Analisis Pembentukan Kerjasama Kelompok Anak-anak Jepang dalam Manga Hikaru No Go Karya Yumi Hotta dan Takeshi Obata
ANALISIS PEMBENTUKAN KERJASAMA KELOMPOK ANAK-ANAK JEPANG DALAM MANGA HIKARU NO GO KARYA YUMI HOTTA
DAN TAKESHI OBATA
YUMMI HOTTA TO TAKESHI OBATA NO SAKUHIN HIKARU NO GO NO MANGA NI OKERU NIHON KODOMO NO GURUPU NO
KYOURYOKU SOSHIKI NI TSUITE
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian fakultas sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang ilmu Sastra Jepang
Oleh :
RAHMAH 040708026
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN
(2)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah 1.2Perumusan Masalah
1.3Ruang Lingkup Pembahasan
1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.6Metodologi Penelitian
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MANGA DAN GO
2.1 Manga
2.1.1 Sejarah Kemunculan Manga di Jepang 2.1.2 Manga Hikaru No Go
2.2 Go Dalam Masyarakat Jepang 2.2.1 Sejarah Go di Jepang 2.2.2 Pemain Go
2.3 Kelompok Dalam Masyarakat Jepang 2.4 Ringkasan Cerita
BAB III ANALISIS PEMBENTUKAN KERJASAMA KELOMPOK ANAK-ANAK JEPANG DALAM MANGA HIKARU NO GO
3.1 Hikaru Shindo 3.2 Akira Toya
(3)
3.3 Kaga Tetsuo 3.4 Waya Yoshitaka 3.5 Yashiro Kiyoharu
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan 4.2 Saran
(4)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Menurut Taylor dalam Bambang S. Mintargo (2000:83), bahwa kebudayaan atau peradaban dilihat dari pemikiran etnografik, adalah kompleks keseluruhan (whole complex) yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (custom) dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan (habit) yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
Kuntjaraningrat dalam Jujun S. Suriasumantri (2005:261), secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.
Ienaga Saburo dalam Hamzon Situmorang (2006:2), membedakan pengertian kebudayaan (bunka) dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia. Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Dari tiga pendapat tersebut, ada kesamaan bahwa bahasa dan kesenian atau seni termasuk kedalam bagian kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat. Salah satu bentuk seni yang dihasilkan oleh masyarakat adalah karya sastra.
Kata sastra menurut Teeuw dalam Nyoman Kutha Ratna (2005: 4), berasal dari akar kata sas (sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk,
(5)
dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik, seperti silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan). Goldman dalam Faruk (1999 : 17), mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya. Pertama, bahwa karya sastra merupakan pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa dalam usaha mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner.
Salah satu bentuk karya sastra yang juga dapat dikatakan sebagai hasil kebudayaan berupa karya seni yaitu manga (komik). Manga adalah karya sastra yang menggunakan bahasa dan gambar yang diciptakan oleh manusia berdasarkan pada kebudayaan yang ada, berupaya menggambarkan tentang kehidupan manusia atau masyarakat tertentu serta kebudayaan–kebudayaannya. Manga memiliki unsur imajinasi dan kretivitas, namun imajinasi yang terkandung di dalamnya bukan narasi dengan khayalan kosong, tetapi imajinasi yang didasarkan atas kenyataan. Salah satu manga (komik) Jepang adalah “Hikaru No Go” karya Yumi Hotta dan Takesh Obata. Dalam manga “Hikaru No Go” ini juga terdapat kebudayaan atau kehidupan masyarakat Jepang.
Go merupakan permainan yang memiliki aturan-aturan yang cukup banyak dan dianggap tidak mudah untuk dimainkan, terutama bagi anak-anak, ditampilkan dalam manga “Hikaru No Go”. Go juga merupakan permainan yang membutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam memainkannya. Konsentrasi ini dibutuhkan agar berhasil mencapai kemenangan. Namun, melalui tokoh utama seorang anak SD kelas 6, bernama Hikaru Shindo yang pada awalnya tidak
(6)
memiliki ketertarikan pada go, tetapi berkat Satame Fujiwara yang ahli dalam memainkan go, menjadikan Hikaru tertarik untuk memainkannya. Selain Hikaru, juga masih ada tokoh-tokoh lainnya yang sangat tertarik untuk bermain go. Bahkan sampai memunculkan tokoh yang sangat tergila-gila pada permainan ini, hingga memunculkan pertandingan-pertandingan yang memperebutkan gelar kejuaran go, yang membuat para tokoh, terutama yang terdiri dari anak-anak untuk tidak mudah menyerah dan bekerjasama untuk mengikuti pertandingan igo.
Setelah membaca manga ini, penulis menemukan sesuatu yang menarik untuk dianalisis, karena manga atau komik Jepang memiliki ciri khas tersendiri dalam menyampaikan sebuah cerita. Dalam manga ini terdapat kebudayaan atau kehidupan masyarakat Jepang yaitu berupa kerjasama kelompok yang ditampilkan melalui tokoh anak-anak.
Dengan alasan tersebut, maka penulis membahasnya di dalam skripsi dengan mengambil judul “ANALISIS PEMBENTUKAN KERJASAMA
KELOMPOK ANAK-ANAK JEPANG DALAM MANGA HIKARU NO GO KARYA YUMI HOTTA DAN TAKESHI OBATA”.
1.2. Perumusan Masalah
Manga adalah sebutan khusus untuk komik yang diproduksi oleh Jepang. Manga berisikan gambar-gambar lucu dan teks yang cukup populer dikalangan anak-anak dan remaja. Manga yang merupakan hasil seni sastra menampilkan budaya. Salah satu kebudayaan Jepang yang menjadi inspirasi pengarang dalam menciptakan manganya adalah permainan go dan kerjasama kelompok.
(7)
Go merupakan sebuah permainan catur atau permainan papan kuno yang pada mulanya merupakan permainan yang dilakukan oleh kaum bangsawan. Permainan go dianggap sulit terutama bagi anak-anak karena memiliki banyak aturan, juga dibutuhkan taktik dan strategi yang tepat dalam waktu yang sempit agar dapat melaksanakan rancangan sendiri sambil memahami maksud serangan lawan.
Dalam manga “Hikaru No Go” karya Yumi Hotta dan Takeshi Obata, mengangkat tentang orang-orang, baik itu orang Jepang maupun orang-orang yang berasal dari negara selain Jepang yang tertarik terhadap permainan go, terutama anak-anak. Salah satu tokohnya adalah seorang anak kelas 6 SD yang bernama Hikaru Shindo, yang memainkan permainan go menjadi lebih menarik meskipun memiliki aturan-aturan yang rumit. Hikaru dan teman-temannya juga tokoh-tokoh lainnya terus berusaha agar dapat bermain sebaik mungkin. Go yang ditampilkan oleh Hikaru dan tokoh lainnya dalam manga “Hikaru No Go” memperlihatkan adanya hubungan antara suatu individu lainnya yang membentuk kelompok terutama kelompok yang terbentuk karena memiliki ketertarikan yang sama yaitu terhadap go.
Dalam bentuk pertanyaan, permasalahannya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang sejarah go dalam masyarakat Jepang?
2. Bagaimana pembentukan kerjasama kelompok anak-anak Jepang dalam manga Hikaru No Go karya Yumi Hotta dan Takeshi Obata?
(8)
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam penelitian ini akan dibahas tentang kerjasama kelompok yang dilakukan oleh anak-anak di Jepang. Penelitian ini dilakukan terhadap manga “Hikaru No Go” karya Yumi Hotta dan Takeshi Obata yang terdiri dari 23 jilid. Penelitian ini hanya melihat pada kerjasama kelompok yang terdapat dalam manga “Hikaru No Go”, terutama melalui tokoh utama, Hikaru Shindo. Dan tidak menutup kemungkinan melihat dari tokoh-tokoh lain yang berperan di dalamnya. Untuk mendukung pembahasan di atas, penulis juga menjelaskan manga dan go.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1. Tinjauan Pustaka
Sastra dan kebudayaan memiliki hubungan yang erat. Sastra adalah bagian integral suatu masyarakat tertentu, sedangkan masyarakat itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan yang lebih luas. Keseluruhan permasalahan masyarakat yang dibicarakan dalam sastra dan kebudayaan tidak bisa dilepaskan dengan kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Hakikat masyarakat dan kebudayaan pada umumnya adalah kenyataan, sedangkan hakikat karya sastra adalah rekaan, dengan sebutan yang lebih populer, yaitu imajinasi. Imajinasi yang ada dalam karya sastra, didasarkan atas kenyataan, imajinasi yang juga diimajinasikan oleh orang lain. Meskipun imajinasi itu didasarkan pada kenyataan, tetapi imajinasi itu tidak sama dengan kenyataan yang dilukiskan. Imajinasi memiliki kemampuan untuk menampilkan kembali, memplotkan berbagai bentuk yang diperoleh melalui berbagai sumber, seperti :
(9)
pengalaman praktis sehari-hari, pengalaman teknologis dengan membaca buku, media massa dan kemampuan untuk mengadakan kontemplasi itu sendiri.
Melalui karya sastra, suatu kebudayaan dapat diungkapkan karena karya sastra juga merupakan suatu bentuk kebudayaan. Menurut Lotman dalam Faruk (1999 : 47), sastra sebagai pemodelan tingkat kedua. Maksudnya, sastra merupakan sistem pemodelan yang ditumpangkan pada sistem pemodelan tingkat pertama, yaitu bahasa. Pemodelan itu sendiri adalah, bahwa sastra merupakan suatu wacana yang memodelkan semesta yang tidak terbatas dalam suatu semesta imajiner yang terbatas.
Dengan penjelasan di atas, maka karya sastra dengan hakikat imajinasi dan kreativitas tidak terlepas sama sekali dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan hampir secara keseluruhan karya sastra bersumber dalam masyarakat.
Sastra adalah hasil aktivitas dalam hal ini hasil aktivitas pengarang dan juga merupakan milik masyarakat, maknanya berkembang apabila dimanfaatkan oleh masyarakat.
Antara manusia anggota masyarakat dan masyarakat sebagai satu keseluruhan ada proses saling mempengaruhi. Jika kita menerima sastra sebagai suatu ekspresi seni pengarang yang peka terhadap apa yang hidup dalam masyarakatnya, dan yang memiliki daya observasi yang tajam dan peka pula terhadap baik masalah masyarakat maupaun manusia sebagai anggota masyarakat, dan menuangkan hasil pengamatan dan pengalamannya sendiri ke dalam sebuah ungkapan sastra, dan karya sastranya dapat menggugah perasaan orang, atau mendorong orang memikirkan masalah masyarakat maupun manusia yang
(10)
dilukiskannya, maka tentulah dapat diterima bahwa ada peran sastra dalam masyrakat. Selain itu, membaca sastra adalah salah satu dari sekian banyak masukan yang diterima oleh manusia selama hidupnya, dan menimbulkan pikiran, motivasi atau malahan menggerakkannya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Mochtar Lubis, 1996 : 18).
Sastra melalui genre-genre yang dimilikinya, khususnya melalui manga (komik), membangun dunia (dalam kata dan gambar) yang serupa dengan dunia dalam kenyataan. Melalui kata-kata, karya sastra menampilkan masyarakat manusia, dengan tokoh-tokoh dan kejadiannya, dengan tema dan pandangan dunianya.
Manga (komik) merupakan hasil seni karya sastra yang menggunakan kata-kata dan gambar. Komik merupakan buku yang cukup populer di masyarakat, khususnya di kalangan remaja dan anak-anak.
Pada masa ini, komik yang paling populer adalah komik hasil karya produk Jepang, terutama bagi anak-anak dan remaja. Komik Jepang lebih dikenal dengan sebutan manga.
Manga, (漫画), dilihat dari kanjinya adalah komik, kartun, atau karikatur,
atau bisa juga berarti gambar ejekan, penjelasan dengan gambar atau ilustrasi. Manga berarti gambar yang lucu dan bernuansa humor. Manga menampilkan cerita dan gambar serta inspirasi-inspirasi dari Jepang sendiri atau inspirasi lokal.
Paul Theroux dalam tulisan John A. Lent (1989:221), mengenai komik Jepang, mengatakan:
The comic strip showed decapitations, cannibalism, people bristling with arrows like Saint Sebastian, people in flemes, shrieking armies of murders dismembering villagers, limbless people with dripping stump, and, in
(11)
general, mayhem. The drawings were not good, but they were clear. Between the bloody stories there were short comic ones and three of these depended for their effects on farting: a trapped man or woman bending over, exposing a great moon of buttock and emitting a jet of stink ( gusts of soot drawn in wiggly lines and clouds) in the captors faces.
Suatu kenyataan bahwa manga seringkali brutal, vulgar, dan sederhana seperti yang diuraikan atau dilukiskan oleh Theroux, tetapi mereka lebih inovatif, menjadi perintis, dan luar biasa dalam format dan keuntungan (profit). Manga diciptakan dengan inspirasi-inspirasi lokal. Dalam manga dapat digambarkan tentang kehidupan suatu masyarakat melalui tokoh yang digambarkan oleh si pengarang. Salah satunya adalah manga “Hikaru No Go” karya Yumi Hotta dan Takeshi Obata diterbitkan pertama kali di Jepang pada tahun 1999.
2. Kerangka Teori
Kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat dapat diungkapkan melalui karya sastra, dengan menginterpretasikan makna yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Karya sastra yang memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat, karena sastra lahir dan berkembang dari masyarakat. Dengan kata lain penelitian sastra dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologis.
Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksud disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, dan c)
(12)
pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya itu dimanfaat kembali oleh masyarakat (Nyoman Kutha Ratna, 2004 : 60).
Dengan pendekatan tersebut, peneliti mencoba untuk melihat pembentukan kerjasama kelompok anak-anak Jepang dalam manga “Hikaru No Go” karya Yumi Hotta dan Takeshi Obata.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yaitu:
1. Untuk mengetahui permainan go dalam masyarakat Jepang.
2. Untuk mengetahui pembentukan kerjasama kelompok anak-anak Jepang dilihat melalui permainan go dalam komik Hikaru No Go karya Yumi Hotta dan Takeshi Obata.
2. Manfaat penelitian Manfaat penelitian yaitu:
1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang budaya Jepang khususnya permainan go.
2. Menambah pengetahuan tentang kelompok kerjasama anak-anak di Jepang.
(13)
1.6. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Soejono dan H. Abdurrahman (1999 : 25), metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, menginterpretasikan data. Penelitian deskriptif menurut sifatnya merupakan penelitian non-eksperimen (Arikunto, 2002 : 75). Penelitian non-eksperimen yaitu data sudah ada (dalam arti tidak sengaja ditimbulkan), dan peneliti tinggal merekam (Arikunto, 2002 : 12). Penelitian deskriptif bertujuan untuk meneliti dan menemukan informasi sebanyak-banyaknya dari suatu fenomena (Hariwijaya. M dan Bisri M. D, 2006: 39).
Penelitian ini termasuk dalam cakupan penelitain kualitatif. Salah satu dasar filosofi penelitian kualitatif adalah interaksi simbolik, yang merupakan dasar kajian sosial yang sangat berpengaruh dan digunakan dalam penelitian kualitatif (Arikunto, 2002 : 13). Serta menggunakan pendekatan sosiologi. Data yang digunakan adalah data tulisan. Data tulisan ini dikutip dari buku-buku yang berhubungan dengan karya sastra, kebudayaan dan majalah-majalah yang berhubungan dengan manga dan go. Teknik penelitian yaitu dengan menelaah buku-buku perpustakaan (library reseach) juga dengan menggunakan data-data yang bersumber dari internet. Penulis menelusuri sumber-sumber kepustakaan dan internet yang memiliki hubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.
(14)
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP MANGA DAN IGO
2.1 Manga
2.11 Sejarah Manga Jepang
Manga berarti gambar yang lucu dan bernuansa humor. Pada mulanya di Jepang, komik adalah bacaan untuk anak-anak
.
Istilah manga pertama kali diperkenalkan oleh Katsushika Hokusai pada tahun 1814. katshushika Hokusai adalah seorang seniman ukiyo-e yang terkenal. Ukiyo-e adalah tUkiyo-eknologi pUkiyo-encUkiyo-etakan pada kUkiyo-ertas mUkiyo-enggunakan blok-blok kayu. Kata manga dipakai Hokusai untuk menyebutkan gambar komikal buatannya yang berbeda dari gambar pemandangan atau manusia yang serius dan indah. Hokusai bahkan mengartikan ‘manga’ sebagai ‘gambar asal-asalan’, karena Hokusai menggambar manga tanpa tujuan atau tema yang jelas (Animonster, vol : 25).
Namun, jauh sebelum orang mengenal istilah manga, kira-kira pada abad pertengahan di Jepang sudah dikenal seni menulis cerita disertai lukisan untuk menggambarkan jalannya cerita. Itu pun belum berbentuk buku, tapi masih dalam bentuk gulungan kertas. Dalam perkamen-perkamen Jepang, sejarah dicatat dalam gambar-gambar yang dibuat dengan kuas.
Kemudian pada abad ke-18 (zaman Edo), mulai dibuat buku cerita bergambar yang mirip dengan manga zaman sekarang yang disebut kusa-zoushi, dimana gambar lebih dominan daripada teks. Buku ini dicetak dengan teknologi
(15)
ukiyo-e dalam beberapa format yaitu akahon, aohon, kurohon dan kibyoushi, sesuai dengan warna sampul masing-masing. Buku cerita bergambar ini ditujukan untuk anak-anak dan orang dewasa yang kurang bisa membaca. Kisahnya bervariasi, mulai dari komedi, drama, petualangan sampai adult.
Pada akhir abad ke-19, ketika Jepang membuka diri terhadap pengaruh dunia Barat, kusa-zoushi terpengaruh gaya kartunis Barat dan mulai beralih menjadi format comic strip seperti yang dimuat di surat kabar negara-negara Barat. Jika di Eropa dan Barat budaya sastra tulis yang lebih berkembang, Jepang hidup dalam budaya gambar. Ribuan tahun gambar-gambar ini merekam wajah- wajah samurai pemenang perang, para shogun, biksu, pahlawan-pahlawan lokal atau kisah rakyat biasa.
Tema yang ditampilkan dalam manga meliputi seluruh aspek kehidupan Jepang. Mereka mampu melahirkan pahlawan-pahlawan dalam manga yang dapat mereka temukan dalam diri mereka sendiri. Wajar jika, manga menjadi suatu tuan rumah di Jepang sendiri terbebas dari pengaruh Barat yang sangat kental pada masa-masa awal lahirnya manga. Pahlawan manga sangat luas variasinya. Ini berkaitan dengan konsep budaya dan pengalaman Jepang sendiri dalam mengenal pahlawan-pahlawan mereka. Seorang samurai penyendiri yang berkelana tanpa melakukan sesuatu apapun bagi kebaikan masyarakat dapat dimaknai sebagai seorang pahlawan yang diagung-agungkan hingga kini, seperti pada figur Miyamoto Musashi. Di era manga modern, terdapat ratusan manga yang memiliki karakter protagonisnya seorang ibu rumah tangga yang berjuang membesarkan anak, pekerja kantoran yang pekerja keras, atau seorang petinju yang bercita-cita meraih gelar juara. Inilah wajah-wajah para pahlawan Jepang dalam komik, wajah
(16)
manusia Jepang yang mungkin sedang membaca manga itu sendiri. Bagi jiwa Jepang, seorang pahlawan bukanlah apa yang telah ia lakukan, atau bagaimana ia melakukannya (Advance, vol : 06).
Konsep kepahlawanan yang humanis inilah yang membuat manga selalu menjadi populer di semua kalangan di Jepang. Para pahlawan ini pun dihadirkan dalam sebuah panggung, dan dunia yang mereka akrabi sehari-hari; sekolah, kantor, rumah, kuil, atau restoran ramen dan bar malam. Manga di Jepang adalah bagian dari keseharian hidup, sangat komunal sifatnya. Meski demikian, sifat manga sebagai bagian dari keseharian ini melahirkan kebebasan yang hampir tidak terbatas bagi setiap individu kreator manga dalam berkarya (Advance, vol : 06).
Munculnya manga seperti sekarang ini, diawali oleh Osamu Tezuka, sang creator anime Astro Boy yang diangkat dari versi manganya berjudul Tetsuwon Atom. Tahun 1940-an, Tezuka yang bekerja sebagai pengambar comic strip di surat kabar, merasa tidak puas dengan gaya comic strip di surat kabar, merasa tidak puas dengan gaya comic strip yang tidak memberinya kebebasan untuk menampilkan gerakan atau emosi yang diinginkannya.
Kreativitasnya jadi terbatas pada empat (4) kotak yang terpaksa harus menampilkan banyak hal dalam satu kotaknya. Kemudian Tezuka yang terinspirasi oleh film Jerman dan Perancis yang ditontonnya semasa remaja, ingin menerapkan teknik sinematografi ke dalam ilustrasi komiknya. Maka Tezuka mulai menggambar manga dengan teknik close up, permainan angle, bahkan meniru efek slow motion, yang akhirnya menghasilkan beratus-ratus bahkan ribuan halaman untuk satu cerita. Pada tahun 1947 karya Tezuka berjudul
(17)
Shintakarajima (New Treasure Island), diterbitkan dalam bentuk akahon yang berarti buku merah karena sampulnya berwarna merah menyolok (Animonster, vol : 25).
Akahon adalah buku komik dengan kertas berkualitas rendah tapi digemari anak-anak sebagai hiburan murah meriah di kala Jepang dilanda kemiskinan akibat Perang Dunia II. Salah satu karya Tezuka yang memperkenalkan teknik ilustrasi baru adalah manga pertamnya yang berjudul Shintakarajima dan manga tersebut langsung laku keras terjual hingga 400.000 kopi. Maka, sejak saat itu banyak manga-ka berlomba-lomba meniru teknik Tezuka.
2.1.2. Manga Hikaru No Go
Salah satu contoh hasul karya manga Jepang adalah Hikaru No Go karya Yumi Hotta dan Takeshi Obata. Para pengarang komik Jepang atau biasa disebut dengan mangaka, terus berusaha untuk menggali ide-ide baru untuk menghasilkan karya-karya mereka yang menarik. Begitu juga dalam membuat manga Hikaru No Go, Yumi Hotta dan Takeshi Obata meminta pengarahan dari seorang pecatur go profesional Jepang. Pemainan go tersebut adalah Yukari Umezawa. Yukari Umezawa adalah seorang pemain go tingkat dan 5 dan sudah memberikan bimbingan sehingga cerita ini sangat realistis, terutama dari segi permainan go dan juga berhasil memperlihatkan tentang dunia para pemain go profesional.
Hikaru No Go mengangkat tema permainan go atau igo, telah berhasil mencapai kesuksesan yang luar biasa. Cerita yang pada awalnya berupa sebuah manga dengan total 23 buah, yang berisi 189 chapter tentang petualangan dalam
(18)
dunia go. Kemudian dibuat animenya dengan total episode sebanyak 75 buah (Advance, vol : 08).
Kesuksesan Hikaru No Go dapat dikatakan lebih dari itu, karena Hikaru No Go telah berhasil membuat banyak orang tertarik dengan olah raga ini. Hal ini terjadi karena pertandingan dan permainan go yang ditampilkan oleh pengarang melaui seorang murid laki-laki sekolah dasar yang melakukan apa saja yang ia bisa untuk menjadi pemain go profesional, sangat menarik dan menimbulkan rasa ingin tahu.
Selain itu, Hikaru No Go mendapat dukungan dari pihak asosiasi go Jepang. Kesuksesan Hikaru No Go membuat pihak asosiasi ini sangat senang. Tadao Sakamaki, juru bicara asosiasi go seluruh Jepang (Advance, vol : 08), mengatakan bahwa sekarang banyak orang bisa tertarik dan mulai belajar go hanya melalui membaca Hikaru No Go saja dan semoga saja dengan ini, bisa memunculkan para pemain go muda berbakat di Jepang.
Shuesha, penerbit Hikaru No Go dan para pembuat Hikaru No Go merasakan sebuah kemenangan besar karena hingga saat ini lebih dari 7,5 juta kopi manga Hikaru No Go telah terjual di Jepang (Advance, vol : 08).
2.2. Go dalam Masyarakat Jepang 2.2.1. Sejarah Go di Jepang
Dalam bahasa Inggris, igo lebih dikenal dengan sebutan go yang berasal dari pelafalan bahasa aksara Jepang 碁(go), walaupun di Jepang permainan ini
(19)
biasa disebut 囲碁 (igo). Namanya dalam bahasa Cina yaitu 圍棋 (trad.)/围棋
(sed.) (pinyin: wéiqí) yang berarti "permainan papan mengelilingi (wilayah)". Nama Cina kunonya adalah 弈 (pinyin: yì), dan juga terdaftar dalam Kamus Kangxi sebagai 碁. Permainan ini disebut 바둑 (baduk) di bahasa Korea
(www.wikipedia.com)
Permainan ini muncul di Cina kira-kira 4000 tahun yang lalu yang berarti bahwa Go adalah permainan papan tertua yang masih dimainkan sampai sekarang (www.google.com). Pada mulanya dipakai sebagai alat untuk meramal nasib. Setelah itu lama-kelamaan go menjadi sejenis permainan. Di tahun ke 6 Tenpyo Shoho (zaman pemerintahan dinasti Yuan di Cina), go dibawa ke Jepang oleh
Kibidaijin sesudah kunjungannya ke Cina (http://www.ftsp1.uii.ac.id/TA/download.php?file=02512116laporan.pdf).
Permainan ini dilakukan oleh dua orang dengan menggunakan papan go yang berbentuk segi empat dengan dasarnya bercorak kotak-kotak sebagai alas 361 biji batu go yang berwarna hitam dan putih (Sudjianto, 2002 : 30). Dan didalam permaian Igo terdapat tingkatan antar pemain yang menunjukkan kehebatan pemain tersebut. Dimulai dari yang terendah yaitu 35-kyu sampai 9-dan, 1-dan Pro setara dengan 7-dan Amatir, lalu tingkat Meijin dan yang paling tinggi adalah Honinbou.
Menurut lagenda, permainan ini digunakan sebagai alat bantu ajar setelah Kaisar China, Yao (堯) (23337 – 2258 SM) merancangnya untuk Danzhu, anaknya, yang dianggap perlu belajar disiplin, konsentrasi, dan keseimbangan
(20)
Cerita lain mengatakan bahwa go diciptakan oleh ahli perang dan jenderal China, yang pada zaman dahulu kala menggunakan batu-batu untuk merencanakan posisi penyerangan. Ada juga yang mengatakan bahwa dulu peralatan go berhubungan dengan peramalan atau pengendalian banjir. Sebelum zaman industri di China, igo dipandang sebagai permainan aristokrat. Sedangkan xiangqi atau catur Cina dianggap permainan rakyat jelata. Go dulu dianggap sebagai salah satu seni kaum terpelajar cina, bersamaan dengan kaligrafi Cina, seni lukis Cina dan bermain Guqin. Keempatnya dikenal sebagai琴棋書畫 atau empat seni kaum terpelajar Cina (http://www.ftsp1.uii.ac.id/TA/download.php?file=02512116laporan.pdf).
Perkembangan permainan ini awalnya lambat karena kalangan bangsawan saja yang bermain go, tapi mulai era Edo (1615 – 1868), pada saat pemerintahan Tokugawa, permainan ini mulai disebarkan ke rakyat untuk tujuan mulia, yaitu perdamaian. Maka mulai muncul ahli-ahli go, dan peraturan serta taktik atau strategi pun semakin berkembang. Bahkan pernah ada sekolah khusus yang didirikan oleh Toyotomi Hideyoshi.
Sekarang di Jepang sudah ada perkumpulan Go, yaitu Nihon Ki-in,dan di daerah-daerah pun ada perkumpulan Go, misalnya Kansai Ki-in. Bahkan tiap tahun, rutin diadakan Kejuaraan Dunia Go. Dan sekarang, versi permainan ini telah berkembang melalui usaha dari perkumpulan go di Jepang (http://www.ftsp1.uii.ac.id/TA/download.php?file=02512116laporan.pdf).
(21)
Pada awalnya, permainan go hanya dimainkan oleh kaum bangsawan saja. sehingga go sering disebut sebagai permainan untuk orang tua, itulah sebabnya mengapa permainan ini diabaikan oleh banyak orang, terutama anak-anak muda. Namun, sejak kira-kira abad 13 dimainkan juga oleh masyarakat Jepang hingga sekarang (Sudjianto, 2002 : 30).
Jumlah pemain di Jepang mencapai puncaknya sekitar awal tahun1970 dengan 12 juta pemain. Setelah itu jumlah pemainnya menjadi semakin berkurang karena dua sebab, yaitu strategi go sulit untuk dipelajari meski peraturannya lebih sederhana dibanding catur atau shogi. Kemudian igo merupakan sebuah permainan yang cenderung menghabiskan banyak waktu sebelum diketahui siapa pemenangnya. Pada tahun 1988, jumlah pemain go di Jepang telah menurun, menjadi hanya 3,9 juta pemain, tetapi hal itu telah berubah beberapa tahun yang lalu. Dimulai pada tahun 1999, seri manga Hikaru No Go telah membuat go digemari lagi, dan go kini sangat disukai murid-murid sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (http://web-japan.org/nipponia/nipponia22/en/trend/index.html).
2.3. Kelompok dalam Masyarakat Jepang
Masyarakat terdiri dari individu-individu, tetapi masing-masing lahir dan kebanyakan menjalani kehidupannya dalam kelompok. Menurut Stogdill dalam Sarwono (2002:199), kelompok adalah suatu sistem interaksi yang terbuka, struktur dan kelangsungan sistem itu tergantung sekali pada tindakan-tindakan anggota dan saling hubungan antara anggota.
(22)
Ketika berinteraksi dalam kelompok, seseorang bisa bereaksi terhadap anggota lain yang ada di dalam kelompoknya, dan reaksi itu dapat saling berbalasan. Masih menurut Stogdill dalam Sarwono (2002:199), aksi dan reaksi dinamakan sebagai hasil perbuatan atau performance. Hasil perbuatan yang dimaksud di sini adalah yang mempunyai kaitan dengan kelompok, yaitu merupakan bagian dari interaksi, misalnya, kerja sama, merencanakan, menilai, berkomunikasi, membuat keputusan, dan lain-lain. Semuanya dilakukan dalam kedudukan atau identitas pelaku sebagai anggota kelompok.
Kelompok-kelompok sosial atau social group merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama dan hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong-menolong (R.M. Maclever dan Charles H. Page dalam Soekanto, 2005 : 115). Pada saat kelompok sosial berkumpul, akan terjadi saling tukar-menukar pengalaman. Saling tukar-menukar pengalaman, yang disebut social experiencis di dalam kehidupan berkelompok, mempunyai pengaruh yang besar di dalam pembentukan kepribadian orang-orang yang bersangkutan (Soekanto, 2005 : 116).
Dalam kelompok ada pengklasifikasian atau pembedaan antara kelompok kecil (kelompok primer) dengan kelompok besar (kelompok sekunder). Cooley dalam Soekanto (2005 : 125), mengemukakan kelompok primer adalah kelompok yang ditandai ciri-ciri kenal-mengenal antara anggota-anggotanya serta kerjasama erat yang bersifat pribadi dan sebagai salah satu hasilnya adalah peleburan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok, sehingga tujuan individu menjadi juga tujuan kelompok. Dalam hal ini ada dua hal yang penting yaitu
(23)
menunjuk pada suatu kelas yang terdiri dari kelompok-kelompok yang kongkrit seperti misalnya keluarga, kelompok sepermainan, rukun tetangga, dan lain-lain. Yang ke dua adalah istilah saling kenal-mengenal dimana Cooley menekankan pada sifat hubungan antara individu seperti simpati dan kerjasama yang spontan. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto (2005 : 126), kelompok primer adalah kelompok-kelompok kecil yang agak langgeng (permanen) dan berdasarkan kenal-mengenal secara pribadi antara sesama anggotanya. Sedangkan menurut Soekanto (2005 : 130), bila dilihat kebalikannya maka kelompok sekunder adalah kelompok-kelompok besar yang terdiri dari banyak orang. Dan menurut Roucek dan Warren dalam Soekanto (2005 : 130), bagaimana hubungannya tidak perlu berdasarkan kenal-mengenal secara pribadi dan sifatnya juga tidak begitu langgeng.
Peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat Jepang. Dalam bermasyarakat, bangsa Jepang lebih memberatkan pada berkelompok daripada individu. Orang Jepang terbiasa bertindak secara berkelompok. Menurut Reischauer (1982:161), kalau orang Barat setidak-tidaknya memperlihatkan ketidak tergantungan dan individualitas, kebanyakan orang Jepang akan merasa puas sekali dapat menyesuaikan pakaian, tingkah laku, gaya hidup dan bahkan pikiran pada norma-norma kelompok mereka.
Dalam masyarakat Jepang ada banyak kelompok-kelompok. Misalnya kelompok-kelompok yang memiliki hobi yang sama, dan semua kelompok itu diorganisasi secara rapi dan menduduki peranan yang lebih besar dalam kehidupan para anggotanya.
(24)
Nilai bangsa Jepang yang menentukan adalah keserasian, yang berusaha mereka dapatkan melaui proses saling pengertian yang halus, hampi-hampir berdasarkan intuisi, daripada analisa yang tajam mengenai pandangan-pandangan yang bertentangan atau berdasarkan keputusan-keputusan yang tegas jelas, apakah itu diperoleh karena perintah satu orang atau kesimpulan suara mayoritas (Reischauer, 2002 : 172).
Pada umumnya orang sering menyebutkan bahwa orang Jepang suka bekerja keras, suka berkelompok, dan sebagainya. Begitu asyik dengan pekerjaannya sehingga orang Jepang suka lupa waktu. Di perusahaan-perusahaan kurang terdengar suara keberatan untuk kerja lembur. Hal tersebut didorong oleh rasa tanggung jawab dan semangat kelompok. Orang Jepang pada umumnya cenderung kuat rasa keterikatannya terhadap kelompok di mana dia berada, terutama perusahaan tempat kerjanya.
Kesadaran kelompok di kalangan orang Jepang konon berakar pada budaya tanam padi di sawah di masa lampau yang harus dikerjakan beramai-ramai, berdasarkan sistem kerjasama berkelompok dan kuatnya ikatan kekeluargaan. Ada keteraturan kerja dalam mengolah sawah, melakukan panen, mengatur pengairan, hingga mengatur komunitas pertanian tempat mereka bermukim. Jiwa berkelompok ini kemudian diperkokoh oleh ajaran Konfusius, yang masuk dari Cina, yang berpegang pada konsep kelompok kekeluargaan.
Dengan latar belakang sejarah demikian, rasa keterikatan (kelompok) karyawan terhadap perusahaan dan rekan kerja makin menjadi kuat dengan adanya apa yang dinamakan "life-time employment", yakni kebiasaan orang Jepang setia bekerja seumur hidup pada sebuah perusahaan saja.
(25)
Kesetiaan kelompok tidak terbatas di perusahaan atau kantor saja. Bisa saja dalam kelompok klub olahraga, klub kesenian, kelompok ketetanggaan, kelompok kelas di sekolah, kelompok seangkatan di universitas, dan lain-lain, serta orang yang masuk dalam sebuah kelompok, atau memang tergabung dalam sebuah kelompok seperti kelompok ketetanggaan, merasa adalah kewajibannya untuk bertindak seirama dengan kemauan kelompok dan tidak bertindak menonjolkan diri atau lain sendiri karena hal itu akan mengundang rasa kurang senang kelompoknya (http://www.id.emb-japan.go.jp/aj305_01.html). Prestasi seorang individu dalam kelompok bukan lagi prestasi pribadi yang bersangkutan tapi menjadi prestasi kelompoknya. Masyarakat Jepang kurang dapat menerima sifat individualisme, apalagi yang mencolok seperti dalam masyarakat Barat, dan masyarakat Jepang selalu menjaga keharmonisan dengan kelompok, lingkungan, dan alam (http://www.id.emb-japan.go.jp/aj305_01.html).
Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok dan Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi” (http://trainer-tcc.blogspot.com/2007/11/10-resep-kesuksesan-bangsa-jepang.html).
Peranan individu diakui dan dihargai, tetapi senantiasa dalam lingkungan serta kepentingan kelompok. Nakane Chie dalam Suryahadiprojo (1982 : 43), membedakan antara kerangka (frame) dengan attribut dalam posisi individu di dalam masyarakat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kerangka adalah lingkungan dimana individu itu berada atau dalam kelompoknya, sedangkan
(26)
attribut adalah individu-individu yang berada dalam kerangka itu. Masih menurut Nakane dalam Suryahadiprojo (1982 : 43), di Jepang, kerangka lebih penting daripada attribut. Sebagai contoh, suatu rumah tangga merupakan satu kerangka kehidupan bersama, sedangkan ayah, ibu, anak laki-laki tertua, menantu, dan sebagainya adalah attribut dalam rumah tangga itu.
Kehidupan berkelompok dalam masyarakat Jepang memiliki penekanan pada kelompok yang mempunyai pengaruh yang merasuk ke dalam gaya hidup Jepang. Orang Jepang gemar pada kegiatan-kegiatan dari segala jenis, seperti hari wisata sekolah atau perusahaan, atau tamasya persahabatan, dan lain-lain. Selain itu, misalnya kelompok-kelompok pria dari tempat kerja terbiasa mampir pada suatu bar ketika dalam perjalanan pulang, untuk bensantai dan berpesta yang ditandai dengan minum-minum dan permainan kelompok. Penekanan kelompok telah mempengaruhi seluruh gaya hubungan anatar pribadi di Jepang. Seorang pemain kelompok lebih dihargai daripada seorang bintang tunggal, dan semangat tim lebih dihargai daripada ambisi perorangan.
Menurut Suryahadiprojo (1982 : 43-44) bahwa bagi orang Jepang, hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelompok. Masih menurut Suryahadiprojo (1982 : 43-44), sebab itu, seorang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai anggota kelompok, dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok. Loyalitas yang tinggi kepada kelompok itulah yang menimbulkan disiplin yang tinggi pada orang Jepang.
(27)
Hikaru Shindo adalah seorang murid kelas 6 SD, secara tidak sengaja menemukan sebuah papan catur igo yang sudah lama berada di gudang kakeknya, dan ternyata di dalam papan catur tersebut bersemayam roh seorang pecatur berbakat yang berasal dari zaman Heian. Roh tersebut bernama Satame Fujiwara yang kemudian menyusup ke dalam pikiran Hikaru dan perlahan-lahan mengubah Hikaru yang sama sekali tidak menyukai permainan igo ini, menjadi sedikit demi sedikit menyukai permainan ini.
Karena atas permintaan Satame, Hikaru pergi ke sebuah club igo dan bertemu dengan seorang anak pecatur igo ternama yang berbakat, yaitu Akira Toya. Hikaru berhasil mengalahkan Akira berkat bantuan dari Satame. Hal ini memberikan pukulan yang berat bagi Akira yang selama ini belum pernah dikalahkan oleh anak yang usianya sama dengan dirinya. Pada pertemuan berikutnya, Akira memaksa Hikaru untuk bertanding kembali dengan dirinya, dan pertandingan ke dua ini kembali dimenangkan oleh Hikaru yang masih dibantu oleh Satame.
Pada suatu hari, Hikaru yang pergi ke bazar SMP Hase, bertemu dengan Kaga dan Tsutsui yang mengajaknya ikut pada pertandingan igo antar sekolah SMP. Mereka berhasil memenangkan pertandingan setelah mengalahkan SMP Ekimi yang memiliki reputasi yang tinggi dalam permainan igo. Namun ketika identitas Hikaru yang masih SD diketahui, maka kemenangan mereka didiskualifikasi.
Pada awal tahun ajaran baru, Hikaru masuk ke SMP Hase dan bergabung dengan club igo yang hanya beranggotakan Tsutsui dan dirinya sendiri. Di samping itu, Akira yang masuk ke SMP Ekimi, datang ke SMP Hase untuk
(28)
bertanding dengan Hikaru. Namun Hikaru menolak untuk bertanding. Akira akhirnya sadar, bahwa untuk berhadapan dengan Hikaru, ia harus ikut bertanding antar SMP. Hal ini membuat Akira memutuskan untuk bergabung dengan club igo SMP Ekimi dan menimbulkan ketegangan di antara anggota klub tersebut.
Untuk mengikuti pertandingan antar SMP, Hikaru dan Tsutsui berusaha mencari pemain ketiga, karena pertandingan igo antar SMP dilakukan antara satu kelompok melawan kelompok yang lain, dimana satu kelompok terdiri dari tiga orang. Kemudian Hiakru bertemu dengan Mitsutani dan berhasil mengajaknya untuk menjadi anggota klub mereka sekaligus pemain ke tiga SMP Hase. Di pihak lain, Akira Toya terus menerima tekanan dari anggota lain di klubnya yang kuatir akan keberadaannya. Hal itu terus berlanjut sampai dia mendengar bahwa Hikaru ditempatkan sebagai pemain ke tiga. Akhirnya setelah barusaha meyakinkan gurunya, Akira juga ditempatkan sebagai pemain ke tiga.
Dalam pertandingan igo nasional SMP yang mempertemukan Hikaru dengan Akira Toya, Hikaru meminta Satame untuk membantunya melawan Akira, karena Hikaru sadar akan kemampuannya yang masih jauh dibandingkan dengan Akira. Namun, ditengah pertandingan, Hikaru tiba-tiba saja memutuskan untuk melanjutkan babak itu sendiri tanpa bantuan Satame. Hal itu tentu saja sangat mengejutkan Satame dan Akira bersama teman kelompoknya berhasil memenangkan pertandingan itu.
Kemudian, Hikaru yang memiliki keingininan untuk bisa menyamai kemampuan Akira Toya, memutuskan untuk mengikuti ujian masuk menjadi insei tetapi dia lupa kalau menjadi insei, dia tidak boleh lagi mengikuti pertandingan
(29)
amatir lainnya. Hal itu membuat Mitsutani sangat marah karena mendengar keputusan Hikaru untuk mengundurkan diri dari klub igo SMP Hase.
Setelah menjadi insei, Hikaru berteman baik dengan Waya dan Isumi. Hikaru bersama Waya dan Isumi pergi ke klub-klub igo untuk mencari pengalaman dan lawan-lawan untuk mengasah kemampuan mereka. Permainan Hikaru pun mengalami kemajuan dan mulai menuju ke supremasi dunia pro seperti Akira Toya. Setelah itu, Hikaru mendengar kabar mengenai turnamen Hokuto antara team Jepang, China dan Korea, yaitu antara pemain pro junior yang berusia di bawah 18 tahun. Salah satu wakil dari Jepang sudah ditetapkan yaitu Akira Toya dan dua orang lainnya akan ditentukan pada babak penyisihan.
Hikaru sangat bersemangat dalam menghadapi babak penyisihan turnamen bergengsi dan Hikaru pun berhasil melewati babak pertama. Di babak ke dua, Hikaru lebih serius lagi menghadapi lawannya yang juga pintar dalam bermain go. Hikaru berhasil menang dan ia pun ikut sebagai salah satu pemain dalam team Jepang.
Akhirnya, Hikaru bersama Akira dan Yashiro Kiyoharu berada dalam satu team sebagai perwakilan Jepang pada turnamen junior internasional Jepang-Cina-Kora atau disebut juga sebagai turnamen Hokuto.
(30)
BAB III
ANALISIS PEMBENTUKAN KERJASAMA KELOMPOK ANAK-ANAK JEPANG DALAM MANGA HIKARU NO GO
3.1 Hikaru Shindo
Cuplikan : 1
Kaga : “Kemampuan mu emang sejelek ini atau kau hanya sedang main-main?? Hah??
Hikaru Shindo : “Aku sedang main-main!!!” Kaga : “Apaaa?!”
Hikaru Shindo : “Coba lihat di depan ada 9 titik bintang khan?? Mirip sekali ya sama rasi bintang?? Aku sengaja menaruh biji catur di sana banyak-banyak untuk membentuk bintang-bintang di angkasa... aku kayak dewa, ya? Di atas papan catur ini... aku bisa melakukan apa saja...” (vol 2, hal: 74-76)
Analisis :
Berdasarkan cuplikan dialog Hikaru dan Kaga di atas, memperlihatkan bahwa Hikaru yang mengikuti pertandingan igo dalam satu team bersama Kaga dan Tsutui, masih belum tertarik dan belum serius untuk melakukan pertandingan
(31)
igo. Hal ini ditunjukkan melalui kalimat Hikaru yang mengatakan bahwa ia sedang main-main. Padahal pada saat itu mereka sedang mengikuti pertandingan igo yang dilakukan antar team yang mewakili sekolah masing-masing. Dan Kaga sebagai anggota satu team dengan Hikaru, sangat terkejut ketika mengetahui bahwa Hikaru tidak serius, malah Hikaru berimajinasi dengan menganggap papan igo seolah-olah seperti angkasa yang memiliki titik-titik bintang. Padahal keberhasilan mereka sangat bergantung pada permainan masing-masing anggotanya, termasuk permainan Hikaru.
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kelompok bergantung pada tindakan anggotanya. Menurut Stogdill dalam Sarwono ( 2002 : 199), kelompok adalah suatu sistem interaksi yang terbuka, struktur dan kelangsungan sistem itu tergantung sekali pada tindakan-tindakan anggota dan saling hubungan antar anggota.
Cuplikan : 2
Kaga : “Hei, anak kecil... sebenarnya ada satu hal yang kami rahasiakan darimu... Kalau tidak jadi juara dalam pertandingan ini, maka klub igo SMP Hase akan dihapus”
Hikaru : “Lho, jadi ini bukan hanya iseng ikut??”
Kaga : “Tsutsui tidak ingin membebanimu, jadi menyuruhku merahasiakan ini. Bukan cuma itu... club chess tidak senang aku ikut dalam pertandingan ini, jadi kalau kita kalah... Tsutsui pasti akan dihabisi oleh mereka, mereka
(32)
itu pemarah semua, lho!! Enggak tau deh gimana nasib dia jadinya...”
Hikaru : “Tsutsui lemah dan tak bersalah!! Dia hanya mau mendirikan klub igo saja!”
Kaga : “Makanya, kalau sudah tau gitu... maennya yang serius, bodoh!! Ayo perlihatkan kemampuan yang asli... kau mau Tsutsui di hajar ya, hah?? Cepat!! Waktumu udah mau habis, tuh...”
Lawan main Hikaru : “Hei, yang nonton jangan berisik dong”
Hikaru : (dalam hati) satame... kamu yang main deh... (volume : 2, hal: 77-79)
Analisis :
Hikaru yang pada awalnya tidak serius bertanding igo yang diikutinya bersama Kaga dan Tsutsui, membuat Kaga merasa kecewa karena melihat permainan Hikaru yang tidak bagus. Maka, saat itu juga Kaga menyampaikan sesuatu dengan maksud untuk memotivasi Hikaru agar mau bermain dengan lebih baik. Kaga mengatakan akibat yang dirasakan oleh Tsutsui apabila mereka kalah dalam pertandingan kali ini dan juga mengatakan kalau tidak jadi juara dalam pertandingan ini, maka klub igo SMP Hase akan dihapus. Hal itu membuat Hikaru merasa khawatir terhadap Tsutsui. Ini ditunjukkan ketika Hikaru mengatakan bahwa Tsutsui lemah dan tidak bersalah!! Dia hanya mau mendirikan klub igo saja! Kemudian Hikaru menjadi serius dalam bertanding dengan meminta bantuan Satame, roh seorang pecatur igo berbakat yang berasal dari zaman Heian yang
(33)
bersemayam dalam pikiran Hikaru, untuk memenangkan pertandingan itu. Ini menunjukkan bahwa Hikaru memiliki sifat peka atau mudah prihatin terhadap apa yang akan terjadi pada seseorang yang dianggapnya baik.
Disinilah terlihat bahwa perkataan seseorang dalam kelompok itu mampu mempengaruhi atau merubah seorang anggota lainnya dalam kelompok itu. Menurut R. M Maclever dan Charles H. Page dalam soekanto (2005 : 115), kelompok-kelompok sosial atau social group merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama dan hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga satu kesadaran untuk saling tolong-menolong.
Cuplikan : 3
Pak guru les igo : “Wah...tuan Furota, hebat sekali langkah itu!! Tapi kemajuan Hikaru sungguh menakjubkan!! Pasti latihan keras di klub sekolahan ya?”
Tuan Furota : “Sayangnya masih belum bisa menandingiku. Ha...ha..ha..” Pak guru les igo : “Sering-sering datangnya! Sekarangkan baru kelas satu, jadi
pelajaran sekolah masih belum begitu sibuk kan?!” Hikaru : (diam, tidak menanggapi perkataan pak guru)
Pak guru les igo : “Dia tidak dengar... konsentrasinya sungguh luar biasa!!” (volume 5, hal : 92-93)
Analisis :
Pak guru dari kelas les igo dimana sebelumnya Hikaru pernah belajar mengenai permainan igo, melihat permainan Hikaru telah mengalami kemajuan
(34)
dibandingkan dengan sebelumnya. Pak guru memperkirakan hal itu mungkin karena Hikaru sering berlatih. Ini diperlihatkan melalui kalimat pak guru yang mengatakan, “Pasti latihan keras di klub sekolahan ya?”. Ternyata setelah bergabung dengan klub igo disekolahnya dan sering latihan bermain igo bersama teman satu klubnya, membuat kemampuan Hikaru menjadi lebih baik dan Hikaru menjadi lebih serius ketika bermain melawan orang lain yang membuat ia benar-benar berkonsentrasi agar tidak dikalahkan oleh lawan mainnya. Ini ditunjukkan melalui kalimat pak guru yang mengatakan, “Dia tidak dengar... konsentrasinya sungguh luar biasa!!”
Kelompok, yang di dalamnya terdapat anggota kelompok, dengan adanya interaksi dan kegiatan yang dilakukan, misalnya saja belajar bersama atau latihan bersama, maka dapat membantu mengasah kemampuan anggota dalam kelompok tersebut. Pada saat kelompok sosial berkumpul, akan terjadi saling tukar-menukar pengalaman. Saling tukar-menukar pengalaman, yang disebut social experiencis di dalam kehidupan berkelompok, mempunyai pengaruh yang besar di dalam pembentukan kepribadian orang-orang yang bersangkutan (Soekanto, 2005 : 116).
Cuplikan : 4
Akari : “Hikaru tadi menang lho!!”
Tsutsui : “Iya... aku sudah tau... Aku sudah tau dia pasti akan menyusul kami.. Tapi tak kusangka dia bisa secepat ini menyusul Mitsutani..”
(dalam hati) jangan-jangan Hikaru benar-benar serius. Target ku... Target kami... untuk mengalahkan Ekimi... Dia... Dia...benar-benar mau...mewujudkan cita-cita...(volume : 5, hal : 99-100)
(35)
Analisis :
Cuplikan di atas memperlihatkan bahwa Hikaru telah mengalami kemajuan. Karakter Hikaru yang serius dalam bermain igo dan sering berlatih bersama teman dalam klub igo SMP Hase, membuat ia menjadi lebih pandai dalam bermain igo dibandingkan dengan sebelumnya. Ini diketahui pada saat ia berlatih bermain igo melawan Mitsutani, teman satu klub igo di sekolahnya. Tsutsui berkata, “Iya... aku sudah tau... Aku sudah tau dia pasti akan menyusul kami.. Tapi tak kusangka dia bisa secepat ini menyusul Mitsutani..”. Tsutsui tidak menyangka Hikaru akan mampu mengalahkan Mitsutani dalam waktu yang tidak lama. Sebelumnya Mitsutani lebih pandai bermain igo dibandingkan Hikaru. Kini permainan igo Hikaru mengalami kemajuan karena keseriusannya dalam mempelajari permainan igo. Dalam hal ini karakter Hikaru mengalami perubahan dari yang awalnya tidak tertarik dengan igo, kini menjadi lebih tertarik dan serius dengan igo. Dan hal ini menunjukkan bahwa tujuan atau target seseorang bisa menjadi target kelompok dan hal itu sangat penting untuk diwujudkan.
Cooley dalam Soekanto (2005 : 125), mengemukakan kelompok primer adalah kelompok yang ditandai ciri-ciri kenal-mengenal antara anggota-anggotanya serta kerjasama erat yang bersifat pribadi dan sebagai salah satu hasilnya dalah peleburan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok, sehingga tujuan individu menjadi juga tujuan kelompok.
(36)
Cuplikan : 5
Saki : “Aku menyerah” Teman satu klub : “Saki...”
Saki : “Aku dikepung habis-habisan disini! Keseluruhan permainan sudah dibaca habis olehnya! Dari pembukaan formasi sudah ditembus dia semua. Sudah tidak ketolong lagi deh!”
Guru les igo : “Hikaru Shindo, main dengan ku yuk!!” Hikaru : “Mohon petunjuknya”
Guru Morishita : “Hikaru Shindo, teruskan teknik seperti tadi dan kembangkan terus permainanmu. Saki, kalau begini terus bagaimana kamu bisa mengalahkan Aihara anak asuhan Toya itu!!” (volume : 17, hal 90-91)
Analisis :
Sebelum menghadapi pertandingan, Hikaru berlatih bermain igo melawan Saki, teman satu klubnya di klub latihan igo milik guru Morishita, tempat Hikaru sering berlatih igo. Dan Hikaru berhasil mengalahkannya. Hal ini karena kemampuan Hikaru yang terus mengalami kemajuan. Ini diperlihatkan melalui kalimat Saki yang mengatakan “Aku menyerah” pada saat sedang berlatih melawan Hikaru. Dan guru Morishita merasa senang kepada Hikaru dan memintanya untuk tetap mempertahankan tekniknya. Namun, disamping itu guru Morishita juga merasa kecewa terhadap Saki, padahal sebentar lagi mereka akan
(37)
mengikuti pertandingan igo. Disinilah Hikaru yang terus mengalami kemajuan, menjadi dapat menguasai formasi permainan igo. Dan Hikaru memiliki sifat rendah hati, sebab meski ia telah berhasil mengalahkan Saki, dan mendapat pujian dari guru Morishita, tidak membuat Hikaru menjadi sombong.
Dari hal tersebut memperlihatkan bahwa dengan adanya latihan yang sering dilakukan dalam kelompok, mampu meningkatkan kemampuan anggota dalam kelompok tersebut. Pada saat kelompok sosial berkumpul, akan terjadi saling tukar-menukar pengalaman. Saling tukar-menukar pengalaman, yang disebut social experiencis di dalam kehidupan berkelompok, mempunyai pengaruh yang besar di dalam pembentukan kepribadian orang-orang yang bersangkutan (Soekanto, 2005 : 116).
3.2 Akira Toya
Cuplikan : 1
Murid SMP Ekimi 1 : “Anak itu main sendiri lagi??” (yang dimaksud adalah Akira Toya)
Murid SMP Ekimi 2 : “Kasian juga ya... kamu main sama dia gih...” Murid SMP Ekimi 1 : “Enak aja lu!!”
Murid SMP Ekimi 2 : “He..he.. takut kalah ya....?” (volume 2, hal : 157)
Analisis :
Dalam kelompok atau klub igo SMP Ekimi, keberadaan Akira Toya tidak dapat diterima begitu saja oleh anggota lainnya dalam kelompok tersebut. Murid
(38)
SMP Ekimi khususnya murid laki-laki, yang bergabung dalam klub igo, merasa Akira terlalu pandai, sehingga membiarkan Akira bermain sendiri. Ini menunjukkan bahwa Akira adalah seorang anak yang sangat pandai dalam bermain igo dibandingkan dengan anak lainnya yang memiliki usia yang sama dengannya. Dan ini membuat teman satu klubnya tidak mau bermain dengannya.
Dari hal tersebut terlihat bahwa dalam sebuah kelompok sekolah anak-anak Jepang, apabila ada seseorang yang baru masuk ke dalam kelompok tersebut, maka kehadirannya belum tentu dapat diterima begitu saja oleh anggota lainnya dalam kelompok itu. Masyarakat Jepang kurang dapat menerima sifat individualisme, apalagi yang mencolok. Seperti yang dialami oleh Akira yang memiliki kemampuan yang lebih dalam bermain igo dari anggota lainnya dalam klub igo SMP Ekimi.
Masyarakat Jepang kurang dapat menerima sifat individualisme, apalagi yang mencolok seperti dalam masyarakat Barat, dan masyarakat Jepang selalu menjaga keharmonisan dengan kelompok, lingkungan, dan alam (http://www.id.emb-japan.go.jp/aj305_01.html).
Cuplikan : 2
Pak guru : “Toya, selamat untuk papamu, dia menjadi juara lagi ya? Hebat sekali, menang 4 kali berturut-turut”
Akira : “Eng... iya... terimakasih...”
Pak guru : “Ah...anak ini... benar-benar susah diajak bicara” (volume 2, hal: 157-158).
(39)
Analisis :
Pak guru mencoba memulai mengajak berbicara Akira yang sedang bermain igo sendirian atau tanpa lawan main. Namun Akira hanya menjawab singkat dan kemudian meneruskan kembali permainannya. Pak guru menganggap Akira sulit untuk diajak bicara. Hal tersebut menunjukkan karakter Akira yang pendiam dan karena itu, Akira tidak dengan mudah untuk bersosialisasi atau berhubungan lebih dekat lagi dengan anggota lainnya dalam klub igo SMP Ekimi.
Disini terlihat bahwa seorang anggota kelompok, apabila ia tidak berinteraksi dengan baik atau memiliki sifat individualisme, maka hubungan sosialnya dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut, tidak baik.
Masyarakat Jepang kurang dapat menerima sifat individualisme, apalagi yang mencolok seperti dalam masyarakat Barat, dan masyarakat Jepang selalu menjaga keharmonisan dengan kelompok, lingkungan, dan alam (http://www.id.emb-japan.go.jp/aj305_01.html).
Cuplikan : 3
Murid SMP Ekimi 1 : “Dia itu siswa kelas 3. setelah ketua dan wakil ketua, dialah yang paling hebat di club igo kita ini. Tapi kemungkinan posisinya akan digeser setelah masuknya Akira Toya. Orangnya sangat baik, dan disegani anak-anak. Dia sengaja menantangnya..., Bodoh sekali sih...”
(40)
Akira : “Sekarang giliranku...” Aonogi : “Aku kalah...”
Murid SMP Ekimi 3 : “Hah?! Cepat sekali!!”
Aonogi : “Langkah mu sungguh cantik” Akira : “Terima kasih kak!!!”
Murid SMP Ekimi 4: “Toya itu sungguh menakutkan!!!” (volume 2, hal : 162-164)
Analisis :
Seorang murid SMP Ekimi yang juga merupakan salah satu anggota klub igo SMP Ekimi, merasa prihatin terhadap seniornya, Aonogi yang mengajak Akira untuk bermain melawannya. Ia khawatir bahwa Aonogi tidak akan lagi dianggap yang paling hebat apabila dia dikalahkan oleh Akira. Dan ternyata Akira memang berhasil mengalahkannya dalam waktu yang tidak lama. Kemudian Aonogi pun mengakui kemampuan Akira dengan mengatakan “Aku kalah...”, yang berarti bahwa Akira adalah seorang anak SMP yang memiliki keahlian bermain igo melebihi anggota lainnya dalam klub igo tersebut.
Kesetiaan kelompok tidak terbatas di perusahaan atau kantor saja. Bisa saja dalam kelompok klub olahraga, klub kesenian, kelompok ketetanggaan, kelompok kelas di sekolah, kelompok seangkatan di universitas, dan lain-lain, serta orang yang masuk dalam sebuah kelompok, atau memang tergabung dalam sebuah kelompok seperti kelompok ketetanggaan, merasa adalah kewajibannya untuk bertindak seirama dengan kemauan kelompok dan tidak bertindak
(41)
menonjolkan diri atau lain sendiri karena hal itu akan mengundang rasa kurang senang kelompoknya (http://www.id.emb-japan.go.jp/aj305_01.html).
Namun, Akira memang lebih menonjol dari segi kemampuan dalam bermain igo, bahkan ia tidak segan untuk mengalahkan seniornya. Sehingga membuat anggota lainnya dalam klub igo SMP Ekimi menjadi kurang senang padanya.
Cuplikan : 4
Hikaru : “Kalah 5,5 mata?!”
Tuan Kurata : “Tak kusangka beda sebanyak itu!! Gelar lagi dari pertama!!” Akira : “Pertahanan dan penyerangan dibagian atas kanan membuat
formasi kehilangan keseimbangan tapi... pada saat Hikaru membuat keputusan kalah menang terlalu cepat jadi membahayakan.” (volume 21, hal : 168-169)
Analisis :
Saat latihan di rumah Akira sebelum menghadapi turnamen Hokuto, Akira bermain melawan Hikaru dan disaksikan oleh Tuan Kurota. Akira berhasil mengalahkan Hikaru, bahkan Akira menjelaskan “pertahanan dan penyerangan dibagian atas kanan membuat formasi kehilangan keseimbangan tapi... pada saat Hikaru membuat keputusan kalah menang terlalu cepat jadi membahayakan”. Ini memperlihatkan bahwa Akira adalah seorang anak yang cerdas. Ia memiliki kemampuan dalam menguasai formasi permainan igo dan kemampuannya lebih dari Hikaru.
(42)
Dalam kelompok kerjasama tersebut, dapat memperlihatkan kemampuan anggota-anggotanya. Apakah kemampuan anggotanya itu lebih tinggi atau lebih rendah dari anggota lainnya dalam kelompok tersebut. Kemampuan setiap anggota dalam kelompok dapat diperlihatkan melalui berbagai hal. Misalnya saja melalui latihan bersama. Akira melakukan latihan bersama dengan teman satu kelompoknya untuk mencapai tujuan mereka dan kelompok tersebut merupakan kelompok kecil. Kelompok kecil atau kelompok primer adalah kelompok yang ditandai ciri-ciri kenal-mengenal antara anggota-anggotanya serta kerjasama erat yang bersifat pribadi dan sebagai salah satu hasilnya adalah peleburan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok, sehingga tujuan individu-individu menjadi juga tujuan kelompok (cooley dalam Soekanto, 2005 : 125).
3.3 Kaga Tetsuo
Cuplikan : 1
Kaga : “Tsutsui, anggota untuk pertandingan sudah lengkapkan?” Tsutsui : “Hah?”
Kaga : “Aku.., Tsutsui.., dan setan kecil ini!!” Hikaru : “A..apa??”
Tsutsui : “Apa???”
Kaga : “Kamu pemain ke tiga, setan kecil pemain ke dua, dan aku pemain pertama.”
(43)
Kaga : “Goblok banget sih lu?? Ya udah pasti karena kamu yang paling bodoh!!! Lagipula aku ini khan jenius.” Jadi aku pemain pertama” (volume 2, hal : 31-33)
Analisis :
Dari cuplikan di atas, Kaga memutuskan untuk mengikuti pertandingan, yaitu pertandingan igo, dimana satu team terdiri dari 3 orang pemain. Kaga juga menentukan siapa yang menjadi pemain pertama, ke dua dan ke tiga. Kaga mengatakan “kamu pemain ke tiga, setan kecil pemain ke dua, dan aku pemain pertama”. Kaga memutuskan bahwa Tsutsui sebagai pemain ke tiga, karena Tsutsui dianggap tidak pandai bermain igo meskipun Tsutsui lebih senior dibandingkan dengan Hikaru. Dan yang disebut Kaga sebagai setan kecil adalah Hikaru, diputuskan sebagai pemain ke dua. Sedangkan dirinya sendiri sebagai pemain pertama. Hal ini menunjukkan bahwa Kaga memiliki karakter egois dan tidak meperdulikan temannya yaitu, Tsutsui. Dan dari hal tersebut terlihat bahwa mulai terbentuknya sebuah kelompok berdasarkan keputusan seseorang, yaitu Kaga Tetsuo, namun tidak melalui proses saling pengertian yang halus.
Dalam masyarakat Jepang ada banyak kelompok-kelompok. Nilai bangsa Jepang yang menentukan adalah keserasian yang berusaha mereka dapatkan melalui proses sebagai pengertian yang halus, hampir-hampir berdasarkan intuisi daripada analisa yang tajam mengenai pandangan-pandangan yang bertentangan atau berdasarkan keputusan-keputusan yang jelas, apakah itu diperoleh karena perintah satu orang atau kesimpulan suara mayoritas (Reischauer, 2002 : 172).
(44)
Cuplikan : 2
Hikaru : “Pertandingan?? Aku nggak mau ikut!”
Kaga : “Anak kecil lebih baik nurut saja... atau kau mau berenang di air dingin, hah?? Pilih mana, berenang atau main catur?? Lagi pula Tsutsui, kau sudah tidak ada pilihan lain lagi... ikut pertandingan dan membentuk klub igo, pas banget khan!!” (volume 2, hal : 33-34) Analisis :
Dari cuplikan dialog di atas, Kaga memaksa Hikaru untuk ikut dalam pertandingan dan ia memberi pilihan yang tidak menguntungkan bagi Hikaru, yaitu antara berenang atau bermain catur, dalam hal ini adalah catur igo. Dengan adanya kalimat seperti itu yang dilontarkan oleh Kaga, memperlihatkan bahwa Kaga memiliki karakter egois dan bersifat memaksa. Kaga mengatakan, “Anak kecil lebih baik nurut saja... atau kau mau berenag di air dingin, hah?? Pilih mana, berenang atau main catur??”. Dari kalimat tersebut secara tidak langsung Kaga telah memaksa Hikaru ikut bergabung dalam teamnya untuk mengikuti pertandingan igo antar SMP. Kali ini pun Kaga membuat keputusan sendiri tanpa melalui proses saling pengertian.
(45)
Cuplikan : 1
Waya : “Pokoknya sudah bisa ikut babak final. Dengan standar mu sekarang, aku pikir kamu bisa mengambil 3 kemenangan dengan mudah!!” Hikaru : “Semuanya gara-gara gorila brewok itu!”
Waya : “Gorila brewok...?! kalah karena itu?! Benar-benar bego!!”
Hikaru : “Dia aneh sekali. Tidak bisa dibedain sedang gembira atau marah. Menakutkan sekali lho”
Waya : “Baiklah, lain kali kalau aku dan Isumi pergi ke klub igo, kamu ikut saja ya!”
Hikaru : “Klub igo?!”
Waya : “Di sana kamu bisa berhadapan dengan orang-orang seperti gorila brewok itu.” (volume 8, hal : 161-162)
Analisis :
Dalam kelompok igo yang diikuti Hikaru, ia memiliki seorang teman yang cukup dekat yaitu Waya Yoshitaka. Waya mendengarkan cerita Hikaru mengenai pertandingan yang diikutinya. Kemudian Waya mengatakan, “Gorila brewok...?! kalah karena itu?! Benar-benar bego!!”. Waya merasa Hikaru bodoh karena kalah hanya karena takut terhadap seseorang. Waya berpikir bahwa Hikaru masih belum cukup berpengalaman dalam menghadapi lawannya. Oleh sebab itu Waya berencana untuk mengajak Hikaru untuk bermain di klub igo lainnya untuk menambah pengalaman Hikaru agar pada saat pertandingan berikutnya Hikaru
(46)
memiliki mental yang cukup kuat untuk menghadapi lawannya. Dalam hal ini, Waya adalah seorang teman yang bersedia membantu temannya.
Dalam sebuah kelompok, seseorang dapat memperoleh teman-teman yang baik. Kemudian teman-temannya tersebut dapat membantu untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh orang tersebut atau dapat membantu memperoleh pengalaman-pengalaman baru.
Kelompok-kelompok sosial atau social group merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama dan hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong-menolong (R.M. Maclever dan Charles H. Page dalam Soekanto, 2005 : 115).
Cuplikan : 2
Paman di klub igo : “Aku rasa aku cukup hebat untuk bermain dengan kalian” Waya : “Tidak masalah, tapi aku mau ada 3 orang. Tunggu
Sebentar ya Paman?! Aku pengen main dengan cara pertandingan grup!!”
Isumi : “Grup!!”
Waya : “Ini akan lebih asyik dibandingkan yang biasa. Isumi jadi pemain utama, aku pemain kedua dan Hikaru pemain ketiga”
(47)
Waya : “Memang kok. Hikaru tidak boleh kalah ya!!”(volume 8, hal : 173-174)
Analisis :
Waya benar-benar mengajak Hikaru untuk bermain igo di klub igo lainnya untuk menambah pengalaman dan melatih mental Hikaru. Waya menentukan urutan pemain dalam grup tersebut. Dalam hal ini menunjukkan bahwa Waya adalah seorang teman yang baik dan suka memberi semangat dan membimbing. Hal ini diperlihatkan ketika Hikaru setuju dengan ide Waya, dengan mengatakan, “Waaa aku setuju!! Begini memang jauh menarik dong!!”. Waya pun kemudian mengatakan, “Memang kok. Hikaru tidak boleh kalah ya!!”.
Dalam kelompok tersebut telah terjadi sebuah keputusan yang diusulkan oleh seseorang dan kemudin disetujui oleh anggota lainnya tanpa adanya paksaan. Disini terlihat ada semacam musyawarah. Bagi orang Jepang, musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi” (http://trainer-tcc.blogspot.com/2007/11/10-resep-kesuksesan-bangsa-jepang.html).
Cuplikan : 3
Waya : “Hari ini pertandingan hidup matimu ya, Saki?!” Saki : “Ya lawanku adalah Aihara dari klub Toya”
Waya : “Kalau kalah, pasti guru Morishita akan menggelegar kayak petir menyambar!”
Saki : “Aduh..tolong jangan memberiku tambahan beban mental dong!!” Aihara : “Pagi, Saki, hari ini mau minta petunjukmu nih!!”
(48)
Waya : “Hei Saki, kalau dipikir-pikir, kita harusnya tidak perlu menganggap anggota klub Toya sebagai musuh berat.. ini semuanya hanya karena guru Morishita yang segitu anti Toya doang kan? Buktinya mereka cuek-cuek aja tuh..” (volume : 17, hal : 105-106)
Analisis :
Dari cuplikan di atas menunjukkan bahwa Saki yang merupakan anggota klub igo guru Morishita, harus dapat mengalahkan anggota dari klub Toya dalam pertandingan igo. Dan karena guru Morishita tidak menyukai Toya, maka Saki dan Waya juga seolah-olah bermusuhan dengan anggota klub Toya. Sementara itu Waya tidak berpikiran bahwa mereka harus bermusuhan dengan anggota dari klub Toya. Waya berkata, “Hei Saki, kalau dipikir-pikir, kita harusnya tidak perlu menganggap anggota klub Toya sebagai musuh berat.. ini semuanya hanya karena guru Morishita yang segitu anti Toya doang kan? Buktinya mereka cuek-cuek aja tuh.” Hal ini menunjukkan bahwa dalam loyalitas Waya tidak terlalu tinggi. Ini merupakan hal yang baik karena yang bermusuhan adalah gurunya bukan dirinya. tetapi hal ini juga bertentangan dengan loyalitas kelompok dalam masyarakat jepang.
Dalam kelompok masyarakat Jepang, loyalitas terhadap kelompok sangatlah tinngi, sehingga apabila seseorang dari kelompok tersebut tidak menyukai sesuatu, bisa jadi hal tersebut mempengaruhi anggota kelompok lainnya dan membuat anggota yang lainnya itu menjadi tidak menyukai hal itu juga.
Bagi orang Jepang, hidup akan berarti apabila berada dalam kelompk. Sebab itu, seseorang akan senatiasa menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai anggota
(49)
kelompok, dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok ( Suryahadiprojo, 1982 : 43-44).
3.5 Yashiro Kiyoharu
Cuplikan : 1
Akira : “Tahukah kamu betapa tingginya standar turnamen Hokuto itu?! Kamu tidak bisa seenaknya saja berpikir mau menang terus menang, tau?!”
Hikaru : “Akira Toya! Jangan pedulikan dia Yashiro! Kamu bisa bersabar dia menghinamu begitu!? Tidak merasa sebel?!” (dalam hati) aku bisa bersabar dihina seperti itu?!
Yashiro : “Tentu saja tidak tapi.. kemampuanku.. belum cukup untuk menghinanya kembali.” (volume 21, hal : 138-139)
Analisis :
Meski sama-sama berada dalam satu team sebagai perwakilan Jepang dalam turnamen Hokuto, Akira memperingatkan Yashiro bahwa tidaklah mudah untuk menang dalam turnamen Hokuto. Namun kata-kata yang disampaikan Akira, menurut Hikaru cukup menghina perasaan Yashiro. Tetapi dalam hal ini, Yashiro memiliki sifat penyabar karena ia memiliki kesadaran bahwa kemampuannya masih berada dibawah kemampuan Akira.
(50)
Dalam sebuah kelompok, anggota-anggotanya saling berinteraksi dan melakukan komunikasi. Dalam berkomunikasi, bisa saja menimbulkan kekesalan akibat perbuatan atau perkataan dari anggota lainnya dalam kelompok tersebut. Namun, hal itu bisa tidak sampai menimbulkan perpecahan apabila anggota yang lain atau yang merasa kesal, memiliki kesadaran untuk menahan emosi dan tetap berinteraksi dengan kelompoknya, misalnya saja dengan tetap melakukan kerjasama.
Ketika berinteraksi dalam kelompok, seseorang bisa bereaksi terhadap anggota lain yang ada di dalam kelompoknya, dan reaksi itu dapat saling berbalasan. Menurut Stogdill dalam Sarwono (2002:199), aksi dan reaksi dinamakan sebagai hasil perbuatan atau performance. Hasil perbuatan yang dimaksud di sini adalah yang mempunyai kaitan dengan kelompok, yaitu merupakan bagian dari interaksi, misalnya, kerja sama, merencanakan, menilai, berkomunikasi, membuat keputusan, dan lain-lain. Semuanya dilakukan dalam kedudukan atau identitas pelaku sebagai anggota kelompok.
Cuplikan : 2
Akira : “Kita main dulu deh, setelah itu baru mempelajari kifu pemain-pemain China dan Korea. Sampai kedatangan tuan Kurata besok. Tapi kita main igo cepat, 10 detik untuk setiap langkahnya. Yang menang main terus, yang kalah ganti yang lain.”
Yoshiro : “Aku paling hebat main igo cepat!” (volume 21, hal : 140)
(51)
Untuk menghadapi turnamen Hokuto, Akira mengajak teman satu teamnya bekerjasama, yaitu latihan bersama. Ia mengajak mereka untuk latihan dengan cara bermain igo cepat. Dalam hal ini, Yashiro merasa dirinya peling hebat. Ia ingin membuktikan hal itu pada Akira dengan mengatakan, “Aku paling hebat main igo cepat!” Ini menunjukkan bahwa Yashiro memiliki kepercayaan diri bahwa ia bisa mengalahkan Akira dalam bermain igo cepat.
Dalam sebuah kelompok yang melakukan kerjasama. Melalui latihan-latihan yang dilakukan dapat terjadi saling tukar pengalaman dan perkataan atau tindakan seseorang bisa mempengaruhi tindakan anggota lainnya untuk membuktikan kemampuannya dan dapat menimbulkan rasa percaya diri, juga pendorong bagi yang lain.
Pada saat kelompok sosial berkumpul, akan terjadi saling tukar-menukar pengalaman, yang disebut social experiencis di dalam kehidupan berkelompok, mempunyai pengaruh yang besar di dalam pembentukan kepribadian orang-orang yang bersangkutan (Soekanto, 2005 :116)
(52)
BAB 1V
KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan
Setelah menganalisis manga Hikaru No Go, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Dalam manga Hikaru No Go terdapat kebudayaan Jepang yaitu permainan catur igo. Permainan ini muncul di Cina kira-kira 4000 tahun yang lalu. Pada mulanya dipakai sebagai alat meramal nasib. Setelah itu lama-kelamaan go menjadi sejenis permainan. Di tahun ke 6 Tenpyo Shoho (zaman pemerintahan dinasti Yuan di Cina), go dibawa ke Jepang oleh Kibidaijin sesudah kunjungannya ke Cina. Perkembangan permainan ini awalnya lambat karena kalangan bangsawan saja yang bermain go. Tetapi sekarang di Jepang sudah digemari, bahkan sudah ada perkumpulan go. 2. Dalam manga Hikaru No Go terdapat tokoh anak-anak yang memiliki
karakter yang berbeda. Tokoh-tokoh tersebut adalah Hikaru Shindo yang memiliki karakter cuek tetapi lama-kelamaan menjadi serius dalam memainka igo. Selain itu juga Hikaru memiliki karakter sebagai seorang anak pandai yang cepat memahami permainan igo sehingga ia mengalami kemajuan dalam waktu singkat. Tokoh berikutnya adalah Akira Toya,
(53)
sebagai seorang anak yang jenius dalam bermain igo dibandingkan dengan anak lain yang seusia dengannya. Selain itu, ada tokoh Kaga Tetsuo yang memiliki karakter egois. Berikutnya adalah tokoh Waya Yoshitaka yang memiliki karakterpenyabar. Dan kemudian adalah tokoh Yashiro Kiyoharu yang percaya diri.
3. Orang Jepang suka bekerja keras, suka berkelompok, dan sebagainya serta prestasi seorang individu dalam kelompok bukan lagi prestasi pribadi yang bersangkutan tapi menjadi prestasi kelompoknya. Selain itu, Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok
4. Dalam manga Hikaru No Go menampilkan kerjasama dalam masyarakat Jepang yang juga dilakukan oleh anak-anak. Contohnya adalah kerjasama kelompok tokoh anak-anak yang masih besekolah. Mereka melakukan kerjasama dalam kelompok untuk memenangkan pertandingan igo.
5. Tokoh-tokoh dalam manga Hikaru No Go memiliki karakter yang berbeda-beda, misalnya saja ada yang memiliki karakter yang penuh percaya diri, atau ada juga yang bersifat semena-mena, namun mereka mampu bekerjasama dalam kelompok yang memiliki kegemaran yang sama, sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
(54)
4.2 Saran
Dengan menganalisis manga “Hikaru No Go”, penulis menyarankan: 1. Agar pembaca dapat mengetahui tentang kehidupan kelompok dan
kerjasama yang dilakukan dalam kelompok. Meskipun berada dalam satu kelompok yang sama, kepribadian atau karakter serta kepandaian yang dimiliki setiap orang tentunya tidaklah sama. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan. Pada awalnya, bisa saja tujuan tersebut merupakan tujuan individu tetapi ketika dalam satu kelompok, tujuan tersebut bisa menjadi tujuan bersama.
2. Sebaiknya tumbuhkanlah rasa kesadaran yang kuat dalam diri setiap anggota bahwa ada tujuan yang ingin dicapai. Kemudian dengan adanya kesadaran tersebut, maka anggota-anggota kelompok akan dengan sukarela melakukan berbagai perbuatan. Misalnya, melakukan latihan bersama, memberikan motivasi serta saling berbagi pengetahuan atau pengalaman. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan loyalitas yang tinggi terhadap kelompok yang kemudian dapat menumbuhkan rasa disiplin yang tinggi pula, demi tujuan yang diinginkan.
(55)
DAFTAR PUSTAKA
Advance. 2005. Vol 08. “Hikaru No Go”. Bandung: PT Naragita Dinamika.
Advance. 2006.vol 06. “Saga Of Millenium Heroes On Comic Book: part III: Jepang”. Bandung: PT Naragita Dinamika.
Animonster.2001. vol 25. History Of Manga. Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera.
. .2006. vol 88. Mengenal Industri Komik Jepang. Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera.
.2002. Vol 44. “What Is Igo.” Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera.
Anonim. 1989. Jepang Dewasa Ini. Tokyo. International Society For Educational Information, Inc.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hitoshi, Matsuoka. A Manga Series Sparks A Go Craze Among Children. http://web-japan.org/nipponia/nipponia22/en/trend/index.html.
Hotta, Yumi dan Takeshi Obata. 1999. Hikaru-No Go. Tokyo: Shuesha Inc.
Library Of Congress Cataloging-in-Publication Data. 1989. Handbook of Japanese Popular Culture. London: Greenwood Press.
(56)
M, Hariwijaya dan Bisri M. D. 2006. Teknik Menulis Skripsi dan Thesis. Jogjakarta: Zenith Publisher.
Mintargo, Bambang S. 2000. Tinjauan Manusia Dan Nilai Budaya. Jakarta:Universitas Trisakti.
Rachmatullah, Agro. “Go, Go, Go!” www.google.com. 30 November 2007.
Ratna, Nyoman Kutha.2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2005. Sastra Dan Cultural Studies : Representasi Fiksi Dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Reischauer, Edwin O. 1982. Manusia Jepang. Jakarta Timur: Sinar Harapan.
Sarwono, S.W. 2002. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USUpress.
Soejono dan H. Abdurrahman. 1999. Metodologi Penelitian : Riset dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Soerjono, Soekanto. 2005. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Sudjianto. 2002. Kamus Istilah Masyarakat Dan Kebudayaan Jepang. Bekasi: Kesaint Blanc.
Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suryahadiprojo, Sayidiman.1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: UI Press dan Pustaka Bradjaguna.
Zulkarnanda,Wan. Institut Igo Internasional di Jogjakarta. http://www.ftsp1.uii.ac.id/TA/download.php?file=02512116laporan.pdf
(57)
(1)
BAB 1V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Setelah menganalisis manga Hikaru No Go, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Dalam manga Hikaru No Go terdapat kebudayaan Jepang yaitu permainan catur igo. Permainan ini muncul di Cina kira-kira 4000 tahun yang lalu. Pada mulanya dipakai sebagai alat meramal nasib. Setelah itu lama-kelamaan go menjadi sejenis permainan. Di tahun ke 6 Tenpyo Shoho (zaman pemerintahan dinasti Yuan di Cina), go dibawa ke Jepang oleh Kibidaijin sesudah kunjungannya ke Cina. Perkembangan permainan ini awalnya lambat karena kalangan bangsawan saja yang bermain go. Tetapi sekarang di Jepang sudah digemari, bahkan sudah ada perkumpulan go. 2. Dalam manga Hikaru No Go terdapat tokoh anak-anak yang memiliki
karakter yang berbeda. Tokoh-tokoh tersebut adalah Hikaru Shindo yang memiliki karakter cuek tetapi lama-kelamaan menjadi serius dalam memainka igo. Selain itu juga Hikaru memiliki karakter sebagai seorang anak pandai yang cepat memahami permainan igo sehingga ia mengalami
(2)
sebagai seorang anak yang jenius dalam bermain igo dibandingkan dengan anak lain yang seusia dengannya. Selain itu, ada tokoh Kaga Tetsuo yang memiliki karakter egois. Berikutnya adalah tokoh Waya Yoshitaka yang memiliki karakterpenyabar. Dan kemudian adalah tokoh Yashiro Kiyoharu yang percaya diri.
3. Orang Jepang suka bekerja keras, suka berkelompok, dan sebagainya serta prestasi seorang individu dalam kelompok bukan lagi prestasi pribadi yang bersangkutan tapi menjadi prestasi kelompoknya. Selain itu, Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok
4. Dalam manga Hikaru No Go menampilkan kerjasama dalam masyarakat Jepang yang juga dilakukan oleh anak-anak. Contohnya adalah kerjasama kelompok tokoh anak-anak yang masih besekolah. Mereka melakukan kerjasama dalam kelompok untuk memenangkan pertandingan igo.
5. Tokoh-tokoh dalam manga Hikaru No Go memiliki karakter yang berbeda-beda, misalnya saja ada yang memiliki karakter yang penuh percaya diri, atau ada juga yang bersifat semena-mena, namun mereka mampu bekerjasama dalam kelompok yang memiliki kegemaran yang sama, sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
(3)
4.2 Saran
Dengan menganalisis manga “Hikaru No Go”, penulis menyarankan: 1. Agar pembaca dapat mengetahui tentang kehidupan kelompok dan
kerjasama yang dilakukan dalam kelompok. Meskipun berada dalam satu kelompok yang sama, kepribadian atau karakter serta kepandaian yang dimiliki setiap orang tentunya tidaklah sama. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan. Pada awalnya, bisa saja tujuan tersebut merupakan tujuan individu tetapi ketika dalam satu kelompok, tujuan tersebut bisa menjadi tujuan bersama.
2. Sebaiknya tumbuhkanlah rasa kesadaran yang kuat dalam diri setiap anggota bahwa ada tujuan yang ingin dicapai. Kemudian dengan adanya kesadaran tersebut, maka anggota-anggota kelompok akan dengan sukarela melakukan berbagai perbuatan. Misalnya, melakukan latihan bersama, memberikan motivasi serta saling berbagi pengetahuan atau pengalaman. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan loyalitas yang tinggi terhadap kelompok yang kemudian dapat menumbuhkan rasa disiplin yang tinggi pula, demi tujuan yang diinginkan.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Advance. 2005. Vol 08. “Hikaru No Go”. Bandung: PT Naragita Dinamika.
Advance. 2006.vol 06. “Saga Of Millenium Heroes On Comic Book: part III: Jepang”. Bandung: PT Naragita Dinamika.
Animonster.2001. vol 25. History Of Manga. Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera.
. .2006. vol 88. Mengenal Industri Komik Jepang. Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera.
.2002. Vol 44. “What Is Igo.” Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera.
Anonim. 1989. Jepang Dewasa Ini. Tokyo. International Society For Educational Information, Inc.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hitoshi, Matsuoka. A Manga Series Sparks A Go Craze Among Children. http://web-japan.org/nipponia/nipponia22/en/trend/index.html.
Hotta, Yumi dan Takeshi Obata. 1999. Hikaru-No Go. Tokyo: Shuesha Inc.
Library Of Congress Cataloging-in-Publication Data. 1989. Handbook of Japanese Popular Culture. London: Greenwood Press.
(5)
M, Hariwijaya dan Bisri M. D. 2006. Teknik Menulis Skripsi dan Thesis. Jogjakarta: Zenith Publisher.
Mintargo, Bambang S. 2000. Tinjauan Manusia Dan Nilai Budaya. Jakarta:Universitas Trisakti.
Rachmatullah, Agro. “Go, Go, Go!” www.google.com. 30 November 2007.
Ratna, Nyoman Kutha.2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2005. Sastra Dan Cultural Studies : Representasi Fiksi Dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Reischauer, Edwin O. 1982. Manusia Jepang. Jakarta Timur: Sinar Harapan.
Sarwono, S.W. 2002. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USUpress.
Soejono dan H. Abdurrahman. 1999. Metodologi Penelitian : Riset dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Soerjono, Soekanto. 2005. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Sudjianto. 2002. Kamus Istilah Masyarakat Dan Kebudayaan Jepang. Bekasi: Kesaint Blanc.
Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suryahadiprojo, Sayidiman.1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: UI Press dan Pustaka Bradjaguna.
Zulkarnanda,Wan. Institut Igo Internasional di Jogjakarta. http://www.ftsp1.uii.ac.id/TA/download.php?file=02512116laporan.pdf
(6)