Latar Belakang Masalah Reformasi TNI Dan Pelanggaran HAM (Suatu Studi Deskriptif tentang Pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peristiwa yang terjadi di Mei 1998, jatuhnya pemerintahan Orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto dipicu oleh adanya krisis moneter di kawasan Asia yang menyebar mulai dari Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan terakhir Indonesia. Dari sekian negara yang mengalami krisis ekonomi, Indonesia adalah negara yang paling parah tertimpa krisis tersebut yaitu dengan anjloknya dollar Amerika yang sangat tajam. Karena sistem perekonomian di Indonesia tidak memiliki fundamental yang cukup kuat, maka penyelesaiannya pun tidak mendapatkan hasil yang baik, bahkan semakin berlarut-larut dan rupiah semakin anjlok. Hal ini membawa dampak kredibilitas pemerintah menjadi rendah dan rakyat mulai hilang kepercayaannya. Djojohadikusumo memandang bahwa ketidakpercayaan masyarakat telah menjadi institusional disease yang tercermin dari serangkaian fenomena yang telah melembaga, seperti maraknya praktek-praktek korupsi dan kolusi pejabat pemerintah dan pengusaha serta ketidakpastian hukum. Sedangkan R. William Liddle memandang krisis ekonomi moneter di Indonesia telah berpengaruh buruk terhadap semua aspek kehidupan masyarakat. Hal ini telah membawa Universitas Sumatera Utara pemerintahan Orde baru kehilangan legitimasinya. 1 Memburuknya situasi ini membangkitkan reaksi keras dari masyarakat, terutama para intelektual yang tergabung dalam gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa dan pelajar. Berbagai aksi demonstrasi oleh mahasiswa yang didukung oleh elemen masyarakat seperti para tokoh masyarakat, buruh, LSM Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain, digelar di berbagai daerah di seluruh pelosok tanah air. 2 Mereka mengklaim bahwa semua permasalahan yang ada saat itu adalah karena akibat kesalahan manajemen Presiden Soeharto, sehingga mereka menuntut keras agar Presiden Soeharto bergegas mundur dari kekuasaannya. Akhirnya demontrasi besar-besaran diarahkan mahasiswa menuju ke gedung DPRMPR sebagai simbol dari wakil suara rakyat. Demontrasi ini mengakibatkan pimpinan DPR dipaksa mengambil tindakan tegas terhadap tuntutan para demonstran. Tanggal 20 Mei 1998, pimpinan DPR atas kesepakatan dialog dengan delegasi masyarakat yang memadati areal tersebut mengeluarkan statement bahwa akan segera mengadakan SI Sidang Istimewa MPR jika Presiden Soeharto tidak secepatnya mengundurkan diri. Dan tanggal 21 Mei 1998 di Istana Negara, Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan berhenti dari jabatan Presiden. 3 Sejak jatuhnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto oleh gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan reformasi, maka posisi 1 Malik A.Haramain dan Nurhuda Y.MF, Mengawal Transisi:Refleksi atas Pemantauam Pemilu’99,JAMPPI-PB PMII dan UNDP, Jakarta 2000. 2 Mengenai tokoh-tokoh dan unsure-unsur pendukung gerakan mahasiswa dalam perjuangannya dapat dilihat dalam Adi Suryadi Culla,Patah Tumbuh,Hilang Berganti :Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia1908-1998, Jakarta : Penerbit Rajawali, 1999,halaman 161-164 3 Mengenai kronologi jatuhnya Presiden Soeharto, dapat dilihat S. Sinansari Encip, Kronologi Situasi Penggulingan Presiden Soeharto, Bandung : Penerbit Mizan, 1998, hal 136-139. Universitas Sumatera Utara ABRI dalam peta perpolitikan Indonesia ikut jatuh pula. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ABRI adalah kekuatan politik Orde Baru bersama Golkar. Jatuhnya Orde Baru berarti jatuhnya ABRI sebagai penyangga pemerintahan, karena ABRI selama Orde Baru lebih identik dengan alat pemerintah yang berkuasa daripada alat penyangga dan pelindung negara dari segala ancaman dari luar melalui konsep Dwi Fungsi ABRI. ABRI di desak untuk melakukan reformasi, walaupun secara garis besar ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya terjadinya Reformasi TNI, bukan hanya karena Dwi Fungsi ABRI. Program pembangunan dalam masa Orde Baru dilancarkan melalui konsep Trilogi Pembangunan, yaitu : 1 Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 2 Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan 3 Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Di dalam “stabilitas” itulah terkandung “pendekatan keamanan”. Praktek Dwi Fungsi ABRI menjadi subur sejak Orde Baru, yaitu dengan di terapkannya “pendekatan keamanan”. Pendekatan keamanan ini diberlakukan mengingat dua hal, yaitu: Pertama, suasana pasca G30SPKI 1965 masih menuntut dilaksanakannya segala bentuk aktivitas keamanan di seluruh sektor dan di seluruh wilayah Republik Indonesia dari bahaya laten komunisme. Kedua, Orde baru bertekat melaksanakan program pembangunan yang kesuksesannya menuntut adanya stabilitas keamanan. 4 Dari praktek Dwi Fungsi ABRI pada masa itu berkembanglah militerisme dan militerisasi. Demi terlaksananya pembangunan dengan mencapai keberhasilan maka ABRI harus aktif menjalankan kekuasaan 4 Sri-Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia baru lewat Reformasi Total, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001, halaman 167. Universitas Sumatera Utara negara. Itulah prinsip militerisme dan demi pembangunan itu pula, anggota ABRI harus ada dimana-mana, sebagaimana pembangunan dilaksanakan di semua sektor, inilah yang disebut dengan militerisasi. Praktek militerisme Orde Baru dilakukan dengan menempatkan ABRI dalam kekuasaan legislatif, baik sebagai anggota DPR tanpa ikut serta dalam pemilu maupun sebagai anggota MPR non-DPR, dari golongan karyafungsional. Selain itu pula atas hak prerogatif presiden, banyak anggota ABRI dilibatkan di departemen-departemen pemerintah, bahkan menjadi mentri dalam kabinet walaupun masih dalam posisi anggota ABRI aktif. Selain itu juga anggota ABRI banyak duduk di posisi pemerintahan daerah mulai dari jabatan bupatiwalikota sampai gubernur. Kedudukan di BUMN atau BUMD juga banyak di minati anggota ABRI. Perusahaan-perusahaan milik pemerintah NegaraDaerah menjadi sumber pembiayaan kegiatan ABRI, dikarenakan kelangkaan sumber dana, inilah yang mengharuskan anggota TNIABRI khususnya TNI-AD melakukan kegiatan bisnis untuk membiayai dirinya, terlebih-lebih untuk melakukan operasi pada saat itu. Hal inilah yang membuat ABRI TNI-AD memasuki sektor ekonomi dan bisnis. 5 ABRI pada akhirnya menjadi kekuatan yang adikuasa di semua sektor, para anggotanya mendapatkan hak-hak istimewa yang melebihi warga negara yang lain. Kekuasaan yang besar dan hak-hak istimewa itu akhirnya membangun pula tata nilai tertentu dalam lingkungan ABRI yang memberikan pengaruh kuat 5 Di rangkum dari kutipan perkataan Saurip Kadi Perwira tinggi AD, Sri-Bintang Pamungkas, Loc.cit., hal 168. Universitas Sumatera Utara terhadap berkembangnya budaya KKN dan budaya berbisnis-ria. KKN juga berkembang oleh adanya dana besar non-budgeter negara yang di peruntukan oleh ABRI bagi mendukung segala operasi ABRI menciptakan stabilitas keamanan. ABRI telah menjadi alat kekuasaan, bukan lagi alat negara. Dalam suasana militerisme dan militerisasi, sulit dibedakan berlakunya kekuasaan sipil dari kekuasaan militer, antara keadaan aman atau darurat perang. Seakan-akan negara selalu ada dalam keadaan tidak aman, penuh ancaman, khususnya dari dalam negeri sendiri. Sebagai akibatnya, ABRI mencurigai adanya musuh di mana-mana di dalam negeri. Kritik terhadap pemerintah dan perbedaan pendapat dianggap sebagai gangguan dan ancaman terhadap negara, pemerintah dan pembangunan dan harus dihadapi dengan tindak kekerasan secara militer. Tentu saja ini justru menciptakan kekacauan yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya situasi yang tak terkendali yang memakan korban jiwa rakyat sipil yang lemah. Situasi tidak terkendali muncul dengan keterlibatan ABRI terutama TNI- AD dalam banyak tindak kekerasan militer disertai dengan jatuhnya puluhan, bahkan ratusan ribu korban jiwa, dalam kurun waktu panjang Orde Baru yang mencerminkan tidak adanya perlindungan masyarakat atas Hak Asasi Manusia. Pertama, dalam berbagai kasus menghadapi protes para aktivis Pro- demokrasi, antara lain seperti yang terjadi dalam Peristiwa Golput Golongan Putih,1971 di Jakarta, Peristiwa Taman Mini 1973 di Jakarta, Peristiwa Malari Malapetaka 15 Januari, 1974 di Jakarta, Peristiwa Buku Putih Penolakan Universitas Sumatera Utara Mahasiswa terhadap Soeharto 1978 di Bandung, Peristiwa Penyataan Keprihatinan Petisi 50 1980 di Jakarta, Peristiwa SDSB Soeharto Dalang Segala Bencana, 1994 di halaman gedung DPRMPR Jakarta, Peristiwa Berdarah UMI Universitas Muslim Indonesia, 1996 di Makasar, Peristiwa Penculikan 19970 terutama di Jakarta, Peristiwa Trisakti 1998 di Jakarta, Peristiwa Semanggi I dan II 1999 di Jakarta. Kedua, tindak kekerasan ABRI menghadapi protes-protes masyarakat terhadap kebijakan aparat dan pejabat Negara, seperti dalam Peristiwa Pembantaian G-30-S 1965 berikut penangkapan-penangkapan, pemenjaraan dan pembuangan korban ke Pulau Buru, Peristiwa Invasi ke Timor-Timur dan pendudukannya selama 23 tahun 1975-1998, Peristiwa Tanjung Priok 1984 di Jakarta, Peristiwa Lampung 1989, Peristiwa Santa Cruz 1991 di Timor-Timur, Peristiwa Sei Lepan 1993 di Sumatera Utara, Peristiwa Haur Koneng 1993 di Jawa Barat, Peristiwa Nipah 1993 di Madura, Peristiwa Parbuluhan 1995 di Sumatera Utara, Peristiwa Jenggawah 1996 di Jawa Timur, Peristiwa Freepot 1996, Abepura 1996 dan Nabire 1996 di Irian Jaya, Peristiwa DOM Daerah Operasi Militer, 1989-1998 di Aceh, dan masih banyak peristiwa lain yang hampir selalu berakhir dengan tindak kekerasan dan penghilangan nyawa oleh pihak ABRI. Ketiga, tindak kekerasan terhadap perorangan dan anggota masyarakat yang justru di mulai dari pihak ABRI, seperti Peristiwa Komando Jihad 1977-1978 di beberapa kota di Jawa, Peristiwa Pembajakan Pesawat Woyla 1981 di Bangkok, Peristiwa Petrus Penembak Misterius,1983 terutama di Jawa, Peristiwa Universitas Sumatera Utara Marsinah 1993 di Jawa Timur, Peristiwa Sri-Bintang Pamungkas 1995 di Jerman, Peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta, Peristiwa Wartawan Udin 1996 di Yogyakarta, Peristiwa Situbondo 1996 di Jawa Timur, Peristiwa Tasikmalaya 1996 di Jawa Barat, Peristiwa Kartu Lebaran Politik 1997 di Jakarta, Peristiwa Dukun Santet 1998 di Jawa Timur, Peristiwa Ketapang 1998 di Jakarta dan Kupang, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota di Jawa, Peristiwa Tengku Bantaqiah 1999 di Aceh Barat, Peristiwa Jajak Pendapat 1999 di Timor-Timur dan Peristiwa Haruku dan lain-lain 2000 di Maluku. 6 Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan pihak negara dengan memakai ABRI sebagai alatnya harus diakhiri, militerisme dan militerisasi harus diakhiri. ABRI harus kembali kepada profesionalismenya. Rakyat sendiri tidak boleh diperlakukan sebagai musuh. Negara harus mampu meredakan setiap gejolak dalam masyarakat tanpa harus membunuh rakyat sendiri. Semua gejolak harus bisa diselesaikan secara politis tanpa melibatkan militer dan kekerasan militer dan tanpa harus melakukan pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia. Kecenderungan ABRI yang lebih mementingkan dan memelihara kekuasaan membawa ABRI terjebak dalam pola-pola pendekatan yang represif. Sehingga tidak jarang oknum ABRI bertindak di luar pegangan yang mereka ucapkan setiap Apel atau Upacara yaitu Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Pelanggaran-pelanggaran dalam berbagai bentuk, baik kriminal maupun motif politik, semakin lama semakin terakumulasi. Sehingga pada momentum yang tepat, yaitu saat jatuhnya pemerintahan Orde Baru meledaklah semua akumulasi 6 Sri-Bintang Pamungkas, op.cit., hal 169-170. Universitas Sumatera Utara pelanggaran ABRI pada masa lalu tersebut. ABRI dibenci dan dihujat rakyat karena dianggap lebih sebagai pelindung dan pengaman Orde Baru selama 32 tahun daripada menjadi pelindung dan pengayom rakyat. Slogan-slogan yang didengungkan seperti “ABRI dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, “Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk ABRI”, “ABRI manunggal dengan rakyat” dan sebagainya hanyalah kata-kata yang tidak bermakna dan dianggap mengelabuhi rakyat saja. Akhirnya, tuntutan atas Reformasi TNI pun muncul dari berbagai komponen masyarakat, termasuk dari kalangan militer sendiri. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI menjadi salah satu tuntutan pokok yang di lontarkan, walaupun dapat dikatakan proses Reformasi TNI bukan semata karena lengsernya Soeharto saja, ada empat alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, Peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, Campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap lembaga- lembaga hukum dan peradilan. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. 7 Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang menumpuk selama lebih dari tiga dekade di bawah orde baru akibat dari akses kekuatan ABRI disegala hal 7 Markas Besar Tentara Nasional Indonesia MABES TNI, TNI abad XXI: Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI dalam kehidupan bangsa, Jakarta : Mabes TNI, 1999, dalam Bukhari Barus, Tesis tentang Peran Politik Tentara Nasional Indonesia Pasca Orde Baru, Medan : Magister Study Pembangunan FISIP USU, 2007. Universitas Sumatera Utara yang berlebihan ditumpahkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dan politisi dengan menghujat dan mendesak ABRI kembali ke peran yang sebenarnya, yaitu mengurusi masalah pertahanan dan keamanan negara. Reformasi cukup tajam menyoroti posisi ABRI, baik sebagai kekuatan Hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik. Sorotan masyarakat dalam semangat reformasi ini sangat memojokan posisi ABRI. Luka-luka lama terungkit kembali ke permukaan. Dilain pihak ABRI juga menyadari posisinya dan telah bertekad untuk melaksanakan konsolidasi dan reformasi internal dalam rangka menyesuaikan dengan tuntutan zaman dengan memperbaiki serta belajar dari pengalaman masa lalu. Tentara yang dalam tradisi kemiliteran Indonesia akrab dengan kehidupan politik, sejak tanggal 21 mei 1998 secara bertahap telah meninggalkan gelanggang politik. Di mulai dari masa pemerintahan Presiden BJ Habibie itulah, peran tentara kembali kepada jati dirinya sebagai militer yang profesional. Maka ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya melalui reformasi internal TNI dan paradigma barunya. Namun, perubahan yang diharapkan terjadi sejak tahun 1998 ternyata masih belum dapat di wujudkan oleh pemerintahan baru pasca rezim Soeharto. Hal ini terjadi karena kekuasaan Orde Baru yang masih kuat serta mesin politiknya yang masih solid serta belum ada kesepahaman serta konsolidasi yang baik dari kelompok-kelompok Pro Demokrasi, Kekuasaan Orde Baru masih membayang-bayangi pemerintahan pasca 1998, sehingga mempengaruhi tindakan pemerintahan transisi. Hal ini dapat dilihat dari Pemerintah masih belum menunjukkan kesungguhan untuk melakukan perubahan sistem politik, hukum dan ekonomi yang lebih demokratis, tidak akomodatif terhadap aspirasi dan Universitas Sumatera Utara kebutuhan rakyat dalam merumuskan kebijakan, serta tidak melakukan secara maksimal upaya-upaya penegakan hukum dan HAM. Kenyataan bahwa masih banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh Aparat Polisi dan Militer di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada khususnya, mendorong peneliti untuk meneliti keterkaitan antara reformasi TNI dengan besarnya tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara.

B. Perumusan Masalah