Pada awalnya, permainan go hanya dimainkan oleh kaum bangsawan saja. sehingga go sering disebut sebagai permainan untuk orang tua, itulah sebabnya
mengapa permainan ini diabaikan oleh banyak orang, terutama anak-anak muda. Namun, sejak kira-kira abad 13 dimainkan juga oleh masyarakat Jepang hingga
sekarang Sudjianto, 2002 : 30. Jumlah pemain di Jepang mencapai puncaknya sekitar awal tahun1970
dengan 12 juta pemain. Setelah itu jumlah pemainnya menjadi semakin berkurang karena dua sebab, yaitu strategi go sulit untuk dipelajari meski peraturannya lebih
sederhana dibanding catur atau shogi. Kemudian igo merupakan sebuah permainan yang cenderung menghabiskan banyak waktu sebelum diketahui siapa
pemenangnya. Pada tahun 1988, jumlah pemain go di Jepang telah menurun, menjadi hanya 3,9 juta pemain, tetapi hal itu telah berubah beberapa tahun yang
lalu. Dimulai pada tahun 1999, seri manga Hikaru No Go telah membuat go digemari lagi, dan go kini sangat disukai murid-murid sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama http:web- japan.orgnipponianipponia22entrendindex.html.
2.3. Kelompok dalam Masyarakat Jepang
Masyarakat terdiri dari individu-individu, tetapi masing-masing lahir dan kebanyakan menjalani kehidupannya dalam kelompok. Menurut Stogdill dalam
Sarwono 2002:199, kelompok adalah suatu sistem interaksi yang terbuka, struktur dan kelangsungan sistem itu tergantung sekali pada tindakan-tindakan
anggota dan saling hubungan antara anggota.
Universitas Sumatera Utara
Ketika berinteraksi dalam kelompok, seseorang bisa bereaksi terhadap anggota lain yang ada di dalam kelompoknya, dan reaksi itu dapat saling
berbalasan. Masih menurut Stogdill dalam Sarwono 2002:199, aksi dan reaksi dinamakan sebagai hasil perbuatan atau performance. Hasil perbuatan yang
dimaksud di sini adalah yang mempunyai kaitan dengan kelompok, yaitu merupakan bagian dari interaksi, misalnya, kerja sama, merencanakan, menilai,
berkomunikasi, membuat keputusan, dan lain-lain. Semuanya dilakukan dalam kedudukan atau identitas pelaku sebagai anggota kelompok.
Kelompok-kelompok sosial atau social group merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama dan hubungan tersebut antara lain
menyangkut kaitan timbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong-menolong R.M. Maclever dan Charles H.
Page dalam Soekanto, 2005 : 115. Pada saat kelompok sosial berkumpul, akan terjadi saling tukar-menukar pengalaman. Saling tukar-menukar pengalaman,
yang disebut social experiencis di dalam kehidupan berkelompok, mempunyai pengaruh yang besar di dalam pembentukan kepribadian orang-orang yang
bersangkutan Soekanto, 2005 : 116. Dalam kelompok ada pengklasifikasian atau pembedaan antara kelompok
kecil kelompok primer dengan kelompok besar kelompok sekunder. Cooley dalam Soekanto 2005 : 125, mengemukakan kelompok primer adalah kelompok
yang ditandai ciri-ciri kenal-mengenal antara anggota-anggotanya serta kerjasama erat yang bersifat pribadi dan sebagai salah satu hasilnya adalah peleburan
individu-individu ke dalam kelompok-kelompok, sehingga tujuan individu menjadi juga tujuan kelompok. Dalam hal ini ada dua hal yang penting yaitu
Universitas Sumatera Utara
menunjuk pada suatu kelas yang terdiri dari kelompok-kelompok yang kongkrit seperti misalnya keluarga, kelompok sepermainan, rukun tetangga, dan lain-lain.
Yang ke dua adalah istilah saling kenal-mengenal dimana Cooley menekankan pada sifat hubungan antara individu seperti simpati dan kerjasama yang spontan.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto 2005 : 126, kelompok primer adalah kelompok-kelompok kecil yang agak langgeng
permanen dan berdasarkan kenal-mengenal secara pribadi antara sesama anggotanya. Sedangkan menurut Soekanto 2005 : 130, bila dilihat kebalikannya
maka kelompok sekunder adalah kelompok-kelompok besar yang terdiri dari banyak orang. Dan menurut Roucek dan Warren dalam Soekanto 2005 : 130,
bagaimana hubungannya tidak perlu berdasarkan kenal-mengenal secara pribadi dan sifatnya juga tidak begitu langgeng.
Peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat Jepang. Dalam bermasyarakat, bangsa Jepang lebih
memberatkan pada berkelompok daripada individu. Orang Jepang terbiasa bertindak secara berkelompok. Menurut Reischauer 1982:161, kalau orang Barat
setidak-tidaknya memperlihatkan ketidak tergantungan dan individualitas, kebanyakan orang Jepang akan merasa puas sekali dapat menyesuaikan pakaian,
tingkah laku, gaya hidup dan bahkan pikiran pada norma-norma kelompok mereka.
Dalam masyarakat Jepang ada banyak kelompok-kelompok. Misalnya kelompok-kelompok yang memiliki hobi yang sama, dan semua kelompok itu
diorganisasi secara rapi dan menduduki peranan yang lebih besar dalam kehidupan para anggotanya.
Universitas Sumatera Utara
Nilai bangsa Jepang yang menentukan adalah keserasian, yang berusaha mereka dapatkan melaui proses saling pengertian yang halus, hampi-hampir
berdasarkan intuisi, daripada analisa yang tajam mengenai pandangan-pandangan yang bertentangan atau berdasarkan keputusan-keputusan yang tegas jelas, apakah
itu diperoleh karena perintah satu orang atau kesimpulan suara mayoritas Reischauer, 2002 : 172.
Pada umumnya orang sering menyebutkan bahwa orang Jepang suka bekerja keras, suka berkelompok, dan sebagainya. Begitu asyik dengan
pekerjaannya sehingga orang Jepang suka lupa waktu. Di perusahaan-perusahaan kurang terdengar suara keberatan untuk kerja lembur. Hal tersebut didorong oleh
rasa tanggung jawab dan semangat kelompok. Orang Jepang pada umumnya cenderung kuat rasa keterikatannya terhadap kelompok di mana dia berada,
terutama perusahaan tempat kerjanya. Kesadaran kelompok di kalangan orang Jepang konon berakar pada
budaya tanam padi di sawah di masa lampau yang harus dikerjakan beramai- ramai, berdasarkan sistem kerjasama berkelompok dan kuatnya ikatan
kekeluargaan. Ada keteraturan kerja dalam mengolah sawah, melakukan panen, mengatur pengairan, hingga mengatur komunitas pertanian tempat mereka
bermukim. Jiwa berkelompok ini kemudian diperkokoh oleh ajaran Konfusius, yang masuk dari Cina, yang berpegang pada konsep kelompok kekeluargaan.
Dengan latar belakang sejarah demikian, rasa keterikatan kelompok karyawan terhadap perusahaan dan rekan kerja makin menjadi kuat dengan
adanya apa yang dinamakan life-time employment, yakni kebiasaan orang Jepang setia bekerja seumur hidup pada sebuah perusahaan saja.
Universitas Sumatera Utara
Kesetiaan kelompok tidak terbatas di perusahaan atau kantor saja. Bisa saja dalam kelompok klub olahraga, klub kesenian, kelompok ketetanggaan,
kelompok kelas di sekolah, kelompok seangkatan di universitas, dan lain-lain, serta orang yang masuk dalam sebuah kelompok, atau memang tergabung dalam
sebuah kelompok seperti kelompok ketetanggaan, merasa adalah kewajibannya untuk bertindak seirama dengan kemauan kelompok dan tidak bertindak
menonjolkan diri atau lain sendiri karena hal itu akan mengundang rasa kurang senang kelompoknya http:www.id.emb-japan.go.jpaj305_01.html. Prestasi
seorang individu dalam kelompok bukan lagi prestasi pribadi yang bersangkutan tapi menjadi prestasi kelompoknya. Masyarakat Jepang kurang dapat menerima
sifat individualisme, apalagi yang mencolok seperti dalam masyarakat Barat, dan masyarakat Jepang selalu menjaga keharmonisan dengan kelompok, lingkungan,
dan alam http:www.id.emb-japan.go.jpaj305_01.html. Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu
bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan
“rin-gi” adalah ritual dalam kelompok dan Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”
http:trainer-tcc.blogspot.com20071110-resep-kesuksesan- bangsa-jepang.html.
Peranan individu diakui dan dihargai, tetapi senantiasa dalam lingkungan serta kepentingan kelompok. Nakane Chie dalam Suryahadiprojo 1982 : 43,
membedakan antara kerangka frame dengan attribut dalam posisi individu di dalam masyarakat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kerangka adalah
lingkungan dimana individu itu berada atau dalam kelompoknya, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
attribut adalah individu-individu yang berada dalam kerangka itu. Masih menurut Nakane dalam Suryahadiprojo 1982 : 43, di Jepang, kerangka lebih penting
daripada attribut. Sebagai contoh, suatu rumah tangga merupakan satu kerangka kehidupan bersama, sedangkan ayah, ibu, anak laki-laki tertua, menantu, dan
sebagainya adalah attribut dalam rumah tangga itu. Kehidupan berkelompok dalam masyarakat Jepang memiliki penekanan
pada kelompok yang mempunyai pengaruh yang merasuk ke dalam gaya hidup Jepang. Orang Jepang gemar pada kegiatan-kegiatan dari segala jenis, seperti hari
wisata sekolah atau perusahaan, atau tamasya persahabatan, dan lain-lain. Selain itu, misalnya kelompok-kelompok pria dari tempat kerja terbiasa mampir pada
suatu bar ketika dalam perjalanan pulang, untuk bensantai dan berpesta yang ditandai dengan minum-minum dan permainan kelompok. Penekanan kelompok
telah mempengaruhi seluruh gaya hubungan anatar pribadi di Jepang. Seorang pemain kelompok lebih dihargai daripada seorang bintang tunggal, dan semangat
tim lebih dihargai daripada ambisi perorangan. Menurut Suryahadiprojo 1982 : 43-44 bahwa bagi orang Jepang, hidup
hanya akan berarti apabila berada dalam kelompok. Masih menurut Suryahadiprojo 1982 : 43-44, sebab itu, seorang akan senantiasa menjaga diri
agar diakui dan diterima sebagai anggota kelompok, dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok. Loyalitas yang tinggi kepada kelompok itulah yang
menimbulkan disiplin yang tinggi pada orang Jepang.
2.4. Ringkasan Cerita Manga Hikaru No Go