2 sedikit Connell 1983. Oleh karena itu penelitian tentang kohabitasi monyet ekor
panjang dan lutung di CAP sangat penting dilakukan. Data dan informasi tentang penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber pakan spesies yang berkohabitasi
sangat penting bagi konservasi satwa liar Singh et al. 2000 dan pengelolaan kawasan konservasi secara menyeluruh integrated. Pengelolaan kawasan
konservasi secara menyeluruh lebih menguntungkan daripada pengelolaan secara parsial, diantaranya yaitu keuntungan secara ekologi, ekonomi dan manajemen
Forsyth et al. 2000.
B. Tujuan
Penelitian tentang kohabitasi monyet ekor panjang dengan lutung di CAP, Jawa Barat bertujuan untuk:
a Menduga besarnya tumpang tindih penggunaan ruang antara monyet ekor panjang dengan lutung,
b Menduga tingkat kesamaan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengelolaan kawasan konservasi CA TWA Pangandaran dan pengembangan ilmu
pengetahuan, terutama untuk : a. Pembinaan habitat monyet ekor panjang dan lutung,
b. Perancangan pengelolaan kawasan konservasi CA dan TWA Pangandaran untuk melestarikan spesies dan populasi berbagai jenis satwaliar.
D. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mengkaji kohabitasi monyet ekor panjang dengan lutung. Kajian ini penting karena di kawasan CAP kedua primata ini secara umum
mempunyai kesamaan sumber pakan dan penggunaan habitat secara bersama yang berimbas pada konservasi sumberdaya. Interaksi interspesifik diantara keduanya
seperti persaingan dalam memanfaatkan sumber pakan dan pembagian sumberdaya menjadi salah satu isu perdebatan tentang teori ekologi dan praktek
pengelolaan satwaliar.
3 Kohabitasi yang berlangsung lama akan menimbulkan terjadinya proses
seleksi alami yang mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian ekologis spesies dalam komunitas. Akibat selanjutnya adalah terjadinya pemisahan relung Pianka
1988. Kohabitasi memaksa spesies beradaptasi terhadap lingkungannya untuk mengurangi atau menghindari persaingan interspesifik pada sumberdaya yang
terbatas Pianka 1981. Persaingan penggunaan habitat, termasuk ruang fisik dan peran fungsional pada komunitas, serta posisi di dalam gradien suhu, kelembaban,
pH, tanah dan keadaan lainnya disebut relung ekologi Odum 1971. Grinnell 1928 menyatakan bahwa tidak mungkin dua spesies yang hidup bersama pada
suatu habitat dapat menempati relung ekologi yang identik dalam waktu yang lama. Fleagle 1978 menyatakan bahwa relung ekologi kebanyakan merupakan
pemanfaatan mikrohabitat oleh suatu spesies yang disebut relung ruang spatial niche
. Studi tentang ekologi satwaliar dipandang penting karena membandingkan segala hal yang berhubungan dengan makanan dan perilaku spesies yang
berkohabitasi pada kondisi lingkungan yang mirip Porter 2001. Penelitian ini berusaha mengukur besarnya tumpang tindih penggunaan
ruang baik secara horizontal maupun vertikal dan mengkaji tingkat kesamaan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung.
Kohabitasi menyebabkan kedua primata ini akan menghindari persaingan atau meningkatkan efisiensi pada area tumpang tindih penggunaan ruang dan
kesamaan tumbuhan sumber pakan dengan cara segregasi relung. Pada kasus ini, pemisahan relung dapat menurunkan tingkat kompetisi dan meningkatkan
kesempatan kedua primata yang berkohabitasi ini untuk memanfaatkan area tumpang tindih wilayah jelajah tersebut Garcia Arroyo 2005.
Sumberdaya yang terbatas mendorong kedua primata yang berkohabitasi ini bergantian untuk memanfaatkannya secara efektif dan efisien. Oleh karena itu
untuk pemanfaatan sumberdaya oleh kedua primata ini maka dilakukan pengamatan langsung dengan metode focal animal sampling. Metode ini
diterapkan pada kedua primata ini dengan melakukan penandaan pada sumberdaya yang dimanfaatkannya. Penandaan ini bertujuan untuk mengetahui
sumberdaya yang dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang, lutung atau dimanfaatkan oleh keduanya. Sumberdaya atau unit contoh yang diamati dalam
4 penelitian ini adalah pohon. Pohon dimanfaatkan oleh kedua primata ini sebagai
sarana penggunaan ruang baik secara horizontal maupun vertikal dan juga sebagai tumbuhan sumber pakan. Data tentang jenis-jenis pohon yang digunakan oleh
monyet ekor panjang, lutung atau digunakan secara bersama berguna bagi pengelolaan kawasan konservasi CAP beserta isinya.
13 Taman Nasional Alas Purwo pada Resor Rowobendo adalah 27,71 ha,
Trianggulasi 23,64 ha dan Pura Giri Salaka 20,84 ha. Hal ini menunjukkan bahwa luas wilayah jelajah monyet ekor panjang di CAP relatif lebih kecil.
2. Lutung
Luas wilayah jelajah lutung di TWAP adalah 4,7–8,8 ha Brotoisworo Dirgayusa 1991, Megantara Dirgayusa 1992 sedangkan menurut Husodo
Megantara 2002, luas wilayah jelajah lutung di TWAP sebesar 2,78–6,67 ha atau rata-rata 3,46 ha. Berdasarkan hal tersebut maka luas wilayah jelajah lutung
di TWAP mengalami penurunan. Apabila dibandingkan dengan luas wilayah jelajah lutung di kawasan hutan jati Jawa Tengah sebesar 32-43 ha Djuwantoko
1994 maka luas wilayah jelajah lutung tersebut sangatlah kecil.
E. Pakan
Primata membedakan pakannya dalam secara luas seperti frugivory dan folivory Cluton Brock Harvey 1977 namun sering kali lebih detil. Sebagai
contoh buah-buahan mungkin dipilih sebagai pakan karena tingkat kemasak- kannya, ukuran, keasaman, kandungan kimiawi Ungar 1995, ukuran butiran dan
penyebarannya Peres 1996. Ukuran tubuh juga menjadi faktor utama dalam pemilihan pakan. Satwa bertubuh kecil yang membutuhkan pakan berenergi tinggi
cenderung lebih banyak makan serangga, sedangkan satwa yang bertubuh besar yang memerlukan pakan berenergi rendah cenderung memakan dedaunan Kay
1984.
1. Monyet Ekor Panjang
Monyet ekor panjang lebih bersifat omnivora daripada lutung. Monyet ekor panjang memakan buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak,
kadal dan moluska Lekagul Mc Neely 1977. Jenis pakan monyet ekor panjang adalah buah karet Hevea brasiliensis, pucuk padi Oryza sativa dan jagung Zea
mays . Pada daerah rawa mangrove monyet ekor panjang juga merupakan satwa
yang bersifat frugivore–omnivore karena memakan buah Sonneratia spp. dan Nypa fruticans
serta kepiting Crockett Wilson 1977.
14 Menurut Lucas Corlett 1998, monyet ekor panjang dapat membantu
penyebaran biji tumbuhan tetapi tergantung dari morfologi biji dan buah itu sendiri. Buah yang berdaging dengan lebar biji sekitar 3-4 mm akan tertelan,
karena mulutnya tidak dapat merasakan biji tersebut. Biji yang tercampur dengan dagingnya akan dikunyah dan dimuntahkan setelah bersih. Daun yang umum
dimakan oleh monyet ekor panjang di Suaka Alam Bukit Timah Singapura adalah Moraceae Artocarpus elasticus, Ficus spp. dan Streblus elongatus,
Anacardiaceae Gluta walichii, Polygalaceae Xantophyllum maingayi, Rubiaceae Urophyllum spp. dan Symplococaceae Symplocos fasciculata.
Jenis tumbuhan yang tergolong sering dimakan oleh monyet ekor panjang di Pulau Tinjil adalah peuris Antidesma montanum, songgom Melanorhoea
walichii , butun Barringtonia asiatica, waru Hibiscus tiliaceus, jambu
klampok Eugenia cymosa, ketapang Terminalia catapa, kiampelas Ficus ampelas
, kopeng Ficus variegata dan kiara Ficus glomerata. Dari jenis-jenis tersebut tumbuhan yang paling disukai adalah butun Barringtonia asiatica,
sedangkan berdasarkan tingkatannya vegetasi yang disukai adalah pada tingkat pancang Santosa 1996. Menurut Yeager 1976, urutan bagian tumbuhan yang
paling banyak dimakan berturut-turut adalah buah, daun dan bunga. Jenis pohon yang sering dimakan buahnya oleh monyet ekor panjang adalah
Ganua molucana , Diospyros maingayi, Licania splendes, Eugenia sp. dan
Lophopetalum javanicum dengan total konsumsi sekitar 86, kemudian sebagai
pelengkapnya yaitu daun, bunga, insekta, jamur dan lumpur Wheatley 1974. Menurut Hadinoto 1993, kebutuhan pakan monyet ekor panjang setiap ekor
perhari sebanyak 4 dari bobot tubuhnya, serta memerlukan air untuk minum sebanyak 1 liter per ekor setiap harinya. Lawrence 1989 menemukan bahwa
buah yang besar oleh monyet akan dimakan langsung tanpa dipetik terlebih dahulu dengan tujuan efisiensi energi. Untuk memperoleh air dalam memenuhi
kebutuhannya, selain minum dari sumber air, primata dan burung juga memanfaatkan embun yang menempel pada dedaunan dan air yang menggenang
pada batang-batang pohon Alikodra 1990.
15
2. Lutung
Jenis pakan lutung terdiri dari 66 jenis tumbuhan, 50 daun, 32 buah, 13 bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga Supriatna Hendras
2000. Pakan lutung di CAP 27–37 adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5– 27 buah mentah dan 10–12 buah masak. Pakan lutung terdiri dari dedaunan
baik muda atau tua, buah-buahan baik matang ataupun mentah, bunga, kuncup bunga, dan larva serangga Kool 1993.
Menurut Kool 1992, 1993 separuh pakan sub spesies T. auratus sondaicus terdiri atas dedaunan berprotein tinggi. Daun yang dipilih untuk dikonsumsi yaitu
mempunyai kandungan serat rendah dan mudah dicerna. Pucuk daun jati Tectona grandis
merupakan sumber pakan penting apabila jumlah pakan langka. Bebuahan juga dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar
fenol yang lebih tinggi dari dedaunan Kool 1992. Menurut Goltenboth 1976 dan Davies et al. 1988 kadar tanin ini berguna untuk mengurangi kadar
keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Menurut Kool 1993, spesies tumbuhan penting sumber pakan lutung di CAP adalah Ficus sinuata, Ficus
sumatrana dan Vitex pinnata. Namun demikian di CAP wisatawan sering
memberikan pakan yang tidak semestinya pada lutung Watanabe et al. 1996. Pada komunitas dimana terdapat spesies yang berkohabitasi, seperti monyet
ekor panjang dan lutung di CAP, maka terjadi persaingan yang intensif untuk mendapatkan pakan. Seleksi alami mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian
ekologis spesies dalam komunitas dan pada akhirnya terjadi pemisahan relung Pianka 1988
Pada beberapa primata, persaingan intraspesifik dalam mencari pakan berkembang dengan bertambahnya ukuran kelompok melalui persaingan campur
tangangangguan Isbell 1991. Terdapat sedikit data yang tersedia tentang pengaruh persaingan eksploitasi pada spesies yang berkohabitasi Connell 1981.
Teori relung memprediksi bahwa persaingan makan akan mencapai titik tertinggi pada saat makanan kurang dan spesies primata juga akan menunjukkan banyaknya
jenis pakan yang berbeda selama periode ini Schoener 1974. Meskipun kedekatan hubungan spesies dalam pakan dan pemilihan habitat
terbentuk karena ukuran tubuh, morfologi pencernaanusus dan kemampuan organ
16 gerak Clutton-Brock Harvey 1977, namun pada Callimico goeldii, Saguinus
fuscicollis dan S. labiatus mengungkapkan bahwa perbedaan anatomi menyebab-
kan perbedaan dalam adaptasi pencarian makan yang ditunjukkan dalam jenis pakannya Fleagle et al. 1997. Perbedaan morfologis tangan diantara spesies
callitrichine direfleksikan dalam bentuk perbedaan strategi dalam pencarian pakan Bicca-Marques 1999.
F. Perilaku dan Kohabitasi
Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya.
Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya,
mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin,
reproduksi dan sebagainya Alikodra 2002. Fungsi utama perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun
dari dalam Tanudimadja 1978. Satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan
untuk menemukan sumberdayahabitat, pendeteksian adanya bahaya, dan untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial
ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Populasi satwaliar
mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial.
Lutung dan monyet ekor panjang adalah primata yang hidup berkelompok. Lutung adalah satwa arboreal yang beraktivitas pada siang hari Lekagul
McNeely 1977 dan quadropedal yaitu berjalan, berlari dan bergerak secara horizontal dan kontinyu menggunakan keempat tungkainya Fleagle 1978.
Kartikasari 1982 menyatakan bahwa lutung hidup berkelompok yang beranggotakan sekitar 10 ekor, yaitu 1 ekor jantan, beberapa betina dewasa, anak
dan bayi serta poligami. Menurut Medway 1970 lutung budeng berkelompok dengan anggota 6–23 ekor, dengan 1 ekor jantan dewasa sebagai pemimpin
17 kelompok. Aldrich-Blake 1980 menyatakan bahwa monyet ekor panjang adalah
primata pemakan buah, sering berada di tajuk pohon, hidup berkelompok dan menguasai suatu daerah kecil dekat sungai pada ketinggian kurang dari 300 mdpl.
Jumlah individu dalam koloni monyet ekor panjang yaitu 29 ekor Rowe 1996 sedangkan menurut Sularso 2004 yaitu 39 ekor.
Sistem perkawinankekerabatan pada primata berpengaruh pada perbedaan area pencarian pakan yang dimonopoli dengan perilaku teritorial sebagai salah
satu bentuk persaingan interfensi, dan juga memungkinkan terjadinya pemisahan area pencarian pakan Schoener 1993. Membandingkan dua spesies yang secara
ekologi mirip namun berbeda ukuran tubuh dan perilaku sosialnya sangat membantu untuk mengetahui pengaruh kebutuhan energi atau dominasi dalam
strategi pencarian dan pembagian pakan Fedriani et al. 2000. Sistem hierarki dan teritorialisme pada primata menyebabkan perilaku agresivitas intraspesifik secara
terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial Bailey 1984. Pada komunitas dimana satwa berkohabitasi maka terjadi interaksi
diantaranya sympatric. Sympatric adalah keadaan dimana suatu populasi spesies bertemu dan mengalami tumpang tindih overlap daerah jelajahnya Caughley
1984. Tumpang tindih dapat terjadi interaksi ruang, waktu dan sumberdaya dalam suatu habitat. Sebagai contoh adalah interaksi monyet ekor panjang dengan
lutung di CAP. Mekanisme koeksistensi spesies menjadi isu utama dalam ekologi
komunitas Begon et al. 1990. Koeksistensi spesies ini diharapkan dapat memberikan strategi pembedaan relung, terutama ketika sumberdaya langka.
Perbedaan pemilihan sumberdaya merupakan proses dasar peran bersama spesies untuk tetap berkoeksistensi. Pada dekade ini perhatian peneliti terfokus pada
interaksi biotik khususnya menerangkan perbedaan penggunaan habitat diantara spesies yang berkoeksistensi Rosenzweig 1981. Berkurangnya kesamaan relung
pakan dapat terjadi karena pembagian pakan menurut tipe suatu ukuran mangsa dan pemisahan area pencarian pakan Chesson Huntly 1997. Koeksistensi
spesies tergantung pada pembagian sumberdaya sebagai upaya setiap spesies dalam menjamin kelangsungan hidup dan reproduksinya. Koeksistensi atau hidup
bersama pada suatu habitat mungkin saja terjadi dimana spesies memanfaatkan
18 sumberdaya yang sama dan terbatas Basset 1995. Berdasarkan teori pencarian
pakan optimal, Brown 1989 melakukan pendekatan dengan menguji dua spesies yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dan terbatas akhirnya mengetahui
bagaimana mekanisme koeksistensi terjadi. Hal tersebut memperkuat pendapat Martin 1986 yang menyatakan bahwa perbedaan pemanfaatan sumberdayaoleh
spesies yang berkoeksistensi merupakan refleksi yang berbeda dalam sejarah evolusi. Pada spesies yang berkohabitasi mungkin juga tidak terjadi asosiasi pada
skala temporal sehingga tidak terjadi koeksistensi Kronfeld-Schor Dayan 2003. Pemisahan relung secara temporal terjadi pada skala diurnal dimana
pemisahan puncak aktivitas spesies pesaing pada waktu yang berbeda dalam satu hari Gutman Dayan 2005. Pemisahan relung temporal tersebut dapat
menyebabkan pemisahan relung antar spesies yang membutuhkan habitat mirip, meskipun hal tersebut secara sejarah kurang mendapat perhatian daripada
pemisahan habitat atau preferensi pakan Schoener 1974. Salah satu teori relung menyatakan bahwa ketika dua atau lebih spesies
yang berkohabitasi, dalam memanfaatkan habitat dan pakan serta mempengaruhi struktur komunitas tidak akan mutlak miripsama Diamond 1978. Pemilihan
relung adalah pemanfaatan suatu habitat yang tidak dikuasai oleh pesaing interspesiknya Boughman et al. 2005. Misalnya, penggunaan ruang secara
vertikal pada satwa yang berkohabitasi berupa pembagian strata tajuk dalam beraktivitas disebabkan karena agresivitas salah satu atau lebih spesies tersebut
Johns 1986, Peres 1993, Lopes 1993, Walker 1996, Singh et al. 2000. Hal ini yang perlu dikaji lebih lanjut pada kohabitasi monyet ekor panjang dan lutung
pada kawasan konservasi CAP. Pada hakekatnya makluk hidup di muka bumi ini tidak hidup sendirian atau
hanya hidup bersama individu dalam masyarakatnya sendiri, namun selalu berasosiasi dengan spesies lain. Ukuran sejauh mana tingkat seringnya dua spesies
ditemukan secara bersama-sama dalam lokasi yang sama disebut asosiasi interspesifik Odum 1971. Asosiasi interspesifik terjadi karena: a kedua spesies
memilih atau menghindari habitat atau faktor habitat yang sama, b kedua spesies pada umumnya mempunyai kebutuhan dan persyaratan lingkungan abiotik dan
19 biotik yang sama, dan c. salah satu atau kedua spesies memiliki afinitas terhadap
yang lainnya, baik atraksi maupun repulsi Ludwig Reynold 1988. Asosiasi tersebut bisa bersifat menguntungkan, merugikan atau tidak
berpengaruh bagi anggotanya. Keeratan hubungan spesies yang terdapat secara bersama-sama dalam suatu komunitas disebut kohabitasi spesies. Kohabitasi
spesies dalam suatu habitat menggunakan sumberdayayang ada secara bersama dan terdapat beberapa kesamaan. Nilai ukuran kesamaan penggunaan
sumberdayaoleh pasangan spesies berdasarkan data ekologis disebut afinitas spesies yang biasanya diukur dalam fungsi kesamaan. Fungsi kesamaan
resemblance function adalah ukuran kesamaan atau ketidaksamaan antar unit contoh dalam kaitannya dengan komposisi spesies atau antar spesies dalam
penggunaan sumberdaya Krebs 1989. Faktor utama yang dapat mempengaruhi hubungan tropis interspesifik
spesies dan potensi pembagian sumberdayapakan antara lain kelimpahan pakan, ukuran tubuh, dan sistem perkawinankekerabatannya misalnya pada perilaku
teritorial. Kelimpahan pakan
berkaitan langsung
dengan kemampuan menghabiskan dan tingkat persaingan eksploitasi antar individu. Kemudian
berkurangnya kesamaan relung pakan terjadi apabila sumberdaya berkurang dan dibutuhkan pengorbanan yang lebih besar May 1973. Ukuran tubuh berpengaruh
pada kekuatan masing-masing spesies. Ukuran tubuh yang besar bermanfaat dalam melawan pesaing interspesifiknya Shelley et al. 2004 tetapi juga menjadi
kelemahan ketika sumberdaya pakan terpatas, karena tubuh yang besar memerlukan pakan yang lebih banyak Julien-Laferriere 1999. Oleh karena itu
maka pembagian pakan berdasarkan ukuran tubuh mangsa mungkin saja terjadi pada spesies yang berbeda ukuran tubuh, dimana diharapkan semakin besar
ukuran pakan semakin besar pula ukuran tubuh predatornya Marti et al. 1993. Nilai penting informasi perilaku spesies yang berkohabitasi yaitu pertama,
spesies dapat membentuk asosiasi interspesifik dalam menyelingimengisi kokosongan asosiasi spesies dalam sebuah komunitas tanpa terjadi interaksi secara
fisik atau asosiasi polyspesifik antar dua spesies yang berinteraksi sosial Burton Chan 1996. Apabila dua spesies bersaing dalam memanfaatkan
sumberdayayang terbatas, maka studi tentang spesies yang berkohabitasi akan
20 memberikan informasi tentang proses penyesuaian yang menunjukkan seleksi
relung niche dimana iklim, hutan, dan spesies yang bersaing tetap Fleagle 1978. Kedua, pada kasus kohabitasi spesies yang terancam, informasi tentang
substrata pemanfaatan pakan, jenis pakan, aktivitas dan lain-lain dapat membantu dalam membuat rancangan ilmiah yang memperhatikan aspek konservasi dan
strategi pengelolaan Singh et al. 2000.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tidak ada
III. KONDISI UMUM WILAYAH
A. Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan
Kawasan Cagar Alam Pangandaran CAP menyatu dengan Taman Wisata Alam Pangandaran TWAP merupakan semenanjung kecil yang terletak dipantai
selatan Pulau Jawa. Semenanjung ini merupakan sebuah pulau yang dihubungkan dengan daratan utama dan dipisahkan oleh jalur sempit yang diapit antara dua
teluk selebar
±
200 meter.
Gambar 4. Peta CA-TWA Pangandaran Secara administratif pemerintahan CAP dan TWAP berada di Desa
Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat, sedangkan secara geografis kawasan CA dan TWAP terletak pada koordinat
108
°
39
′
05” - 108
°
40
′
48” Bujur Timur dan 7
°
42
′
03“ - 7
°
43
′
48” Lintang Selatan dengan sebelah utara berbatasan dengan Desa Pangandaran, sebelah timur dengan
Teluk Pangandaran, sebelah selatan dengan Samudera Hindia dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Parigi.
Sejarah terbentuknya Kawasan Konservasi Pangandaran dimulai pada saat Residen Priangan yakni Y. Eycken berkuasa tahun 1922 yang mengusulkan untuk
menjadikan kawasan yang semula tempat perladangan menjadi taman buru. Pada