penjelasan sehingga dapat tersusun secara sistematis dalam menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan.
4. Tehnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan tehnik yang biasa digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini penulis
berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014.
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini terdiri atas lima bab, yang masing-masing mempunyai sub- sub bab tersendiri dengan dengan sistematika penulisan yaitu:
Bab pertama, yaitu merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, studi
review terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab Kedua, yang membahas tentang ketentuan umum wasiat yang terdiri
dari Pengertian secara umum, dasar hukum, rukun dan syarat, batas. Bab Ketiga, yang membahas tentang wasiat wajibah terddiri dari
Pengertian, menurut pandangan ulama, menurut KHI, beberapa contoh di negara muslim, contoh penghitungan.
Bab Keempat, yang membahas tentang Putusan pengadilan dan analisa terdiri dari kronologi perkara, tuntutan penggugat, putusan majlis hakim, alasan,
analisa putusan. Bab kelima, merupakan bab penutup yang terdiri kesimpulan dan saran.
BAB II KETENTUAN UMUM WASIAT
A. Pengertian
Wasiat menurut bahasa adalah Washiyyatussyai’a aw syiihi artinya aku
menyampaikan sesuatu.
1
Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain; washaitu bi kadzaa au aushaitu aku menjadikan sesuatu itu untuknya. Washaya
yang merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah mencakup wasiat harta; sedangkan
iisha’, wishaayah, dan washiyyah dalam istilah ulama fiqh diartikan kepemilikan yang disandarkan pada keadaan atau masa setelah kematian seseorang
dengan cara tabarru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki tersebut berupa
benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang. Dengan arti ini, istilah- istilah tersebut menjadi berbeda dengan kepemilikan-kepemilikan benda munjazah
yang langsung bisa dilaksanakan, seperti penjualan dan hibah, juga kepemilikan nilai guna seperti sewa-menyewa, dan yang disandarkan kepada keadaan selain
kematian seperti sewa-menyewa yang disandarkan kepada waktu mendatang, misalnya diawal bulan depan atau yang lainnya.
2
1
AW Munawir, Kamus Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, cet XXV, Surabaya, Pustaka Progresif, 20002, h. 1563
2
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid.X, Penerjemah. Abdul Hayyie al- Kattani, dkk, Cet.I, Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 154
11
Menurut istilah wasiat berarti pesan, nasehat dan juga diartikan mensyari’atkan.
3
Wasiat menurut istilah syaria’at adalah hibah dari seseorang kepada orang lain berupa barang, hutang, manfaat dengan ketentuan pihak yang
diberi wasiat berhak memiliki pemberian tersebut setelah kematian pemberi wasiat.
4
Orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia masih hidup untuk dilaksanakan sesudah wafat.
5
Menurut syafi’iyyah wasiat adalah suatu pemberian secara suka rela yang pelaksanaannya dilakukan setelah si pewasiat meninggal baik disebutkan maupun
tidak waktu pelaksanaannya wasiat tidak ada perbedaan yakni tetap pelaksanaannya dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia. Menurut ulama
hanabilah wasiat adalah perintah untuk mentasarufkan sesuatu setelah orang yang berwasiat meninggal, seperti wasiatnya seseorang kepada orang lain untuk
merawat anaknya yang masih kecil atau mengawini putrinya atau memisahkan 13 dari hartanya.
6
Sedang kitab Undang-undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946 men
ta’rifkannya secara umum yang dapat mencakup seluruh bentuk-bentuk dan
3
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, Editor.M.Roem Syibly, Cet.I, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012, h. 43
4
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, Cet 1, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009, h. 588
5
Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam,Jakarta: Bulan Bintang, 2007, h. 19
6
Abdur rahman, Al-Zairy, Fiqh Ala Madzahibi Al- Arba’ah, jilid III ,Libanon Bairut: Dar-
al-kitab al-alamiyyah,1990,h. 277
macam-macam wasiat yakni mengalihkan hak memiliki harta peninggalan, yang ditangguhkan kepada kematian seseorang.
7
Dalam pengertian syara’ para ulama mazhab berbeda dalam mendefenisikan wasiat. Menurut ulama hanafiyyah wasiat adalah pemberian hak
untuk mem liki sesuatu secara suka rela tabarru’ yang pelaksanaanya setelah
adanya kematian baik itu berbentuk barang atau manfaat.
8
Menurut ulama malikiyyah wasiat adalah akad yang mewajibkan pemberian hak 13 dari harta
warisan orang yang berwasiat sedang waktu pelaksanaannya adalah setelah si pewasiat meninggal. Sebagian ulama malikiyyah mengartikan wasiat seperti ulama
hanafiyyah.
9
Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang lama dan pendapat ini diakui oleh Ibnu Abdul Barri sebagai ijma’ ulama, bahwa wasiat itu tidak wajib berdasarkan
dalil makna hadis dari Ibnu Umar r.a. itu, karena seandainya dia tidak mewasiatkan niscaya dia bagikan semua hartanya antara para ahli warisnya
berdasarkan ijma’ para ulama. Lalu seandainya wasiat itu adalah wajib, maka pasti dia sudah mengeluarkan sebagian dari hartanya sebagai bagian pengganti wasiat
itu.
10
7
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet.IV, Bandung: PT Al-M a’arif, 1975, h. 50-51
8
Rahman, Ilmu Waris, h. 50-51
10
Ash Shan’ani, Subulussalam, Terjemahan oleh Abu Bakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, h. 372.
Dalam Hukum Pokok Perdata wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal
dunia. pada dasarnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja eenzijdlig dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang
membuatnya.
11
Harta peninggalan dalam Islam disebut tirkah, sebab harta peninggalan sebagai obyek dari keseluruhan sistem kewarisan dalam hukum Islam lebih mudah
dikenal dalam nahasa hukum di Indonesia. Harta peninggalan adalah segala suatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syara. Hukum kewarisan islam menempuh jalan tengah sebagai jalan alternatif anatara memberi kebebasan
kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalan dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendakinya.
12
Apabila dilihat secara makro, bahwa penyelesaian harta peninggalan belumlah cukup diselesaikan dengan aturan kewarisan secara sistematis dengan
bagian-bagian yang telah ditentukan dalam rangka penyebaran harta pada lingkungan kompleks masyarakat sosial tertentu. Akan tetapi wasiat merupakan
11
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet 31, Jakarta : Intermasa, 2003, h. 106-107
12
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, Editor.M.Roem Syibly, Cet.I, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012,h. 28-37