Hubungan Penerimaan Dengan Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Provinsi Di Indonesia

(1)

HUBUNGAN PENERIMAAN DENGAN

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PERKAPITA

PROVINSI DI INDONESIA

Oleh

Noviyani

H14103053

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

Perkapita Provinsi di Indonesia (dibimbing oleh DEWI ULFAH WARDANI).

Dengan adanya desentralisasi, setiap pemerintah daerah memiliki kekuasaan dalam merencanakan dan menentukan arah pembangunan, menggali sumber-sumber penerimaan, menentukan prioritas serta kegiatan pemerintah. Pemerintah daerah memerlukan sumber penerimaan yang memadai untuk membiayai seluruh aktivitas ekonomi, misalnya merencanakan dan menjalankan pembangunan. Tujuan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi pada suatu periode tertentu di suatu daerah, sedangkan untuk setiap penduduk dapat dilihat dengan menggunakan PDRB perkapita. Oleh karena itu, penting untuk melihat bagaimana hubungan penerimaan dengan PDRB perkapita provinsi di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan tingkat penerimaan provinsi dan tingkat PDRB perkapita dengan menggunakan metode koefisien korelasi, mengidentifikasi komponen penerimaan provinsi yang mempengaruhi PDRB perkapita dengan menggunakan metode panel data, dan mengidentifikasi sektor yang mendominasi perekonomian pada provinsi yang memiliki penerimaan tinggi, sedang, dan rendah dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini menggunakan 26 provinsi di Indonesia dan periode yang digunakan mulai tahun 2000 sampai dengan 2004.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Keeratan hubungan antara penerimaan provinsi dengan PDRB perkapita dari tahun 2000 sampai dengan 2004 tidak ada kecenderungn meningkat atau menurun, tetapi berkisar antara 0,6122 sampai dengan 0,7032 yang berarti hubungan kedua variabel cukup kuat, komponen penerimaan provinsi yang mempengaruhi PDRB perkapita secara signifikan dan berhubungan positif yang dapat dilihat pada model Fixed Effect (efek tetap) dengan pembobotan cross section weighted dan white heteroscedasticity yang di Log kan adalah pajak daerah (PD) dengan koefisien sebesar 0,0679, retribusi daerah (RD) dengan koefisien sebesar 0,0098, dan dana alokasi umum (DAU) dengan koefisien sebesar 0,0190.

Sektor yang mendominasi perekonomian pada provinsi yang termasuk kategori penerimaan tinggi adalah sektor industri pengolahan, penerimaan sedang didominasi oleh sektor pertanian, dan pertambangan dan galian. Sedangkan kategori penerimaan rendah didominasi oleh sektor pertanian pada posisi pertama, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran pada posisi kedua. Jumlah provinsi yang termasuk kategori penerimaan tinggi, dan sedang dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 semakin bertambah. Sedangkan jumlah provinsi yang termasuk kategori penerimaan rendah semakin berkurang.

Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah Provinsi diharapkan untuk lebih baik lagi dalam mengelola Pajak dan Retribusi Daerah agar memberikan penerimaan yang besar. Sektor pertanian merupakan sektor


(3)

ii

yang mendominasi perekonomian pada dua per tiga provinsi yang ada di Indonesia dengan kategori penerimaan sedang dan rendah. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan lagi pembangunannya dan dikembangkan agroindustri untuk meningkatkan nilai tambah sehingga penerimaan provinsi dapat meningkat. Selain itu perlu dikembangkan juga pariwisata yang dapat meningkatkan sektor perdagangan hotel dan restoran sebagai sektor kedua terbesar. Penelitian selanjutnya disarankan memasukan variabel pengeluaran untuk melihat pengaruhnya terhadap PDRB perkapita provinsi di Indonesia.


(4)

Oleh Noviyani H14103053

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi penelitian yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Noviyani

Nomor Registrasi Pokok : H14103053 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul : : Hubungan Penerimaan dan Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Provinsi di Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si. NIP. 131 878 941

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872


(6)

BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Noviyani H14103053


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Noviyani, lahir pada tanggal 29 November 1984 di Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan H. Dodi Nadjibudin A. Md dan Erna Sumarni. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar (SD) Negeri Bebedilsn I Ciamis. Lulus dari SD penulis melanjutkan ke tingkat SLTP di SLTPN 1 Ciamis pada tahun 1997. Pada tahun 2000 penulis berhasil diterima di SMUN 2 Ciamis dan lulus pada tahun 2003.

Penulis meninggalkan kota tercinta pada tahun 2003 untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi tempat untuk menggali ilmu dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh penulis. Penulis berhasil masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Departemen ini kemudian berganti nama menjadi Departemen Ilmu Ekonomi pada tahun 2004. Penulis menjalani masa perkuliahan dengan bergabung dalam beberapa organisasi intra dan ekstra kampus yang diantaranya: HIPOTESA, HMI Komisariat FEM IPB, dan PMGC (Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis).


(8)

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Penerimaan dan Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Provinsi di Indonesia”. Perhatian terhadap penerimaan provinsi merupakan hal yang penting, mengingat penerimaan itu digunakan untuk membiayai pembangunan sehingga dapat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Di samping hal tersebut, skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Ulfah Wardani, M. Si. yang telah memberikan bimbingan baik secara teoritis maupun teknis, transfer ilmu serta menyisihkan waktu luangnya untuk konsultasi kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini diantaranya :

1. Alla Asmara, S.Pt., M. Si. yang telah bersedia menjadi dosen penguji dalam ujian sidang penulis serta memberikan saran dan masukan untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

2. Widyastutik, S.E, M.Si yang telah bersedia menjadi komisi pendidikan dalam ujian sidang penulis serta memberikan saran dan masukan untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

3. Ade Holis S.E. yang sangat membantu dalam proses pengolahan data.

4. Desy, Asih, Dp, Prima, Tanti, dan Ponytailers (Santi, Yuliz, Ad, Po2n, Ana, M’Ayu) yang senantiasa membantu, menghibur dan senantiasa memberikan motivasi kepada penulis sampai dengan skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Rekan-rekan departemen ilmu ekonomi angkatan 40 yang senantiasa membantu penulis dalam bertukar pikiran selama proses pengerjaan skripsi sampai dengan skripsi ini selesai.


(9)

viii

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang paling dalam kepada orang tua penulis, yaitu Bapak Dodi Nadjibudin dan Ibu Erna Sumarni yang telah banyak mendukung dan membesarkan penulis dan kepada Teh Dini, dan A Ipan. Kasih sayang dan dukungan mereka sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang semata-mata ditujukan untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada sangat penulis harapkan. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

Noviyani H14103053


(10)

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Ruang Lingkup... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1. Kebijakan Desentralisasi... 7

2.2. Penerimaan Daerah ... 7

2.2.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 8

2.2.2. Dana Perimbangan ... 9

2.2.3. Lain-lain Pendapatan yang Sah... 11

2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 11

2.4. Penelitian Terdahulu ... 13

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 15

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 17

4.2. Model Umum Penelitian ... 18

4.3. Metode Analisis ... 18

4.3.1. Koefisien Korelasi... 18

4.3.2. Panel Data ... 19

4.3.2.1. Model dalam Panel Data ... 20

4.3.2.1.1. Model Fixed Effect... 20


(11)

HUBUNGAN PENERIMAAN DENGAN

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PERKAPITA

PROVINSI DI INDONESIA

Oleh

Noviyani

H14103053

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(12)

Perkapita Provinsi di Indonesia (dibimbing oleh DEWI ULFAH WARDANI).

Dengan adanya desentralisasi, setiap pemerintah daerah memiliki kekuasaan dalam merencanakan dan menentukan arah pembangunan, menggali sumber-sumber penerimaan, menentukan prioritas serta kegiatan pemerintah. Pemerintah daerah memerlukan sumber penerimaan yang memadai untuk membiayai seluruh aktivitas ekonomi, misalnya merencanakan dan menjalankan pembangunan. Tujuan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi pada suatu periode tertentu di suatu daerah, sedangkan untuk setiap penduduk dapat dilihat dengan menggunakan PDRB perkapita. Oleh karena itu, penting untuk melihat bagaimana hubungan penerimaan dengan PDRB perkapita provinsi di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan tingkat penerimaan provinsi dan tingkat PDRB perkapita dengan menggunakan metode koefisien korelasi, mengidentifikasi komponen penerimaan provinsi yang mempengaruhi PDRB perkapita dengan menggunakan metode panel data, dan mengidentifikasi sektor yang mendominasi perekonomian pada provinsi yang memiliki penerimaan tinggi, sedang, dan rendah dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini menggunakan 26 provinsi di Indonesia dan periode yang digunakan mulai tahun 2000 sampai dengan 2004.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Keeratan hubungan antara penerimaan provinsi dengan PDRB perkapita dari tahun 2000 sampai dengan 2004 tidak ada kecenderungn meningkat atau menurun, tetapi berkisar antara 0,6122 sampai dengan 0,7032 yang berarti hubungan kedua variabel cukup kuat, komponen penerimaan provinsi yang mempengaruhi PDRB perkapita secara signifikan dan berhubungan positif yang dapat dilihat pada model Fixed Effect (efek tetap) dengan pembobotan cross section weighted dan white heteroscedasticity yang di Log kan adalah pajak daerah (PD) dengan koefisien sebesar 0,0679, retribusi daerah (RD) dengan koefisien sebesar 0,0098, dan dana alokasi umum (DAU) dengan koefisien sebesar 0,0190.

Sektor yang mendominasi perekonomian pada provinsi yang termasuk kategori penerimaan tinggi adalah sektor industri pengolahan, penerimaan sedang didominasi oleh sektor pertanian, dan pertambangan dan galian. Sedangkan kategori penerimaan rendah didominasi oleh sektor pertanian pada posisi pertama, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran pada posisi kedua. Jumlah provinsi yang termasuk kategori penerimaan tinggi, dan sedang dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 semakin bertambah. Sedangkan jumlah provinsi yang termasuk kategori penerimaan rendah semakin berkurang.

Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah Provinsi diharapkan untuk lebih baik lagi dalam mengelola Pajak dan Retribusi Daerah agar memberikan penerimaan yang besar. Sektor pertanian merupakan sektor


(13)

ii

yang mendominasi perekonomian pada dua per tiga provinsi yang ada di Indonesia dengan kategori penerimaan sedang dan rendah. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan lagi pembangunannya dan dikembangkan agroindustri untuk meningkatkan nilai tambah sehingga penerimaan provinsi dapat meningkat. Selain itu perlu dikembangkan juga pariwisata yang dapat meningkatkan sektor perdagangan hotel dan restoran sebagai sektor kedua terbesar. Penelitian selanjutnya disarankan memasukan variabel pengeluaran untuk melihat pengaruhnya terhadap PDRB perkapita provinsi di Indonesia.


(14)

Oleh Noviyani H14103053

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi penelitian yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Noviyani

Nomor Registrasi Pokok : H14103053 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul : : Hubungan Penerimaan dan Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Provinsi di Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si. NIP. 131 878 941

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872


(16)

BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Noviyani H14103053


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Noviyani, lahir pada tanggal 29 November 1984 di Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan H. Dodi Nadjibudin A. Md dan Erna Sumarni. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar (SD) Negeri Bebedilsn I Ciamis. Lulus dari SD penulis melanjutkan ke tingkat SLTP di SLTPN 1 Ciamis pada tahun 1997. Pada tahun 2000 penulis berhasil diterima di SMUN 2 Ciamis dan lulus pada tahun 2003.

Penulis meninggalkan kota tercinta pada tahun 2003 untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi tempat untuk menggali ilmu dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh penulis. Penulis berhasil masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Departemen ini kemudian berganti nama menjadi Departemen Ilmu Ekonomi pada tahun 2004. Penulis menjalani masa perkuliahan dengan bergabung dalam beberapa organisasi intra dan ekstra kampus yang diantaranya: HIPOTESA, HMI Komisariat FEM IPB, dan PMGC (Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis).


(18)

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Penerimaan dan Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Provinsi di Indonesia”. Perhatian terhadap penerimaan provinsi merupakan hal yang penting, mengingat penerimaan itu digunakan untuk membiayai pembangunan sehingga dapat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Di samping hal tersebut, skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Ulfah Wardani, M. Si. yang telah memberikan bimbingan baik secara teoritis maupun teknis, transfer ilmu serta menyisihkan waktu luangnya untuk konsultasi kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini diantaranya :

1. Alla Asmara, S.Pt., M. Si. yang telah bersedia menjadi dosen penguji dalam ujian sidang penulis serta memberikan saran dan masukan untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

2. Widyastutik, S.E, M.Si yang telah bersedia menjadi komisi pendidikan dalam ujian sidang penulis serta memberikan saran dan masukan untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

3. Ade Holis S.E. yang sangat membantu dalam proses pengolahan data.

4. Desy, Asih, Dp, Prima, Tanti, dan Ponytailers (Santi, Yuliz, Ad, Po2n, Ana, M’Ayu) yang senantiasa membantu, menghibur dan senantiasa memberikan motivasi kepada penulis sampai dengan skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Rekan-rekan departemen ilmu ekonomi angkatan 40 yang senantiasa membantu penulis dalam bertukar pikiran selama proses pengerjaan skripsi sampai dengan skripsi ini selesai.


(19)

viii

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang paling dalam kepada orang tua penulis, yaitu Bapak Dodi Nadjibudin dan Ibu Erna Sumarni yang telah banyak mendukung dan membesarkan penulis dan kepada Teh Dini, dan A Ipan. Kasih sayang dan dukungan mereka sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang semata-mata ditujukan untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada sangat penulis harapkan. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

Noviyani H14103053


(20)

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Ruang Lingkup... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1. Kebijakan Desentralisasi... 7

2.2. Penerimaan Daerah ... 7

2.2.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 8

2.2.2. Dana Perimbangan ... 9

2.2.3. Lain-lain Pendapatan yang Sah... 11

2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 11

2.4. Penelitian Terdahulu ... 13

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 15

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 17

4.2. Model Umum Penelitian ... 18

4.3. Metode Analisis ... 18

4.3.1. Koefisien Korelasi... 18

4.3.2. Panel Data ... 19

4.3.2.1. Model dalam Panel Data ... 20

4.3.2.1.1. Model Fixed Effect... 20


(21)

x

4.3.2.2. Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel ... 22

4.3.2.3. Evaluasi Model ... 23

4.3.2.3.1. Multikolinieritas... 24

4.3.2.3.2. Autokorelasi ... 24

4.3.2.3.3. Heteroskedastisitas... 25

4.3.3. Analisis Deskriptif ... 26

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI INDONESIA ... 28

5.1. Keadaan Geografis ... 28

5.2. Keadaan Demografis... 29

5.3. Keadaan Keuangan... 31

5.3.1. Keuangan Negara Indonesia ... 31

5.3.2. Keuangan Provinsi di Indonesia... 32

5.4. Pertumbuhan Ekonomi... 33

5.4.1. Produk Domestik Bruto (PDB) ... 33

5.4.2. Pendapatan Perkapita ... 34

5.4.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 34

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

6.1. Hubungan Penerimaan dengan PDRB Perkapita Provinsi... 36

6.2. Hubungan Komponen Penerimaan Provinsi dengan PDRB Perkapita... 38

6.2.1. Pemilihan Model dan Evaluasi Model ... 38

6.2.2. Interpretasi Model Fixed Effect (Efek Tetap) dengan Pembobotan Cross Section Weighted dan White Heteroscedasticity yang di Log kan... 44

6.2.3. Pajak Daerah sebagai Komponen Penerimaan yang Mempengaruhi PDRB Perkapita...………... 44

6.2.4. Retribusi Daerah sebagai Komponen Penerimaan yang Mempengaruhi PDRB Perkapita ……...…... 46

6.2.5. Dana Alokasi Umum sebagai Komponen Penerimaan yang Mempengaruhi PDRB Perkapita ...……….. 48

6.3. Sektor yang Mendominasi Perekonomian pada Provinsi yang Memiliki Penerimaan Tinggi, Sedang, dan Rendah ... 50


(22)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 56 7.1. Kesimpulan ... 56 7.2. Saran... 57 DAFTAR PUSTAKA ... 58 LAMPIRAN... 60


(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

4.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ... 25 5.1. Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Provinsi Tahun

2000-2005 ... 30 6.1. Hasil Estimasi Metode Analisis Koefisien Korelasi ... 37 6.2. Hasil Estimasi Model Fixed Effect (Efek Tetap) dengan Pembobotan Cross

Section Weighted dan White Heteroscedasticity... 40 6.3. Hasil Estimasi Model Fixed Effect (Efek Tetap) dengan Pembobotan Cross

Section Weighted dan White Heteroscedasticity yang di Log kan... 42 6.4a. Pengelompokkan Tinggi Rendahya Penerimaan Provinsi dan

Pengelompokkan Dua Jenis Sektor Dominan ... 51 6.4b. Pengelompokkan Tinggi Rendahya Penerimaan Provinsi dan


(24)

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data GDP Deflator... 60 2. Data Jumlah Penerimaan Provinsi di Indonesia Tahun 2000-2004 ... 61 3. Data PDRB Perkapita atas Harga Konstan Tahun 2000 Provinsi di

Indonesia Tahun 2000-2004... 62 4. DataPenerimaan Pajak Daerah Provinsi di Indonesia Tahun 2000-2004 . 63 5. Data Penerimaan Retribusi Daerah Provinsi di Indonesia Tahun 2000-

2004... 64 6. Data Penerimaan Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak Provinsi di Indonesia Tahun 2000-2004 ... 65 7. Data Penerimaan Dana Alokasi Umum Provinsi di Indonesia Tahun 2000-

2004... 66 8. Data Jumlah PDRB atas Harga Konstan Tahun 2000 Provinsi di Indonesia

Tahun 2000-2004 ... 67 9. Data Jumlah PDRB Provinsi di Indonesia dengan Harga Konstan Tahun 2000Berdasarkan Sektor Tahun 2000 ... 68 10.Data Jumlah PDRB Provinsi di Indonesia dengan Harga Konstan Tahun 2000Berdasarkan Sektor Tahun 2001 ... 69 11.Data Jumlah PDRB Provinsi di Indonesia dengan Harga Konstan Tahun 2000Berdasarkan Sektor Tahun 2002 ... 70 12.Data Jumlah PDRB Provinsi di Indonesia dengan Harga Konstan Tahun 2000Berdasarkan Sektor Tahun 2003 ... 71 13.Data Jumlah PDRB Provinsi di Indonesia dengan Harga Konstan Tahun 2000Berdasarkan Sektor Tahun 2004 ... 72 14.Hasil Estimasi Model Fixed Effect dengan Pembobotan No Weighting

dan White Heteroscedasticity... 73 15.Hasil Estimasi Model Fixed Effect dengan Pembobotan No Weighting

dan White Heteroscedasticity yang di Log kan... 74 16.Hasil Estimasi Model Fixed Effect dengan Pembobotan Cross Section


(26)

17.Jumlah Penerimaan Provinsi Selama Lima Tahun, dan Kategori Penerimaan Tinggi, Sedang, dan Rendah ... 77


(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32 dan No. 34 tahun 2004 tentang desentralisasi, pemerintah pusat lebih besar membagi tugasnya dengan pemerintah daerah. Dengan adanya desentralisasi, setiap pemerintah daerah memiliki kekuasaan dalam merencanakan dan menentukan arah pembangunan, menggali sumber-sumber penerimaan, menentukan prioritas serta kegiatan pemerintah. Tujuan desentralisasi adalah memberdayakan dan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah sehingga dapat mengurangi kesenjangan antar daerah. Selain itu, desentralisasi juga dapat menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab.

Pemerintah daerah memerlukan sumber penerimaan yang memadai untuk membiayai seluruh aktivitas perekonomian, misalnya: merencanakan dan menjalankan pembangunan. Semakin besar penerimaan daerah, semakin besar pulalah kemampuan daerah untuk menyelenggarakan aktivitas dalam usaha-usahanya dibidang keamanan, ketertiban umum, sosial, kebudayaan dan kesejahteraan bagi wilayah dan penduduknya, atau dengan kata lain semakin besarlah kemampuan daerah untuk memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.

Sumber penerimaan pembangunan daerah, bersumber dari kemampuan sendiri dengan prinsip peningkatan kemandirian dalam pelaksanaan


(28)

pembangunan. Dengan sumber pembiayaan yang ada, pemerintah daerah dipacu untuk meningkatkan kemampuan seoptimal mungkin dalam membelanjakan urusan rumah tangga sendiri, dengan cara menggali segala sumber dana yang potensial yang ada di daerah tersebut, dalam hubungan ini pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi terus disempurnakan agar dapat menghimpun dana yang cukup untuk membiayai aktivitas pembangunan.

Sumber penerimaan provinsi di Indonesia menurut jenis penerimaan berasal dari: Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Sedangkan PAD sendiri berasal dari : pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan dana perimbangan berasal dari : bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di daerah dalam jangka waktu tertentu. Tujuan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam periode tertentu (Mankiew, 1999). PDRB perkapita adalah hasil pembagian jumlah PDRB dengan jumlah penduduk suatu daerah, sehingga PDRB tinggi belum tentu PDRB perkapita juga tinggi. Jika PDRB di suatu daerah tinggi dan jumlah penduduknya juga tinggi, maka PDRB perkapita di daerah tersebut akan menjadi rendah.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut jenis sektor diperoleh dari sektor pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik,


(29)

3

gas dan air bersih; bangunan; perdagangan; hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan; persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa.

Pemerintah daerah sebagai penggerak pembangunan, akan berusaha untuk menghasilkan penerimaan yang tinggi. Hal ini bisa terwujud apabila pemerintah daerah dapat menggunakan potensi yang ada di daerah dengan sebaik mungkin, sehingga dapat membiayai seluruh aktivitas perekonomian. Oleh karena itu, penting untuk melihat bagaimana hubungan penerimaan dengan PDRB perkapita yang menunjukkan aktivita perekonomian provinsi di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Provinsi sebagai penggerak pembangunan memerlukan dana untuk membiayai pembangunan. Dana tersebut dapat berasal dari PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi, maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri melalui sumber-sumber penerimaan yang dimiliki. Hal ini meliputi semua kekayaan yang dikuasai oleh daerah dengan batas-batas kewenangan yang ada, dan selanjutnya digunakan untuk membiayai semua aktivitas dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga provinsi tersebut. Aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh setiap penduduk dapat dilihat dengan menggunakan PDRB perkapita.


(30)

Berdasarkan penjelasan di atas dan latar belakang dapat dirumuskan permasalahan penelitian, yaitu :

1. Bagaimana keeratan hubungan penerimaan provinsi dengan PDRB perkapita ? 2. Apa saja komponen penerimaan provinsi yang mempengaruhi PDRB

perkapita ?

3. Apa saja sektor yang mendominasi perekonomian pada provinsi yang memiliki penerimaan tinggi, sedang, dan rendah ?

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut

a. Mengidentifikasi keeratan hubungan penerimaan provinsi dengan PDRB perkapita.

b. Mengidentifikasi komponen penerimaan provinsi yang mempengaruhi PDRB perkapita.

c. Mengidentifikasi sektor yang mendominasi perekonomian pada provinsi yang memiliki penerimaan tinggi, sedang, dan rendah.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berwenang dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan desentralisasi, terutama pembuat kebijakan yang dapat meningkatkan penerimaan provinsi agar dapat membiayai aktivitas ekonomi provinsi. Penulis mengharapkan agar tulisan dan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya, baik bagi mahasiswa yang akan


(31)

5

meneruskan penelitian ini maupun bagi kalangan umum lainnya. Bagi penulis sendiri sebagai wadah pembelajaran yang sangat bermanfaat dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.

1.5. Ruang Lingkup

Indonesia saat ini terdiri dari 33 provinsi yang merupakan hasil pemekaran dari awalnya 26 provinsi. Untuk kekonsistenan data dan karena tujuan penelitian ini tidak untuk menganalisis setiap provinsi, tapi melihat hubungan penerimaan dan pertumbuhan ekonomi provinsi secara keseluruhan, maka penelitian ini menggunakan 26 provinsi. Dua puluh enam provinsi yang dimaksud adalah

1. Nangroe Aceh Darussalam (NAD), 2. Sumatera Utara,

3. Sumatera Barat, 4. Riau,

5. Jambi,

6. Sumatera Selatan, 7. Bengkulu,

8. Lampung, 9. DKI Jakarta, 10.Jawa Barat, 11.Jawa Tengah, 12.Jawa Timur, 13.DI Yogyakarta,


(32)

14.Bali,

15.Nusa Tenggara Barat, 16.Nusa Tenggara Timur, 17.Kalimantan Tengah, 18.Kalimantan Selatan, 19.Kalimantan Barat, 20.Kalimantan Timur, 21.Sulawesi Utara, 22.Sulawesi Tengah, 23.Sulawesi Selatan, 24.Sulawesi Tenggara, 25.Maluku, dan

26.Papua.

Provinsi Banten digabungkan dengan Provinsi Jawa Barat, Provinsi Bangka Belitung digabungkan dengan Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kepulauan Riau digabungkan dengan Provinsi Riau, Provinsi Gorontalo digabungkan dengan Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Barat digabungkan dengan Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Maluku Utara digabungkan dengan Provinsi Maluku, dan Provinsi Irian Jaya Barat digabungkan dengan Provinsi Papua. Komponen penerimaan provinsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pajak daerah, retribusi daerah, bagi hasil pajak/bukan pajak, dan Dana Alokasi Umum (DAU). Sedangkan periode yang digunakan mulai tahun 2000 sampai dengan 2004.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Desentralisasi

Kebijakan Desentralisasi menurut Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah pemberian wewenang pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi dan prakarsa mereka. Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama.

Kebijakan desentralisasi ini, menurut UU No. 34 Tahun 2004, bertujuan: (1) memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, (2) menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab, serta (3) mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah.

2.2. Penerimaan Provinsi

Realisasi penerimaan provinsi adalah realisasi/ perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi pada tiap tahun anggaran. Sumber penerimaan provinsi dalam rangka otonomi daerah, menurut UU No. 34 tahun 2004 terdiri dari :

1. Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Perimbangan


(34)

3. Lain-lain Penerimaan yang sah.

2.2.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Adalah penerimaan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam

membiayai kegiatannya. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.

2.2.1.1. Pajak Daerah

Adalah pungutan yang dilakukan pemerintah daerah (Pemda) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak daerah ini dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu pajak daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah dan pajak negara yang pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada daerah. Penerimaan pajak daerah antara lain: pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan lain-lain.

2.2.1.2. Retribusi Daerah

Yaitu pungutan daerah yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh Pemda secara langsung dan nyata kepada pembayar. Retribusi daerah dibagi dalam tiga bagian yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perijinan tertentu.


(35)

9

Contoh retribusi jasa umum antara lain: pelayanan kesehatan, pengujian kendaraan bermotor, penggantian biaya cetak peta, pengujian kapal perikanan, dan lain-lain. Contoh retribusi jasa usaha, antara lain: pemakaian kekayaan daerah, pasar grosir dan atau pertokoan, penjualan produksi daerah, dan lain-lain. Contoh retribusi perijinan tertentu antara lain ijin peruntukan penggunaan tanah, ijin trayek, dan lain-lain.

2.2.1.3.Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan.

Adalah penerimaan yang berupa hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang terdiri dari: bagian laba Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), bagian laba lembaga keuangan bank, bagian laba lembaga keuangan non bank, bagian laba perusahaan milik daerah lainnya, dan bagian laba atas penyertaan modal/investasi kepada pihak ketiga.

2.2.1.4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Yaitu meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dapat dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

2.2.2. Dana Perimbangan

Adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan


(36)

terdiri dari Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak, Dana Alokasi Umun (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

2.2.2.1.Bagi Hasil Pajak

Bagi hasil pajak terdiri dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri, dan PPh Pasal 21 orang pribadi (termasuk PPh 21), dan lain-lain.

2.2.2.2.Bagi Hasil Bukan Pajak

Bagi hasil bukan pajak terdiri dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), pemberian hak atas tanah Negara, landrent, iuran eksplorasi/ekploitasi/royalty, pungutan pengusaha perikanan dan hasil perikanan, hasil pertambangan minyak bumi/gas alam, dan lain-lain.

2.2.2.3.Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer dana dari pemerintah pusat ke Pemda yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan fiskal antar daerah dalam rangka membantu kemandirian Pemda menjalankan fungsi dan tugasnya melayani masyarakat.


(37)

11

2.2.2.4.Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang disediakan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus. Ada tiga kriteria dari kebutuhan khusus seperti ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: 1) Kebutuhan tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus dana

alokasi umum,

2) Kebutuhan merupakan komitmen atau prioritas nasional, dan

3) Kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil.

Dengan demikian DAK pada dasarnya merupakan transfer yang bersifat spesifik untuk tujuan-tujuan yang sudah digariskan.

2.2.3. Lain-lain Pendapatan yang Sah

Adalah penerimaan lainnya dari pemerintah pusat dan atau dari instansi pusat, serta dari daerah lainnya. Lain-lain penerimaan yang sah, terdiri dari: bantuan dana kontijensi/penyeimbang/penyesuaian dari pemerintah, dan dana darurat yang merupakan dana dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa dan/atau krisis solvability.

2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada


(38)

dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS, 2003).

PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.

Untuk menghitung angka-angka PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, dan dijelaskan berikut ini:

a. Pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu : (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9) jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub sektor,


(39)

13

b. Pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan (balas jasa kewiraswastaan/enterpreneurship); semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi), dan

c. Pendekatan pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok, dan (5) ekspor neto, (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).

Secara konsep tiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena didalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto.

2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian Brata (2004) yang mengidentifikasi implikasi komposisi penerimaan provinsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Data yang digunakan adalah data panel penerimaan provinsi, dan PDRB per kapita migas


(40)

dan non migas yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi., periode waktu mulai tahun 1995 sampai tahun 1998. Komposisi penerimaan sektor publik yang digunakan adalah bagian sisa tahun lalu, bagian PAD, bagian bagi hasil pajak/bukan pajak, dan bagian sumbangan dan bantuan. Penelitian ini menggunakan tiga estimasi, yaitu: tanpa variabel boneka, estimasi dengan variabel tahun, dan estimasi dengan variabel tahun dan Provinsi. Untuk kepentingan analisis yang digunakan adalah estimasi dengan variabel tahun dan Provinsi.

Penelitian Brata (2004) menemukan bahwa komponen penerimaan pemerintah daerah yaitu PAD, dan Bagian Sumbangan dan Bantuan memberikan pengaruh yang signifikan dimana koefisien regresinya bertanda positif terhadap PDRB per kapita termasuk migas dan non migas. Sedangkan komponen penerimaan bagi hasil pajak/bukan pajak tidak memberikan pengaruh signifikan dimana koefisien regresinya bertanda postif pada estimasi dengan PDRB per kapita termasuk migas dan bertanda negatif pada estimasi dengan PDRB per kapita non migas.


(41)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Pembangunan daerah ditujukan untuk pengembangan masyarakat di dalam suatu daerah. Pembangunan daerah membutuhkan alokasi sumber daya yang optimal baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang diharapkan dapat membiayai seluruh aktivitas ekonomi. Keberhasilan pembangunan di suatu daerah dapat dilihat dari bagaimana peranan struktur perekonomiannya.

Indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan keberhasilan pembangunan provinsi dapat dilihat dari besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita yang meringkas aktivitas ekonomi, dan penerimaan provinsi. PDRB perkapita dapat dihitung dengan melihat bagaimana nilai tambah yang dihasilkan setiap sektor ekonominya dibagi dengan jumlah penduduk provinsi tersebut. Dengan demikian struktur perekonomian provinsi sangat dipengaruhi oleh kemampuan tiap-tiap sektor dalam pencapaian nilai tambah. Dari struktur perekonomian akan didapatkan gambaran secara umum tentang potensi ekonomi suatu provinsi yang akan bermanfaat bagi pembangunan provinsi tersebut.

Penerimaan provinsi digunakan untuk membiayai pembangunan., dalam hal ini provinsi dipacu untuk meningkatkan kemampuan seoptimal mungkin dengan mengembangkan potensi yang ada di daerah sehingga menghasilan penerimaan yang besar. Sumber penerimaan provinsi yang memberikan kontribusi yang besar adalah pajak daerah, retribusi daerah, bagi hasil pajak/bukan pajak, dan dana alokasi umum.


(42)

Kerangka pemikiran sebagaimana dikemukakan sebelumnya, secara ringkas disajikan pada gambar berikut :

Keberhasilan Pembangunan

Penerimaan Provinsi

• Pajak Daerah

• Retribusi Daerah

• Bagi hasil pajak/bukan pajak

• Dana Alokasi Umum (DAU)

PDRB perkapita Jenis-jenis sektor :

• Pertanian

• Pertambangan & penggalian

• Industri pengolahan

• Listrik, gas, & air bersih

• Bangunan

• Perdagangan, hotel & Restoran

• Pengangkutan & Komunikasi

• Keuangan, penyewaan & jasa perusahaan

• Jasa-jasa

•Korelasi penerimaan Provinsi dengan PDRB per kapita

•Regresi komponen penerimaan Provinsi dan PDRB per kapita

• Tabulasi untuk analisis deskriptif

Keterangan :

: Analisis yang dilakukan : Garis hubungan


(43)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, dengan periode data mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Data sekunder tersebut meliputi data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan harga konstan tahun 2000, jumlah penduduk tiap provinsi, dan data penerimaan provinsi yang dideflasi dengan menggunakan Gross Domestik Produk (GDP) deflator (Lampiran 1.). Data PDRB diperoleh dari PDRB provinsi-provinsi di Indonesia, dan data penerimaan diperoleh dari realisasi penerimaan provinsi yang dipublikasikan oleh BPS. Dengan menggabungkan data dari 26 provinsi selama lima tahun akan diperoleh 130 observasi.

Komponen penerimaan provinsi yang digunakan untuk penelitian ini, terdiri dari lima bagian yaitu: Bagian Pajak Daerah, Bagian Retribusi Daerah, Bagian Bagi Hasil Pajak/Bagian Bagi Hasil Bukan Pajak, dan Bagian Dana Alokasi Umum (DAU). Sedangkan sektor- sektor dalam PDRB yang digunakan adalah sektor pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; bangunan; perdagangan; hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan; persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa.


(44)

4.2. Model Umum Penelitian

Model yang digunakan untuk melihat hubungan antara penerimaan provinsi dan PDRB per kapita adalah sebagai berikut.

Yit =α + β1 PDit + β2 RDit + β3 BHit + β4 DAUit + it (4.1)

Keterangan :

Yit : PDRB per kapita dengan harga konstan tahun 2000 (rupiah) PD : penerimaan dari pajak daerah (rupiah)

RD : penerimaan dari retribusi daerah (rupiah)

BH : penerimaan dari bagi hasil pajak/bukan pajak (rupiah) DAU : penerimaan dari Dana Alokasi Umum (rupiah)

α : intersep β : slope i : individu ke-i t : periode waktu ke-t

: error/simpangan.

PDRB perkapita dengan harga konstan tahun 2000 PDRB dengan harga konstan tahun 2000

=

Jumlah penduduk (4.2)

4.3. Metode Analisis 4.3.1. Kofisien Korelasi

Untuk melihat keeratan hubungan antara jumlah penerimaan dan jumlah PDRB per kapita digunakan analisis koefisien korelasi dengan rumus :


(45)

19

=

2 2

y x

xy

r (4.3)

-1 ≤ r ≤ 1 Keterangan :

r : koefisien korelasi x : jumlah penerimaan y : jumlah PDRB perkapita

Jika koefisien korelasi mendekati angka 1 atau -1, maka korelasi yang terjadi akan semakin kuat baik positif maupun negatif. Sebaliknya jika semakin mendekati 0, maka korelasi yang terjadi lemah.

4.3.2. Panel Data

Metode analisis Panel Data digunakan untuk mengetahui komponen penerimaan provinsi yang mempengaruhi PDRB perkapita. Model ini menggunakan kombinasi set data runtun waktu (time series) dan kerat lintang (cross section). Analisis panel data adalah subjek dari salah satu bentuk yang cukup aktif dan inovatif dalam literatur ekonometrik. Hal ini dikarenakan panel data menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teoritikal. Dalam bentuk praktis, peneliti telah dapat menggunakan data runut waktu (time series) dan kerat lintang (cross section) untuk menganalisis masalah yang tidak dapat diatasi jika hanya menggunakan salah satunya saja. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan data panel, yang diantaranya sebagai berikut:


(46)

2) Banyak memperoleh informasi lebih bervariasi, mengurangi kolinieritas antar variabel, meningkatkan derajat kebebasan serta lebih efisien,

3) Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment,

4) Mampu lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section murni atau data time series murni,

5) Dapat menguji dan mengembangkan model perilaku yang lebih kompleks. Keunggulan fundamental panel data daripada runut waktu (time series) ataupun kerat lintang (cross section) adalah bahwa panel data akan membiarkan peneliti untuk lebih fleksibel dalam memodelkan perbedaan sifat tiap data pengamatan.

4.3.2.1.Model Dalam Panel Data

Model panel data memiliki 3 model yaitu Pooled (OLS), Fixed Effect (LSDV) atau model efek tetap, dan Random Effect (GLS) atau model efek acak. Model Pooled (OLS) tidak dapat digunakan pada penelitian ini karena tidak dapat menganalisis heterogenitas individu.

4.3.2.1.1.Model Efek Tetap (Fixed Effect)

Masalah terbesar dalam pendekatan model kuadrat terkecil adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang mungkin kurang beralasan. Untuk mengatasi masalah ini maka kita bisa menggunakan Model Efek Tetap (Fixed Effect).


(47)

21

Model Efek Tetap (Fixed Effect) yaitu model yang didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section dan time series. Peubah boneka (dummy) dapat ditambahkan ke dalam model untuk memungkinkan perubahan-perubahan intersep ini lalu model diduga dengan OLS, dengan persamaan sebagi berikut.

Yit = ∑αiDi+ β Xit + it (4.4) Keterangan :

Yit : variabel endogen Xit : variabel eksogen

αi : intersep model yang berubah-ubah antar cross section unit β : slope

D : variabel boneka (dummy) i : individu ke-i

t : periode waktu ke-t : error/simpangan.

4.3.2.1.2.Model Efek Acak (Random Effect)

Keputusan untuk memasukan variabel boneka dalam model efek tetap tak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan konsekuensi. Penambahan variabel boneka akan dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka kita bisa menggunakan Model Efek Acak (Random Effect).


(48)

Dalam model efek acak parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukan ke dalam error. Karena hal inilah model efek acak sering juga disebut model komponen error (error component model).

Bentuk model efek acak ini bisa dijelaskan pada persamaan berikut : Yit = α0 + β Xit + it (4.5)

it = uit + vit + wit (4.6)

Keterangan :

uit ~ N(0, u2) : komponen cross section error vit ~ N(0, v2) : komponen time series error wit ~ N(0, w2) : komponen combinations error,

Diasumsikan bahwa error secara individual tidak saling berkolerasi dan begitu juga dengan error kombinasinya.

Penggunakan model efek acak dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan pada model efek tetap. Hal ini berimplikasi, parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi semakin efisien.

4.3.2.2.Pemilihan Model Dalam Pengolahan Panel Data

Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Untuk memilih model Fixed Effect (LSDV) atau model efek tetap, dan Random Effect (GLS) atau model efek acak dapat menggunakan Hausman Test.


(49)

23

Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat bebas dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect pun harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.

Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut. H0: Model Random Effects Model

H1: Model Fixed Effects Model.

Sebagai dasar penolakan Hipotesa nol maka digunakan Statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square.

Statistik Hausman dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut.

(

)(

' 0 1

) (

1

m= b- b M - M - b- b

)

~ 2

(

)

(4.7)

K c

Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fix effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarians untuk dugaan Fixed Effects Model dan M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan Random Effects Model. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari -Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.

2 c

4.3.2.3.Evaluasi Model

Sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien, tidak bias, dan konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran/gangguan


(50)

asumsi dasar ekonometrika, yang berupa gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu atau variabel (cross sectional disturbance), dan gangguan akibat keduanya. Pengujian model yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut.

4.3.2.3.1.Multikolinearitas

Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F hitungnya signifikan, maka patut diduga adanya multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan menghilangkan variabel yang tidak signifikan.

4.3.2.3.2.Autokorelasi

Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya, untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam eviews. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW tabel. Adapun kerangka identifikasi Autokorelasi terangkum dalam Tabel 4.1.

Autokorelasi ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan autokorelasi, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Penanganan untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR(1)


(51)

25

atau AR(2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang digunakan.

Tabel 4.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi

Nilai DW Hasil

4-dl<DW<4 Tolak H0, korelasi serial negatif 4-dl<DW<4-dl Hasil tidak dapat ditentukan

2<DW<4-du Terima H0, tidak ada korelasi serial du<DW<2 Terima H0, tidak ada korelasi serial dl<DW<du Hasil tidak dapat ditentukan

0<DW<dl Tolak H0, korelasi serial positif

4.3.2.3.3.Heteroskedastisitas

Dalam regresi linier ganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui)= σ2 (konstan), semua varian mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya heteroskedastisitas diperoleh pada data kerat lintang (cross section). Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan terjadi ”misleading” (Gujarati,1978).

Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas, digunakan uji-white heteroscedasticity yang diperoleh dalam program eviews. Dengan uji white, membandingkan Obs* R-Squared dengan X (Chi-Squared) tabel, jika nilai Obs* R-Squared lebih kecil daripada X (Chi-Squared) tabel maka


(52)

tidak ada heteroskedastisitas pada model. Dalam pengolahan data panel dalam Eviews 4.1 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisistas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Square resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics < Sum Square resid Unweighted statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk men-treatment pelanggaran tersebut, bisa mengestimasi GLS dengan White Heteroskedasticity.

4.3.3. Analisis Deskriptif

Analisis ini digunakan untuk mengetahui sektor yang mendominasi perekonomian pada provinsi yang memiliki kategori penerimaan tinggi, sedang, dan rendah. Hal ini dilakukan untuk mengekstrak informasi tingkat pertumbuhan penerimaan dihubungkan dengan memilih dua sektor dominan pada Produk Domestk Regional Bruto (PDRB), sektor dominan yang dimaksud disini adalah sektor yang memberikan kontribusi yang besar pada PDRB provinsi yang bersangkutan, dimana data disajikan dalam bentuk tabulasi. Sebelum melakukan pengelompokkan, data penerimaan setiap provinsi diurutkan terlebih dahulu dari yang tertinggi ke yang terendah selama lima tahun, dari data terlihat bahwa terdapat ketimpangan yang besar antara provinsi yang memiliki penerimaan tertinggi dan terendah. Oleh karena itu pengkategorian penerimaan provinsi sebagai berikut:


(53)

27

Tinggi : provinsi yang memilki penerimaan lebih besar dari 1 trilyun.

Sedang dan rendah : diambil dari nilai rata-rata data sisa yang sudah termasuk penerimaan tinggi.

Rumus nilai rata-rata adalah n

i i=1

X=

x (4.8)

Keterangan :

X : rata-rata xi : data ke-i


(54)

Indonesia terletak antara 6008’ Lintang Utara dan 11015’ Lintang Selatan dan antara 94045’ Bujur Timur dan 141005’ Bujur Timur. Negara kesatuan yang berbentuk Republik ini sejak tahun 2005 dibagi menjadi 33 Provinsi dengan 3 (tiga) tambahan Provinsi, yaitu Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat. Pada tahun 2005 Provinsi tersebut terdiri dari 349 kabupaten, 91 kota, 5.641 kecamatan dan 71.555 desa.

Indonesia merupakan negara bahari dengan luas lautnya sekitar 7,9 juta kilometer persegi (km2) (termasuk daerah Zona Ekonomi Eksklutif) atau 81 persen dari luas keseluruhan dan mempunyai garis pantai nomor dua terpanjang di dunia setelah Kanada. Daratan Indonesia yang mempunyai luas lebih dari 1,86 juta km2, mempunyai puluhan atau mungkin ratusan gunung api dan sungai. Sehubungan dengan letak Negara Indonesia yang dikelilingi beberapa samudera, serta banyak terdapat gunung berapi yang masih aktif, menyebabkan Indonesia sering dilanda gempa.

Di Indonesia dikenal hanya dua musim, yaitu musim kemarau dan penghujan. Selain itu, Indonesia mempunyai kelembaban udara relatif tinggi dimana pada tahun 2003 rata-rata berkisar antara 61,53 persen (Surabaya-Juanda) sampai 80,98 persen (Balikpapan-Sepinggan) (Statistik Indonesia, 2000-2005).


(55)

29

5.2. Keadaan Demografis

Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan sebagaimana tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sasaran ini tidak mungkin tercapai bila pemerintah tidak dapat memecahkan masalah kependudukan, seperti besarnya jumlah penduduk Indonesia dan tidak meratanya penyebaran penduduk di Indonesia.

Jumlah penduduk pada tahun 2000 adalah sebesar 205,1 juta jiwa dan pada tahun 2004 adalah 216,4 juta jiwa kemudian meningkat menjadi 219,2 juta jiwa pada tahun 2005. Laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan yang cukup cepat sejak tahun 1980, yaitu dari 1,97 persen selama periode 1980-1990 menjadi 1,45 persen per tahun selama periode 1990-2000, kemudian menurun lagi menjadi 1,34 persen per tahun selama periode 2000-2005 (Statistik Indonesia, 2000-2005).

Laju pertumbuhan penduduk provinsi selama dua periode (1990- 2000, 2000-2005) mengalami penurunan hampir di semua provinsi kecuali Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku. Selanjutnya selama periode 2000-2005, laju pertumbuhan penduduk di seluruh provinsi turun kecuali Provinsi Maluku (Statistik Indonesia, 2000-2005).

Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk masih terpusat di Pulau Jawa. Data tahun 2000, 2004, dan 2005 menunjukkan sekitar 59 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa, dimana 18 persen lebih


(56)

penduduk tinggal di Provinsi Jawa Barat, 15 persen di Jawa Tengah, dan 17 persen di Jawa Timur.

Tabel 5.1. Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2000-2005

Jumlah Penduduk (ribu) Laju Pertumbuhan Penduduk (%) Provinsi

2000 2004 2005 1990/2000 2000/2004 2000/2005

NAD 3.929 4.018 4.038 1,46 0,56 0,55

Sumatera Utara 11.643 12.291 12.453 1,32 1,37 1,35 Sumatera Barat 4.249 4.372 4.462 0,63 0,72 0,71

Riau 4.948 5.861 6.108 4,35 4,32 4,30

Jambi 2.407 2.607 2.657 1,84 2,01 2,00

Sumatera Selatan 7.111 7.604 7.728 1,28 1,71 1,70

Bengkulu 1.456 1.586 1.617 2,20 2,17 2,13

Lampung 6.731 7.180 7.291 1,17 1,63 1,61

DKI Jakarta 8.361 8.636 8.700 0,17 0,81 0,80

Jawa Barat 43.814 47.438 48.376 2,03 1,81 1,81

Jawa Tengah 31.223 31.760 31.887 0,94 0,43 0,42 DI Yogyakarta 3.121 3.249 3.280 0,72 1,01 1,00

Jawa Timur 34.766 35.396 35.550 0,70 0,45 0,45

Bali 3.150 3.334 3.379 1,31 1,43 1,41

NTB 4.009 4.286 4.356 1,82 1,69 1,67

NTT 3.823 4.068 4.127 1,64 1,56 1,54

Kalimantan Barat 4.016 4.318 4.394 2,29 1,83 1.82 Kalimantan Tengah 1.856 2.080 2.138 2,99 2,89 2,87 Kalimantan Selatan 2.984 3.188 3.240 1,45 1,67 1,66 Kalimantan Timur 2.452 2.737 2.811 2,81 2,79 2,77 Sulawesi Utara 2.835 2.979 3.014 1,33 1,38 1,37

Sulawesi Tengah 2.176 2.358 2.404 2,57 2,02 2,01 Sulawesi Selatan 8.051 8.423 8.494 1,49 1,14 1,08 Sulawesi Tenggara 1.820 2.032 2.086 3,15 2,78 2,76

Maluku 1.981 2.122 2.156 0,11 1,62 1,66

Papua 2.214 2.458 2.518 3,22 2,65 2,61

Indonesia 205.132 216.382 219.205 1,45 1,34 1,34 Sumber : BPS (2000-2005)

Sementara, luas Pulau Jawa secara keseluruhan hanya sekitar 7 persen dari seluruh wilayah daratan Indonesia. Ironisnya, gabungan Maluku, Maluku Utara dan Papua, yang memiliki luas sekitar 24 persen dari


(57)

31

luas total Indonesia, hanya dihuni sekitar 2 persen penduduk. Kondisi ini tidak berubah banyak di tahun 2005 (Statistik Indonesia, 2000-2005).

5.3. Keadaan Keuangan

5.3.1. Keuangan Negara Indonesia

Dampak krisis moneter yang terjadi selama lebih dari delapan tahun yang telah membawa sebagian besar masyarakat pada kondisi kehidupan sosial yang makin memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya

pengangguran, harga barang meningkat, dan rendahnya daya beli masyarakat. Dalam kondisi yang demikian terpuruknya, pemerintah melalui kebijakan anggaran negara memberikan perlindungan dan memulihkan kondisi sosial ekonomi masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Sejak tahun 2000, kebijaksanaan keuangan negara tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) didasarkan kepada anggaran defisit, artinya bahwa defisit anggaran dibiayai dengan sumber-sumber pembiayaan dari dalam dan luar negeri.

APBN tahun 2006 masih seperti APBN tahun sebelumnya dimana penerimaan negara masih mengandalkan sumber penerimaan pajak, yaitu 66,97 persen dari seluruh penerimaan negara dalam negeri. Anggaran belanja pemerintah yang sebesar 647.668 milyar rupiah melebihi penerimaan negara yang besarnya 625.237 milyar rupiah, hal ini menyebabkan defisit anggaran sebesar 22.431 milyar rupiah. Kekurangan anggaran (defisit) oleh pemerintah,


(58)

pembiayaannya diusahakan dari sumber penerimaan lain yang berasal dari dalam negeri.

Adapun anggaran pendapatan negara pada tahun 2006 tercatat sebesar 625.237 milyar rupiah, yang terdiri dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan dari hibah. Pada tahun 2006 penerimaan dari hibah dianggarkan sebesar 3.632 milyar rupiah.

5.3.2. Keuangan Provinsi di Indonesia

Total penerimaan provinsi di seluruh Indonesia dari tahun 2000-2004 mengalami peningkatan, dengan total penerimaan sebesar 15.718 milyar rupiah pada tahun 2000, 29.681 milyar rupiah pada tahun 2001, 39.260 milyar rupiah pada tahun 2002, 39.546 milyar rupiah pada tahun 2003, dan 46.220 milyar rupiah pada tahun 2004. Peningkatan ini selain disebabkan naiknya penerimaan yang berasal dari dana perimbangan, juga karena adanya berbagai upaya provinsi yang telah dilakukan sejak tahun 2000, serta perkembangan ekonomi khususnya perkembangan basis penerimaan daerah yang ada. Dalam rangka menghasilkan penerimaan daerah, ditempuh berbagai kebijakan baik di bidang perpajakan maupun bukan pajak (Statistik Indonesia, 2000-2005).

Sumber penerimaan daerah berasal dari: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Dari ketiga sumber penerimaan tersebut, penerimaan PAD merupakan salah satu sumber penerimaan yang penting bagi daerah karena penerimaan ini seluruhnya digali dan berasal dari daerah sendiri, oleh karena itu daerah mempunyai kewenangan penuh untuk


(59)

33

memanfaatkan PAD ini sesuai kebutuhan dan prioritas daerah. Daerah yang berhasil meningkatkan PAD-nya secara nyata berarti bahwa daerah tersebut telah dapat memanfaatkan semua potensi yang ada di daerah secara optimal. Selama periode 2000-2004, perkembangan PAD terus mengalami kenaikan, yaitu masing-masing menjadi sebesar 6.029 milyar rupiah, 10.151 milyar rupiah, 14.191 milyar rupiah, 17.755 milyar rupiah, dan 22.495 milyar rupiah (Statistik Keuangan Provinsi, 2000-2004).

5.4. Pertumbuhan Ekonomi

5.4.1. Produk Domestik Bruto (PDB)

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2005 semakin membaik dibandingkan tahun 2004. Berdasarkan perhitungan PDB atas dasar harga konstan 2000, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 adalah sekitar 5,60 persen dan pertumbuhan ekonomi tanpa migas adalah sekitar 6,48 persen. Nilai PDB atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 2004 adalah 1.656,8 triliun rupiah dan tanpa migas adalah 1.506,6 triliun rupiah, pada tahun 2005 meningkat menjadi 1.749,5 triliun rupiah sementara tanpa migasnya menjadi 1.604,2 triliun rupiah.

Seluruh sektor ekonomi PDB pada tahun 2005 mencatat pertumbuhan yang positif. Bila diurutkan pertumbuhan PDB menurut sektor ekonomi dari data yang tertinggi ke yang terendah, pertumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi sekitar 12,97 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sekitar 8,59 persen; sektor kontruksi sekitar 7,34 persen; sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan sekitar 7,12 persen;


(60)

sektor listrik, gas dan air bersih sekitar 6,49 persen; dan sektor jasa-jasa sekitar 5,16 persen. Sektor berikutnya adalah industri pengolahan: pertanian; dan sektor pertambangan dan penggalian masing-masing tumbuh sekitar 4,63 persen, 2,49 persen dan 1,59 persen.

Beralihnya struktur lapangan usaha sebagian masyarakat Indonesia dari sektor pertanian ke sektor ekonomi lainnya dapat terlihat dari besarnya peranan masing-masing sektor ini terhadap pembentukan PDB Indonesia. Sejak tahun 1991 hingga saat ini sumbangan terbesar dihasilkan oleh sektor industri pengolahan.

5.4.2. Pendapatan Perkapita

Secara umum pendapatan setiap penduduk Indonesia dicerminkan oleh pendapatan nasional perkapita. Besarnya pendapatan nasional per kapita atas dasar harga berlaku meningkat dari 9,3 juta rupiah pada tahun 2004 menjadi sekitar 11,2 juta rupiah pada tahun 2005. Tetapi laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita pada tahun 2005 bila dilihat berdasarkan harga konstan 2000 menurun menjadi sebesar 4,73 persen, sementara pada tahun 2004 laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita sebesar 5,73 persen.

5.4.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

DKI Jakarta merupakan provinsi yang mempunyai PDRB terbesar. Nilai PDRB DKI Jakarta atas dasar harga berlaku pada tahun 2004 sebesar 377 triliun rupiah atau 17,12 persen dari total Provinsi. Provinsi berikutnya adalah Jawa


(61)

35

Timur dan Jawa Barat, dengan nilai PDRB masing-masing 341,77 triliun rupiah dan 305,31 triliun rupiah atau masing-masing 15,51 persen dan 13,86 persen. Provinsi yang mengalami PDRB terkecil adalah Gorontalo dan Maluku Utara, dengan nilai PDRB 2,80 triliun rupiah dan 2,37 triliun rupiah, atau keduanya masing-masing kurang dari 1 persen.

Besaran PDRB perkapita suatu daerah tergantung dari besaran PDRB dan jumlah penduduk. Berdasarkan PDRB perkapita atas dasar harga berlaku dengan migas, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Riau merupakan Provinsi yang mempunyai besaran per kapita tertinggi. PDRB perkapita DKI Jakarta lebih kecil dari Kalimantan Timur karena jumlah penduduk DKI Jakarta lebih besar dari Kalimantan Timur. Berdasarkan harga berlaku dengan migas, PDRB Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Riau masing-masing sebesar 47,68 juta rupiah, 43,10 juta rupiah, dan 26,22 juta rupiah. Bila Migas dikeluarkan dari hitungan, besaran per kapita Kalimantan Timur dan Riau masing-masing hanya 19,00 juta rupiah dan 16,97 juta rupiah.

Dari sisi pertumbuhan, pada tahun 2004 hampir seluruh provinsi mengalami pertumbuhan positif, hanya di Provinsi Papua dan Nangroe Aceh Darussalam yang mengalami pertumbuhan negatif. Provinsi yang pertumbuhan ekonominya (dengan Migas) diatas 6 persen adalah Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Barat, masing-masing dengan 6,93 persen, 7,15 persen, 7,66 persen dan 6,41 persen.


(62)

bagian. Bagian pertama akan membahas hasil estimasi yang dilakukan dengan menggunakan metode koefisien korelasi. Bagian kedua akan membahas hasil estimasi yang dilakukan dengan menggunakan metode panel data yang diawali dengan pemilihan model, evaluasi model, dan interpretasi model. Bagian ketiga akan membahas hasil estimasi yang dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui sektor yang mendominasi perekonomian pada provinsi yang termasuk kategori penerimaan tinggi, sedang, dan rendah.

6.1. Hubungan Penerimaan dan Produk Domestik Regional Bruto Perkapita

Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan penerimaan provinsi dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita adalah Koefisien Korelasi (r). Estimasi ini dilakukan dengan menggunakan program software Mirosoft Excel. Hasil perhitungan koefisien korelasi yang menyatakan kuat tidaknya hubungan antara penerimaan provinsi yang dinyatakan dengan variabel X dengan PDRB perkapita yang dinyatakan dengan variabel Y dari tahun 2000 sampai tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Berdasarkan hasil perhitungan Koefisien Korelasi dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara penerimaan provinsi dengan PDRB perkapita pada setiap tahun, dimana koefisien korelasi mendekatai satu. Koefisien korelasi dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2002 dan dari tahun 2002 sampai dengan tahun


(63)

37

2003 meningkat. Sedangkan dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2002 ,dan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 menurun. Koefisien korelasi dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 menunjukkan tidak ada kecenderungan meningkat atau menurun, tetapi berkisar antara 0,6122 dan 0,7032.

Tabel 6.1. Hasil Estimasi Metode Analisis Koefisien Korelasi

TAHUN KOFISIEN KORELASI

2000 0,6122 2001 0,7022 2002 0,6746 2003 0,7032 2004 0,6358

Penerimaan total seluruh provinsi dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 semakin meningkat (Lampiran 2.), tetapi laju pertumbuhannya semakin menurun. Laju pertumbuhan penerimaan total seluruh provinsi paling tinggi dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2001 sebesar 59,10 persen, sedang yang paling rendah dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 sebesar 6,91 persen. Penerimaan setiap provinsi cenderung meningkat sampai dengan tahun 2004, kecuali Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Provinsi yang memiliki persentase penerimaan terbesar adalah provinsi DKI Jakarta dengan persentase rata-rata sebesar 29,04 persen per tahun terhadap penerimaan total, dilanjutkan oleh Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Provinsi yang memiliki pertambangan minyak lebih menonjol jika dibandingkan dengan provinsi lain, contohnya : Provinsi Kalimantan Timur dan Riau.

Provinsi yang memiliki PDRB perkapita paling menonjol ada lima provinsi (Lampiran 3.), yaitu : Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Riau, Nangroe Aceh Darussalam, dan Papua. Dimana dari kelima provinsi tersebut terdapat


(64)

empat provinsi yang berada di luar Pulau Jawa dan merupakan provinsi penghasil pertambangan. Persentase laju pertumbuhan PDRB perkapita cenderung stabil atau menurun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Hanya ada empat provinsi yang konsisten memiliki laju pertumbuhan PDRB per kapita terus meningkat, yaitu : Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan.

6.2. Hubungan Komponen Penerimaan Provinsi dan PDRB Perkapita 6.2.1. Pemilihan Model dan Evaluasi Model

Estimasi ini dilakukan dengan menggunakan program software Eviews 4.1, metode analisis yang digunakan adalah panel data sebagaimana diuraikan pada Metodologi Penelitian. Dalam Eviews model panel data diberikan beberapa pembobotan yaitu:

no weighting dimana semua observasi diberi bobot yang sama.

cross section weights: General Least Square (GLS) dengan menggunakan estimasi varians residual cross section.

white heteroskedasticity covariance: eviews akan mengestimasi covariance yang akan menghasilkan general heteroskedasticity.

Model panel data yang dapat digunakan pada penelitian ini adalah fixed effect (LSDV) atau model efek tetap, dan random effect (GLS) atau model efek acak, sehingga akan dilakukan pemilihan model dengan menggunakan Hausman Test. Hasil Hausman Test menunjukkan bahwa model fixed effect (efek tetap) yang dapat digunakan pada penelitian ini, dimana nilai hausman test sebesar


(65)

39

9,72075 > χ2-Tabel = 9,48773. Pemilihan model fixed effect (efek tetap) ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk melihat heterogenitas tiap individu. Selanjutnya akan dilakukan estimasi dengan menggunakan model fixed effect dengan pembobotan no weighting atau cross section weghted dan white heteroscedasticity yang tanpa/dengan log. Pembobotan dengan white heteroscedasticity berguna untuk menghilangkan pelanggaaran asumsi heteroskedasticity.

Hasil estimasi model fixed effect (efek tetap) dengan pembobotan no weighting dan white heteroscedasticity (Lampiran 14.) menunjukkan bahwa terdapat satu variabel penjelas yang signifikan secara statistik dengan tingkat α=5 persen yaitu: pajak daerah (PD). Sedangkan variabel penjelas yang tidak signifikan adalah retribusi daerah (RD), bagi hasil pajak/bukan pajak (BH), dan dana alokasi umum (DAU). Dikarenakan tiga variabel penjelas tidak signifikan dan untuk mendapatkan model yang lebih baik, maka selanjutnya akan dilakukan estimasi dengan menggunakan model fixed effect (efek tetap) dengan pembobotan no weighting dan white heteroscedasticity yang di log kan.

Hasil estimasi model fixed effect (efek tetap) dengan pembobotan no weighting dan white heteroscedasticity yang di log kan (Lampiran 15.) menunjukkan bahwa semua variabel penjelas tidak signifikan secara statistik dengan tingkat α=5 persen, yaitu: variabel pajak daerah (PD), retribusi daerah (RD), bagi hasil pajak/bukan pajak (BH), dan dana alokasi umum (DAU). Dikarenakan semua variabel tidak signifikan dan untuk mendapatkan model yang lebih baik, maka selanjutnya akan dilakukan estimasi dengan menggunakan model


(1)

(dalam juta rupiah) JUMLAH PDRB PROVINSI BERDASARKAN SEKTOR

NO PROVINSI

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Nangroe Aceh Darussalam 8.068.975,59 12.263.935,91 7.407.248,47 60.378,64 1.514.429,19 4.863.745,41 1.516.651,81 488.207,02 4.190.710,27 2. Sumatera Utara 21.465.423,27 1.009.921,15 20.337.028,18 681.199,04 4.883.081,22 15.230.316,32 6.702.178,66 5.077.295,30 7.942.505,43 3. Sumatera Barat 6.937.172,92 923.379,06 3.629.455,70 301.070,70 1.375.769,34 5.006.640,27 3.419.244,73 1.376.937,70 4.608.466,15 4. Riau 13.853.106,39 44.443.199,34 26.569.917,35 217.472,14 2.815.229,27 7.456.974,87 2.835.446,11 1.902.617,98 3.631.818,93 5. Jambi 3.643.690,63 1.572.121,28 1.702.804,45 93.080,12 444.302,02 1.971.469,95 953.896,76 446.225,86 1.126.294,40 6. Sumatera Selatan 11.149.215,00 14.844.788,62 10.247.913,14 263.168,62 3.776.041,60 7.148.701,02 2.057.881,56 2.020.189,11 3.803.345,82 7. Bengkulu 2.344.920,77 185.209,00 251.770,06 25.353,70 171.517,08 1.200.584,00 507.046,34 273.177,00 936.677,38 8. Lampung 11.951.916,36 1.023.003,90 3.739.702,00 99.241,90 1.434.323,99 4.381.268,82 1.656.706,50 1.722.085,65 2.254.039,41 9. DKI Jakarta 287.573,96 987.491,70 48.707.025,63 1.848.696,42 27.475.877,76 58.848.582,53 20.559.712,68 87.294.377,24 32.515.484,29 10. Jawa Barat 38.968.387,43 7.761.771,04 125.651.537,86 7.754.691,17 8.045.558,72 54.434.824,81 14.815.471,50 8.804.898,33 21.700.956,60 11. Jawa Tengah 28.606.237,28 1.330.759,58 43.995.611,83 1.065.114,58 7.448.715,40 28.343.045,24 6.510.447,43 4.826.541,38 13.663.399,59 12. DI Yogyakarta 3.052.934,59 120.440,91 2.400.775,62 144.844,79 1.284.471,39 3.279.424,20 1.582.194,18 1.500.542,31 2.780.795,43 13. Jawa Timur 43.331.493,13 4.595.921,87 67.520.434,83 4.171.615,50 8.604.401,30 68.295.968,36 13.830.439,67 11.783.343,03 20.095.274,48 14. Bali 4.406.176,32 129.042,07 1.912.465,14 293.696,43 777.745,96 6.114.703,23 2.051.578,76 1.462.272,55 2.815.563,35 15. Kalimantan Barat 5.634.027,49 274.019,87 4.520.654,58 100.800,44 1.728.920,47 5.314.305,12 1.509.272,70 1.090.565,27 2.228.624,36 16. Kalimantan Tengah 5.810.438,32 155.363,88 1.226.895,33 48.978,46 602.043,00 2.415.724,74 996.027,14 294.843,14 1.632.485,16 17. Kalimantan Selatan 5.403.507,00 3.397.209,47 2.996.996,01 117.688,83 1.128.136,20 2.885.722,63 1.866.420,00 823.339,65 1.868.422,30 18. Kalimantan Timur 6.153.325,10 34.247.434,78 59.207.924,19 244.538,00 2.605.907,00 6.120.575,41 3.718.609,07 2.026.136,15 1.659.197,00 19. Sulawesi Utara 3.192.391,53 685.528,94 1.139.578,13 96.921,98 2.029.643,89 1.998.594,53 1.598.776,06 947.309,30 2.352.520,18 20. Sulawesi Tengah 4.972.231,14 194.777,00 758.120,86 83.633,39 687.763,00 1.375.698,72 717.791,00 489.150,63 1.646.299,35 21. Sulawesi Selatan 12.321.030,08 3.498.308,03 4.980.759,03 331.123,15 1.684.331,16 5.420.041,52 2.635.764,00 2.198.311,41 4.221.725,73 22. Sulawesi Tenggara 2.798.070,86 422.523,70 562.262,01 47.796,48 575.720,78 1.144.521,70 549.502,50 362.699,29 1.017.083,02 23. Nusa Tenggara Barat 3.841.308,18 4.367.601,32 634.528,18 42.771,63 952.046,92 1.929.974,43 1.032.629,80 653.616,17 1.498.743,11 24. Nusa Tenggara Timur 4.022.906,70 131.153,04 154.408,34 37.863,07 659.314,49 1.426.762,02 606.004,17 280.575,60 2.127.782,41 25. Maluku 1.817.349,31 130.507,33 477.767,78 27.614,40 72.346,40 1.262.853,45 434.833,37 244.396,42 762.435,74 26. Papua 4.462.697,22 9.912.292,83 1.126.307,37 55.754,28 1.216.448,97 1.410.086,47 1.090.044,53 313.779,01 1.659.927,76


(2)

Lampiran 14. Hasil Estimasi Model Fixed Effect dengan Pembobotan noWeighting dan White Heteroscedasticity

Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 06/19/07 Time: 11:40 Sample: 2000 2004

Included observations: 5

Number of cross-sections used: 26 Total panel (balanced) observations: 130

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PD? 7.45E-07 3.57E-07 2.089574 0.0392*

RD? 5.81E-06 3.02E-06 1.921513 0.0575 BH? 4.73E-07 4.18E-07 1.132437 0.2602 DAU? 6.58E-07 1.03E-06 0.641652 0.5226 Fixed Effects

1--C 9504809.

2--C 5762353.

3--C 5485039.

4--C 17922518

5--C 4068151.

6--C 6128368.

7--C 3329736.

8--C 3341540.

9--C 24356813

10--C 3930589.

11--C 2993724.

12--C 4407750.

13--C 4668774.

14--C 5391018.

15--C 4932816.

16--C 6217772.

17--C 5767830.

18--C 32626852

19--C 4171776.

20--C 4228763.

21--C 3673522.

22--C 3361863.

23--C 3155769.

24--C 1954190.

25--C 2186993.

26--C 9914140.

R-squared 0.997446 Mean dependent var 7717727. Adjusted R-squared 0.996705 S.D. dependent var 7671968. S.E. of regression 440365.9 Sum squared resid 1.94E+13 F-statistic 1346.689 Durbin-Watson stat 1.488953 Prob(F-statistic) 0.000000


(3)

Lampiran 15. Hasil Estimasi Model Fixed Effect dengan Pembobotan No Weighting dan White Heteroscedasticity yang di Log kan

Dependent Variable: LOG(PDRB?) Method: Pooled Least Squares Date: 06/19/07 Time: 12:54 Sample: 2000 2004

Included observations: 5

Number of cross-sections used: 26 Total panel (balanced) observations: 130

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(PD?) 0.042496 0.024018 1.769357 0.0799 LOG(RD?) 0.012693 0.010989 1.155152 0.2508 LOG(BH?) 0.010914 0.015567 0.701086 0.4849 LOG(DAU?) 0.030882 0.020130 1.534124 0.1282 Fixed Effects

1--C 13.69833

2--C 13.15198

3--C 13.13173

4--C 14.26026

5--C 12.85765

6--C 13.22455

7--C 12.70924

8--C 12.66571

9--C 14.50075

10--C 12.95599

11--C 12.69369

12--C 12.92701

13--C 13.04665

14--C 13.11443

15--C 13.03017

16--C 13.28805

17--C 13.17379

18--C 14.81053

19--C 12.89469

20--C 12.91632

21--C 12.75239

22--C 12.72511

23--C 12.62637

24--C 12.21402

25--C 12.36588

26--C 13.72306

R-squared 0.995590 Mean dependent var 15.58353 Adjusted R-squared 0.994312 S.D. dependent var 0.657332 S.E. of regression 0.049576 Sum squared resid 0.245782 F-statistic 778.5616 Durbin-Watson stat 1.647769 Prob(F-statistic) 0.000000


(4)

Lampiran 16. Hasil Estimasi Model Fixed Effect dengan Pembobotan Cross Section Weighted dan White Heteroscedasticity

Dependent Variable: PDRB?

Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 06/19/07 Time: 13:27

Sample: 2000 2004 Included observations: 5

Number of cross-sections used: 26 Total panel (balanced) observations: 130 One-step weighting matrix

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PD? 1.22E-06 1.96E-07 6.193637 0.0000* RD? 3.94E-06 9.80E-07 4.021540 0.0001* BH? 2.19E-07 4.11E-07 0.534092 0.5945

DAU? 6.11E-07 7.78E-08 7.851029 0.0000* Fixed Effects

1--C 9589251.

2--C 5587394.

3--C 5443036.

4--C 17960769

5--C 4055812.

6--C 6087872.

7--C 3334043.

8--C 3326538.

9--C 23993301

10--C 3370614.

11--C 3175464.

12--C 4359560.

13--C 4248615.

14--C 5290183.

15--C 4907756.

16--C 6227976.

17--C 5743982.

18--C 32867471

19--C 4160903.

20--C 4222568.

21--C 3640137.

22--C 3364495.

23--C 3167322.

24--C 1968511.

25--C 2201994.

26--C 9964282.

Weighted Statistics

R-squared 0.997077 Mean dependent var 12221814 Adjusted R-squared 0.996229 S.D. dependent var 6949998. S.E. of regression 426787.0 Sum squared resid 1.82E+13 F-statistic 1176.163 Durbin-Watson stat 1.315127

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.997373 Mean dependent var 7717727. Adjusted R-squared 0.996611 S.D. dependent var 7671968. S.E. of regression 446611.0 Sum squared resid 1.99E+13 Durbin-Watson stat 1.462109


(5)

Lampiran 17. Hasil Estimasi Model Fixed Effect dengan Pembobotan Cross Section Weighted dan White Heteroscedasticity yang di Log kan

Dependent Variable: LOG(PDRB?) Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 06/17/07 Time: 08:49

Sample: 2000 2004 Included observations: 5

Number of cross-sections used: 26 Total panel (balanced) observations: 130 One-step weighting matrix

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(PD?) 0.067929 0.004406 15.41729 0.0000* LOG(RD?) 0.009762 0.001836 5.317540 0.0000* LOG(BH?) 0.001774 0.003397 0.522032 0.6028

LOG(DAU?) 0.019036 0.008713 2.184878 0.0312* Fixed Effects

1--C 13.67272

2--C 13.07834

3--C 13.07353

4--C 14.20081

5--C 12.80994

6--C 13.17499

7--C 12.67605

8--C 12.61634

9--C 14.42788

10--C 12.87652

11--C 12.68219

12--C 12.86109

13--C 12.96352

14--C 13.03289

15--C 12.97961

16--C 13.26530

17--C 13.12455

18--C 14.78094

19--C 12.84935

20--C 12.87290

21--C 12.69808

22--C 12.69698

23--C 12.59460

24--C 12.19068

25--C 12.36594

26--C 13.71769

Weighted Statistics

R-squared 0.999997 Mean dependent var 28.52664 Adjusted R-squared 0.999996 S.D. dependent var 22.23088 S.E. of regression 0.046260 Sum squared resid 0.213999 F-statistic 1027289. Durbin-Watson stat 1.700229

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.995407 Mean dependent var 15.58353 Adjusted R-squared 0.994075 S.D. dependent var 0.657332 S.E. of regression 0.050597 Sum squared resid 0.256011 Durbin-Watson stat 1.597503


(6)

Lampiran 18. Jumlah Penerimaan Provinsi Selama Lima Tahun dan Kategori Penerimaan Tinggi, Sedang, dan Rendah

NO. PROVINSI Jumlah Penerimaan 1. Nangroe Aceh Darussalam 187.431.666.377

2. Sumatera Utara 189.278.982.024

3. Sumatera Barat 228.072.609.462

4. Riau 244.440.290.725

5. Jambi 268.118.930.528

6. Sumatera Selatan 280.563.329.889

7. Bengkulu 286.315.882.589

8. Lampung 321.392.396.651

9. DKI Jakarta 326.320.621.941

10. Jawa Barat 354.472.497.532

11. Jawa Tengah 355.400.311.005

12. DI Yogyakarta 363.927.037.495

13. Jawa Timur 402.617.382.750

14. Bali 408.710.655.630

15. Kalimantan Barat 453.250.921.765 16. Kalimantan Tengah 545.218.467.376 17. Kalimantan Selatan 551.414.105.106 18. Kalimantan Timur 608.322.331.595

19. Sulawesi Utara 680.565.548.754

20. Sulawesi Tengah 740.149.665.095 21. Sulawesi Selatan 846.078.705.346 22. Sulawesi Tenggara 1.136.094.133.356 23. Nusa Tenggara Barat 1.539.491.772.840 24. Nusa Tenggara Timur 1.847.512.393.890

25. Maluku 2.618.324.815.268

26. Papua 6.408.972.862.029

KATEGORI PENERIMAAN TINGGI > 1 Trilyun

SEDANG 411.526.778.077 - 1 Trilyun