Reformasi TNI Dan Pelanggaran HAM (Suatu Studi Deskriptif tentang Pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)

(1)

(Suatu Studi Deskriptif tentang Pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)

D I S U S U N Oleh:

NADYA RATNA SARI 050906069

Dosen Pembimbing : Drs. Heri Kusmanto MA Dosen Pembaca : Drs. Warjio MA

Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara 2010


(2)

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1 

B. Perumusan Masalah... 11 

C. Pembatasan Masalah ... 11 

D. Tujuan Penelitian ... 12 

E. Manfaat Penelitian ... 12 

F. Landasan Teori ... 13 

a. Pengertian Militer dan Sipil ... 13 

b. Tipe‐tipe Orientasi Militer ... 15 

c. Hubungan Sipil Militer Menurut Samuel P. Huntington ... 18 

d. Teori Tentang Hak Asasi Manusia... 21 

e. Landasan Normatif Tentang Tugas dan Peran TNI ... 24 

G. Metode Penelitian ... 29 

a. Jenis Penelitian ... 29 

b. Teknik Pengumpulan Data... 30 

c. Sistematika Penulisan ... 30 

BAB II REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA A. Arti, sejarah dan dasar pelaksanaan Hak Asasi Manusia ... 32 


(3)

 

C. Postur Pertahanan Indonesia... 57  D. Tipologi dan Praktik Pelanggaran HAM di Indonesia... 64 

BAB III PELANGGARAN HAM OLEH TNI DI SUMATERA UTARA A. Jenis‐jenis Pelanggaran HAM yang di lakukan oleh aparat... 69  B. Korelasi antara Reformasi TNI, Komando Teritorial (Koter) dengan tindak 

pelanggaran HAM ... 72  C. Bisnis informal dan illegal sebagai faktor dominan penyebab terjadinya 

pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara... 85  D. Pentingnya penghapusan bisnis militer sebagai upaya Reformasi TNI ... 99 

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan... 108  B. Saran ... 112


(4)

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

NADYA RATNA SARI (050906069)

REFORMASI TNI DAN PELANGGARAN HAM : (Studi Deskriptif tentang korelasi Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)

ABSTRAK

Setelah Presiden Soeharto turun, ABRI termasuk sebagai institusi yang di kecam rakyat, tuntutan agar mereformasi diri muncul dari segenap elemen masyarakat. Ini juga terkait akan luka-luka masa lalu dari kasus perbuatan ABRI yang akhirnya mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Perjalanan Reformasi TNI sudah berjalan sekitar 11 tahun, namun sampai sekarang juga Reformasi TNI tersebut belum dapat di katakan berhasil, hanya sedikit perubahan di bidang kebijakan dan hilangnya peran politik para tentara. Selebihnya, belum ada perubahan yang signifikan.

Peneliti ingin meneliti korelasi antara Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM yang terjadi di Sumatera Utara. Tujuan awalnya, ingin mengetahui apakah setelah Reformasi TNI, tindak pelanggaran dan kesewenang-wenangan aparat TNI sudah hilang? Namun pada akhirnya peneliti menemukan kesimpulan dari penelitiannya bahwa ada keterkaitan yang sangat korelatif antara tindak pelanggaran HAM yang masih terjadi di Sumatera Utara dengan aktifitas bisnis informal dan illegal pihak militer.

Penulis lalu mengkorelasikan kembali tindak pelanggaran HAM dengan aktifitas bisnis militer yang masih meraja karena struktur Komando Teritorial


(5)

 

(Koter) yang dimana bisnis militer dan struktur Komando Teritorial merupakan PR Reformasi TNI yang sampai sekarang juga belum ada penyelesaiannya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dengan menjelaskan perjalanan Reformasi TNI, Hak Asasi Manusia, lalu peneliti mengkelompokan beberapa tindak pelanggaran HAM oleh tentara dan mencari penyebab pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara kepada masyarakat sipil.


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.,

Perjuangan selama enam bulan, selesai juga! Setahun sebenarnya, dengan enam bulan awal yang sia-sia. Akhirnya skripsi dengan judul Reformasi TNI dan Pelanggaran HAM (Studi Deskriptif tentang korelasi Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010) berhasil membawa saya menjadi Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU. Alhamdulillah..

Dalam perjalanan skripsi ini, saya tidak bisa berjalan sendiri. Banyak pihak yang membantu baik moril dan materiil, mendukung, menyediakan waktu untuk diskusi, menenangkan gundah saya sampai mendoakan saya. Oleh karna itu, saya ingin mengucapkan terima kasih, kepada :

1. Tuhanku, ALLAH SWT. Sembah Sujud kepada-MU, Subhanallah

Walhamdullillah Walailahailallah Allahu Akbar.. karena atas segala rahmat, anugrah, bimbingan, cobaan, semua yang Engkau limpahkan menjadikanku manusia-manusia yang sabar menjalani segala macam prosesnya, bersyukur dan belajar dari segala yang terjadi. Terima Kasih Ya Tuhanku atas segala yang Engkau beri..

2. Orang tuaku, Faruk Irawan (papa) dan Nelly Herawati (mama).

Kalian adalah Papa dan Mama yang terbaik untukku yang di berikan Tuhan. Terima Kasih tak terhingga atas semua yang kalian berikan kepadaku. Terima Kasih telah mengandung, melahirkan, membesarkan, menyekolahkan, mendidik, dan menjagaku. Terima Kasih atas Cintanya mulai dari masih ada di kandungan, sampai bisa sebesar ini. Terima Kasih atas segala ajarannya, segala materinya, segala doanya, segala-galanya yang tidak dapat terhitung lagi. Nadya selalu ingin dan berusaha menjadi anak yang membuat bangga kalian.. Semoga bisa..

3. Bpk. Drs. Heri Kusmanto, MA sebagai ketua Departemen Ilmu

Politik, sekaligus sebagai dosen pembimbing saya. Suatu kebanggaan saya bisa mendapat bimbingan dari bapak, karena bapak bukan hanya sebagai dosen dan ketua departemen, tapi bapak juga perwakilan orang tua saya di kampus. Harapan saya


(7)

 

4. Drs. Humaizi, MA sebagai Pembantu Dekan 1, Bagian Pendidikan. Terima Kasih atas bantuan bapak, FISIP USU membutuhkan orang-orang seperti bapak.

5. Drs. Antonius Sitepu, Msi sebagai ketua dosen penguji saya. Terima kasih atas waktunya, bimbingan dan bantuannya.

6. Nh. Nanda Lestari, SE. Kakak yang selalu jadi inspirasiku, wanita perkasa yang tidak pernah menyerah, kakak yang selalu berusaha membantu adik-adiknya. Semoga Tuhan selalu memberikan jalan yang lurus, rezeki yang berlimpah dan juga jodoh yang baik. Juga adik-adikku, M. Noor Fadilah, Nurul Fidiyani, Gilang Ali Rahman, Intan Khairunissa. Semoga kalian tumbuh menjadi anak yang baik, yang berpendidikan, yang berpikiran terbuka, yang membanggakan dan membahagiakan mama papa. Semoga kita selalu di lindungi oleh ALLAH. Insya ALLAH!

7. Aulia Muflih Nasution, ST Msc. Terima Kasih atas segala bantuannya buat skripsiku yang tidak dapat terhitung lagi! Mulai dari menyediakan infocus buat seminar, browse dan download semua data-data, memotivasiku, mengingatkanku, selalu mengajakku refreshing di kala suntuk meraja, sampai rela membagi orang tuanya untuk juga menjadi orang tuaku di medan. Terima Kasih selalu menyediakan kantornya dan rumahnya kapan pun untuk tempat menulis skripsi ketika aku jenuh menulis di kamar atau perpus, Terima Kasih atas kesabaran ketika aku emosi, Terima Kasih support dan dukungannya ketika aku merasa lemah, Terima Kasih atas bahunya untukku menangis. Terima Kasih atas semuanya.. Semoga ALLAH memang menakdirkan kita untuk terus bersatu dan mewujudkan keinginan kita : “menjadi lebih baik”.

8. Dr. H. Rahmat Nasution D.T.M&H, MSc, Sp.Par (ayah) dan istrinya, Dr. Hj. Nur Asmara Diah (mama), abang Irhamir Rahman Nasution, SP. Msc dan adik Dr. Huwainan Nisa Nasution yang selalu menyediakan kamarnya untuk berlindungku


(8)

 

di kala penat, serta Damanhuri Asyaro Nasution. Terima Kasih sudah menerimaku dengan hangat, bersama kalian aku merasa mempunyai keluarga di Medan. Semoga suatu saat, Nadya dapat membalas kebaikan kalian. Dan semoga Nadya memang berjodoh

dengan anak kalian yah mama,ayah.. 

9. Terima kasih kepada abang Khusnul Isa Harahap S.sos Msi, atas

waktunya untuk bertukar pikiran ,mengoreksi skripsi saya, memberi masukan, info bahkan channel siapa saja orang yang capable untuk dijadikan narasumber saya.

10. Sahabat dan teman baik saya. Alvina Carolyn Kandou SH, Faralita Avianda Lubis Amd SH dan Yoga Geraldo Alexander di Medan, Ajeng Sekar Tanjung S.Kom di Bandung, Nopi Rahayu Dinika S.sos di Pangkalan Brandan , Lydia Octawidawati SH di Bekasi, Asriati S.Kom, Putri Lestari ST dan Dr. Anggun Fitri di Jakarta, Yulia Pratiwi di Padang, Lisa Fitri S.Hut dan Ria Olivia Amd di Bandar Lampung. Terima Kasih atas doanya, dukungannya, bantuannya, selalu mengingatkan, pengertiannya ketika saya tiba-tiba jadi ansos karena skripsi dan tidak mood untuk bertemu siapa-siapa sampai menyediakan rumahnya untuk saya bersemedi..

11. Ir. M. Noor Sufrin Bakrie, Terima kasih Yai atas keluarga pertamanya ketika saya berada di medan. Dari rumah itu juga, saya banyak mendapat pelajaran hidup.

12. Terima Kasih untuk keluarga besarku Alm. Achmad Sarofie Baikrie yang tersebar mulai dari Medan, Riau, Palembang, Lampung, Jakarta, Depok, Tangerang dan keluarga besar Alm. Abdul Gani di Lampung, Jakarta, sampai Cirebon. Maaf tidak bisa menyebutkan satu persatu.

13. Segenap Guru-Guru di TK Xaverius Tanjung Karang, SD Fransiskus 1 Bandar Lampung, SLTP Negeri 1 Bandar Lampung dan SMA Negeri 3 Bandar Lampung. Tanpa peran kalian, saya tidak akan menjadi apa-apa..

14. Diah Susilowati SH dan M. Fadly Sudiro sebagai narasumberku. Para staf dan anggota KontraS Sumatera Utara atas waktunya,


(9)

 

bimbingannya, dan kerjasamanya. Semoga terwujud TNI yang profesional, akuntabel dan menghormati HAM.

15.Semua rekan-rekan Jurusan Ilmu Politik khususnya 2005. Asola

Akbar, Naufal Dzaki Lubis (Terima Kasih! kalian berdua sahabat pertamaku di medan), teman diskusi dan bertukar pikiran tentang skripsi: M. Jaka Pratama dan Golfrid “kibo” yang juga jadi moderator seminar skripsi, teman-teman yang datang ketika seminar saya: Abi Rekso, Emmy Arvan, Imelda Purba, Matthew SLT, Irwan Sandi, Tigor Manalu dan Mardatillah, teman bercerita pertama di kampus: Sri Puji Nurhaya, Aisyah, Fanina Fanindita, Irfan Ananda, M. Fildza Azmi, Nahyatun Nissa Harahap, juga Team Praktikum : Safrie Sidabalok, Maria Simare-mare dan Stella Hutabarat. Dan juga yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.. Semoga Sukses! See You At The Top..

16. Segenap Civitas Akademika USU, terlebih Ilmu Politik FISIP USU. Terima Kasih buat para dosen, para staff yang banyak membantu saya, buat abang Rusdi Muhammad, buat yang lainnya juga.. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.

17. Orang-Orang yang tanpa mereka sadari sedikit banyak saya mencari tahu tentang dunia kemiliteran : Mayor Reza Suud, Kapten Inf Ali Imran, dll. Doakan saya supaya menjadi Menteri Pertahanan yah, supaya dapat menampung keinginan kalian atas masyarakat sipil. Dan juga kalian bisa mengakomodasi keinginan masyarakat sipil. Saya sadar dan percaya masyarakat sipil dan juga tentara, semuanya perlu sejahtera. :p

18. Hoppipolla Family! Kalian keluargaku di medan. Irwin Fahdianto, Dian Warunda, Andrew Heri Adhadian, Khalid Ridhoni dan vokalis yang belum ketemu pengganti si Di Muhammad Devirza beserta crew-crew Jangek dan Manisse. Semoga Hoppipolla sukses suatu hari nanti, Jangan pernah menyerah, tetaplah kreatif!

19. Terima Kasih kepada CV. Raft Origin, Perpustakaan USU, Kantin FISIP, Intermezzo Toast n’ Egg, koleksi MP3-ku, Facebook,


(10)

 

Twitter, Blogger, Snaptu, UT, YM, Hitam Hijau, Indocafe, Minute Maid Pulpy Orange, Pop Mie, Axioo Hitamku, Opera Van Java, dan semua yang mendukung pengembalian moodku dan semangatku. Saya sebutkan karna walaupun kecil, tapi sangat berarti buat saya.

20. Orang- Orang yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dan (mungkin) tidak ingin saya sebutkan. Terima Kasih karena kalian, saya lalu terpacu ingin membuktikan bahwa saya bisa! Terima Kasih atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini, atas masukannya, kritikannya, semangatnya bahkan sindirannya. Semoga ALLAH SWT memberikan pahala dan balasan atas segalanya kepada kalian semua. Amin..

Wassalamualaikum Wr.Wb,

Medan, Juni 2010


(11)

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

NADYA RATNA SARI (050906069)

REFORMASI TNI DAN PELANGGARAN HAM : (Studi Deskriptif tentang korelasi Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)

ABSTRAK

Setelah Presiden Soeharto turun, ABRI termasuk sebagai institusi yang di kecam rakyat, tuntutan agar mereformasi diri muncul dari segenap elemen masyarakat. Ini juga terkait akan luka-luka masa lalu dari kasus perbuatan ABRI yang akhirnya mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Perjalanan Reformasi TNI sudah berjalan sekitar 11 tahun, namun sampai sekarang juga Reformasi TNI tersebut belum dapat di katakan berhasil, hanya sedikit perubahan di bidang kebijakan dan hilangnya peran politik para tentara. Selebihnya, belum ada perubahan yang signifikan.

Peneliti ingin meneliti korelasi antara Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM yang terjadi di Sumatera Utara. Tujuan awalnya, ingin mengetahui apakah setelah Reformasi TNI, tindak pelanggaran dan kesewenang-wenangan aparat TNI sudah hilang? Namun pada akhirnya peneliti menemukan kesimpulan dari penelitiannya bahwa ada keterkaitan yang sangat korelatif antara tindak pelanggaran HAM yang masih terjadi di Sumatera Utara dengan aktifitas bisnis informal dan illegal pihak militer.

Penulis lalu mengkorelasikan kembali tindak pelanggaran HAM dengan aktifitas bisnis militer yang masih meraja karena struktur Komando Teritorial


(12)

 

(Koter) yang dimana bisnis militer dan struktur Komando Teritorial merupakan PR Reformasi TNI yang sampai sekarang juga belum ada penyelesaiannya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dengan menjelaskan perjalanan Reformasi TNI, Hak Asasi Manusia, lalu peneliti mengkelompokan beberapa tindak pelanggaran HAM oleh tentara dan mencari penyebab pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara kepada masyarakat sipil.


(13)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peristiwa yang terjadi di Mei 1998, jatuhnya pemerintahan Orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto dipicu oleh adanya krisis moneter di kawasan Asia yang menyebar mulai dari Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan terakhir Indonesia. Dari sekian negara yang mengalami krisis ekonomi, Indonesia adalah negara yang paling parah tertimpa krisis tersebut yaitu dengan anjloknya dollar Amerika yang sangat tajam. Karena sistem perekonomian di Indonesia tidak memiliki fundamental yang cukup kuat, maka penyelesaiannya pun tidak mendapatkan hasil yang baik, bahkan semakin berlarut-larut dan rupiah semakin anjlok. Hal ini membawa dampak kredibilitas pemerintah menjadi rendah dan rakyat mulai hilang kepercayaannya.

Djojohadikusumo memandang bahwa ketidakpercayaan masyarakat telah menjadi institusional disease yang tercermin dari serangkaian fenomena yang telah melembaga, seperti maraknya praktek-praktek korupsi dan kolusi pejabat pemerintah dan pengusaha serta ketidakpastian hukum. Sedangkan R. William Liddle memandang krisis ekonomi (moneter) di Indonesia telah berpengaruh buruk terhadap semua aspek kehidupan masyarakat. Hal ini telah membawa


(14)

 

       

pemerintahan Orde baru kehilangan legitimasinya.1 Memburuknya situasi ini

membangkitkan reaksi keras dari masyarakat, terutama para intelektual yang tergabung dalam gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa dan pelajar. Berbagai aksi demonstrasi oleh mahasiswa yang didukung oleh elemen masyarakat seperti para tokoh masyarakat, buruh, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lain-lain, digelar di berbagai daerah di seluruh pelosok tanah

air.2 Mereka mengklaim bahwa semua permasalahan yang ada saat itu adalah

karena akibat kesalahan manajemen Presiden Soeharto, sehingga mereka menuntut keras agar Presiden Soeharto bergegas mundur dari kekuasaannya. Akhirnya demontrasi besar-besaran diarahkan mahasiswa menuju ke gedung DPR/MPR sebagai simbol dari wakil suara rakyat. Demontrasi ini mengakibatkan pimpinan DPR dipaksa mengambil tindakan tegas terhadap tuntutan para demonstran. Tanggal 20 Mei 1998, pimpinan DPR atas kesepakatan dialog dengan delegasi masyarakat yang memadati areal tersebut mengeluarkan statement bahwa akan segera mengadakan SI (Sidang Istimewa) MPR jika Presiden Soeharto tidak secepatnya mengundurkan diri. Dan tanggal 21 Mei 1998 di Istana Negara, Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan berhenti dari

jabatan Presiden.3

Sejak jatuhnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto oleh gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan reformasi, maka posisi

 

1

Malik A.Haramain dan Nurhuda Y.MF, Mengawal Transisi:Refleksi atas Pemantauam

Pemilu’99,JAMPPI-PB PMII dan UNDP, Jakarta 2000.

2

Mengenai tokoh-tokoh dan unsure-unsur pendukung gerakan mahasiswa dalam perjuangannya dapat dilihat dalam Adi Suryadi Culla,Patah Tumbuh,Hilang Berganti :Sketsa Pergolakan

Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia1908-1998, Jakarta : Penerbit Rajawali,

1999,halaman 161-164

3

Mengenai kronologi jatuhnya Presiden Soeharto, dapat dilihat S. Sinansari Encip, Kronologi


(15)

 

       

ABRI dalam peta perpolitikan Indonesia ikut jatuh pula. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ABRI adalah kekuatan politik Orde Baru bersama Golkar. Jatuhnya Orde Baru berarti jatuhnya ABRI sebagai penyangga pemerintahan, karena ABRI selama Orde Baru lebih identik dengan alat pemerintah yang berkuasa daripada alat penyangga dan pelindung negara dari segala ancaman dari luar melalui konsep Dwi Fungsi ABRI. ABRI di desak untuk melakukan reformasi, walaupun secara garis besar ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya terjadinya Reformasi TNI, bukan hanya karena Dwi Fungsi ABRI.

Program pembangunan dalam masa Orde Baru dilancarkan melalui konsep Trilogi Pembangunan, yaitu : (1) Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan (3) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Di dalam “stabilitas” itulah terkandung “pendekatan keamanan”. Praktek Dwi Fungsi ABRI menjadi subur sejak Orde Baru, yaitu dengan di terapkannya “pendekatan keamanan”. Pendekatan keamanan ini diberlakukan mengingat dua hal, yaitu: Pertama, suasana pasca G30S/PKI 1965 masih menuntut dilaksanakannya segala bentuk aktivitas keamanan di seluruh sektor dan di seluruh wilayah Republik Indonesia dari bahaya laten komunisme. Kedua, Orde baru bertekat melaksanakan program pembangunan yang kesuksesannya

menuntut adanya stabilitas keamanan.4 Dari praktek Dwi Fungsi ABRI pada masa

itu berkembanglah militerisme dan militerisasi. Demi terlaksananya pembangunan dengan mencapai keberhasilan maka ABRI harus aktif menjalankan kekuasaan

 

4

Sri-Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia baru lewat Reformasi Total, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001, halaman 167.


(16)

 

       

negara. Itulah prinsip militerisme dan demi pembangunan itu pula, anggota ABRI harus ada dimana-mana, sebagaimana pembangunan dilaksanakan di semua sektor, inilah yang disebut dengan militerisasi.

Praktek militerisme Orde Baru dilakukan dengan menempatkan ABRI dalam kekuasaan legislatif, baik sebagai anggota DPR (tanpa ikut serta dalam pemilu) maupun sebagai anggota MPR (non-DPR, dari golongan karya/fungsional). Selain itu pula atas hak prerogatif presiden, banyak anggota ABRI dilibatkan di departemen-departemen pemerintah, bahkan menjadi mentri dalam kabinet walaupun masih dalam posisi anggota ABRI aktif. Selain itu juga anggota ABRI banyak duduk di posisi pemerintahan daerah mulai dari jabatan bupati/walikota sampai gubernur. Kedudukan di BUMN atau BUMD juga banyak di minati anggota ABRI. Perusahaan-perusahaan milik pemerintah (Negara/Daerah) menjadi sumber pembiayaan kegiatan ABRI, dikarenakan kelangkaan sumber dana, inilah yang mengharuskan anggota TNI/ABRI (khususnya TNI-AD) melakukan kegiatan bisnis untuk membiayai dirinya, terlebih-lebih untuk melakukan operasi pada saat itu. Hal inilah yang membuat

ABRI (TNI-AD) memasuki sektor ekonomi dan bisnis.5

ABRI pada akhirnya menjadi kekuatan yang adikuasa di semua sektor, para anggotanya mendapatkan hak-hak istimewa yang melebihi warga negara yang lain. Kekuasaan yang besar dan hak-hak istimewa itu akhirnya membangun pula tata nilai tertentu dalam lingkungan ABRI yang memberikan pengaruh kuat

 

5

Di rangkum dari kutipan perkataan Saurip Kadi (Perwira tinggi AD), Sri-Bintang Pamungkas,


(17)

 

terhadap berkembangnya budaya KKN dan budaya berbisnis-ria. KKN juga berkembang oleh adanya dana besar non-budgeter negara yang di peruntukan oleh ABRI bagi mendukung segala operasi ABRI menciptakan stabilitas keamanan. ABRI telah menjadi alat kekuasaan, bukan lagi alat negara.

Dalam suasana militerisme dan militerisasi, sulit dibedakan berlakunya kekuasaan sipil dari kekuasaan militer, antara keadaan aman atau darurat perang. Seakan-akan negara selalu ada dalam keadaan tidak aman, penuh ancaman, khususnya dari dalam negeri sendiri. Sebagai akibatnya, ABRI mencurigai adanya musuh di mana-mana di dalam negeri. Kritik terhadap pemerintah dan perbedaan pendapat dianggap sebagai gangguan dan ancaman terhadap negara, pemerintah dan pembangunan dan harus dihadapi dengan tindak kekerasan secara militer. Tentu saja ini justru menciptakan kekacauan yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya situasi yang tak terkendali yang memakan korban jiwa rakyat sipil yang lemah.

Situasi tidak terkendali muncul dengan keterlibatan ABRI (terutama TNI-AD) dalam banyak tindak kekerasan militer disertai dengan jatuhnya puluhan, bahkan ratusan ribu korban jiwa, dalam kurun waktu panjang Orde Baru yang mencerminkan tidak adanya perlindungan masyarakat atas Hak Asasi Manusia.

Pertama, dalam berbagai kasus menghadapi protes para aktivis Pro-demokrasi, antara lain seperti yang terjadi dalam Peristiwa Golput (Golongan Putih,1971) di Jakarta, Peristiwa Taman Mini (1973) di Jakarta, Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari, 1974) di Jakarta, Peristiwa Buku Putih Penolakan


(18)

 

Mahasiswa terhadap Soeharto (1978) di Bandung, Peristiwa Penyataan Keprihatinan Petisi 50 (1980) di Jakarta, Peristiwa SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana, 1994) di halaman gedung DPR/MPR Jakarta, Peristiwa Berdarah UMI (Universitas Muslim Indonesia, 1996) di Makasar, Peristiwa Penculikan (19970 terutama di Jakarta, Peristiwa Trisakti (1998) di Jakarta, Peristiwa Semanggi I dan II (1999) di Jakarta.

Kedua, tindak kekerasan ABRI menghadapi protes-protes masyarakat terhadap kebijakan aparat dan pejabat Negara, seperti dalam Peristiwa Pembantaian G-30-S/ 1965 berikut penangkapan-penangkapan, pemenjaraan dan pembuangan korban ke Pulau Buru, Peristiwa Invasi ke Timor-Timur dan pendudukannya selama 23 tahun (1975-1998), Peristiwa Tanjung Priok (1984) di Jakarta, Peristiwa Lampung (1989), Peristiwa Santa Cruz (1991) di Timor-Timur, Peristiwa Sei Lepan (1993) di Sumatera Utara, Peristiwa Haur Koneng (1993) di Jawa Barat, Peristiwa Nipah (1993) di Madura, Peristiwa Parbuluhan (1995) di Sumatera Utara, Peristiwa Jenggawah (1996) di Jawa Timur, Peristiwa Freepot (1996), Abepura (1996) dan Nabire (1996) di Irian Jaya, Peristiwa DOM (Daerah Operasi Militer, 1989-1998) di Aceh, dan masih banyak peristiwa lain yang hampir selalu berakhir dengan tindak kekerasan dan penghilangan nyawa oleh pihak ABRI.

Ketiga, tindak kekerasan terhadap perorangan dan anggota masyarakat yang justru di mulai dari pihak ABRI, seperti Peristiwa Komando Jihad (1977-1978) di beberapa kota di Jawa, Peristiwa Pembajakan Pesawat Woyla (1981) di Bangkok, Peristiwa Petrus (Penembak Misterius,1983) terutama di Jawa, Peristiwa


(19)

 

       

Marsinah (1993) di Jawa Timur, Peristiwa Sri-Bintang Pamungkas (1995) di Jerman, Peristiwa 27 Juli (1996) di Jakarta, Peristiwa Wartawan Udin (1996) di Yogyakarta, Peristiwa Situbondo (1996) di Jawa Timur, Peristiwa Tasikmalaya (1996) di Jawa Barat, Peristiwa Kartu Lebaran Politik (1997) di Jakarta, Peristiwa Dukun Santet (1998) di Jawa Timur, Peristiwa Ketapang (1998) di Jakarta dan Kupang, Peristiwa Kerusuhan Mei (1998) di Jakarta dan beberapa kota di Jawa, Peristiwa Tengku Bantaqiah (1999) di Aceh Barat, Peristiwa Jajak Pendapat

(1999) di Timor-Timur dan Peristiwa Haruku dan lain-lain (2000) di Maluku.6

Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan pihak negara dengan memakai ABRI sebagai alatnya harus diakhiri, militerisme dan militerisasi harus diakhiri. ABRI harus kembali kepada profesionalismenya. Rakyat sendiri tidak boleh diperlakukan sebagai musuh. Negara harus mampu meredakan setiap gejolak dalam masyarakat tanpa harus membunuh rakyat sendiri. Semua gejolak harus bisa diselesaikan secara politis tanpa melibatkan militer dan kekerasan militer dan tanpa harus melakukan pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia.

Kecenderungan ABRI yang lebih mementingkan dan memelihara kekuasaan membawa ABRI terjebak dalam pola-pola pendekatan yang represif. Sehingga tidak jarang oknum ABRI bertindak di luar pegangan yang mereka ucapkan setiap Apel atau Upacara yaitu Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Pelanggaran-pelanggaran dalam berbagai bentuk, baik kriminal maupun motif politik, semakin lama semakin terakumulasi. Sehingga pada momentum yang tepat, yaitu saat jatuhnya pemerintahan Orde Baru meledaklah semua akumulasi

 

6


(20)

 

       

pelanggaran ABRI pada masa lalu tersebut. ABRI dibenci dan dihujat rakyat karena dianggap lebih sebagai pelindung dan pengaman Orde Baru selama 32 tahun daripada menjadi pelindung dan pengayom rakyat.

Slogan-slogan yang didengungkan seperti “ABRI dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, “Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk ABRI”, “ABRI manunggal dengan rakyat” dan sebagainya hanyalah kata-kata yang tidak bermakna dan dianggap mengelabuhi rakyat saja. Akhirnya, tuntutan atas Reformasi TNI pun muncul dari berbagai komponen masyarakat, termasuk dari kalangan militer sendiri. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI menjadi salah satu tuntutan pokok yang di lontarkan, walaupun dapat dikatakan proses Reformasi TNI bukan semata karena lengsernya Soeharto saja, ada empat alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, Peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, Campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi

dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini.7

Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang menumpuk selama lebih dari tiga dekade di bawah orde baru akibat dari akses kekuatan ABRI disegala hal

 

7

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (MABES TNI), TNI abad XXI: Redefinisi, Reposisi

dan Reaktualisasi Peran TNI dalam kehidupan bangsa, Jakarta : Mabes TNI, 1999, dalam Bukhari

Barus, Tesis tentang Peran Politik Tentara Nasional Indonesia Pasca Orde Baru, Medan : Magister Study Pembangunan FISIP USU, 2007.


(21)

 

yang berlebihan ditumpahkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dan politisi dengan menghujat dan mendesak ABRI kembali ke peran yang sebenarnya, yaitu mengurusi masalah pertahanan dan keamanan negara. Reformasi cukup tajam menyoroti posisi ABRI, baik sebagai kekuatan Hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik. Sorotan masyarakat dalam semangat reformasi ini sangat memojokan posisi ABRI. Luka-luka lama terungkit kembali ke permukaan. Dilain pihak ABRI juga menyadari posisinya dan telah bertekad untuk melaksanakan konsolidasi dan reformasi internal dalam rangka menyesuaikan dengan tuntutan zaman dengan memperbaiki serta belajar dari pengalaman masa lalu.

Tentara yang dalam tradisi kemiliteran Indonesia akrab dengan kehidupan politik, sejak tanggal 21 mei 1998 secara bertahap telah meninggalkan gelanggang politik. Di mulai dari masa pemerintahan Presiden BJ Habibie itulah, peran tentara kembali kepada jati dirinya sebagai militer yang profesional. Maka ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya melalui reformasi internal TNI dan paradigma barunya. Namun, perubahan yang diharapkan terjadi sejak tahun 1998 ternyata masih belum dapat di wujudkan oleh pemerintahan baru pasca rezim Soeharto. Hal ini terjadi karena kekuasaan Orde Baru yang masih kuat serta mesin politiknya yang masih solid serta belum ada kesepahaman serta konsolidasi yang baik dari kelompok-kelompok Pro Demokrasi, Kekuasaan Orde Baru masih membayang-bayangi pemerintahan pasca 1998, sehingga mempengaruhi tindakan pemerintahan transisi. Hal ini dapat dilihat dari Pemerintah masih belum menunjukkan kesungguhan untuk melakukan perubahan sistem politik, hukum dan ekonomi yang lebih demokratis, tidak akomodatif terhadap aspirasi dan


(22)

 

       

kebutuhan rakyat dalam merumuskan kebijakan, serta tidak melakukan secara maksimal upaya-upaya penegakan hukum dan HAM.

Kenyataan bahwa masih banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh Aparat (Polisi dan Militer) di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada khususnya, mendorong peneliti untuk meneliti keterkaitan antara reformasi TNI dengan besarnya tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara.

B. Perumusan Masalah

Masyarakat Sipil termasuk sebagai satu dari beberapa elemen yang mempunyai kontribusi dalam mendorong terjadinya Reformasi TNI. Sejak 1998 sampai sekarang, kalangan masyarakat sipil (civil society) secara aktif telah melakukan upaya-upaya untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi proses-proses reformasi, terutama untuk memastikan berjalannya reformasi di institusi TNI. Perubahan yang diharapkan bukan saja atas perubahan kebijakan dan legislasi di tubuh TNI, tetapi juga perubahan institusi dan struktur, dan juga

perubahan akan prilaku dan sikap aparat TNI itu sendiri.8 Peneliti kemudian

memfokuskan penelitiannya terhadap perubahan perilaku dan sikap aparat TNI salah satunya pokok besarnya adalah menyoroti berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Aparat.

 

8

Tim IDSPS, Penjelasan Singkat Reformasi TNI, Seri ke-4 dari 10 seri Reformasi Sektor Keamanan, Jakarta : IDSPS dan Rights & Democracy Kanada, 2008, halaman 5.


(23)

 

Maka penulis merumuskan pertanyaan penelitiannya, yaitu : “Apakah pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil di Sumatera Utara masih terjadi setelah reformasi TNI?“

C. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi dan memfokuskan skripsinya kepada kasus pelanggaran HAM oleh aparat TNI kepada masyarakat sipil di Provinsi Sumatera Utara saja setelah Reformasi TNI terjadi, namun peneliti hanya meneliti dalam kurun waktu tahun 2006 sampai Maret 2010. Data yang di dapat berupa data wawancara dan juga data tertulis dari KontraS dan juga SSRC, sebagai berikut dari KontraS berupa data dari tahun 2006 sampai Maret 2010 (dengan beberapa kekosongan data) dan data dari SSRC berupa data dari awal tahun 2010 sampai April 2010. Jadi Reformasi TNI dan korelasinya terhadap pelanggaran HAM di skripsi ini di teliti dari tahun 2006 saja di karenakan keterbatasan data.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui perubahan perilaku aparat TNI pasca Reformasi TNI

di Sumatera Utara, khususnya menyangkut persoalan pelanggaran HAM.


(24)

 

2. Menjadi pembelajaran tentang bagaimana Reformasi TNI itu sendiri

dan persoalan kompleks yang terdapat di dalamnya dan menjadi tugas kita untuk memonitoring perkembangannya.

3. Sebagai refrensi kepada masyarakat untuk lebih dapat mengetahui lebih

lanjut salah satu lembaga atau birokrasi Negara.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat bagi penulis, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan

pengetahuannya dan pemahaman penulis untuk berfikir secara akademis dalam melihat perkembangan reformasi yang terjadi di tubuh militer dan ke depannya penulis berharap memberikan manfaat lebih terhadap dirinya sendiri .

2. Manfaat bagi akademis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi

referensi baru dalam pengembangan khasanah ilmu politik, diharapkan hasilnya dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa dan juga masyarakat luas tentang implementasinya Reformasi TNI terutama terhadap perubahan sikap dan prilaku TNI atas penggunaan wewenangnya.

3. Manfaat praktis , hasil penelitian ini dapat memberikan realitas

mengenai kenyataan akan kejadian yang terjadi di kehidupan nyata tentang Hak Asasi Manusia dan kedepannya diharapkan seluruh elemen


(25)

 

       

menyadari pentingnya menghormati Hak Asasi Manusia tidak terkecuali siapapun itu.

F. Landasan Teori

a. Pengertian Militer dan Sipil

Dalam bahasa Inggris, Militer atau “ military ” adalah “the soldiers ; the army ; the army forces” 9 yang berarti prajurit atau tentara ; angkatan bersenjata.

Di negara modern, militer biasanya adalah angkatan bersenjata yang terdiri dari 3 atau 4 angkatan perang yaitu : darat, laut, udara dan atau marinir. Sedangkan polisi, meski diberi kewenangan memegang senjata, tidak termasuk di dalamnya.

Di Indonesia, batasan militer berubah dan berbeda dari masa ke masa. Militer pada masa Orde Lama adalah Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pada tahun 1959 sebutan APRI diubah menjadi ABRI yaitu kepanjangan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lalu pada masa Orde Baru, melalui UU Nomor 13/1961 Pasal 3, Keppres Nomor: 225/1962, Keppres Nomor: 290/1964 menetapkan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah ABRI. Dengan demikian, ABRI meliputi

 

9

AS Horby, Oxpord Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1974, hal 536


(26)

 

TNI AU.

       

TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Laut (AL), TNI Angkatan Udara

(AU) dan Kepolisian Negara RI.10 Dimana kedudukannya sama dan

sederajat dengan ketiga angkatan lainnya dengan garis-garis komando dan

hierarki yang utuh dan bulat.11 Pasca Orde Baru, di era Reformasi ,

terhitung 1 April 1999, yang dimaksud dengan militer adalah TNI (bukan ABRI lagi) yang terdiri dari TNI AD, TNI AL dan

Batasan militer ini menjadi baku kemudian melahirkan istilah Sipil. kepada mereka yang bekerja di luar profesi Angkatan Bersenjata. Dalam bahasa Inggris, Sipil yaitu “civilian”, “(person) not serving with armed forces”.12 Yang berarti seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan bersenjata. Semua orang dengan segala macam profesi yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta yang berada di luar struktur organisasi militer, termasuk polisi di sebut warga sipil. Namun di Indonesia batasan ini tentu berbeda, karena polisi cenderung di anggap sebagai warga non-sipil.

Cohan13 mendefinisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum,

lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Sayidiman

 

10

Buku Peraturan Perundang-undangan Pertahanan dan Keamanan RI,Sekretariat Jendral Dephankam, Jakarta, 1996, halaman 88.

11

Himpunan Peraturan dan Perundang-Undangan Bidang Hankamneg dari tahun 1961-1971, Buku III, Biro Organisasi Sekretariat Jendral Dephankam Tahun 1989, halaman 142-144

12

AS Horby, op.cit., hal.151

13

Elliot A. Cohen, “Civil-Military Relation in the Contemporary World”, dalam Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil – Militer, sebuah makalah yang disajikan dalam seminar nasional mencari format baru Hubungan Sipil-Militer Jurusan Ilmu Politik – Fisip Universitas Indonesia, Jakarta, 24-25 Mei 1999, Gedung Pusat Studi Jepang, Kampus UI Depok.


(27)

 

       

Suryohardiprojo memberikan batasan sipil sebagai semua lapisan

masyarakat.14

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat dibuat suatu pengertian secara universal bahwa sipil adalah semua orang baik individu ataupun institusi yang berada di luar organisasi militer.

b. Tipe-tipe orientasi militer

Setiap negara mempunyai tipe-tipe orientasi militer yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait sangat erat dengan peran pihak militer dalam pemerintahan, selain itu terkait juga dengan sistem politik yang dianut oleh negara itu sendiri. Setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya.

Menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara bangsa modern masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap

jenis kekuatan sipil yang dilembagakan, yakni:15

1. Prajurit Profesional

Perwira profesional di zaman modern mempunyai ciri – ciri sebagai berikut: 1) keahlian (managemen kekerasan), 2) pertautan (tanggung jawab kepada klien, bangsa dan Negara), 3) korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi), dan 4) ideologi (semangat militer). Ciri-ciri ini dapat dijumpai dalam semua lembaga militer baik di negara maju ataupun negara berkembang.

 

14

Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, Sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999

15


(28)

 

Menurut Huntington keempat ciri tersebut merupakan variabel penting yang dapat menjauhkan fungsi militer dari intervensi politik suatu negara. Huntington melihat bahwa prajurit profesional klasik timbul apabila koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap tentara. Prajurit dengan keahlian dan pengetahuan profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara.

2. Prajurit Pretorian

Kaum pretorian sebenarnya juga prajurit profesional namun karena kurang diperhatikan dan selalu dikendalikan oleh pemerintah sipil maka terbuka kemungkinan besar mereka melakukan intervensi

dalam politik. Menurut Perlmutter kaum pretorian memang lebih

sering timbul di masyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau secara ideologis terpecah-pecah. Secara keseluruhan, kondisi pretorian mempengaruhi lembaga militer secara negatif dan menurunkan standar-standar profesionalisme.

Frederick Mundel Watkins mendefinisikan pretorianisme sebagai suatu kata yang sering dipakai untuk mencirikan suatu situasi dimana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom di dalam masyarakat tersebut berkat penggunaan kekuatan actual atau ancaman penggunaan kekuatan.

Perlmutter membedakan tipe praetorian kedalam dua kategori yaitu tipe praetorian yang paling ekstrim (tipe penguasa) dan tipe praetorian yang kurang ekstrim (tipe penengah). Tentara praetorian


(29)

 

penguasa mendirikan eksekutif yang independen dan suatu organisasi politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Sedangkan tentara praetorian penengah tidak mempunyai organisasi politik dan tidak banyak menunjukan minat dalam penciptaan ideologi politik.

3. Tentara Revolusioner Profesional

Tentara revolusioner seperti tentara pretorian yang mempunyai pola intervensi illegal, namun tidak seperti tentara pretorian yang melalui kudeta militer atau melalui kerjasama dengan kelompok – kelompok lain sebelum dan selama proses intervensi. Intervensi tentara revolusioner merupakan suatu aktivitas kelompok militer yang illegal yang beroprasi secara sembunyi, dan dilancarkan untuk mendukung kelompok revolusioner yang sudah ada yang secara terang-terangan berusaha mengambil alih kekuasaan dengan bantuan dan dukungan kelembagaan secara besar-besaran.

Tentara revolusioner bukanlah hasil dari keahlian militer, melainkan pengabdian revolusi dan mendapatkan dukungan partai. Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karna itu tentara revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya. Tentara revolusi adalah angkatan bersenjata misal, suatu bangsa yang dipersenjatai.


(30)

 

       

c. Hubungan Sipil Militer menurut Samuel P. Huntington

Menurut Samuel P. Huntington hubungan sipil-militer ditunjukan

melalui dua cara,16 yaitu :

1) Subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif)

Dilakukan dengan cara memperbesar kekuatan sipil (maximizing civilian power) dibandingkan dengan kekuasaan militer. Cara ini, dapat menimbulkan hubungan sipil-militer kurang sehat karena merujuk pada upaya untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi mereka dan membuat mereka lebih dekat ke sipil (civilian the military).

2) Objective civilian control (pengendalian sipil objektif)

Dilakukan dengan cara sebaliknya yaitu dengan cara militarizing the military untuk mencapai pengendalian sipil objektif yaitu dengan cara memperbesar profesionalisme kaum militer, kekuasaannya akan diminimkan namun tidak sama sekali melenyapkan kekuasaan kaum militer, melainkan tetap menyediakan kekuasaan terbatas tertentu untuk melaksanakan hubungan sipil-militer yang sehat.

Menurut Huntington istilah Objective civilian control

mengandung : 1). Profesionalisme yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2). Subordinasi yang efektif dalam militer kepada pemimpin

 

16

Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military


(31)

 

       

politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 3). Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesionalisme dan otonomi bagi militer; dan 4). Akibatnya minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer.

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan sipil-militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju-mundurnya sebuah negara. Hubungan sipil-militer yang harmonis dan sinergis akan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kejayaan negara dan bangsa. Namun, sebaliknya hubungan sipil-militer yang buruk akan membawa bangsa dan negara pada perpecahan dan kehancuran. Hubungan sipil-militer yang baik adalah terjadinya interaksi timbal balik antara pemerintahan sipil dengan kalangan militer dimana pemerintahan sipil membutuhkan militer untuk melindungi wilayah dan rakyat negaranya serta menjamin kepentingan nasionalnya, sedangkan militer memerlukan dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang dibutuhkan, untuk membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman

yang timbul.17

 

17

Budi Santoso, Ketahanan Nasional Indonesia : Penangkal Disintergrasi Bangsa dan Negara, Jakarta : Penerbit Pusaka Sinar Harapan, 2000, halaman 199-207


(32)

 

       

Pada akhirnya, Reformasi TNI yang dijalankan secara sungguh-sungguh sesuai dengan sistem yang berlaku akan melahirkan tentara profesional yang mempunyai karakteristik; (1) tidak berpolitik dan berniaga, (2) Mempunyai keahlian, kesatuan profesi, kompetensi teknis, serta mengetahui secara persis etika-etika militer dan etika-etika perang, (3) Menghormati Supremasi, hukum, demokrasi dan Hak Asasi Manusia dan (4) ketika tentara digelar untuk digunakan, berhasil memenangkan peperangan.

d. Teori tentang Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia dapat dibagi atau dibedakan sebagai berikut:18

1. Hak-hak asasi pribadi atau “personal rights” yang meliputi

kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak dan sebagainya.

2. Hak-hak asasi ekonomi atau “property rights”, yaitu hak untuk

memiliki sesuatu, membeli dan menjualnya serta memanfaatkannya.

3. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam

hukum dan pemerintahan atau “rights of legal equality”.

4. Hak-hak asasi politik atau “political rights”, yaitu hak untuk

ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih

 

18

C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 2000, hal 203.


(33)

 

       

dalam pemilihan umum), hak mendirikan partai politik dan sebagainya.

5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau “social and culture

rights”, misalnya hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.

6. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan dan tata-cara

peradilan dan perlindungan atau “procedural rights”, misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya.

Menurut UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 7 (tujuh) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida19 adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan

maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a. Membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota-anggota kelompok;

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

 

19


(34)

 

       

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran

didalam kelompok; atau

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke

kelompok lain.

Sedangkan Kejahatan terhadap kemanusiaan20 adalah salah satu

perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a. Pembunuhan;

b. Pemusnahan;

c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. Pengamayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan

yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,

 

20


(35)

 

       

budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum Internasional;

i. Penghilangan orang secara Paksa; atau

j. Kejahatan apartheid.

e. Landasan Normatif tentang Tugas dan Peran TNI

Istilah Reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) awalnya muncul pada masa reformasi 1998. Penggunaan kata TNI terkait dengan upaya reformasi internal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Munculnya istilah ini sebagai respon kalangan TNI terhadap desakan publik atas peran politik dan ekonomi TNI serta akuntabilitas atas pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang di lakukan sebelum 1998. Tuntutan reformasi tersebut berujung pada jatuhnya pemerintahan Rezim Orde Baru.

Secara umum, tuntutan gerakan masyarakat bukan hanya kepada TNI melainkan dapat dikalkulasikan sebagai tuntutan atas adanya reformasi di sektor keamanan berupa transformasi kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi keamanan negara dari sistem lama yang otoriter menuju sistem baru yang demokratis. Sehingga aktor-aktor keamanan (termasuk TNI) menjadi institusi profesional, menjadi subjek dari supremasi pemerintahan sipil,

akuntabel serta menghormati HAM. 21

Sektor keamanan yang dimaksud di atas adalah seluruh institusi yang memiliki otoritas untuk menggunakan atau mengerahkan kekuatan fisik atau

 

21


(36)

 

ancaman penggunaan kekuatan fisik dalam rangka melindungi negara dan warga negara. Dalam definisi ini termasuk TNI dan Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), maupun segenap institusi sipil yang bertanggung-jawab dalam pengelolaan dan pengawasannya, seperti Presiden, Departemen Pertahanan dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Reformasi TNI merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan, yaitu reformasi kolektif intra-institusional yang meliputi; Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Dinas Imigrasi, Departemen Pertahanan, Kejaksaan, Parlemen, Badan Intelijen Negara (BIN), TNI dan Polri.

Reformasi TNI menjadi penting karena TNI merupakan institusi yang tidak terpisah dari sejarah kelam politik pemerintahan Orde Baru yang mendapat tekanan untuk mereformasi dirinya. Karenanya, salah satu agenda Reformasi TNI adalah menjauhkan institusi ini dari berbagai praktek-praktek yang menyimpang di masa lalu dan mendorong pertanggungjawaban politik dan hukum yang akuntabel terhadap berbagai kejahatan dan pelanggaran serta memastikan terbentuknya militer profesional sebagaimana dimaksud dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, yang berbunyi “Tentara Profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik Negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia,


(37)

 

       

ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi”22

Secara normatif, gerakan reformasi mendorong TNI melakukan perubahan paradigma, peran, fungsi dan tugasnya. Pemerintah pun mewujudkan upaya-upaya penghapusan hak-hak istimewa TNI selama masa Orde Baru yang di tuntut rakyat Indonesia melalui beberapa kebijakan dan peraturan yang meliputi pengaturan tentang pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR No.VI/2000), Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Amandemen Kedua Undang Undang Dasar 1945 pada Bab XII Tentang Pertahanan dan Keamanan negara Pasal 30 ayat 2 (dua) dan ayat 3 (tiga) menyatakan bahwa :

“…(2) usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”

 

22

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, poin d, pasal2, Bab II.


(38)

 

Konstitusi menyatakan bahwa fungsi dan tugas pokok TNI di bidang pertahanan sebagai alat negara dengan tugas pertahanan, perlindungan dan pemeliharaan keutuhan dan kedaulatan negara. Sebagai alat negara, TNI mutlak tunduk pada negara (melalui perintah dan pengelolaan oleh otoritas politik sipil), mendapatkan fasilitas negara dan mendapatkan previledge untuk menggunakan kekuatan koersifnya atas perintah negara terkait upaya-upaya pertahanan. Sejauh ini tidak ada institusi atau alat negara lainnya yang memiliki otoritas penggunaan kekuatan koersif atas perintah otoritas politik sipil selain militer.

Lebih lanjut UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara pasal 10 ayat 1 (satu) dan 3 (tiga) menegaskan tugas konstitusional tersebut dengan menyatakan,

“… (1) Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;… (3) Tentara Nasional Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk : a. Mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah; b. Melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa; c. Menjalankan Operasi Militer Selain Perang; d. Ikut serta aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.”

Selanjutnya, fungsi dan tugas pokok TNI dijabarkan dalam UU no 34 Tahun 2004 tentang TNI bab IV tentang Perang, Fungsi dan Tugas pasal 5 sampai dengan Pasal 10.


(39)

 

Pasal 5 menegaskan kembali peran TNI sebagai “alat negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”. Pasal 6 menjabarkan fungsi pertahanan TNI yang meliputi “fungsi penangkalan terhadap ancaman luar dan dalam terhadap keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa; fungsi penindakan; dan fungsi pemulihan.”

Pasal 7 menjelaskan secara mendetail tugas pokok TNI yang meliputi “operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang yang diantaranya adalah: 1. Mengatasi gerakan separatis bersenjata; 2. Mengatasi pemberontakan bersenjata; 3. Mengatasi aksi terorisme; 4. Mengamankan wilayah perbatasan; 5. Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis; 6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; 7. Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden berserta keluarganya; 8. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9. Membantu tugas pemerintah di daerah; 10. Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; 11. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12. Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; 13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta 14. Membantu pemerintah dalam mengamankan


(40)

 

       

pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan

penyeludupan”.23

Pasal 8, 9 dan 10 menjabarkan tugas masing-masing Angkatan (Darat,Laut dan Udara) berupa pelaksanaan tugas-tugas pokok di atas di masing-masing matra, menjaga keamanan perbatasan di wilayah darat, laut dan udara, melaksanakan tugas pembangunan dan pengembangan di masing-masing matra serta melakukan pemberdayaan di setiap wilayah

darat, laut dan udara. 24

G.

Metodologi Penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan tujuan menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel yang timbul dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian. Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan sejarah. Metode deskriptif ini menggunakan teori-teori yang berhubungan dengan Reformasi TNI, hubungan sipil-militer dan Hak Asasi Manusia.

 

23

Kelemahan dari pasal ini adalah masih dimasukannya problem keamanan internal sebagai bagian dari ancaman terhadap integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang kemudian memberikan justifikasi bagi pelibatan TNI dalam penyelesaian problem-problem tersebut. Pasal ini memunculkan wilayah abu-abu peran TNI dan Polri seperti mengatasi sparatisme dan pemberontakan bersenjata, memerangi aksi terorisme, mengamanaan obyek vital dan membantu tugas pemerintah daerah. Tak heran kemudian muncul anggapan bahwa secara terselubung legitimasi peran sosial,politik dan ekonomi militer seperti di masa lalu.

24

Mufti Makaarim A., Mempertimbangkan Hak Pilih TNI, Konsistensi reformasi TNI dan


(41)

 

Usaha mendeskripsikan tentang keterkaitan antara Reformasi TNI terhadap tindak pelanggaran HAM oleh TNI, pada tahap permulaan tertuju pada usaha mempaparkan berbagai tindakan TNI/ABRI yang dilakukan di masa lampau, kesalahan-kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran oknum-oknumnya, mengemukakan perbedaan antara sipil dan militer, mengartikan Reformasi TNI yang merupakan bagian dari Reformasi Sektor Keamanan. Pada umumnya penelitian deskriptif ini merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah-langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesa.

b. Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka yaitu dengan cara menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen dari berbagai sumber dan tempat serta hal-hal lain yang menunjang dan juga melakukan beberapa riset dan berdiskusi dengan berbagai pihak, kemudian apabila perlu juga dilakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait dalam rangka menyempurnakan penelitian ini.

c. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, serta untuk mempermudah isi dari skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut :


(42)

 

BAB I: PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA

Menguraikan tentang penjelasan secara menyeluruh tentang bentuk-bentuk dari Reformasi TNI dan tindakan-tindakan yang mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

BAB III: PELANGGARAN HAM OLEH TNI DI SUMATERA UTARA

Menguraikan tentang penjelasan tentang tindak pelanggaran HAM oleh aparat TNI di Sumatera Utara, mengkorelasikan antara reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM oleh Aparat TNI. Menjelaskan apa yang menjadi penyebab pelanggaran HAM di Sumatera Utara dan Solusinya.

BAB IV: PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang berguna terkait dengan hasil penelitian.


(43)

 

BAB II

REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA

A. Arti , sejarah dan dasar pelaksanaan Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak asasi ini menjadi dasar dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.

Sebagaimana kita ketahui, di samping hak-hak asasi ada kewajiban-kewajiban asasi, yang dalam hidup kemasyarakatan kita seharusnya mendapat perhatian terlebih dahulu dalam pelaksanaannya. Memenuhi kewajiban terlebih dahulu baru menuntut hak.

Dalam masyarakat yang individualistis ada kecenderungan pelaksanaan atau tuntutan pelaksanaan hak-hak asasi agak berlebihan. Hak asasi tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak, karena penuntutan pelaksanaan hak asasi secara mutlak berarti melanggar hak-hak asasi yang sama dari orang lain.

Menurut sejarahnya asal mula hak asasi manusia itu ialah dari Eropa Barat yaitu Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak asasi ialah pada tahun 1215 dengan lahirnya Magna Charta. Dalam Magna Charta tercantum kemenangan para bangsawan atas raja Inggris. Di dalamnya dijelaskan bahwa raja tidak lagi


(44)

 

bertindak sewenang-wenang. Dalam hal-hal tertentu, raja didalam tindakannya harus mendapat persetujuan dari bangsawan. Walaupun hal ini terbatas kepada hubungan antara bangsawan dan raja saja, tetapi kemudian terus berkembang. Sebagai suatu prinsip, hal ini merupakan suatu kemenangan, sebab hak-hak tertentu telah diakui oleh pemerintah.

Perkembangan berikutnya adalah adanya Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis 1789. Dua revolusi abad XVIII ini besar sekali pengaruhnya dalam perkembangan hak asasi manusia tersebut. Revolusi Amerika menuntut adanya hak bagi setiap orang untuk hidup merdeka, dalam hal ini hidup bebas dari kekuasaan Inggris. Revolusi besar Prancis pada tahun 1789 bertujuan untuk membebaskan manusia warga Negara Prancis dari kekangan kekuasaan mutlak seorang raja penguasa tunggal negara (absolute monarchie) di Prancis waktu itu (Raja Louis XVI). Istilah yang dipakai pada waktu itu adalah “droit de I’homme” yang berarti “hak manusia”, yang dalam bahasa Inggris disebut “human rights” atau “mensen rechten” dalam bahasa Belanda. Dalam Bahasa Indonesia biasa disebut dengan “hak-hak kemanusiaan” atau “hak-hak asasi manusia”.

Yang dimaksud mula-mula dari istilah itu adalah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, seperti misalnya hak hidup dengan selamat, hak kebebasan dan kesamaan, yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. Berkenaan dengan hak asasi ini, PBB sebagai induk dari bersatunya negara-negara di dunia telah mengeluarkan pernyataan yang bernama : “The International Bill of Human Rights”.


(45)

 

       

Instrumen HAM yang paling penting yang merupakan induk dari seluruh instrument lainnya disebut sebagai The International Bill of Human Rights yang

terdiri dari tiga dokumen pokok yaitu :25

The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia)

International Convention on Economic, Social and Cultural Rights (Perjanjian Internasional tentang Hak Asasi Manusia di Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya)

International Convention on Civil and Political Rights (Perjanjian tentang Hak Asasi Manusia dalam Bidang Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara)

Instrumen HAM sedunia tidak hanya memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, tetapi juga menetapkan sasaran serta tolok ukur yang ingin di capai dengan perlindungan HAM tersebut. Beberapa instumen yang mengandung

kaidah tentang sasaran dan tolok ukur pembangunan HAM antara lain adalah:26

Declaration on the Right of People to Peace (Deklarasi tentang Hak Masyarakat untuk Memperoleh Kedamaian dan Perdamaian), 1984. Declaration on the Rights to Development (Deklarasi tentang Hak

untuk Pembangunan), 1986.

The Vienna Declaration and Programme of Action (Deklarasi dan Program Aksi Wina), 1993.

 

25

Drs. Saafroedin Bahar, Hak Asasi Manusia (Analisis Komnas HAM dan Jajaran Hankam/ABRI), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal 8.

26


(46)

 

       

Pada dasarnya instrument HAM sedunia tersebut diatas melindungi seluruh umat manusia. Namun ada yang mendapatkan perhatian secara khusus, yaitu kelompok-kelompok rentan yang lazimnya tidak dapat melindungi hak asasinya

sendiri seperti:27

a. Kanak-kanak;

b. Kaum Wanita;

c. Kaum Pekerja;

d. Minoritas;

e. Penyandang cacat;

f. Penduduk Asli atau Suku terbelakang (indigenous people);

g. Tersangka, tahanan dan tawanan;

h. Budak;

i. Korban kejahatan;

j. Pengungsi;

k. Mereka yang tidak berkewarganegaraan (stateless).

Isi Piagam Pernyataan Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) , yaitu:28

Pasal 1. Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka di karuniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.

 

27

Ibid., hal 20.

28


(47)

 

Pasal 2 ayat (1). Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Pernyataan ini dengan tak ada kecualian apapun, misalnya bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik kelahiran atau kedudukan lain.

Pasal 2 ayat (2). Selanjutnya tidak akan diadakan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum ataupun kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka maupun yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau dibawah perbatasan lain dari kedaulatan.

Pasal 3. Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang.

Pasal 4. Tiada seseorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; penghambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang.

Pasal 5. Tidak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan, ataupun dengan jalan perlakuan atau hukum yang menghinakan.

Pasal 6. Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang di mana saja ia berada.

Pasal 7. Semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan. Semua orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam ini.


(48)

 

Pasal 8. Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan pemerkosaan hak-hak dasar, yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang.

Pasal 9. Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang.

Pasal 10. Setiap orang berhak dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya.

Pasal 11 ayat (1). Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu pelanggaran pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka, dan ia di dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya.

Pasal 11 ayat (2). Tiada seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan yang tidak merupakan suatu pelanggaran pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih dari yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.

Pasal 12. Tidak seorang pun dapat diganggu dengan sewenang-wenang dalam urusan perseorangannya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya, juga tidak diperkenankan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan undang-undang terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran-pelanggaran demikian.


(49)

 

Pasal 13 ayat (1). Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap negara.

Pasal 13 ayat (2). Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.

Pasal 14 ayat (1). Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan tempat pelarian di negeri-negeri lain untuk menjauhi pengejaran.

Pasal 14 ayat (2). Hak ini tidak dapat dipergunakan dalam pengejaran yang benar-benar timbul dari kejahatan-kejahatan yang tak berhubungan dengan politik atau dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan dasar-dasar Perserikatan Bangsa Bangsa.

Pasal 15 ayat (1). Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.

Pasal 15 ayat (2). Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraannya.

Pasal 16 ayat (1). Orang-orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam perkawinan dan di kala perceraian.

Pasal 16 ayat (2). Perkawinan harus dilakukan dengan cara suka sama suka dari kedua mempelai.

Pasal 16 ayat (3). Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.


(50)

 

Pasal 17 ayat (1). Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.

Pasal 17 ayat (2). Tidak seorang pun dapat dirampas hak miliknya dengan semena-mena.

Pasal 18. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkan, melakukan, beribadat dan menempatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun yang tersendiri.

Pasal 19. Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkann pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan-gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dengan tidak memandang batas-batas.

Pasal 20 ayat (1). Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat denga tidak mendapat gangguan.

Pasal 20 ayat (2). Tidak seorang pun dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.

Pasal 21 ayat (1). Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.

Pasal 21 ayat (2). Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.


(51)

 

Pasal 21 ayat (3). Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah, kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan mengeluarkan suara.

Pasal 22. Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak melaksanakan dengan perantaraan usaha-usaha nasional yang bekerjasama secara internasional dan sesuai dengan organisasi-organisasi serta sumber-sumber kekayaan dari setiap negara, hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang perlu guna martabatnya dan guna perkembangan bebas pribadinya.

Pasal 23 ayat (1). Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil serta baik dan atas perlindungan terhadap pengangguran.

Pasal 23 ayat (2). Setiap orang, dengan tidak ada perbedaan, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama.

Pasal 23 ayat (3). Setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik yang menjamin kehidupannya bersama dengan keluarganya, sepadan dengan martabat manusia, dan jika perlu ditambah dengan bantuan-bantuan sosial lainnya.

Pasal 23 ayat (4). Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat sekerja untuk melindungi kepentingannya.


(52)

 

Pasal 24. Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk juga pembatasan-pembatasan jam bekerja yang layak dan hari-hari liburan yang berkala, dengan menerima upah.

Pasal 25 ayat (1). Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya ataupun keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada waktu mengalami pengangguran, menderita sakit, menjadi orang cacat, janda, mencapai usia lanjut dan mengalami kekurangan nafkah dan lain-lain karena keadaan di luar kekuasaannya.

Pasal 25 ayat (2). Para ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.

Pasal 26 ayat (1). Setiap orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan gratis, setidak-tidaknya dalam tingkatan sekolah rendah atau tingkatan dasar. Pengajaran sekolah rendah harus diwajibkan. Pengajaran teknik harus terbuka bagi semua orang dan pengajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama, oleh semua orang berdasarkan kecerdasan.

Pasal 26 ayat (2). Pengajaran harus ditujukan kearah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkukuh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam memelihara perdamaian.


(53)

 

Pasal 26 ayat (3). Ibu-Bapak mempunyai hak utama untuk memilih jenis pengajaran yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.

Pasal 27 ayat (1). Setiap orang berhak untuk turut serta dengan bebas dalam hidup kebudayaan masyarakat, untuk mengecap kesenian dan untuk turut serta dalam kemajuan ilmu pengetahuan serta mendapat manfaatnya.

Pasal 27 ayat (2). Setiap orang berhak untuk dilindungi kepentingan-kepentingannya moral dan materiil yang didapatnya sebagai hasil dari sesuatu produksi dalam lapangan ilmu pengetahuan, kesusastraan atau kesenian yang diciptakannya sendiri.

Pasal 28 ayat (1). Setiap orang berhak atas suatu susunan sosial dan internasional di dalam mana kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam pernyataan ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.

Pasal 29 ayat (1). Setiap orang mempunyai kewajiban hanya terhadap suatu masyarakat di mana ia mendapat kemungkinan untuk mengembangkan pribadinya dengan penuh dan bebas.

Pasal 29 ayat (2). Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasan setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain. Dan untuk memenuhi syarat-syarat benar dari kesusilaan, tata tertib umum serta keselamatan umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal 29 ayat (3). Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini sekali-sekali tidak boleh dijalankan dengan cara yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan dasar-dasar Perserikatan Bangsa Bangsa.


(54)

 

Pasal 30. Tidak sesuatu pun dalam pernyataan ini boleh diartikan memberikan kepada salah satu Negara, golongan ataupun seseorang, sesuatu hak untuk melakukan kegiatan merusak salah satu hak dan kebebasan yang termaktub dalam penyataan ini.

Indonesia sebagai anggota dari PBB memperhatikan masalah Hak Asasi Manusia. Walaupun kita ketahui bahwa dasar dari deklarasi ini adalah individualisme dengan segala hak yang dipunyainya, namun alam kerangka pelaksanaannya di Indonesia, keseimbangan antara hak dan kewajiban selalu diperhatikan. Hak-hak itu secara terperinci diuraikan dalam deklarasi tersebut, dan di Indonesia secara konstitusional dicantumkan pokok-pokoknya dengan latar belakang semangat kekeluargaan. Di dalam Negara Indonesia sebagai Negara Hukum, hak-hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban warga Negara diatur pelaksanaannya dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dan dalam pasal-pasal dari batang tubuh UUD 1945.

Seperti kita ketahui, dalam alinea pertama dari pembukaan UUD 1945 dinyatakan tentang hak kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa di dunia, maka oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menetapkan, bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sedang


(55)

 

dalam ayat (2) pasal tersebut menetapkan, bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Selanjutnya dalam pasal 28 UUD 1945 diatur tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan sebagainya yang ditetapkan oleh undang-undang. Jaminan tentang kemerdekaan memeluk agama ditentukan dalam pasal 29 UUD 1945 ayat (2) berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Hak-hak dalam pembelaan negara diatur dalam pasal 30 UUD 1945 yang dalam ayat (1) berbunyi : Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Yang dimaksud dengan “pembelaan negara” disini, dengan istilah sekarang dapat di maksudkan dengan “pertahanan dan keamanan nasional”.

Kemudian hak-hak asasi di bidang Kesejahteraan Sosial sesuai dengan sila V Pancasila, diatur dalam pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


(1)

itu ada beberapa hal yang harus dilakukan termasuk menghilangkan bisnis TNI yang formal, informal maupun yang illegal.

Lampiran 2

Wawancara dengan M. Fadly Sudiro (Task Force Security Sector Reform Community di kantor SSRC pada 5 Mei 2010 pukul 12.00 WIB.

Penulis (P) : Bisa di jelaskan sedikit, kira-kira concernnya SSRC ini kemana? Narasumber (N) : SSRC adalah Security Sector Reform Community yang di

bentuk bulan Oktober 2009 untuk tingkatan Sumatera Utara yaitu Komunitas Reformasi Sektor Keamanan yang konsen pada isu Reformasi Sektor Keamanan. Apakah itu terkait TNI ataupun Polisi, Satpol PP ataupun birokrasi-birokrasi pemerintahan yang memang mempunyai hubungan langsung kebijakannya terhadap keamanan masyarakat itu sendiri. Itu SSRC.

P : Langkah pergerakan SSRC?

N : SSRC fokus pada tingkatan monitoring, kajian, diskusi dan penelitian tentang reformasi sektor keamanan. Karna kalau KontraS mungkin fokus pada investigasi dan advokasi di lapangan. Kalau kita tidak melakukan pendampingan langsung, menurut kelembagaannya. Jadi bagaimana kawan-kawan misalnya di Jakarta bisa menciptakan legal drafting, regulasi sebagai acuan atau kemudian pengajuan. Seperti ini loh, legal drafting tentang UU TNI misalnya, UU Polri berbasis HAM. Itu kawan-kawan yang menggoalkan pada tingkatan teoritiknya. Bukan pada pada tingkatan basis


(2)

pendampingannya. ( Perbedaan KontraS dan SSRC) Antara hulu dan hilir. Kalau hulu itu kebijakan, hilir itu di lapangan.

P : Pandangan SSRC tentang Reformasi TNI?

N : Reformasi TNI kalau dilihat dari 3 aspek apakah itu struktural, regulasi ataupun kultural. Kalau kultural berbicara tentang etika, regulasi tentang perundang-undangan apa yang mendukung terhadap reformasi seperti Tap MPR No. VI atau VIII tentang Pemisahan TNI dan Polri, struktural berbicara bagaimana posisi kedudukan sistem penempatan antara panglima dan lain sebagainya apakah berada di bawah Presiden ataupun Dephan.

P : Pandangan tentang perjalanan Reformasi TNI?

N : Kalau regulasi, sudah ada catatan signifikan pasca reformasi, dwi fungsi ABRI secara positif sudah tidak ada, ketidakaktifan TNI langsung dalam politik praktis sudah tidak ada. Tapi, dalam implementasinya masih ada TNI yang aktif, masih mencalonkan diri dalam pilkada padahal dalam UU tidak boleh. Jadi, tinggal bicarapada tingkatan implementasi. Bisnis militer juga begitu, seharusnya dalam regulasi sudah diatur, lima tahun pasca terbentuknya UU No.34/2004 harusnya sudah selesai penarikannya bisnis militer kepada pemerintah sehingga TNI tidak sibuk-sibuk lagi mengurusi masalah bisnis tapi fokus apada tingkatan pertahanan dan keamanan negara. Ini tahun 2010, seharusnya di 16 Oktober 2009 sudah selesai tapi sampai sekarang belum selesai.

P : Pandangan tentang Pelanggaran HAM?

N : HAM sendiri terbagi dua secara umum, Sipil Politik (Sipol) dan Ekonomi Sosial Budaya (Ekososbud). Pasca reformasi, temanteman gerakan melihat pelanggaran HAM pada Sipil Politik yang bersifat langsung terhadap tindakan-tindakan kekerasan, penyiksaan dan sebagainya dalam TNI bisa di bilang sangat minim. Karena keterbatasan porsi TNI dalam porsi-porsi sipil, dulu kan dia (TNI,red) mempunyai hak sehingga dalam data yang di buat pasca reformasi sekarang Polisilah yang dominan dalam pelanggaran HAM


(3)

dalam tingkatan pelanggaran HAM tidak besar. Sipol relatif jarang, karena TNI tidak berhadapan langsung dengan sipil saat ini. Kalau berbicara Ekososbud , ini berbicara tentang bisnis militer. Ketika mereka menjadi pembeking perusahaan atau kasus-kasus illegal logging yang ada di Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan. Itupun mereka berada pada porsi internal di kawasan hutannya. Tidak di luar, kalau pengamanan dalam illegal logging hutan, tentara bisa turun. Dan itu kawan-kawan Walhi punya data di Tapsel, itu real menggunakan truk TNI mengangkut kayu-kayu illegal logging. P : Jadi, pada tingkatan sipil. TNI sekarang tidak masuk ke pelanggaran HAM? N : Pada tingkatan sipil, mungkin belum. Karena belum ada ruang untuk mereka

masuk, karena sekarang masalahnya sipil di tangani oleh Polisi, kurang lebih itu, jadi pembatasan regulasi terhadap porsi mereka dalam konteks pertahanan misalnya, ternyata tidak bisa mereka masuk pada tingkat keamanan yang pada sipil. Ini sangat membatasi ruang mereka, ketika mereka masuk menyalahi peraturan kode etik mereka.

P : Jadi, apakah benar hanyalah bisnis militer yang mengakibatkan pelanggaran HAM di Sumatera Utara?

N : Untuk saat ini, mungkin kalau saya lihat baru itu. Dan imbasnya memang Ekososbud bisa lari ke Sipol seperti kekerasan dan sebagainya. Ini perubahan tipologi pelanggaran HAM. Karena illegal logging (bisnis militer,red) berbicara tentang kesejahteraan TNI yang belum selesai, makanya mereka melakukan pengsejahteraan terhadap mereka sendiri, dengan alasan klasik bahwasanya anggaran negara tidak mencukupi untuk kesejahteraan mereka. P : Apa itu saja faktornya sehingga TNI melakukan pelanggaran HAM?

N : Ini faktor riil, makanya kemudian berbicara tentang profesionalitas salah satunya masalah kesejahteraan TNI, itu yang menjadikan mereka mengalibikan secara klasik bisnis militer untuk membackup kesejahteraan mereka. Tapi ternyata, dari penelitian kawan-kawan di lapangan, bisnis militer tidak menjawab tentang kesejahteraan di tingkat bawah, tapi di


(4)

tingkatan perwira, prajurit tidak kena. Ini akan menjadi komoditas kaum-kaum elit di tingkatan Jendral, yah Mayor keatas, pada kalangan prajurit tidak signifikan juga. Jadi, bisnis militer bukan jawaban terhadap kesejahteraan TNI.

P : Pandangan terhadap Reformasi TNI di Sumatera Utara?

N : Kalau di Sumut dalam pengamatan kami, bukan hanya dalam tingkatan pelanggaran HAM saja, tetapi juga pada tingkatan kewenangan tugas pokok dan fungsi, bahkan dari arogansi aparat TNI dengan Polisi di Sumatera Utara sangat tinggi gesekan resistensinya. Ada 2 kasus yang sangat menarik pada 4 bulan terakhir ini, seperti terjadi di bulan Februari 2010 bagaimana 9 marinir menghambat Kepolisian Belawan menangkap pengoplos minyak illegal. Ternyata usaha oplosan minyak itu yang backup adalah TNI, serta merta di

backup komandan mariner untuk mengeluarkan 3 orang oknum pengoplos

minyak ini dan polisi lepas tangan. Dan akhirnya disini berlaku impunitas atau kekebalan hukum terhadap masyarakat dan pembiaran yang dilakukan oleh TNI padahal itu bukan porsi dia. Juga seperti pembekingan judi di Labuhan Batu bulan Maret 2010, Polres menangkap oknum TNI, terus Polresta di serang oleh kurang lebih 18 orang tapi sudah diproses dan diperiksa. Inikan resistensi arogansi masih tinggi baik antar aparat dan baik secara kultural antar pribadi. Jadi, reformasi bukan hanya di lihat dari pelanggaran HAM saja, tapi banyak aspek lain, berbicara tentang profesionalitas, gugus tugas, tugas dan fungsi, bicara masalah kesejahteraan mereka, bisnis militer bagaimana alurnya, peradilan militer bagaimana transparasinya ketika TNI melakukan tindak pidana.

P : Kendala-kendala dalam Reformasi TNI?

N : Kendalanya adalah eksklusifitas TNI. Ini sangat tergambar dalam masalah penguasaan data. Jadi bukan karna Polisi terbanyak disini (menunjuk tabel,red) yang melakukan pelanggaran HAM, belum tentu. Kita ketahui bahwa pembekingan di daerah Sumatera Utara seperti judi, togel atau usaha-usaha illegal banyak di backup oleh TNI. Tapi karena expose yang ekslusif


(5)

dan media yang tidak bisa masuk dalam ranah itu. Karena TNI belum membuka dirinya untuk bisa ter-expose itu menjadi masalah. Kesadaran TNI bahwa mereka berada di bawah reformasi sipil belum selesai. Masih ada

phobia pasca reformasi, dulu mereka berkuasa dan ketika ini akan di usik,

mereka merasa terganggu. Jadi itu yang menjadi masalah terbesar. Mereka tidak siap untuk menjadi bagian dari perubahan sipil. Bahwa sipil ingin merubah dan menjadikan mereka sejahtera dengan konsep sipil. Karena yang bisa mendorong kesejahteraan TNI bukan TNI itu sendiri tetapi masyarakat sipil.

P : Hal-hal apa yang harus dilakukan oleh TNI?

N : ada tiga konsep yang kemudian agak sedikit efektif.

Pertama, leadership/kepemimpinan. Bisa dilakukan oleh TNI karena pola

perintah TNI berdasarkan garis komando. Ketika sang komandan bisa membuka diri untuk lebih luwes, untuk lebih dialogis, untuk lebih transparan dan akuntabel, akan membuka ruang untuk anggotanya lebih terbuka.

Kedua, kultur personal. Pribadi masing-masing TNI untuk mereka sadar bahwa mereka bukan bagian yang lain dari masyarakat sipil. Kalau ada masalah, share-kan kepada publik melalui medianya. Ntah itu LSM atau DPR. Inikan belum pernah terjadi.

Ketiga, sistem. Masalah sistem, sistem ini mau dibawa kemana?

P : Berarti kemungkinan antara kepemimpinan dengan profesionalitas pada Reformasi TNI sangat erat?

N : kalau untuk sampai saat ini, kurang lebih bisa di bilang 90% prajurit tingkat bawah yang hanya menjalankan kebijakan legislasi. Tergantung kelas-kelas elitnya, selama Presiden sebagai Panglima Tertinggi masih seperti itu statusnya. Belum langsung di bawah Dephan, walaupun secara kelembagaan di bawah Dephan tapi secara kepemimpinan di bawah Presiden. Ini selama Eksekutif tidak serius untuk menangani profesionalitas TNI karena 90% saya


(6)

rasa prajurit yang menjalankan, apapun disuruh kebijakan Undang-Undang, kebijakan Eksekutif, mereka menjalankan itu apapun perintah komandan. Sisanya itulah, tingkat elit yang kadang mencampurbaurkan mana yang menjadi profesionalitas pertahanan misalnya. Seperti kasus Ambalat, itukan mediumnya adalah Angkatan Laut kalau misalnya kita melakukan pertahanan, tapi kita modelnya melakukan perangnya gerilya Angkatan Darat,

yah kalah kita sama Malaysia. Profesionalitas inikan harus dijamin, kalau

tidak di latih dengan baik belum lagi masalah fasilitas prasarana alutsista yang belum jelas sampai sekarang, SDM juga sangat jauh, kenapa? Alat-alat tidak ada, kemudian juga sibuk bisnis dan sebagainya ini juga akan sangat sulit. Jadi, fungsi utama sebagai pertahanan negara dalam jangka panjang, bukan hanya berbicara pertahanan dalam konteks perang saja, pada tingkatan virus dan lain sebagainya itu saya rasa akan menjadi concernnya TNI sebenarnya. Virus apa, flu babi atau apapun itu di negara lain itu menjadi