Pentingnya Penghapusan Bisnis Militer sebagai upaya tuntasnya

Utara menjadi sesuatu yang ternafikan. Justru kuatnya keinginan menaikan pendapatan menjadi faktor pemicu munculnya berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat Sumatera Utara.

D. Pentingnya Penghapusan Bisnis Militer sebagai upaya tuntasnya

Reformasi TNI Kini kita telah sampai pada kesimpulan bahwa TNI harus keluar dari bisnis, tinggal bagaimana teknis mengeluarkan TNI dari bisnisnya. Persoalan pengambilalihan bisnis TNI berada pada tiga hal. Pertama, persoalan kekaburan definisi. Kedua, regulasi yang tidak kuat dan visioner mencerminkan keengganan politik. Ketiga, persoalan mitos anggaran yang diyakini tidak akan mampu menggantikan biaya off budget TNI yang didapatkan dari bisnis langsung maupun tidak langsungnya. Sejak awal dikeluarkannya UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, maka dalam pasal 76 ayat 1 dengan jelas disebutkan “dalam jangka waktu 5 lima tahun sejak berlakunya undang-undang ini, pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung”. Persoalan berawal dari sini, sebab tidak ada definisi yang jelas tentang bisnis TNI, bagaimana bisnis yang disebut dikelola dan dimiliki langsung dan tidak langsung itu. Menurut Makmur Keliat, “Persoalan besar ke depan yang Universitas Sumatera Utara harus segera diselesaikan pada tahap awal adalah melakukan kesepakatan tentang apakah yang dimaksud dengan bisnis militer.” 77 Kekaburan definisi ini mendorong kaburnya kinerja Tim Supervisi Transformasi Bisnis TSTB TNI yang dibentuk pada pertengahan 2005, sebab banyak di antara bisnis TNI yang berbentuk yayasan dan koperasi. Kebingungan juga terjadi saat TSTB berusaha mengelompokkan bisnis TNI yang dikelola melalui penyertaan saham dan bisnis yang melibatkan individu TNI atau purnawirawan. Kekaburan ini berlanjut pada kinerja Timnas Pengalihan Aktifitas Bisnis TNI, yang dibentuk melalui Kepres No. 7 Tahun 2008. Kekaburan lain muncul ketika regulasi ini tidak secara spesifik menjelaskan benturannya dengan UU No. 122001 tentang Yayasan dan UU No. 252002 tentang Koperasi, di mana bisnis TNI dengan berbagai kekhususannya telah menjalankan bisnisnya juga melalui koperasi dan yayasan, sehingga terjadi kekaburan. Berbagai ketidakjelasan ini kemudian semakin rumit dengan lambannya respon pemerintah dalam merealisasikan amanat UU TNI tersebut. TSTB baru dibentuk pertengahan 2005, selama setahun kemudian tim ini hanya melaporkan berbagai kendala tanpa solusi yang jelas. Menurut tim ini, Memang perkiraannya Januari. Kita sudah mengirim surat permintaan dana kepada para pengelola dengan deadline 31 Januari paling lambat. Tapi setelah masuk dalam persoalan teknis kelihatannya mengumpulan data cukup berat, sehingga tim yang akan proaktif mendatangi. 78 77 Keliat Makmur, Bisnis Militer, dalam buku Dinamika Reformasi Sektor Keamanan, Jakarta : Imparsial, 2005 78 http:www.detiknet.comread2006020314334753187210tim-supervisi-kesulitan- kumpulkan-data-bisnis-milik-tni Universitas Sumatera Utara Setelah bertahun-tahun lamanya tanpa kabar yang jelas mengenai kemajuan hasil kerja TSTB, presiden mengeluarkan Kepres No. 7 Tahun 2008 mengenai pembentukan Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI. Tim ini menurut beberapa pihak adalah mengulang apa yang sudah dikerjakan oleh TSTB, demikian pula mengenai kewenangan yang sangat terbatas yang diberikan pada tim ini. Dalam Keppres tim ini memiliki tiga tugas pokok: 1. Melakukan penilaian yang meliputi inventarisasi, identifikasi, dan pengelompokan terhadap seluruh aktifitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung; 2. Merumuskan langkah-langkah kebijakan dalam rangka pengalihan aktifitas bisnis yang dimiliki, dikuasai dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung untuk penyelesaian danatau pengelolaan selanjutnya guna ditata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Memberikan rekomendasi langkah-langkah kebijakan kepada Presiden dalam rangka pengalihan aktifitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Pemerintah. Berarti tim ini tidak memiliki wewenang untuk melakukan pengambilalihan langsung bisnis TNI, karena wewenang itu harus dikembalikan ke tangan Presiden. Melihat masa kerja yang diberikan Presiden pada tim ini hingga Oktober Universitas Sumatera Utara 2009, maka pengambilalihan bisnis TNI belum bisa dilakukan hingga 2009, karena yang akan dihasilkan oleh tim ini hanyalah berupa rekomendasi kepada Presiden. Dan sampai sekarang dapat kita lihat mandegnya perjalanan pengalihan bisnis militer ini. Kelambanan penyelesaian bisnis TNI menurut para peneliti membuka peluang bisnis TNI bermetamorfosis paling tidak dalam 5 bentuk : 1. Perubahan permodalan dari aset yang dimiliki TNI di bawah 20 miliar untuk mensiasati pengambilalihan seperti pada PT.ITCI Kartika Utama dan Perusahaan HPH. 2. Perubahan pola aktivitas, dari semula yang cukup terbuka dan kental dengan aroma arogansinya menjadi tertutup atau menjadi perusahaan public. Pengusaha swasta dan purnawirawan merupakan pihak yanag menjalankan usaha-usaha tersebut dengan pola bagi hasil. Hal ini terlihat pada PT. Sumber Mas Group dan berbagai perusahaan HPH. 3. Perubahan penanggung jawab dalam perusahaan. Hal ini terlihat dari pengelolaan Universitas dan Sekolah Perawat Ahmad Yani Bandung. 4. Perubahan pola transaksi yang berkolaborasi antara pemerintah daerah dan pengusaha setempat. 5. Pengkondisian perusahaan dalam keadaan bangkrut dan menjual asetnya. Universitas Sumatera Utara Proses pengambilalihan masih diperumit keadaan aktivitas-aktivitas bisnis militer TNI yang terkesan dirahasiakan. Akibatnya publik tidak mengetahui secara persis berapa unit bisnis TNI karena informasi unit bisnis ini simpang siur. Belum lagi kegelisahan muncul karena kewenangan yang dimiliki oleh TSTB TNI hanya terbatas menangani bisnis legal atau hanya menertibkan unit usaha di bawah yayasan atau koperasi. Sedangkan bisnis Informal dan Illegal harus juga ditertibkan. Berlarut-larutnya proses pengambilalihan bisnis militer ini disebabkan antara lain oleh: 1 Tidak adanya peraturan yang tegas dalam UU tentang Bisnis Militer UU No 34 tahun 2004 pasal 76 ayat 1 memerintahkan. “Dalam jangka waktu lima tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI, baik secara langsung maupun tidak langsung”. Dalam UU ini tidak diatur secara tegas bahwa setiap prajurit, satuan dan institusi untuk melakukan bisnis dalam bentuk dan wujud apapun tanpa terkecuali. Jadi larangan secara eksplisit bahwa TNI dilarang berbisnis itu memang belum ada. 2 Pemerintah sebagai pemegang otoritas sipil lamban dan kurang tegas Bisnis TNI sebenarnya telah dilarang jauh hari sebelum dikeluarkannya PP No.6 tahun 1974. Tetapi pada tingkatan implementasi tidak ada sama sekali. Otoritas sipil terutama dalam Universitas Sumatera Utara masa transisi tidak bisa mengontrol institusi TNI dan ketergantungan terhadap TNI masih sangat tinggi. Ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi anggaran TNI memposisikan dirinya yang serba dilematis. Disatu sisi ingin menyelesaikan bisnis TNI, di sisi yang lain muncul tuntutan agar negara memenuhi anggaran. 3 Tidak ada sistem kontrol dari DPR Gejala penyimpangan dan korupsi dari bisnis militer tidak diantisipasi secara dini oleh DPR yang seharusnya melakukan control oversight terhadap proses tersebut. Upaya ini penting dilakukan untuk meminimalisir penyimpangan, baik yang dilakukan oleh TNI maupun pemerintah. 4 Perlawanan dan posisi tawar TNI masih kuat untuk mempertahankan bisnis militer Pada prinsipnya TNI setidaknya menurut salah satu petinggi TNI menyatakan tidak keberatan atas penghapusan bisnis-bisnis mereka, namun memberikan syarat negara harus menjamin kesejahteraan prajurit melalui APBN atau dengan kata lain meminta peningkatan anggaran APBN. Sedangkan kalau dilihat dari kemampuan pemerintah sangat sulit untuk mewujudkan hal itu. Kesulitan ini terlihat sejak awal Mabes TNI sudah membuat batasan : hanya bisnis TNI yang diatas 20 miliar rupiah saja yang dapat diambil alih, sementara yang lain tertutup untuk diambil alih. Ditutupnya Universitas Sumatera Utara kemungkinan mengambilalih bisnis TNI dengan aset kurang dari 20 miliar rupiah dan tidak menggunakan aset negara memungkinkan TNI untuk tetap memiliki bisnis di masa yang akan datang. 5 Tidak ada rencana strategis atau kerangka yang jelas dalam pengambilalihan bisnis TNI Dalam perjalanan pengambil alihan bisnis TNI sejak diamanatkan oleh undang-undang, sejak tahun 2004 pemerintah selama 4 tahun hanya berkutat kepada aspek birokrasi dan manajemen seperti : penyiapan daftar aktivitas bisnis TNI yang dianggap penting untuk diambilalih oleh pemerintah melalui Menhan. Langkah ini memang tidak layak diketahui publik. Pembentukan sejumlah tim kementrian untuk menyelesaikan isu-isu yang berhubungan dengan pelaksanaan pasal 76 dan menyusun draft keputusan Presiden dan kemudian dikenal dengan TSTB yang kemudian diganti lagi dengan Timnas Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI. Oleh karena itu untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut langkah- langkah cepat dan antisipatif perlu segera dilakukan antara lain :  Pemerintah harus segera membuat sebuah peraturan dan petunjuk pelaksanaan dan melalui tahapan yang jelas, konsisten sebagaimana yang diamanatkan pasal 76 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. DPR dan DPD sebagai lembaga yang melakukan fungsi control harus tetap mengawasi dalam proses tersebut. Universitas Sumatera Utara  Pemerintah dan Parlemen harus menyadari bahwa pengambilalihan bisnis TNI merupakan tugas yang mendesak yang harus diselesaikan karena ini merupakan buah dari keputusan politik mereka. Disamping itu pemerintah bersama DPR harus segera memenuhi anggaran ideal sebagai konsekuensi dari pengambilalihan bisnis TNI.  TNI harus ditempatkan pada posisi awalnya yaitu sebagai lembaga yang mengurusi pertahanan dan tidak boleh berpolitik dan berbisnis. Pemerintah dan DPR tidak boleh berusaha menyeret mereka ke ranah politik atau membiarkan mereka hidup di dunia bisnis. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan