Pengertian KETENTUAN UMUM WASIAT

Dalam Hukum Pokok Perdata wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. pada dasarnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja eenzijdlig dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. 11 Harta peninggalan dalam Islam disebut tirkah, sebab harta peninggalan sebagai obyek dari keseluruhan sistem kewarisan dalam hukum Islam lebih mudah dikenal dalam nahasa hukum di Indonesia. Harta peninggalan adalah segala suatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syara. Hukum kewarisan islam menempuh jalan tengah sebagai jalan alternatif anatara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalan dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendakinya. 12 Apabila dilihat secara makro, bahwa penyelesaian harta peninggalan belumlah cukup diselesaikan dengan aturan kewarisan secara sistematis dengan bagian-bagian yang telah ditentukan dalam rangka penyebaran harta pada lingkungan kompleks masyarakat sosial tertentu. Akan tetapi wasiat merupakan 11 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet 31, Jakarta : Intermasa, 2003, h. 106-107 12 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, Editor.M.Roem Syibly, Cet.I, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012,h. 28-37 cara penyelesaian alternatif yang bertujuan melengkapi cara penyelesaian waris bagi mereka yang tidak memperoleh bagian waris karena adanya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dengan yang meninggal. 13 Beberapa pengertian wasiat di atas apabila dicermati pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan subtansial akan tetapi antara satu dengan lainnya saling melengkapi, karena apabila dikristalkan terdapat beberapa unsur yaitu : pertama, wasiat itu merupakan bentuk perikatan yang berkaitan dengan harta benda atau manfaatnya. Kedua, wasiat itu perbuatan yang dilakukan atas inisiatif atau kehendak sendiri secara sukarela. Ketiga, adanya perpindahan hak kepemilikan dari orang yang berwasiat kepada yang menerima wasiat. Keempat, pelaksanaan perpindahan hak kepemilikan terjadi setelah matinya orang yang berwasiat. 14 Subtansi wasiat di atas berarti juga mengandung pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang dilakukan terhadap hartanya sesudah meninggal kelak. Akan tetapi pelaksanaan wasiat itu harus tunduk kepada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. 15 13 Tono, Kedudukan Wasiat, h. 58 14 Tono, Kedudukan Wasiat, h. 46 15 Tono, Kedudukan Wasiat, h. 47

B. Dasar Hukum

1. Al-Qur’an

Surat Al-Baqarah ayat : 180                  Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf 16 , ini adalah kewajiban atas orang- orang yang bertakwa”. QS Al-Baqarah:180 Ayat ini secara lugas mengemukakan hukum wasiat yang dimaksud di dalamya dengan hukum wajib. Kelugasan demikian dijadikan golongan zahiriyah sebagai dasar menetapkan bahwa wasiat itu hukmnya fardu’ain bagi tiap orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka. 17 Dalam surat Al-Baqarah ayat 180 Rasyid Ridha berpendapat bahwa hukum wasiat adalah wajib bagi orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta yang banyak bagi pewarisnya, dimana wasiat tersebu harus diberikan kepada 16 Maruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris 17 Achmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, cet, I, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1996, h. 54-55 orang tua dan kerabat yang tidak dapat mewarisi, meskipun kedua orang tuanya berbeda agama dengan batas sepertiga harta. 18 Sasaran hukum wasiat di atas ditunjuk kepada ibu bapak dan karib kerabat. Sasaran ini yang perlu direspon dalam pengembangan hukum Islam di Indonesia sebab istilah yang dipergunakan Al- Qur’an itu apakah mencakup orang tua angkat, anak angkat atau mencakup batasan yang lebih luas secara kontekstual dalam menampung perkembangan hukum yang semakin kompleks. 19 Surat Al-Baqarah ayat : 240                              Artinya: “dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah dari rumahnya. akan tetapi jika mereka pindah sendiri, Maka tidak ada dosa bagimu wali atau waris dari yang meninggal membiarkan mereka berbuat yang maruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Menurut Mahmud Yunus, tafsir kebanyakan ulama, bahwa orang-orang yang meninggal dunia hendaklah berwasiat kepada isterinya, supaya bersenang- senang dan ber’idah setahun lamanya dengan tiada berkawin dan tiada keluar dari 18 Rasyid, Ridha, Tafsir Al-Manar, juz II, Beirut : Dar Al- Ma’arif,t,th,h. 127 19 Tono, Kedudukan Wasiat, h. 49 rumahnya. Ayat di atas jelas menegaskan kewajiban berwasiat untuk para istri yang ingin ditinggal mati oleh suaminya, hendanya berwasiat untu para istri tersebut. 20 Surat An Nisa ayat : 11                                                                                  Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak- anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya saja, Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat banyak manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Q.S. an-Nisaa 4: 11 20 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim Terjemahan,Jakarta: PT. Karya Agung, 1978, h. 53 Surat An Nisa ayat : 12                                                                                                   Artinya:“Dan bagimu suami-suami seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau seorang saudara perempuan seibu saja, Maka bagi masing- masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris. Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”. Q.S. an-Nisaa 4: 12 Dua ayat tersebut diatas menurut Mahmud Yunus pembagian pusaka itu dilaksanakan sesudah dibayarkan utang-utangnya dan dibagikan wasiatnya, jika