Bisnis informal dan illegal sebagai faktor dominan penyebab terjadinya

C. Bisnis informal dan illegal sebagai faktor dominan penyebab terjadinya

pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara Berdasarkan kajian yang di dapat penulis, Pelanggaran HAM di Sumatera Utara pasca Reformasi TNI masih ada dan Bisnis Militerlah faktor dominan terjadinya Pelanggaran HAM di Sumatera Utara yang dilakukan oleh Institusi TNI. 68 Sebelum penjabaran lebih lanjut, Penulis pertama-tama ingin menjelaskan secara ringkas pertama-tama yang termasuk klasifikasi aktivitas bisnis militer TNI. Banyak sekali pihak yang mengklasifikasikan macam-macam bisnis TNI, namun penulis mengangkat klasifikasi bisnis TNI dengan melalui penjelasan dari ICW. Klasifikasi Aktivitas Bisnis Militer TNI, adalah : 69 1. Bisnis Formal Adalah kategori untuk bisnis yang melibatkan TNI secara kelembagaan dalam bisnis. Contohnya adalah bisnis militer dalam bentuk yayasan. Susunan pengurus yayasan mengikuti struktur komando. Dengan demikian bisnis ini dimiliki oleh institusi militer, khususnya kesatuan komando atau markas yang bersangkutan. Bisnis dalam bentuk yayasan tidak hanya di jalankan di tingkat kesatuan atau di tingkat Markas Besar. Pada Hirarki militer di bawahnya, seperti Kodam, juga memiliki yayasan 68 Ini juga sesuai dengan hasil data dan wawancara penulis dengan Dyah Susilowati SH, Koordinator KontraS Sumut, pada 15 April 2010 pukul 14.27 di kantor KontraS Sumut dan M. Fadly Sudiro, Task Force SSRC Sumut, pada 5 Mei 2010 pukul 12.00 di kantor SSRC, Hasil wawancara terlampir. 69 Tim ICW, Op.cit.,hal 12. Universitas Sumatera Utara sendiri. Bentuk lain dari bisnis formal adalah koperasi. Koperasi di lingkungan militer juga mengikuti struktur komando. Di tingkat Markas Besar Mabes, koperasi mengunakan nama Induk, sedangkan di tingkat Kodam, koperasi menggunakan nama Pusat dan di tingkat Korem atau Kodim, digunakan nama Primer. 2. Bisnis Informal Adalah bisnis militer yang tidak melibatkan militer sebagai institusi melainkan atas nama individu-individu. Dapat berupa personil militer aktif, personil militer yang pension, anggota keluarga dari personil militer yang aktif ataupun pensiun atau kroni-kroni dari personel militer yang aktif maupun pensiun. Dapat berupa kepemilikan saham di perusahaan swasta ataupun BUMN atau berupa pengembangan usaha sendiri. 3. Bisnis IllegalCriminal Economy Adalah bisnis militer sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang militer. Biasanya berupa jasa perlindungan yang diberikan oleh anggota militer akan bisnis gelap yang melanggar hukum. Misalnya: perdagangan narkotika; penyedia jasa demonstran; bekking perjudian, prostitusi dll; illegal logging dll. Aktifitas bisnis sebagaimana terdapat di dalam klasifikasi di atas sebetulnya bukan satu-satunya sumber pembiayaan militer di luar anggaran resmi. Masih ada berbagai sumber lain yang juga menghasilkan keuntungan yang relatif sama Universitas Sumatera Utara seperti hadiah dan komisi kerja dan pengutipan uang di jalan dalam operasi di wilayah konflik dan sebagainya. Gambaran aktivitas bisnis militer ini juga dapat dilihat dari susunan anggaran dan pembiayaan pertahanan, meski berapa besaran sumbangan hanya TNI yang tahu. Untuk melihat lebih lanjut sumber anggaran lihat tabel 2. Tabel 2 Anggaran dan Pembiayaan Pertahanan 70 Sumber Pertahanan Non-Pertahanan Resmi  Sektor Pertahanan dalam APBN  Anggaran Kontogensi dan atau tambahan  Sektor Pertahanan dan keamanan dalam APBD  Potongan harga dan berbagai bentuk previlege Tidak resmi  Usaha Konstitusional koperasi di bawah naungan yayasan militer  Kegiatan Illegal individual dan institusional pada tingkat pusat maupun daerah. Mitos-mitos yang menjadi latar belakang TNI berbisnis adalah : 1. Budget yang dialokasikan pemerintah hanya bisa meng-cover sedikit pembiayaan dari total anggaran yang dibutuhkan militer; 2. Bahwa bisnis militer yang dijalankan signifikan meng-cover gap pembiayaan militer; 3. Sebagian besar hasil dari bisnis-bisnis militer digunakan untuk memenuhi kesejahteraan prajurit. 70 Sumber Tim IDSPS, Penjelasan Singkat Bisnis Militer, Seri ke-9 dari 10 seri Reformasi Sektor Keamanan, Jakarta : IDSPS dan Rights Democracy Kanada, 2008, hal 2 . Universitas Sumatera Utara Mitos-mitos tersebut tidak pernah dapat dibenarkan sepenuhnya karena dalam hal alasan minimnya budget, statistik yang dinyatakan seringkali bukan angka yang sebenarnya. Tidak ada data yang komprehensif menjelaskan seluruh pemasukan TNI termasuk yang berasal dari sumber-sumber pembiayaan non APBN seperti dana-dana operasi keamanan, terorisme, penanganan bencana alam, kredit ekspor dan dana yang bersumber dari APBD seperti dalam kegiatan Tentara Manunggal Masuk Desa yang juga diterima TNI meski bertentangan dengan UU TNI dan UU Pertahanan Negara. Diperkirakan, jika dihitung-hitung dan digunakan dengan cermat, keseluruhan dana dapat secara bertahap memenuhi kekurangan-kekurangan pembiayaan tersebut. Dalam hal bisnis untuk men-cover gap pembiayaan militer, kontribusi yang diberikan unit-unit usaha militer dalam beberapa tahun terakhir sangat tidak signifikan. Sejumlah usaha yayasan-yayasan militer dilaporkan merugi, memiliki hutang dengan pihak ketiga atau dinyatakan ditutup. Sementara bisnis-bisnis yang diniatkan untuk memenuhi kesejahteraan prajurit melalui yayasan dan koperasi rata-rata merugi dan hanya dinikmati keuntungannya oleh segelintir perwira militer. Pada beberapa unit usaha, para komandan institusi-institusi pemilik usaha leluasa memutuskan kebijakan penggunaan keuntungan tanpa pencatatan yang akuntabel dan diluar tujuan pemenuhan kesejahteraan bersama. Reformasi menuntut TNI keluar dari bisnis. Studi Indonesian Corruption Watch ICW mencatat tiga argumen yang menyebabkan TNI harus keluar dari bisnis. Pertama, kebebasan berekspresi yang dinikmati militer dengan cara memiliki sumber dana independen telah melemahkan kemampuan pemerintah untuk menetapkan tujuan nasional dan cara untuk meraihnya. Kedua, waktu dan Universitas Sumatera Utara tenaga yang diserap untuk mengatur dan melaksanakan aktivitas bisnisnya mengalihkan perhatian tentara dan pegawai militer dari tugas kenegaraan, yaitu untuk membela negara terhadap ancaman dari luar dan memperkuat keamanan domestik. Ketiga, aktivitas bisnis militer menciptakan distorsi dalam ekonomi nasional dan menghambat pertumbuhannya dengan cara menurunkan produktivitas dan mis-alokasi sumber daya yang langka. Akses mudah terhadap kredit bank adalah karakter yang merusak dari bisnis TNI. Ini juga menghambat pertumbuhan satu mekanisme pasar yang fair, dimana militer sebagai salah satu pihak menjadi kompetitor yang menggunakan kekuasaan dan jaringannya di wilayah bisnis. Sebagai institusi yang memiliki kewenangan menggunakan kekerasan, keberadaan bisnis militer tidak hanya menciptakan distorsi ekonomi tetapi juga berpotensi besar melanggar Hak Asasi Manusia dan mengancam demokrasi. Fakta kondisi pelanggaran HAM yang kental dilakukan oleh militerTNI di Sumatera Utara diindikasikan karena Bisnis Informal dan Illegal TNI. 71 Bisnis TNI adalah Indikator terbesar pelanggaran HAM di Sumatera Utara di karenakan Sumatera Utara bukanlah merupakan wilayah konflik seperti Nangroe Aceh Darussalam, ataupun Papua. Seperti pernyataan Diah Susilowati SH, Koordinator KontaS Sumut dalam wawancara penulis pada tanggal 15 April 2010 pukul 14.27 di Kantor KontaS Sumut , ketika di tanya penulis: “apakah kebanyakan pelanggaran HAM yang terjadi karena aktifitas bisnis militer?” lalu ia menjawab : 71 Hasil analisa penulis atas data-datanya dan hasil wawancara penulis dengan kordinator KontraS Sumut, Dyah Susilowati.SH dan Task Force SSRC Sumut, M. Fadly Sudiro, untuk lebih lanjut baca lampiran wawancara. Universitas Sumatera Utara “.. untuk di Sumatera Utara karena bukan daerah konflik kecuali kalau di Aceh ada operasi militer atau di Papua atau mungkin seperti kemarin di Poso. Tapi karena kita relatif bukan daerah konflik yah, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer terjadi karena bisnis militer..” Berawal dari bisnis TNI, kemudian TNI terlibat secara langsung maupun tidak langsung pada pelanggaran dan kejahatan berat Hak Asasi Manusia baik secara sipil politik maupun secara ekonomi, sosial dan budaya. Peristiwa pengambilalihan pengusiran secara paksa misalnya: hukum hak asasi manusia internasional dengan tegas memasukkan tindakan pengusiran paksa sebagai kejahatan hak asasi manusia berat. Karena tindakan tersebut selalu identik dengan kesengajaan. Disamping itu akibat yang ditimbulkan tindakan ini menyebabkan akibat yang serius pada korban. Antara lain; kehilangan properti, penderitaan secara fisik karena kerap mengunakan kekerasan, oleh karena itu dalam intrumen hak ekonomi sosial dan budaya, tindakan ini dinyatakan sebagai kejahatan berat hak asasi manusia. Memang dalam beberapa kasus, pengusiran secara paksa dibenarkan oleh PBB, namun harus memenuhi beberapa prosedur ; mengeluarkan pengumuman enam bulan sebelum pengusiran, membuka ruang untuk perdebatan mengenai rencana tersebut, ada negosiasi pada pihak yang akan diusir, memberikan kompensasi yang sesuai dengan kekayaan pihak yang akan diusir. Tercatat selama 4 tahun 3 bulan yaitu dari tahun 2006 sampai Maret 2010 pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling banyak di lakukan oleh aparat TNI di Sumatera Utara adalah penggunaan wewenang berlebih seperti: penangkapan, teror dan intimidasi, penganiayaan, penggusuran, kriminalitas, menimbun BBM dll. Di karenakan karena semenjak Reformasi TNI berlangsung sampai sekarang, Universitas Sumatera Utara tentara menjadi aparat yang tidak langsung berhubungan dengan masyarakat sipil dalam konteks pekerjaan dan tugas kemiliterannya lihat tabel 3. Jika kita mengamati tabel 3, terlihat jelas di sana bahwa penyalahgunaan wewenanglah yang masih seringkali terjadi oleh aparat TNI di Sumatera Utara. Dan penyalahgunaan wewenang itu terkait erat dengan aktifitas Bisnis Militer Informal dan Illegal mereka seperti pembekkingan, illegal logging dll. Tabel 3 Pola Kekerasan dan Diskriminasi di Sumatera Utara 72 Bentuk tindak pelanggaran HAM 2006 2007 2008 2009 Maret 2010 Torture Penyiksaan 1 Ekstra Yudisial Killing pembunuhan diluar prosedur hukum 1 1 Dissapearance penghilangan orang secara sewenang-wenang Penggunaan wewenang berlebih: ‐ Penangkapan ‐ Teror dan intimidasi 3 10 ‐ Penembakan ‐ Penganiayaan 6 5 4 4 ‐ Penggusuran 1 ‐ Kriminalitas 2 ‐ Menimbun BBM 1 Lain-lain : ‐ Pembiaran 2 Jumlah 11 8 18 72 Sumber KontraS Sumut, April 2010 Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Daerah-daerah di Sumatera Utara dan Jumlah Pelanggaran HAM oleh TNI 73 Nama daerah di Sumut 2006 2007 2008 2009 2010 Medan 7 4 6 2 Binjai 1 Pematang siantar 1 Serdang bedagai 1 Asahan 1 1 1 Simalungun 1 Labuhan Batu 4 1 Langkat 2 Deli Serdang 4 Mandailing natal 2 Jumlah 11 15 9 4 73 Tahun 2010, data di hitung sampai bulan Maret 2010. Sumber KontraS Sumut, April 2010. Universitas Sumatera Utara Melihat tabel 4, tidak ada spesifikasi khusus daerah mana saja yang sering terjadi Pelanggaran HAM di Sumatera Utara. Karena TNI masih hidup di segala aktifitas masyarakat sipil melalui Koter-nya, maka setiap tempat tetap masih memungkinkan terjadinya pelanggaran HAM ketika di tempat itu juga bisnis militer dapat dengan subur tumbuh dan berkembang. Dengan dalih keterbatasan anggaran dan membiayai diri sendiri, TNI memberikan fakta kelam bagi tegaknya supremasi sipil dan penegakan Hak Asasi Manusia. Yang kemudian menempatkan TNI menjadi salah satu aktor penting dalam berbagai tragedi kemanusian tersebut. Amanah reformasi tidak direspon secara maksimal, baik oleh intitusi TNI sendiri mapun oleh pemerintah Indonesia. Restrukturisasi Komando Teritorial belum dilakukan menyebabkan masih mencengkramnya TNI di berbagai bidang terutama di berbagai kebijakan mendorong makin banyak anggota TNI yang melakukan bisnis apalagi penegakan disiplin anggota juga masih amburadul. Wajar jika fakta dilapangan menunjukan bahwa, kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan intitusi TNI maupun anggota TNI meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode Januari sampai Desember 2006 tercatat ada 11 kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI kemudian pada periode Januari sampai Oktober 2007 meningkat menjadi 15 kasus tabel 4. Menurut M. Fadly Sudiro, Task Force SSRC 74 Sumut, ketika di wawancara 75 tanggal 5 Mei 2010 jam 12.00 di kantor SSRC. 74 SSRC adalah Security Sector Reform Community yang di bentuk Oktober 2009 di Medan, Sumut. Fokus kepada isu-isu Reformasi Sektor Keamanan termasuk di dalamnya TNI, Polri, Universitas Sumatera Utara “… HAM secara umum terbagi dua : sipil politik dan ekonomi sosial budaya. Pasca reformasi, teman-teman melihat pelanggaran HAM pada sipil politik yang bersifat langsung terhadap tindak-tindak kekerasan, penyiksaan dan sebagainya dalam TNI bisa dibilang sangat minim. Karena keterbatasan porsi TNI dalam porsi-porsi sipil, sehingga sekarang polisi-lah yang dominan dalam pelanggaran HAM sipil politik. TNI relatif jarang karena tidak berhadapan langsung dengan sipil saat ini. Kalau berbicara tentang ekososbud, ini berbicara tentang bisnis militer, ketika mereka menjadi pembekking perusahaan atau kasus illegal logging. Itupun mereka berada di kawasan hutannya. Pada tingkatan sipil, TNI sekarang tidak masuk lagi ke pelanggaran HAM…” Pelanggaran HAM di Sumatera Utara berkaitan dengan sisi Ekonomi Sosial Budaya, bukan lagi Sipil Politik seperti fenomena yang terjadi di masa Orde Baru. Ini dikarenakan institusi TNI sudah tidak langsung bersentuhan dengan penduduk sipil lagi, karena bidang keamanan saat ini telah menjadi spesialisasinya pihak kepolisian. Basic permasalahan Ekonomi Sosial Budaya-lah yang menyebabkan dampaknya lari ke Sipil Politik seperti kekerasan dll. Sehingga pelanggaran HAM seperti dalam isu-isu LSM Perlindungan HAM seperti: Extra Judicial Killing Pembunuhan diluar prosedur hukum dan Dissapearance Penghilangan orang secara sewenang-wenang sudah minim sekali terjadi. Lalu, M. Fadly Sudiro berkata : “… untuk saat ini mungkin hanya itu ya, saya lihat baru itu, dan imbasnya ekososbud ekonomi social budaya,red bisa lari ke sipol sipil politik,red seperti kekerasan dan sebagainya karena illegal logging bisnis militer,red Satpol PP atau birokrasi pemerintahan yang mempunyai hubungan langsung kebijakannya kepada keamanan masyarakat sendiri. 75 Hasil wawancara lebih lanjut, lihat lampiran wawancara. Universitas Sumatera Utara berbicara tentang kesejahteraan TNI yang belum selesai, makanya mereka melakukan pengsejahteraan terhadap mereka sendiri dengan alasan klasik bahwasanya anggaran negara tidak mencukupi untuk kesejahteraan mereka…” Tuturnya ketika ditanya penulis tentang “apakah hanyalah bisnis militer, faktor yang memungkinkan terjadinya pelanggaran HAM di tingkatan Sumatera Utara?”. Dan ketika penulis kembali bertanya kembali dengan: “apa itu saja faktor TNI melakukan pelanggaran HAM di Sumatera Utara?” menyakinkan steatment sebelumnya, ia lalu menjawab : “ ..ini faktor riil, makanya kemudian berbicara profesionalitas salah satunya masalah kesejahteraan TNI, itu yang menjadikan mereka mengalibikan secara klasik bisnis militer untuk membackup kesejahteraan mereka. Tapi ternyata dari penelitian kawan-kawan di lapangan, bisnis militer tidak menjawab kesejahteraan TNI di tingkat bawah, tapi di tingkat perwira, prajurit tidak kena. Ini akan menjadi komoditas kaum elite di tingkatan jendral. Ya, mayor keatas, pada kalangan prajurit tidak signifikan juga. Jadi,bisnis militer bukan jawaban terhadap kesejahteraan TNI…” Jadi, dapat dipastikan untuk saat ini celah TNI di bisnis militerlah yang memungkinkan pelanggaran HAM. Padahal sesungguhny bisnis militer tidak menjawab masalah mereka, karena sebagian besar hasil dari bisnis militer itu hanyalah dinikmati oleh perwira tinggi, bukan oleh kalangan prajurit. Ini hanya menjadi “usaha sampingan” kalangan elite di tingkatan Jendral, mulai dari pangkat Mayor keatas atau perwira menengah. 76 Dan fakta menunjukan bisnis militer di Sumatera Utara yang kerap kali memungkinkan pelanggaran HAM adalah bisnis militer yang informal atau malah illegal. 76 Dapat di lihat juga menurut laporan TIM ICW, Op.cit., hal 44. Universitas Sumatera Utara Bisnis informal dan illegal militer yang akhirnya mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM seperti : Kasus pembekingan judi di Labuhan Batu, Maret 2010 yang mengakibatkan Polres Labuhan Batu di serang oleh kurang lebih 18 personil TNI karena Polres menangkap Oknum TNI. Atau pembekingan illegal logging di Tapanuli Tengah atau Tapanuli Selatan, malah karena kasus tanah seperti yang terjadi di STM Hilir antara diindikasikan TNI AD dan Brimob sebagai back-up PTPN dan TNI AL sebagai back-up masyarakat. melakukan pembekingan sehingga rentan akan masalah kekerasan. Objek-objek yang sering dilanggar HAM lalu berkaitan dengan pemodal dan rakyat kecil. Pemodal biasanya dibekking oleh aparat TNI dan lalu masyarakat kecil menjadi korban kekerasan oleh aparat TNI. Penulis mengutip pernyataannya tentang bisnis militer dari Dyah Susilowati: “… Kalau melihat pada masalah anggaran pembiayaan seharusnya bagaimana negara membiayai TNI dan TNI tidak lalu memiliki legalitas untuk melakukan pembiayaan sendiri…” Penulis lalu bertanya lagi, “apa yang harus dilakukan TNI untuk tercapai tujuan dari Reformasi TNI?” Ia lalu menjawab : “…TNI harus kembali ke barak, tidak boleh berbisnis, anggaran TNI harus sepenuhnya berasal dari APBN. Selama ini kekurangan dana menjadi alasan utama tentara berbisnis. TNI tidak boleh berbisnis, hanya sebagai alat pertahanan negara saja..”. Universitas Sumatera Utara Tingginya tindak kekerasan di Sumatera Utara ini menurut pengamatan KontraS Sumatera Utara paling tidak dipengaruhi oleh dua faktor ; Pertama, masih kuatnya keberpihakan penyelenggara pemerintah daerah Sumatera Utara dan juga aparat keamanan termasuk TNI terhadap kepentingan investor atau modal. Keberpihakan ini menyebabkan sebagian masyarakat kehilangan kemampuan untuk mengakses kesehatan, pendidikan, perumahan bahkan pekerjaan. Ironis keberpihakan ini juga menyebabkan masyarakat mengalami proses dehumanisasi dan marjinaliasi. Disejumlah daerah di Sumatera Utara ditemukan tindakan kekerasan dan penghilangan hak secara paksa sebagai akibat kebijakan yang memacu investasi dan modal. Masyarakat dilabel sebagai kriminal yang melakukan penyerobotan tanah hak guna usaha HGU BUMN dan atau Swasta, masyarakat dilabel sebagai parasit pembangunan yang layak dieksekusi tanpa proses peradilan. Kedua adalah ketiadaan institusi perlindungan hak asasi manusia. Reorganisasi struktur pemerintah daerah otonomi melalui undang-undang No 22 tahun 1999 dan undang-undang No. 322002, tidak dibarengi dengan pembangunan institusi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Bahkan singkronisasi atas sejumlah regulasi daerah dengan hukum hak asasi nasional tidak ditemukan. Praktis pemerintah daerah Sumatera Utara sepanjang tahun hanya berkutat pada regulasi bidang ekonomi dan pemekaran wilayah, dengan titik berat kenaikan PAD pendapatan asli daerah. Kedua hal ini menyebabkan aspek Hak Asasi Manusia di Sumatera Universitas Sumatera Utara Utara menjadi sesuatu yang ternafikan. Justru kuatnya keinginan menaikan pendapatan menjadi faktor pemicu munculnya berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat Sumatera Utara.

D. Pentingnya Penghapusan Bisnis Militer sebagai upaya tuntasnya