Penerima Wasiat Wajibah Analisa Penulis

memberi sebagian harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapat pusaka sebagai suatu wasiat yang wajib untuk mereka. 3 Menurut Sayyid Sabiq terkait penerima wasiat ada syarat-syarat sebagai berikut: a. Penerima wasiat bukan ahli waris pemberi wasiat. b. Mazhab Hanafi menyatakan bahwa jika penerima wasiat ditentukan, maka ditetapkan syarat terkait keabsahan wasiat baginya pada waktu pembagian wasiat baik itu ada secara fisik yang sebenarnya maupun ada dengan penetapan. c. Ditetapkan syarat bagi penerima wasiat bahwa dia tidak membunuh pemberi wasiat dengan pembunuhan yang dilarang secara langsung. 4 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 209 ayat 1 dan 2 telah jelas sebagai landasan hukum yang berhak atas wasiat wajibah hanya diperuntukan terhadap anak angkat dan orang tua angkat, dan bukan ahli waris yang terhalang karena murtad, yang dengan kata lain agar mendapatkan harta melewati jalur-jalur yang bertentangan dengan pedoman hukum atau Kompilasi Hukum Islam. 3 Teungku, Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Cet.III, Semarang: PT. Pustaka Rizki Utama, 1999, h. 274-275 4 Sayyid, Sabiq,Fikih Sunnah 5, Cet I, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009, h. 596-598 sesuai dengan teori mashlahah al-ummah, maka anak angkat dapat memperoleh bagian sebagai wasiat wajibah dari harta warisan dengan rekontruksi pemikiran sebagai berikut: a. Bahwa dalam Islam, anak angkat ―dibolehkan‖ sebatas pemeliharaan, pengayoman dan pendidikan, dan dilarang memberi status sebagai layaknya anak kandung. b. Bahwa anak angkat dapat memperoleh harta dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat yang besarnya tidak boleh melebihi 13 sepertiga harta orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia, bila orang tua angkatnya tidak meninggalkan wasiat ia dapat diberi berdasarkan wasiat wajibah. Bahwa pemberi wasiat wajibah tidak boleh merugikan hak-hak dari ahli waris. c. Bahwa apabila ada sengketa tentang status anak angkat, harus dibuktikan dengan adanya putusan dari Pengadilan. d. Bahwa bila ada sengketa tentang wasiat atau wasiat wajibah bagi anak angkat, maka harus ada putusan pengadilan yang menyatakan: anak angkat tersebut berhak atas wasiat atau wasiat wajibah dalam praktek diakumulasi dengan sengketa kewarisan, tetapi petitum khusus untuk dinyatakan berhak mendapat wasiat wajibah tidak ada, karena ketentuan dalam KHI bersifat imperatif, harusnya bersyarat; merujuk kepada nash al- Qur’an yang meyatakan pewaris meninggalkan harta yang banyak; demikian ulama tafsir telah menyatakan kata khairan QS. [2]: 180. 5 menurut professor Hasbi Ash shiddieqy hendaklah diikuti langkah-langkah sebagai berikut. 6 1. Dianggap bahwa orang yang meninggal dunia lebih dulu dari pada pewaris masih hidup, Kemudian warisan dibagikan kepada para ahli waris yang ada, termasuk ahli waris yang sesungguhnya telah meninggal lebih dulu itu. Bagian orang yang disebutkan terakhir inilah menjadi wasiat wajibah, asal tidak lebih dari sepertiga. 2. Diambil bagian wasiat wajibah dari warisan yang ada. Mungkin, besarnya sama dengan bagian yang seharusnya diterima oleh orang yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada pewaris, mungkinan pula sepertiga. 3. Sesudah warisan diambil wasiat wajibah, sisa warisan inilah yang dibagikan kepada ahli waris lain. Oleh karena wasiat wajibah ini mempunyai titik singgung secara langsung dengan hukum kewarisan islam, maka pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk menetapkannya dalam proses pemeriksaan perkara waris yang diajukan kepadanya. Hal ini penting diketahui oleh hakim karena 5 Habiburrahman, Rekontruksi hukum Kewarisan Islam di Indonesia Seri Disertasi, Cet 1, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011, h. 189-190 6 Rachmad, Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, h. 28 wasiat wajibah itu mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah namun nash tidak memberikan bagian yang semestinya, atau orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian dalam ketentuan hukum waris Islam, maka hal ini dapat dicapi jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajibah sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta pewaris. 7 Memang tidak ada syarat yang menjelaskan tentang larangan orang yang menerima wasiat wajibah dari pada 194-209 itu non muslim, akan tetapi permaslahannya adalah pada titik siapa yang menerimanya, apakah berhak menerima wasiat wajibah, bukan apa agamanya karena tidak ada aturan yang melarangnya. Dalam pertimbangan memberikan wasiat wajibah sebagai jalan sebab tidak mendapatkan waris, maka menurut penulis ada istilah yang cocok hal ini yaitu, ―Kalalah” menurut Mahmud Yunus Kalalah adalah orang yang meninngagal dunia tidak beranak dan tidak pula berbapa. Dalam kaitan istilah di atas sebenarnya telah dijelaskan dala Al- Qur’an surat An-Nisa ayat 176 : ف خ هل ل هل سيل له م لا ل يف م ي في هلل لق ف سي فص ل م ثلثل لف ي ث ف ل ل ي مل ث ي ه م 7 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, h. 169 لض م ل هلل ي ي ييث أ ظح لثم للف ء س ا ج خ ل ب هلل ميلع ءيش Artinya: “Mereka itu meminta fatwa kepada engkau ya Muhammad katakanlah:Allah menfatwakan kepada kamu tentang kalalah. Jika seorang manusia meninggal, tak ada baginya anak dan ada baginya saudara perempuan, maka untuk soadar perempuan seperdua dari pada peninggalan. Saudara laki-laki mempusakai sodara perempuannya, jika tidak ada anak bagi sudara perempuan. Jika saudara perempuan dua orang, maka untuk keduannya dua pertiga dari peninggalan sodaranya, laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Allah menerangkan kepadamu, supaya kamu jangan tersesat. Allah mengetahui tiap-ti ap sesuatu.”QS. An-Nisa ayat:16. Arti ayat di atas sangatlah jelas menurut penulis dan semakin menegaskan bahwa, yang berhak atas wasiat bukanlah orang yang terhalang mewarisi, akan tetapi dikhususkan kepada selain dari pada itu. Orang yang berhak menerima wasiat wajibah yaitu walidain dan aqrobin yang tidak termasuk ahli waris dan tetap hukumnya bagi orang yang tidak menjadi ahli waris. Artinya menurut penulis adalah bahwa, maksud dari ―tidak menjadi ahli waris‖ adalah bukan karena terhalang, akan tetapi memang hakekatnya tidak menjadi ahli waris. 8 Para ulama mengemukakan diantaranya adalah : Maka barang siapa menjadi ahli waris karena ditunjuk oleh ayat mawaris, baginya tidak ada wasiat, dan bagi yang tidak menerima warisan, tetaplah hukum yang ditetapkan dengan nash tersebut. 9 Menurut penulis hal ini menjadi sebuah argumentasi yang sangat jelas kepada siapa saja yang terhalang menjadi ahli waris namun berusaha untuk 8 Suparman Usman, dan Yusuf Somawinata, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media, 1997, h. 172 9 Usman, dan Somawinata, Hukum Kewarisan Islam,1997, h. 172 mendapatkannya dan sekaligus sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan setelah meliha Al- Qur’an dan Hadits

3. Batas Wasiat Wajibah

Dalam penetapan No. 4 empat Tergugat I dan II Konvensi Penggugat Rekonvensi yang tidak bisa mewarisi mendapatkan dengan jalan wasiat wajibah masing-masing sebesar 312, dan Penggugat Konvensi Tergugat Rekonvensi atau ahli waris mendapatkan sebesar 612 karena berhak mewarisi. Menurut penulis apa yang dilakukan oleh Majlis Hakim menyalahi aturan yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 209 sebagai mana dibawah ini: 1 Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi 13 dari harta warisan harta anak angkatnya. 2 Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 13 dari harta warisan orang tua angkat. Dua ayat ini sangat jelas bahwa, ketentuan batas wasiat wajibah maksimal 13, secara teoritis wasiat wajibah maksimal 13 baik itu sendiri ataupun bersama, akan tetapi pada penerapan atau implementasinya bertolak belakang dengan Kompilasi Hukum Islam terkait kadar wasiat wajiabah. Tergugat I dan II mendapat lebih dari 13 dengan masing-masing 312 + 312 = 612 setengah dari harta yang ada dan itu sama apa yang didapatkan Penggugat yang selaku ahli waris yaitu sebesari 612 dan hal ini diberikan sebelum harta bersama dan warisan dibagikan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepertiga dihitung dari seluruh harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Malik berkata, ―sepertiga dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat bukan dari yang tidak diketahuinya atau tambahan baru dari hartanya yang tidak diketahuinya. 10 Menurut penulis Dalam pasal 195 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam ―wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. Sedangkan diberikan lebih dari sepertiga atau yang lebih jelas setengah dari bagian harta warisan yang telah dipotong harta bersama. Dan perlu diingat bahwa, secara realistis sulit atau sukar ditemui ahli waris yang mengizinkan wasiat melebihi sepertiga, kadang kala yang sepertiga saja menuai banyak permasalahan. Dalam pasal di atas memang bukanlah pasal wasiat wajibah, akan tetapi wasiat biasa. Namun tidaklah mengapa menurut penulis dijadikan penguat terhadap pasal 209 ayat 1 dan 2 dalam hal batasan wasiat wajibah yang tertuju pada titik yang sama. Para ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan wasiat lebih dari sepertiga hartanya. Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai orang yang tidak meninggalkan ahli waris dan kadar barang wasiat yang dianjurkan al-mustahab, apakah sepertiga atau kurang dari itu. 11 10 Sayyid, Sabiq,Fikih Sunnah 5, Cet I, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009, h. 600 11 Ibnu, Rusdy, Bidayatul Mujtahid analisia Fikih Para Mujtahid, jakarta : pustaka amani, 2007, h. 369 Dari kesepakatan ulama jelas bahwa, tidak boleh wasiat melebihi sepertiga jika meninggalkan ahli waris . Sedangkan yang terjadi adalah hakim memutuskan bahkan wasiat wajibah diberikan yang jelas-jelas bukanlah anak angkat akan tetapi ahli waris yang terhijab lebih dari sepertiga. Kalau hakim memutuskan dari harta peninggalan penggugat diberikan 612, Tergugat I 312 dan Tergugat II 312 melewati jalan wasiat wajibah, maka setelah penulis amati dan cermati ternyata hakim memberikan tergugat bukanlah melewati jalan wasiat wajibah, andaipun hakim beralasan melewati jalan wasiat wajibah ternyata setelah melakukan penghitungan, ternyata melewati pembagian waris normal atau sama saja tergugat I dan II adalah ahli waris. Berikut contoh perhitungan pembagian waris normal: Suami = ¼  312 Anak laki-laki = asobah 24  612 Anak perempuan = asobah ¼  312 Seharusnya menurut penulis seperti dibawah ini perhitungannya ketika ingin dibagi melewati jalan wasiat wajibah : Wasiat wajibah = 13 untuk suami tergugat I dan anak perempuan tergugat II. 13 : 2 = 16 untuk suami = 16 untuk anak perempuan Sisanya 66 – 16 + 16 = 46 untuk anak laki-laki sebagai ahli waris. Atau: Suami = 16 = 212 Anak perempuan = 16 = 212 Anak laki-laki = 46 = 812