B. Korelasi antara Reformasi TNI, Komando Teritorial Koter dengan
tindak pelanggaran HAM
Slogan manunggal TNI dan rakyat yang dipercaya menjadi awal dari hilangnya profesionalisme TNI sehingga mereka kemudian mengalami
disorientasi yang berkaitan dengan fungsi dan peran pertahanan yang seharusnya dijalankan.
48
Dalam sebuah negara modern yang demokratis, ketundukan militer kepada otoritas demokratik sipil adalah kemutlakan. Dengan ketundukan kepada
otoritas sipil, maka militer telah melampaui fungsi dan wewenangnya, apalagi dengan turut serta pada arena politik yang ada. Dengan keuntungan kepemilikan
kekuatan represi bersenjata, militer dapat menjadi kekuatan yang bertarung secara tidak fair dalam pentas politik, sehingga muncullah berbagai kekerasan dalam
rangka memenangkan pertarungan tersebut. Militer sesungguhnya hanya diberi fungsi pertahanan dari serangan musuh,
sehingga negara berkewajiban untuk memberikan fasilitas dan pembiayaan dalam rangka mendukung profesionalismenya. Dalam hal ini militer tunduk pada
supremasi sipil yang memberikan kekuasaan kepadanya sesuai dengan konstitusi, sebagaimana Winston Churcill berkata bahwa, “Perang adalah hal yang terlalu
penting untuk diserahkan kepada jenderal-jenderal.” Sayangnya, kaum militer enggan menerima supremasi sipil, bahkan cenderung meremehkan. Mereka lupa
48
Website Mufti Maakarim, http:makaarim.wordpress.com20071022bellum-omnium-contra- omnes-potret-kasus-kasus-pelanggaran-ham-tni-mengapa-terjadi
Universitas Sumatera Utara
bahwa profesionalisme mereka bukanlah tujuan, namun alat untuk mencapai tujuan dari negara yang dipimpin otoritas demokratik. Militer didesain untuk
membantu mencapai tujuan, seperti menjamin keamanan negara, bukan untuk menjawab pertanyaan, “Apakah lebih baik memerangi atau berdamai dengan
negara tersebut?” Politisi sipil-lah yang mengambil keputusan setelah mendengar masukan dari para jenderal dan mempertanggungjawabkannya secara
konstitusional.
49
Dalam konteks Indonesia, ketidakmauan militer mengakui supremasi sipil sangat kentara pada masa pemerintahan Orde Baru yang notabene adalah
pemerintahan militer. Orde baru dengan berbagai upaya mencoba menghapuskan dikotomi sipil-militer dan menempatkan sipil pada posisi yang sub-ordinatif.
Doktrin kekaryaan, dwifungsi, manunggal TNI, ABRI masuk desa, pelibatan komando teritorial dalam musyawarah pimpinan daerah, adalah proses TNI
ABRI mengukuhkan intervensi dan peran dominasinya dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian bertahan sampai + 32 tahun. Pengalaman inilah yang
kemudian menghambat proses pengembalian militer pada fungsinya yang menjadi agenda transisional yang direkomendasikan berbagai kalangan sipil pasca
lengsernya Jenderal Soeharto. Rezim Orde Baru yang tunduk pada kekuatan modal dengan dukungan TNI
ABRI melakukan screening terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada. Dengan dalih mengembalikan stabilitas keamanan nasional melalui Kopkamtib
dan Bakortanas, rezim militer bekerja sebagai mesin-mesin teror, mesin-mesin
49
Castles Lance, pengantar dalam buku ABRI dan kekerasan, Yogyakarta : Interfidei, Februari 1999, cet I, hal xiii-xiv
Universitas Sumatera Utara
horor, mesin-mesin parasit, mesin-mesin fasisme dan mesin-mesin dis-informasi. Transisi menuju Orde Baru merusak perubahan murni yang membawa agenda
kesejahteraan dan konsep negara demokratis. Politik kekerasan dimunculkan, diatur dalam undang-undang dan dipelihara untuk dimunculkan dalam situasi-
situasi ketiadaan kendali govermentless. Dengan Doktrin Dwifungsinya TNI bukan sekadar dianggap sebagai kekuatan pertahanan keamanan, namun juga
sebagai kekuatan sosial politik, dimana TNI mendapat hak untuk duduk di DPR melalui pengangkatan dengan legitimasi UU Tentang Susunan dan Kedudukan
Anggota DPRMPR yang mengabsahkan fraksi tersendiri bagi TNI aktif. Transisi dari Orde Lama menuju Orde baru ditandai dengan perubahan
orientasi negara dari penekanan atas “revolusi” dan anti-imperalisme serta politik mobilisasi massa dengan memanfaatkan pengaruh Soekarno menjadi prioritas
terhadap pertumbuhan ekonomi, investasi asing dan semangat anti komunisme yang tinggi. TNI ABRI berhasil melakukan pengendalian sampai pada tingkat
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Komando Teritorial Angkatan Darat memastikan kehadirannya sampai ke tingkat desa dengan tugas memelihara
keamanan, mengawasi kegiatan pemerintah sipil dan bertindak sebagai pengawas politik.
50
Tampilnya TNI sebagai kekuatan dominan di panggung politik sejak awal Orde Baru kemudian semakin menghapus wilayah-wilayah wewenang sipil dalam
pemerintahan. TNI ABRI yang semakin kuat dan menghempaskan wacana dikotomi sipil-militer masuk ke berbagai domain publik yang dimiliki kalangan
50
Britton
Peter, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Perspektif Tradisi-tradisi Jawa dan Barat , Jakarta: LP3ES, September 1996, Cet. I, hal 126.
Universitas Sumatera Utara
sipil seperti birokrasi, bisnis, partai politik, dll dengan menanggalkan seragam dan mengenakan atribut sipil.
51
Dari sini diketahui bahwa ketidakmauan tunduk pada supremasi sipil adalah bahaya laten TNI sejak awal kemerdekaan yang kemudian
menjadi kenyataan melalui momentum tragedi Gestapu. TNI memberikan jaminan stabilitas politik untuk memungkinkan
beroperasinya modal asing. Jaminan adanya stabilitas politik bagi modal mensyaratkan adanya negara yang kuat, sehingga penguatan militer menjadi
tujuan sesuai dengan ketentuan persyaratan modal itu. Pada perkembangan selanjutnya, Soeharto yang telah memegang tampuk kekuasaan politik mutlak,
semakin memanfaatkan alat-alat represif negara dalam rangka pengamanan kekuasaan politik dan ekonominya. Kepentingan ekonomi-politik telah menyeret
Orde Baru menyusun suatu tatanan sosial yang kondusif dan reseptif . Di sinilah proyek rule and order
itu bekerja. Aparat teknokrasi bekerja merumuskan karakter masyarakat yang diperlukan untuk kelancaran kepentingan rezim,
sementara aparat represif dan ideologis bekerja secara sistematis menghancurkan potensi-potensi kreatif masyarakat baik melalui kekerasan langsung maupun
rekayasa-rekaya penghancuran, teror dan intimidasi. Di dalam undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI menentukan
bahwa : 1 TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan dan dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, 2
TNI berfungsi sebagai penangkal dan penindak setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan
51
Azca Najib, ABRI dalam Wacana Publik atau Publik dalam Wacana ABRI, dalam ABRI dan Kekerasan, op. cit. hal. 31-32
Universitas Sumatera Utara
wilayah dan keselamatan bangsa serta melakukan pemulihan akibat kekacauan keamanan, 3 Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan dan
mempertahankan keutuhan wilayah, 4 Melaksanakan tugas pokok dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang 5 Postur TNI dibangun
sebagai postur pertahanan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman bersenjata, 6 Pembangunan dan penggelaran kekuatan TNI harus
mempertimbangkan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan daerah terpencil sesuai kondisi geografis
dan strategi pertahanan, 7 Dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan
politik praktis, 8 Penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintah.
Struktur organisasi dan penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintah bahkan ditegaskan dalam penjelasan Pasal 11,
UU No 34 Tahun 2004, dinyatakan bahwa penggelaran kekuatan TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan
politik praktis. Hal ini didasarkan pada pengalaman empiris di masa lalu, bahwa
penggelaran kekuatan TNI pada masa Orde Baru, menjadi alat bagi kepentingan politik praktis. Bahkan berbagai penelitian dan hasil pemantauan tentang
pelaksanaan Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa penggelaran kekuatan TNI yang dibangun mengikuti struktur pemerintah, fungsi teritorial dan keberadaan
struktur Komando Teritorial Koter memberikan sumbangan signifikan bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan menyuburkan bisnis militer. Oleh karenanya,
Universitas Sumatera Utara
sebagian elemen masyarakat seperti partai politik, LSM dan akademisi serta tokoh militer yang reformis mendorong dan memberikan desakan dikurangi atau
dihapuskannya Koter.
52
Pemisahan peran secara tegas antara peran TNI di bidang pertahanan dan POLRI di bidang keamanan sulit direalisasikan karena tugas pokok yang
dilaksanakan TNI dengan operasi selain perang. Sejumlah 14 tugas operasi selain perang, sebagaimana disebutkan dalam UU tentang TNI menjadi alasan untuk
melestarikan keberadaan Koter yang merupakan penggelaran kekuatan di hampir seluruh daerah di Indonesia sesuai dengan pembagian daerah administrasi
pemerintah. Bahkan pada perkembangannya, setiap pemekaran wilayah Kabupatenkota baru diikuti dengan pembangunan Koter. Karena pada
kenyataannya, struktur Koter memang nyaris tidak berbeda dengan struktur pemerintahan sipil, sehingga memungkinkan TNI terlibat langsung dengan
pemerintahan daerah dalam hal kebijakan pembangunan dan keamanan.
53
52
Siaran Pers KontraS Sumatera Utara Bulan April 2010.
53
Mantan Presiden Alm. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa menghidupkan kembali peran aktif koter adalah obat yang salah untuk penyakit yang tengah kita hadapi dan berpotensi
menghidupkan kembali militerisme dan mendoong pemerintahan otoriter, lihat Politicians slam plan for TNI, The Jakarta Post, 7 oktober 2005
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Perbandingan Struktur Pemerintah daerah dan Komando Teritorial
54
Level Pemerintahan DaerahPejabat Pemimpin
Pemerintahan Daerah Level Komando Teritorial ADKomandan
Komando Teritorial AD
ProvinsiGubernur Keresidenan-
ProvinsiResiden-Gubernur Komando Daerah Militer KODAMMayor
Jenderal atau Brigadir Jenderal
Kotamadia- KabupatenWalikota-Bupati
Komando Resort Militer KOREMKolonel Komando Distrik Militer KODIMLetnan
Kolonel
KecamatanCamat Komando Rayon Militer KoramilLetnan Satu
Kelurahan-DesaLurah- Kepala Desa
Bintara Pembina Desa BabinsaSersan Kepala
Militer benar-benar masuk ke dalam kehidupan masyarakat sipil, seperti dalam tabel di atas bahwa TNI mempunyai struktur komando kontrol sampai ke
tingkat desa sekalipun. Sedangkan struktur teritorial pada awalnya di pergunakan sebagai strategi perang gerilya, dikarenakan tidak mempunyai persenjataan yang
lengkap maka strategi pertahanan yang paling cocok saat itu adalah dengan perang gerilya. Struktur teritorial di bentuk secara pararel mengikuti struktur
hirarki pemerintahan sipil. Di tingkat Pusat ada Markas Besar TNI, kemudian di Provinsi ada Kodam, di tingkat Kabupaten dan Kota ada Korem dan Kodim. Di
54
Sumber Tim IDSPS: Jaleswari Pramodhawardani, Mufti Makaarim dkk, Reformasi Tentara Nasional Indonesia, Sebuah toolkit, edisi ke-4 dari 17 seri Reformasi Sektor Keamanan, Jakarta :
IDSPS Press, 2009, hal 25 .
Universitas Sumatera Utara
tingkat Kecamatan ada Koramil bahkan di tingkat Desa ada Babinsa.
55
Pada saat perang, komandan TNI di setiap struktur akan mengambil alih kepemimpinan di
wilayahnya. Sedangkan perang sendiri didefinisikan sebagai perang semesta. Tidak hanya pertempuran bersenjata, tetapi juga perang di bidang ideologi,
ekonomi, sosial dan budaya.
56
Sehingga keberadaan Koter sendiri, menurut Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia tidak perlu menjadi
perdebatan karena kenyataan perkembangan lingkungan strategik yang bersifat dinamik, tidak memberikan jaminan punahnya benih sparatisme di dalam tubuh
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
57
Bahkan ancaman dari dalam negara merupakan Ancaman Faktual yang tidak bisa di tawar lagi menurut Panglima TNI
Djoko Suyanto.
58
Hal ini sangat membingungkan dan membikin kerancuan, persoalannya bagaimana mungkin pihak pemerintahan sipil dapat secara leluasa melakukan
aktifitas pemerintahannya jika dalam struktur pemerintahan di daerah itu ada jenjang lain yang secara duplikatif sama dengan jenjang pemerintahannya.
Apalagi kita merujuk kepada ungkapan Andi Widjayanto bahwa “struktur yang dikembangkan tersebut tidak memungkinkan otoritas sipil untuk melakukan
kontrol kepada institusi militer”.
59
55
lihat tabel 1
56
tim ICW, Bisnis Militer Mencari Legitimasi, Jakarta : ICW, 2004, hal 69.
57
Majalah TNI Patriot, Edisi Khusus 62 Tahun TNI, Jakarta : Puspen TNI, Oktober 2007, hal 19.
58
Djoko Suyanto, Menuju TNI Professional dan Dedikatif, Jakarta : Puspen TNI, Oktober 2007, hal 10.
59
M. Riefqi Muna, Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan Nasional, Jakarta : The Ridep Institutem 2002, hal 58, dalam sebuah makalah Husnul Isa Harahap, Otonomi Daerah dan
Pengaruhnya terhadap Hubungan Sipil-Militer di Daerah, Jurnal Politea volume II no.2, Medan : USU Press, 2006, hal 28.
Universitas Sumatera Utara
Dan hal yang masih menjadi perdebatan di Reformasi TNI adalah status keberadaan Komando Teritorial Koter sebagaimana dalam tabel di atas tabel 1.
Crouch mendefinisikan Koter sebagai kekuatan politik Angkatan Darat yang terdiri dari satuan tempur yang jaringannya dikembangkan di satuan-satuan
daerah yang mengurus keamanan dalam negeri serta mengadakan pengawasan umum atas kegiatan-kegiatan sipil yang konsepsinya diambil dari doktrin “Perang
Wilayah” yang dikembangkan ketika bergerilya semasa revolusi. Satuan-satuan teritorial ini diorganisasikan dengan berdasarkan kesejajaran dengan administrasi
sipil.
60
Namun, isu penghapusan Koter ini tidak pernah mendapatkan reaksi yang positif dari kalangan TNI. Dan bahkan ketika adanya anggota TNI yang
mendukung penghapusannya dikucilkan dan dikatakan telah melanggar kode etik dan esprit de corps TNI.
61
Sebaliknya militer justru menganggap Koter itu penting dan perlu dipertahankan. Oleh karena itulah mereka kemudian berencana
menambah Komando Daerah Militer Kodam menjadi 17 Kodam sampai tahun 2006.
62
Persoalan berikutnya adalah soal anggaran militer. Tentu saja keberadaan Koter di setiap daerah itu membutuhkan dana yang besar. Angkatan Darat dengan
jumlah personil yang besar otomatis mendapatkan alokasi dana yang besar pula. Padahal dengan kondisi geografis seperti Indonesia, banyak pengamat militer
mengatakan bahwa porsi alokasi anggaran terbesar seharusnya di berikan kepada
60
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, terj Th Sumarthana, Jakarta : PT. Dharma Aksara Perkasa, 1986, hal 249
61
Agus Wirahadikusumah termasuk perwira yang kritis bukan saja dalam isu koter namun juga terhadap korupis-korupsi yang membikin gerah perwira tinggi lainnya. Lihat Dr. Indria Samego,
TNI di Era Perubahan, Jakarta : Erlangga, 2000, hal 119 dan Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba : Di Tengah Pusaran Demokrasi, Jakarta : PT. Rajagrafindo
Persada, 2002, hal 405
62
Arif Yullianto, Loc.cit.,hal 356
Universitas Sumatera Utara
Angkatan Laut. Dapat kita lihat, bahwa keberadaan stuktur teritorial TNI adalah pemborosan.
63
Jika kita membicarakan Koter dengan hubungannya Pelanggaran HAM maka dapat di jawab dengan keberadaan Koter sebagai salah satu kekuatan
insitusi militer yang mencengkram kuat setiap sendi kehidupan sipil, memungkinkan terjadinya gesekan, bentrokan terhadap masyarakat sipil dengan
pihak militer yang mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan kepada masyarakat oleh pihak militer.
Dalam kondisi inilah pelanggaran HAM muncul dalam area kehidupan rakyat. Kerakusan kekuasaan ekonomi-politik berjalin begitu rupa dengan institusi
militer sendiri, sehingga mereka tidak mampu membedakan mana peran militer profesional dan mana kepentingan ekonomi politik. Tindak kekerasan militer
berlangsung sistemik dan lahir dari hasil kebijakan politik yang represif, bukan sekadar insiden atau tindak indisipliner aparat. Dalam banyak peristiwa, militer
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang memunculkan pelanggaran HAM tersebut. Militer juga masuk pada konflik-konflik yang
sebenarnya bukan merupakan wewenangnya seperti dalam konflik-konflik perburuhan dimana mereka bukan hanya berperan sebagai saksi dan penjaga
dalam aksi perundingan dan pemogokan buruh, namun juga sebagai pesertapemain, penengahmediator, pengintimidasi dan penangkappenahan.
Sampai dengan hari ini, keterlibatan militer dalam berbagai pelanggaran HAM tidak juga berhenti. Militer sebagai pelanggar HAM ada pada tingkatan
63
Tim ICW, Op.cit., hal 70.
Universitas Sumatera Utara
sebagai pelaksana kebijakan negara yang berkaitan dengan serangan langsung terhadap penduduk seperti yang terjadi di Aceh, atau terlibat dalam wilayah
konflik sipil dimana militer ditempatkan sebagai instrumen yang bertanggungjawab terhadap penghentian konflik. Dalam hal menjalankan fungsi
represif negara TNI mengabdikan diri pada prinsip-prinsip stabilitas yang dianut negara. Dalam hal mencari keuntungan di wilayah konflik, TNI memandang
bahwa operasi militer pada dasarnya mengandung unsur-unsur bisnis, mulai dari pendapatan dari budget resmi yang disediakan negara pada setiap operasi sampai
dengan keuntungan-keuntungan yang dipetik di wilayah operasi, seperti bisnis keamanan, pengawalan hingga jual beli senjata.
64
Jelaslah ini semua melunturkan kinerja profesionalisme TNI.
Sebagai catatan, hakikatnya Reformasi TNI bukan hanya menghapuskan kedudukan dan peran militer dalam politik tetapi juga menghendaki militer
kembali ke jati dirinya yaitu menjadi militer yang profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak
berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik Negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan
hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi, sesuai dengan UU no.34 Tahun 2004 tentang TNI. Sehingga ketika militer TNI telah mengarah
kepada keprofesionalannya, Objective Civilian Control Pengendalian Sipil Objektif
65
dapat terlaksana dan tercapai.
64
Tim ICW, Op.cit., hal 38-41.
65
Samuel P. Huntington, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
Ketika profesionalisme yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi tugas utama militer, adanya kerjasama
yang efektif dalam militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, adanya pengakuan dan
persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesionalisme dan otonomi bagi militer; dan akibatnya minimalisasi intervensi
militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer. Maka militer maupun sipil telah melakukan pekerjaan sesuai dengan profesionalnya masing-masing dan
bersama-sama mewujudkan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
66
Untuk itu banyak hal dari agenda Reformasi TNI yang harus di selesaikan yaitu :
1. Pengambilalihan bisnis TNI, sebagai konsekuensinya pemerintah
perlu menyiapkan alokasi dana tambahan APBN guna meningkatkan kesejahteraan anggota TNI.
2. Melanjutkan Reformasi Peradilan Militer, dengan adanya keterbukaan
peradilan militer dan selesainya RUU Peradilan Militer sehingga tidak ada lagi praktek-praktek impunitas.
3. Menata ulang sistem pertahanan berbasis Komando Teritorial yang
mengedepankan pertahanan pada matra Angkatan Darat, mengingat sesungguhnya Indonesia adalah negara kepulauan dengan beribu
pulau di garis luar dan tidak bernama maka akan lebih baik jika
66
Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4. Adapun tujuan NKRI yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut serta melaksanakann ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Universitas Sumatera Utara
memperkuat pertahanan juga pada Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
4. Perombakan doktrin dan struktur pendidikan TNI menuju kearah yang
lebih profesional yang nantinya menentukan model kepemimpinan TNI di masa depan. Model ini untuk menjawab Paradigma Baru Peran
TNI yang menyatakan bahwa TNI akan memusatkan diri pada tugas pokok pertahanan.
5. Memperbaharui sistem atas posisi pimpinan militer. Reformasi
birokrasi yang menyeluruh untuk menghapuskan praktek Korupsi dan suap kepada pimpinan militer yang mendapatkan posisi “basah” atau
posisi tinggi. 6.
Memperjelas Tugas dan Peran TNI, sehingga tidak ada lagi bentrok di lapangan antara TNI dengan aparat lainnya di karenakan zona abu-abu
7. Memperbaiki kultur TNI, seperti perubahan mindset prajurit,
kesadaran dan kepatuhan terhadap Hukum dan HAM, disiplin prajurit yang terbebas dari arogansi, serta banyak kebiasaan yang terbentuk
selama periode sebelum reformasi.
67
67
Marsekal TNI Djoko Suyanto, Op.cit., hal 20.
Universitas Sumatera Utara
C. Bisnis informal dan illegal sebagai faktor dominan penyebab terjadinya