, D. excelsa dan C. formosum. Selebihnya terdiri

dari hutan primer yang didominasi oleh jenis popohan Buchanania arborescens, F. variegata, kokosan monyetDysoxylum caulaostachyum(BKSDA 2006).

b. Keanekaragaman Fauna

Kawasan CAP selain terdapat flora juga banyak terdapat jenis fauna yang cukup menarik dan perlu adanya upaya penanganan yang lebih serius dan upaya


(46)

25 perlindungan. Jenis-jenis fauna tersebut yaitu: kelompok mamalia sebanyak 30 jenis, amphybia sebanyak 5 jenis, reptilia sebanyak 16 jenis dan aves sebanyak 99 jenis (BKSDA 2006).

Beberapa satwa yang dapat dijumpai di CAP antara lain kelompok mamalia seperti banteng Bos javanicus, rusa Cervus timorensis, mencek Muntiacus muntjak, trenggeling Manis javanica, lutung Trachypithecus auratus, monyet

ekor panjang Macaca fascicularis, tando Cynocephalus variegatus, jelarang Ratufa bicolor. Kelompok aves antara lain kangkareng Antracoceros convexus,

ayam hutan Gallus gallus varius, tulung tumpuk Megalaima lineata. Sedangkan

kelompok reptilia antara lain biawak dan berbagai jenis ular (BKSDA 2006).

c. Keunikan

Salah satu jenis flora langka dan juga dapat dikatakan unik yang hidup di CAP adalah bunga raflesia Rafflesia padma. Bunga ini pertama kali ditemukan

di CAP oleh Mr. Apelman pada tahun 1939. Penemuan bunga ini telah mengubah status kawasan konservasi dari Suaka Margasatwa menjadi Cagar Alam pada tahun 1961.

R. padma merupakan tumbuhan bersifat endemik parasit sejati pada

tumbuhan liana kibalera Tetrastigma lanceolairu. Oleh karena itu cara yang

paling mudah untuk menemukan kuncup R. padma adalah dengan mencari

tumbuhan inangnya terlebih dahulu. Pada kawasan CAP bunga raflesia ini dapat ditemukan sekitar air terjun dan sekitar Pantai Pasir Putih

BungaR. padmamencapai puncak perkembangannya yaitu antara bulan Juli

s/d September, bertepatan dengan datangnya musim hujan. Namun sekarang keberadaanya semakin sulit ditemui karena adanya perubahan iklim dan habitatnya terganggu oleh aktifitas manusia. Oleh karena sifatnya yang endemik, khas dan unik maka Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis menjadikan bunga ini sebagai maskot kabupaten (BKSDA 2006).


(47)

IV. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini berlangsung di CAP pada koordinat 108o 39’05”-108o40’12”BT, 7o42’03”–7o42’36”LS, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dengan pengumpulan data lapangan dilakukan Januari - April 2009 bertepatan dengan pergantian musim penghujan ke musim kemarau.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta CAP, 1 buah kompasShunto, 1 buah teropong binokuler 8x21 Konica, 1 buah hagameter,

1 buah GPS receiver Garmin Maps 76 CSX, 1 buah pita meter, 2 buahphi ban, 1

buah kamera digital Olympus E420, 1 buah stopwatch, tali rafia, 1 botol alkohol

70%, kertas koran, sasak, 1 buah gunting, label gantung, alat tulis, tally sheet,

bagian tumbuhan yang tidak teridentefikasi, perangkat lunak ArcView 3.3 dan SPSS 16.0for Windowsserta komputer.

C. Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa:

1. Data penggunaan ruang secara vertikal 2. Data penggunaan ruang secara horizontal

3. Karakteristik pohon yang menjadi media penggunaan sumberdaya 4. Daftar tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang dan lutung

Data sekunder berupa : peta digital CAP, daftar jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber pakan daritext book, skripsi, tesis, desertasi, jurnal dan

laporan penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dari wawancara dengan pengelola kawasan dan studi literatur seperti text book (Ecological Methodology, Principles of Wildlife Management, Fundamental of Ecology dan lain-lain), data hasil penelitian


(48)

27

Journal of Primatology, Primatology Today,International Journal of Primatology

dan lain-lain).

Data primer ekologi diperoleh dengan pendekatan pengamatan langsung (observational approach) di lapangan. Data primer penelitian ini diperoleh dari

hasil observasi semua unit contoh (sampling unit) pada kawasan CAP. Unit

contoh untuk penggunaan ruang dan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan adalah pohon yang digunakan monyet ekor panjang yaitu 581 batang, lutung 773 batang dan 77 batang pohon digunakan monyet ekor panjang bersama lutung.

Pengamatan aktivitas satwa menggunakan metode focal animal sampling.

Unit contoh pengamatan aktivitas satwa yaitu individu satwa, baik monyet ekor panjang atau lutung, yang dibedakan berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin. Data primer yang dikumpulkan meliputi :

1. Penggunaan Ruang

Sebaran spasial yang diperhatikan dalam penelitian ini mencakup penggunaan ruang secara vertikal dan horizontal. Data penggunaan ruang secara vertikal dikumpulkan dengan cara mengukur posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dan lutung pada pohon saat sendirian dan berada secara bersamaan. Pengamatan satwa dilakukan dengan metodefocal animal samplingyaitu pada 4

(empat) koloni monyet ekor panjang yang terdiri atas 28 individu dan 4 (empat) koloni lutung yang terdiri atas 22 individu sesuai dengan kelas umur dan jenis kelamin. Total waktu pengamatan 646,17 jam yang terdiri atas pengamatan monyet ekor panjang selama 360,17 jam dan pengamatan lutung selama 286 jam.

Data yang dikumpulkan meliputi waktu pengambilan data, identitas satwa, posisi ketinggian satwa (m), lama aktivitas (menit), dan peubah pohon

1) Waktu pengumpulan data meliputi hari, tanggal dan kondisi cuaca.

2) Identitas satwa meliputi spesies obyek pengamatan, kelas umur dan jenis kelamin antara lain Anak (A), Muda Jantan (MJ), Muda Betina (MB), Dewasa Jantan (DJ), Dewasa Betina (DB), Tua Jantan (TJ) dan Tua Betina (TB). 3) Posisi ketinggian aktivitas satwa. Data posisi ketinggian aktivitas satwa

diukur dalam meter (m) meliputi posisi ketinggian aktivitas satwa pada strata tajuk hutan tropis di CAP. Penggolongan strata tajuk hutan tropis meliputi strata A yaitu pepohonan yang ketinggiannya lebih dari 30 meter, strata B


(49)

28 yaitu pepohonan yang mempunyai tinggi 18-30 meter, strata C yaitu pepohonan yang mempunyai tinggi 4-18 meter, strata D yaitu terdiri dari lapisan perdu dan semak yang mempunyai tinggi 1-4 meter termasuk anakan pohon, palma, herba serta paku-pakuan dan strata E yaitu terdiri dari lapisan tumbuhan penutup tanah atau lapisan lapangan yang mempunyai tinggi 0-1 meter (Soerianegara & Indrawan 2005).

4) Lama aktivitas. Aktivitas satwa terdiri dari aktivitas berpindah, makan, istirahat (Chiver & Raemakers 1980) dan sosial (social grooming/menelisik)

(Chalmers 1980). Aktivitas berpindah meliputi berjalan quadropedal, berlari

kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan

menuruni pohon (Betrand 1969). Aktivitas yang termasuk dalam aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Selanjutnya, aktivitas istirahat

yang diamati meliputi istirahat, self-grooming dan tidur. Sedangkan aktivitas

sosial yang diamati meliputi social grooming, kawin, bermain, berkelahi,

belajar berkelahi dan belajar kawin.

Data penggunaan ruang secara horizontal dikumpulkan dengan cara mengambil titik koordinat wilayah jelajah monyet ekor panjang atau lutung dengan menggunakan GPS reciever dalam WGS 84 UTM Zone 49S. Selain itu

juga dilakukan analisis vegetasi pada wilayah jelajah monyet ekor panjang, lutung, daerah tumpang tindih wilayah jelajah keduanya serta daerah yang tidak terdapat kedua satwa tersebut.

2. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi

Karakteristik pohon dikumpulkan dari pohon tempat satwa beraktivitas, baik digunakan oleh monyet ekor panjang saja, lutung saja maupun digunakan keduanya. Karakteristik pohon tersebut meliputi peubah tinggi pohon (TP), diameter setinggi dada (DBH), tinggi bebas cabang (TBC), diameter tajuk (DT), tinggi tajuk (TT), bentuk tajuk (BT) dan keberadaan pakan (KP). Bentuk tajuk (BT) dibedakan dalam tujuh bentuk dasar yaitu irregular, vase, oval, pyramidal, fastigate/columnar, round, weeping (Grey & Deneke 1978). Untuk peubah pohon

tidak terukur (bentuk tajuk, keberadaan pakan) dibedakan dalam bentuk skor. Teknis pelaksanaan untuk membedakan pohon yang digunakan suatu koloni


(50)

29 monyet ekor panjang atau lutung, dilakukan dengan penandaan pohon dimana masing-masing koloni diberi tanda yang berbeda.

3. Tumbuhan Sumber Pakan

Data jenis tumbuhan sumber pakan meliputi nama daerah, nama latin, famili dan bagian yang dimakan. Data ini berupa daftar semua tumbuhan yang potensial sebagai sumber pakan monyet ekor panjang atau lutung berdasarkan penelitian sebelumnya yang berupa skripsi, tesis, desertasi, laporan penelitian dan jurnal. Daftar pakan tersebut kemudian dicek ulang dengan pengamatan langsung pada aktivitas makan kedua primata tersebut.

Jenis tumbuhan sumber pakan yang tidak teridentifikasi di lapangan diambil sampelnya dan dibuat herbarium kemudian diidentifikasi di Herbarium Bogoriense Bogor.

E. Analisis Data

1. Penggunaan Ruang

Analisis data penggunaan ruang secara vertikal ini meliputi : a. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas satwa

Data posisi ketinggian satwa yang diperoleh dari observasi unit contoh (pohon) kemudian diolah dengan Independent-Samples T Test. Hipotesis

yang digunakan adalah:

H0 = rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dengan lutung pada pohon tidak berbeda nyata, dan

H1 = rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dengan lutung pada pohon berbeda nyata.

b. Rara-rata posisi ketinggian setiap aktivitas satwa

Data posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang atau lutung (berpindah, makan, sosial dan istirahat) pada unit contoh (pohon) diolah dengan Independent-Samples T Test dengan hipotesis yang digunakan

adalah :

H0 = rata-rata posisi ketinggian setiap aktivitas monyet ekor panjang atau lutung pada pohon tidak berbeda nyata, dan


(51)

30 H1 = rata-rata posisi ketinggian setiap aktivitas monyet ekor panjang atau lutung pada pohon berbeda nyata.

Titik koordinat unit contoh yang dikumpulkan dengan GPS reciever dalam

WGS 84 UTM Zone 49S kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3. Analisis dilakukan dengan cara menghubungkan titik-titik koordinat terluar (maximum convex polygon) tempat monyet ekor panjang dan lutung

beraktivitas. Berdasarkan hasil analisis akan diperoleh luas penggunaan ruang secara horizontal atau wilayah jelajah masing-masing koloni monyet ekor panjang dan lutung. Selain itu juga dilakukan analisis vegetasi pada wilayah jelajah monyet ekor panjang, wilayah jelajah lutung, daerah tumpang tindih wilayah jelajah dan daerah yang bukan wilayah jelajah keduanya.

2. Derajat Asosiasi dan Tumpang Tindih Relung

Asosiasi interspesifik dihitung dengan menggunakan Indeks Jaccard (JI). Pemilihan Indeks Jaccard dikarenakan indeks ini lebih teliti dan tidak bias baik pada populasi besar maupun kecil (Goodall 1973). Indeks ini mengindikasikan ada tidaknya asosiasi antara monyet ekor panjang dengan lutung. Asosiasi interspesifik yang dihitung meliputi asosiasi jenis tumbuhan sumber pakan, asosiasi penggunaan jenis pohon dan asosiasi posisi ketinggian aktivitas. Indeks Jaccard = 0 berarti tidak ada asosiasi dan jika indeks = 1 berarti terdapat asosiasi maksimal.

c

b

a

a

JI

+

+

=

Keterangan:

a = jumlah unit contoh yang digunakan monyet ekor panjang bersamaan dengan lutung

b = jumlah unit contoh yang hanya digunakan monyet ekor panjang c = jumlah unit contoh yang hanya digunakan lutung

Perhitungan kesamaan jenis tumbuhan sumber pakan dan tumpang tindih penggunaan ruang secara vertikal dihitung dengan persentase tumpang tindih relung (niche overlap percentage) dan indeks tumpang tindih relung Morisita

(Simplified Morisita’s Index). Pemilihan indeks tumpang tindih relung Morisita


(52)

31 pengulangan. Persentase tumpang tindih relung dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

(

min ,

)

100%

1 

    =

= n j ik ij jk p p

P

Keterangan :

Pjk = persentase tumpang tindih relung antara spesiesjdengan spesiesk

Pij = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesiesj

Pik = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesiesk

n = jumlah total sumberdaya yang ada

Indeks tumpang tindih relung Morisita (Simplified Morisita’s Index) dihitung

dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Keterangan :

Ch = indeks tumpang tindih relung Morisita antara spesiesjdengan spesiesk pij = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesiesj

pik = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesiesk

n = jumlah jenis sumberdaya pohon

Tumpang tindih penggunaan ruang secara horizontal atau wilayah jelajah dihitung dengan menggunakan persentase tumpang tindih relung dengan cara menampalkan peta wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang dengan koloni lutung. Berdasarkan hasil penampalan kedua peta tersebut maka diketahui luas daerah yang tumpang tindih.

3. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi

Karakteristik pohon yang diperoleh seperti peubah tinggi pohon (TP), diameter setinggi dada (DBH), tinggi bebas cabang (TBC), diameter tajuk (DT), tinggi tajuk (TT), bentuk tajuk (BT) dan keberadaan pakan (KP) disajikan secara diskriptif kuantitatif. 2 2 2 n ij ik i

H n n

ij ik i i p p C p p = +


(53)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penggunaan Ruang

Aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Dalam hal ini ”mobilitas” dan ”luas” serta ”komposisi daerah jelajah” merupakan tiga parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi penggunaan ruang oleh satwaliar (Santosa 1990). Kegiatan primata berupa makan, berpindah, istirahat dan kegiatan sosial lainya sudah terpola dalam kegiatan sehari-hari yang dikenal dengan budget kegiatan.

Parameter pola penggunaan ruang yang paling banyak diteliti adalah: daerah jelajah (luas dan komposisi vegetasi) dan pergerakan. Wilayah jelajah (home range) adalah daerah pergerakan normal satwa dalam melakukan

aktivitas-aktivitas rutin sedangkan teritori merupakan bagian dari wilayah jelajah yang sering dipergunakan secara lebih teratur dibanding bagian lainnya (Chalmers 1980). Penggunaan ruang dalam penelitian ini mencakup penggunaan ruang secara vertikal dan horizontal, dalam hal ini adalah wilayah jelajah.

1. Penggunaan Ruang secara Horizontal a. Monyet Ekor Panjang

Rata-rata wilayah jelajah monyet ekor panjang di CAP adalah 13,06 Ha. Luas wilayah jelajah tersebut berbeda dengan Rowe (1996) yaitu 113 ha dan terjadi penurunan luas wilayah jelajah apabila dibandingkan Mukhtar (1982) yaitu sebesar 23,2 ha. Luas wilayah tersebut juga berbeda dengan Sularso (2004) bahwa wilayah jelajah monyet ekor panjang di Taman Nasional Alas Purwo pada Resor Rowobendo 27,71 ha, Trianggulasi 23,64 ha dan Pura Giri Salaka 20,84 ha. Diantara 4 (empat) koloni yang diamati terdapat perbedaan luas wilayah jelajah yang kemungkinan dipengaruhi oleh ukuran koloni, kerapatan tumbuhan pakan dan perilaku. Luas wilayah masing- masing koloni monyet ekor panjang di CAP seperti disajikan pada Tabel 1.


(54)

33 Tabel 1. Luas wilayah jelajah setiap koloni monyet ekor panjang di CAP

No Koloni luas (Ha) Jumlah individu (ekor) 1 Pasir Putih Utara 8,13 44

2 Pasir Putih Selatan 20,48 19 3 Goa Rengganis 17,97 26

4 Cihaur 5,65 16

Jumlah 52,25 105

Rata-rata 13,06 26

Sistem kekerabatan primata berpengaruh pada perbedaan area pencarian pakan yang dimonopoli dengan perilaku teritorial sebagai salah satu bentuk persaingan interfensi dan juga memungkinkan terjadinya pemisahan area pencarian pakan (Schoener 1993). Pemisahan area pencarian pakan dapat secara horizontal berupa wilayah jelajah dan secara vertikal berupa perbedaan penggunaan strata tajuk.

Tabel 2. Ukuran populasi masing-masing koloni monyet ekor panjang No Koloni

Jumlah individu (ekor)

Kelasumurdanjeniskelamin Keterangan 1 PasirPutihUtara 44 4A,14MJ,7MB,5DJ,4DB,6TB,4TJ A= Anak, J =Jantan 2 PasirPutihSelatan 19 2A,3MJ,2MB,4DJ,2DB,2TB,4TJ M=Muda, B=Betina 3 GoaRengganis 26 2A,6MJ,5MB,4DJ,4DB,3TB,2TJ D=Dewasa

4 Cihaur 16 2A,4MJ,3MB,2DJ,1DB,2TB,2TJ T =Jantan

Ukuran koloni monyet ekor panjang yang diamati rata-rata terdiri dari 26 ekor dan sebagian besar termasuk kelas umur muda dan anak dengan persentase jantan lebih banyak. Jumlah individu anggota tersebut lebih kecil daripada Rowe (1996) yaitu rata-rata sebesar 29 ekor dan Sularso (2004) yaitu rata-rata 39 ekor. Kemungkinan hal tersebut dipengaruhi oleh perilaku, baik perilaku seksual (Engelhardt 2004), startegi makan (Purnama 1998), perilaku antipredator (van Schaik & van Noordwijk 1985), perilaku sosial (Mukhtar 1982, Watanabe et al.

1996, Ratna 2004) dimana dalam suatu koloni monyet ekor panjang terdapat strata sosial antar individu anggotanya.


(55)

34 Dengan perilaku satwaliar dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan keadaan, baik dari dalam maupun dari luar (Tanudimadja 1978). Hal ini diperkuat pernyataan Bailey (1984) bahwa populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial. Sistem hierarki dan teritorialisme ini selanjutnya mengendalikan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial.

Keberadaan individu tua jantan dalam satu koloni monyet ekor panjang berfungsi sebagai ketua koloni (alpha male) yaitu 1 individu, sedangkan individu

tua jantan lainnya berfungsi sebagai subordinat alpha male. Dalam primata yang

berkoloni peran alpha male paling dominan dalam semua aktivitas dibandingkan

individu jantan lainnya.

Koloni Pasir Putih Utara dengan anggota terbanyak yaitu 44 individu mempunyai luas wilayah jelajah 8,13 ha. Aktivitas pengunjung banyak terjadi pada wilayah jelajah koloni Pasir Putih Utara dan Pasir Putih Selatan. Sebagian kebutuhan pakan koloni ini terpenuhi dari aktivitas pengunjung seperti pemberian pakan oleh pengunjung dan sampah. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku makan sehingga menjadi tidak tergantung lagi pada stok pakan alami. Oleh karena itu luas wilayah jelajah koloni Pasir Putih Utara terkecil diantara koloni lainnya, meskipun ukuran koloninya terbesar. Perubahan perilaku makan akibat aktivitas pengunjung berimbas pada luas wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang Pasir Putih Utara.

Koloni Pasir Putih Selatan beranggotakan 19 individu dan mempunyai wilayah jelajah terluas yaitu 20,48 ha. Aktivitas pengunjung pada wilayah jelajah koloni ini relatif kurang intensif dibandingkan dengan koloni Pasir Putih Utara, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan koloni Goa Cirengganis dan Cihaur. Mencermati ukuran populasi dan luas wilayah koloni ini diketahui bahwa intensitas pengunjung tidak begitu berpengaruh pada perilaku makannya, sehingga masih tergantung pada ketersediaan sumber pakan alami.

Berbeda dengan koloni monyet ekor panjang Pasir Putih Utara dan Selatan, wilayah jelajah koloni Goa Cirengganis dan Cihaur intensitas pengunjung sangat kurang. Koloni Goa Cirengganis sekitar pukul 11.00 – 13.00 WIB hampir bisa


(1)

Lampiran 22. Lanjutan

No Nama Daerah Nama Latin Famili Jml plotJml

Luas Plot (Ha)

Jml

Plot K F KR FR

40 Popohan Buchanania arborescens Anacardiaceae 3 3 0.0025 45 26.67 0.07 1.12 1.63

41 Putat Plancania valida Lecythidaceae 1 1 0.0025 45 8.89 0.02 0.37 0.54

42 Rukem Flancourtia rukem Flacourtiaceae 11 9 0.0025 45 97.78 0.20 4.10 4.89

43 Salam Eugenia polyantha Myrtaceae 1 1 0.0025 45 8.89 0.02 0.37 0.54

44 Songgom Barringtonia macrocarpa Lecythidaceae 1 1 0.0025 45 8.89 0.02 0.37 0.54

45 Susundunan ? ? 1 1 0.0025 45 8.89 0.02 0.37 0.54

46 Tetehan Thea Sp. Theaceae 7 5 0.0025 45 62.22 0.11 2.61 2.72


(2)

Lampiran 23. Analisis vegetasi tingkat tiang kawasan Cagar Alam Pangandaran

No Nama Daerah Nama Latin Famili Jml Jml

plot Luas

Plot (Ha)

Jml

Plot K F KR FR

1 Bayur Pterospermum javanicum Sterculiaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

2 Belundeng ? ? 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

3 Buntut lutung Diospyros oblonga Ebenaceae 7 7 0.01 45 15.56 0.16 4.14 5.15 4 Carelang Pterospermum diversifolium Sterculiaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

5 Darowak Microcos tomentosa Tiliaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

6 Dungun Heritiera littoralis Sterculiaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

7 Hampelas Ficus hampelas Moraceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

8 Huni Antidesma bunius Euphorbiaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

9 Ipis kulit Decaspermum fruticosum Myrtaceae 10 8 0.01 45 22.22 0.18 5.92 5.88

10 Jati Tectona grandis Verbenaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

11 Jejebugan Sterculia urceolata Sterculiaceae 10 6 0.01 45 22.22 0.13 5.92 4.41 12 Jejerukan Acronychia laurifolia Rutaceae 3 3 0.01 45 6.67 0.07 1.78 2.21

13 Kadoya Disoxylon amoorroides Meliaceae 3 3 0.01 45 6.67 0.07 1.78 2.21

14 Kiajag ? ? 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

15 Kiandong Rhodamnia cinerea Myrtaceae 18 13 0.01 45 40.00 0.29 10.65 9.56 16 Kibanen Crypteronia paniculata Crypteroceae 2 2 0.01 45 4.44 0.04 1.18 1.47

17 Kibeusi Memecylon oleaefolium ? 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

18 Kibuaya Leea angulata Vitaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

19 Kicalung Diospyros macrophylla Ebenaceae 4 2 0.01 45 8.89 0.04 2.37 1.47

20 Kihoe Guioa diplopetala Sapindaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

21 Kihurang ? ? 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

22 Kilalayu Ellatostachys verucosa Sapindaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74 23 Kiminyak Casearia gwewiaeiolia Flacourtiaceae 4 4 0.01 45 8.89 0.09 2.37 2.94

24 Kimokla Knema cinerea Myristicaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

25 Kipancar Baccaurea javanica Euphorbiaceae 25 18 0.01 45 55.56 0.40 14.79 13.24

26 Kipapeteh Celtis philippensi Ulmaceae 8 7 0.01 45 17.78 0.16 4.73 5.15

27 Kisegel Dillenia excelsa Dilleniaceae 11 9 0.01 45 24.44 0.20 6.51 6.62

28 Kiteja Cinamomum iners Lauraceae 3 3 0.01 45 6.67 0.07 1.78 2.21

29 Kopo Syzygium zippelianum Myrtaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

30 Laban Vitex pubescens Verbenaceae 5 4 0.01 45 11.11 0.09 2.96 2.94

31 Manggis hutan Garcinia lateriflora Myrtaceae 2 1 0.01 45 4.44 0.02 1.18 0.74 32 Marong Cratoxylon formasum Dyerclusiaceae 3 3 0.01 45 6.67 0.07 1.78 2.21 33 Menteng leuweung Baccaurea racemosa Euphorbiaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74 34 Parengpeng Groton argiratua Euphorbiaceae 2 2 0.01 45 4.44 0.04 1.18 1.47 35 Pisitan monyet Dysoxylum caulostachyum Meliaceae 11 5 0.01 45 24.44 0.11 6.51 3.68 36 Popohan Buchanania arborescens Anacardiaceae 7 7 0.01 45 15.56 0.16 4.14 5.15

37 Putat Plancania valida Lecythidaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

38 Rukem Flancourtia rukem Flacourtiaceae 8 6 0.01 45 17.78 0.13 4.73 4.41

39 Salam Eugenia polyantha Myrtaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74

40 Salam anjing Syzygium iyantum Myrtaceae 2 2 0.01 45 4.44 0.04 1.18 1.47 41 Sonokeling Dalbergia latifolia Fabaceae 1 1 0.01 45 2.22 0.02 0.59 0.74


(3)

Lampiran 24. Analisis vegetasi tingkat pohon kawasan Cagar Alam Pangandaran

No Nama Daerah Nama Latin Famili Jml Jml

plot Luas

Plot (Ha)

Jml

Plot K F KR FR

1 Bayur Pterospermum javanicum Sterculiaceae 12 8 0.04 45 6.67 0.18 2.78 3.54

2 Benda Arthocarpus elasticus Moraceae 5 3 0.04 45 2.78 0.07 1.16 1.33

3 Buntut lutung Diospyros oblonga Ebenaceae 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88

4 Cangcaratan Castilloa elastica Moraceae 2 1 0.04 45 1.11 0.02 0.46 0.44

5 Ceuri Garcinia dioica Glusiaceae 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88

6 Dahu Dracontomelon dao Myrtaceae 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88

7 Darowak Microcos tomentosa Tiliaceae 3 2 0.04 45 1.67 0.04 0.70 0.88

8 Huru Diospyros althoides Lauraceae 2 1 0.04 45 1.11 0.02 0.46 0.44

9 Huru batu Litsea chinensis Lauraceae 3 1 0.04 45 1.67 0.02 0.70 0.44

10 Huru manuk Litsea mappaceae Lauraceae 6 5 0.04 45 3.33 0.11 1.39 2.21

11 Ipis kulit Decaspermum fruticosum Myrtaceae 18 15 0.04 45 10.00 0.33 4.18 6.64 12 Jaha Croton argiratus Euphorbiaceae 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44 13 Jati Tectona grandis Verbenaceae 10 3 0.04 45 5.56 0.07 2.32 1.33 14 Jejebugan Sterculia urceolata Sterculiaceae 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44 15 Jejerukan Acronychia laurifolia Rutaceae 3 3 0.04 45 1.67 0.07 0.70 1.33

16 Kadoya Dysoxylon amoorroides Meliaceae 10 7 0.04 45 5.56 0.16 2.32 3.10

17 Kateng kateng Cynometra ramiflora Leguminoceae 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44

18 Kepuh Sterculia fotida Sterculiaceae 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88

19 Kiandong Rhodamnia cinerea Myrtaceae 27 15 0.04 45 15.00 0.33 6.26 6.64

20 Kiara beas Ficus sumatrana Moraceae 5 4 0.04 45 2.78 0.09 1.16 1.77

21 Kiara karet Ficus elastica Moraceae 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44

22 Kiara munding Ficus sp. Moraceae 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88

23 Kibanen Crypteronia paniculata Crypteroceae 9 6 0.04 45 5.00 0.13 2.09 2.65

24 Kibeusi Memecylon oleaefolium ? 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88

25 Kibuaya Leea angulata Vitaceae 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44

26 Kicalung Diospyros macrophylla Ebenaceae 4 3 0.04 45 2.22 0.07 0.93 1.33

27 Kiciat Ficus septica Moraceae 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88

28 Kihapit Euphorbia chasembila Euphorbiacea 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44 29 Kipancar Baccaurea javanica Euphorbiaceae 29 12 0.04 45 16.11 0.27 6.73 5.31

30 Kipapeteh Celtis philippensi Ulmaceae 5 4 0.04 45 2.78 0.09 1.16 1.77

31 Kisegel Dillenia excelsa Dilleniaceae 25 11 0.04 45 13.89 0.24 5.80 4.87 32 Kitaleus Nataphoebe umbelliflora Lauraceae 3 3 0.04 45 1.67 0.07 0.70 1.33

33 Kiteja Cinamomum iners Lauraceae 4 2 0.04 45 2.22 0.04 0.93 0.88

34 Kokosan monyet Cinalanthus papulaeus ? 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44

35 Kraminan Dysoxylum densiflorum Meliaceae 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88

36 Laban Vitex pubescens Verbenaceae 70 32 0.04 45 38.89 0.71 16.24 14.16

37 Manggis hutan Garcinia lateriflora Myrtaceae 8 5 0.04 45 4.44 0.11 1.86 2.21 38 Marong Cratoxylon formasum Dyerclusiaceae 91 21 0.04 45 50.56 0.47 21.11 9.29 39 Menteng

leuweung Baccaurea racemosa Euphorbiaceae 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88 40 Parengpeng Groton argiratua Euphorbiaceae 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44 41 Pisitan monyet Dysoxylum caulostachyum Meliaceae 23 10 0.04 45 12.78 0.22 5.34 4.42


(4)

Lampiran 24. Lanjutan

No Nama Daerah Nama Latin Famili Jml Jml

plot Luas

Plot (Ha)

Jml

Plot K F KR FR

42 Popohan Buchanania arborescens Anacardiaceae 18 13 0.04 45 10.00 0.29 4.18 5.75

43 Putat Plancania valida Lecythidaceae 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44

44 Reunghas Gluta renghas Anacardiaceae 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44

45 Rukem Flancourtia rukem Flacourtiaceae 2 2 0.04 45 1.11 0.04 0.46 0.88

46 Salam Eugenia polyantha Myrtaceae 3 3 0.04 45 1.67 0.07 0.70 1.33

47 Salam anjing Syzygium iyantum Myrtaceae 1 1 0.04 45 0.56 0.02 0.23 0.44


(5)

Lampiran 25. Analisis vegetasi tingkat semak, perdu dan liana kawasan Cagar Alam

Pangandaran

No Nama Daerah Nama Latin Famili Jml Jml

plot Luas

Plot (Ha)

Jml

Plot K F KR FR

1 Acung ? ? 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47

2 Areuy bludru ? ? 4 2 0.0004 45 222.22 0.04 0.73 0.94

3 Areuy cabe ? ? 2 1 0.0004 45 111.11 0.02 0.36 0.47

4 Areuy gadel Derris heterophylla Papilionaceae 15 5 0.0004 45 222.22 0.04 2.73 2.35

5 Areuy gambir ? ? 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47

6 Areuy Kibeureum Eugenia spicata Myrtaceae 3 2 0.0004 45 111.11 0.02 0.55 0.94

7 Areuy Kicacing ? ? 10 4 0.0004 45 555.56 0.09 1.82 1.88

8 Areuy Kihonje Pittosperum ferruginum Pittosporaceae 17 9 0.0004 45 111.11 0.02 3.09 4.23 9 Areuy Kilaleur Milletia sericae Leguminoceae 13 6 0.0004 45 388.89 0.09 2.36 2.82 10 Areuy kokopian Plectoria glabra Apocynaceae 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47 11 Areuy saga Peltophorum pterocarpum Euphorbiaceae 8 4 0.0004 45 444.44 0.09 1.45 1.88

12 Areuy susu munding ? ? 13 7 0.0004 45 111.11 0.04 2.36 3.29

13 Areuy Talikoja ? ? 2 1 0.0004 45 111.11 0.02 0.36 0.47

14 Babayaman ? ? 17 4 0.0004 45 55.56 0.02 3.09 1.88

15 Harendong Melastoma polyantum Melastomaceae 15 4 0.0004 45 777.78 0.07 2.73 1.88

16 Kacukilan Allophylus cobbe Sapindaceae 7 4 0.0004 45 388.89 0.09 1.27 1.88

17 Kati lebur ? ? 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47

18 Kebo jalu Sauropus rhamnoides Euphorbiaceae 18 9 0.0004 45 166.67 0.07 3.27 4.23 19 Kiasahan Tetracera scandens Dilleniaceae 10 4 0.0004 45 55.56 0.02 1.82 1.88

20 Kibaceta Claucena excavata Rutaceae 11 6 0.0004 45 388.89 0.09 2.00 2.82

21 Kibalera Tetrastigma lancelarium Vitaceae 49 17 0.0004 45 444.44 0.07 8.91 7.98

22 Kikipasan ? ? 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47

23 Kikoneng ? ? 4 2 0.0004 45 222.22 0.04 0.73 0.94

24 Kikores Psychotria valentonic Rubiaceae 98 31 0.0004 45 1000.00 0.20 17.82 14.55

25 Kikukuran batu ? ? 5 2 0.0004 45 277.78 0.04 0.91 0.94

26 Kipiit Maesa latifolia Myrsinaceae 4 1 0.0004 45 222.22 0.02 0.73 0.47

27 Kirinyuh Eupashorium odoratum Asteraceae 27 6 0.0004 45 111.11 0.02 4.91 2.82

28 Kitaleus ? ? 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47

29 Kiuyah ? ? 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47

30 Kocemang ? ? 2 2 0.0004 45 111.11 0.04 0.36 0.94

31 Kokopasan ? ? 2 2 0.0004 45 111.11 0.04 0.36 0.94

32 Marasi Maratha sp. Marathaceae 3 3 0.0004 45 111.11 0.04 0.55 1.41

33 Pacak gaok Hedyotis sp. Rubiaceae 2 1 0.0004 45 111.11 0.02 0.36 0.47

34 Paku hata Lygodium circinantum Schizaeaceae 35 10 0.0004 45 55.56 0.02 6.36 4.69 35 Paku pane Lygodium circinantum Schizaeaceae 3 2 0.0004 45 166.67 0.04 0.55 0.94

36 Pandan ? ? 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47

37 Pandan gunung Pandanus fureatus Pandanaceae 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47


(6)

Lampiran 25 Lanjutan

No Nama Daerah Nama Latin Famili Jml Jmlplot

Luas Plot (Ha)

Jml

Plot K F KR FR

39 Salak Zalacca edulis Palmae 1 1 0.0004 45 55.56 0.02 0.18 0.47

40 Sarengseng Pandanus nitidus Pandanaceae 4 1 0.0004 45 222.22 0.02 0.73 0.47 41 Sereuh leuweung Piper caducibrateum Piperaceae 3 2 0.0004 45 166.67 0.04 0.55 0.94

42 Singa depa Apama tomentosa ? 49 10 0.0004 45 2722.22 0.22 8.91 4.69

43 Soka Ixora paludosa Rubiaceae 32 14 0.0004 45 1333.33 0.20 5.82 6.57

44 Suji ? ? 6 5 0.0004 45 222.22 0.07 1.09 2.35

45 Sulangkar Leea sambucina Vitaceae 10 4 0.0004 45 277.78 0.04 1.82 1.88

46 Suweg Amorphophallus sp. ? 2 1 0.0004 45 111.11 0.02 0.36 0.47

47 Tangoli Cassia javanica Caesalpiniaceae 11 5 0.0004 45 611.11 0.11 2.00 2.35

48 Teh-tehan Thea sp. Theaceae 4 3 0.0004 45 222.22 0.07 0.73 1.41