Tahap ketiga IDENTITAS PRIBADI

Di samping itu larangan yang berlaku secara adat juga tetap berjalan. Orang yang menurut syara’ boleh melangsungkan perkawinan, seperti kerabat dalam hubungan sesuku, tidak dapat dilangsungkan atas dasar larangan adat dengan sanksi yang berat dalam satu-satu negeri. Dengan demikian tampak bahwa orang Minangkabau menjalankan dua aturan dalam melakukan pernikahan mngenai ketentuan larangan kawin. Yaitu menjalakan ketentuan agama dan ketentuan adat. Dengan demikian pada waktu melaksanakan agama dengan sendirinya juga melaksanakan tuntutan adat.

3. Tahap ketiga

Dalam tahap ketiga, apa yang dapat dicapai dalam tahap penyiaran Islam sebelumnya walaupun sudah banyak, namun masih dianggap kecil artinya oleh suatu kelompok penyiar agama yang datang kemudian. Di samping jumlah pengikut Islam telah merata di Minangkabau, tetapi perbuatan yang dianggap maksiat oleh ajaran Islam masih banyak berlaku. Adat lama masih banyak yang bertahan walaupun di sana sini sudah banya dimasuki unsur ajaran Islam. Kelompok yang agama yang tidak puas tersebut ingin mengadakan pemurnian Islam di segala bidang dan tidak ingin menempuh cara kompromi yang ditempuh oleh ulama sebelumnya. Pada waktu itu adalah tiga orang Haji asal Minangkabau yang baru pulang dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Selama di Mekkah mereka memperhatikan cara pemurnian Islam yang dilakukan oleh sekolompok Universitas Sumatera Utara pembaru yang disebut Wahabi. Mereka ingin melaksanakan apa yang telah mereka lihat di Mekkah itu di negeri mereka itu sendiri. Akhirnya terjadi konflik antara pemuka adat dengan pemuka agama. Dimana pemuka adat ingin tetap mempertahankan adat, sedangkan pemuka agama ingin pemurnian Islam. Dalam konflik ini pemuka agama banyak mendapat hasil dari apa yang mereka usahakan, terutama dalam usaha menghapus dan memberantas kebiasaan serta tingkah laku yang di anggap maksiat oleh ajaran Islam. Walaupun kemudian kaum Padri 111 dapat dikalahkan oleh oleh kolonis Belanda. Konflik terbuka ini berakhir dengan suatu kesepakatan yang dicapai antara pemuka adat dengan pemuka agama yang diadakan di bukit Marapalam. 112 kesepakatan anatara golongan adat dengan golongan agama bahwa di ranah Minang berlaku “Adat bersandi syara, syara bersendi Kittabullah Syara’mengata, adat memakai” Rumusan ini adalah puncak dari apa yang dapat dicapai dalam proses penyiaran Islam tahap ketiga ini. Pada tahap kedua adat dan syara’ saling menyandar dan saling mempengaruhi. Penyesuaian adat denga syara’ hanya dalam batas 111 . Padri adalah gerakan pemurnian ajaran agama atau gerakan pemurnian ajaran Islam 112 . Muhsyir Zainuddin, Implementasi Pemerintah Nagari Berdasarkan Hak Asal-Usul Adat Minangkabau, Ombak, Yogyakarta, 2008, hal. 75-76. Universitas Sumatera Utara tertentu, sedangkan dalam batas lain tetap adat yang berjalan. Dengan rumusan yang dicapai di bukit Marapalam, seperti yang tersebut diatas berarti bahwa adat seluruhnya menyesuaikan diri dengan syara’ dan syara yang dimaksud di sini bukan syara’ dalam pandangan adat, tetapi syara’ yang berlandaskan kitab Allah. Rumusan tersebut berarti bahwa ajaran agama telah mewarnai tingkah laku dan amal perbuatan suku Minangkabau. Tingkah laku dan kebiasaan yang telah melembaga itu dasar atau sendinya adalah ajaran agama. Rumusan adat tersebut memberi petunjuk bahwa yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau adalah hukum syara’. Dalam pelaksanaanya hukum syara’ itu terkandung arti bahwa masyarakat Minangkabau juga telah melaksanakan adatnya. Inilah penyatuan adat dengan syara’ dalam bentuknya yang paling sempurna. Contoh paling sederhana dengan perkembangan ketiga ini adalah dalam hal perkawinan. Dimana suatu pernikahan yakni secara adat adalah pelaksanaan perkawinannya, sedangkan secara agama Islam adalah sahnya suatu akad nikah.

C. Persintuhan Antara Adat Minangkabau Dengan Hukum Islam Mengenai Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Jika kita berbicara mengenai hak dan kewajiban dalam rumah tangga akibat dari suatu perkawinan adalah adanya hak-hak yang diperoleh oleh seorang suami Universitas Sumatera Utara terhadap isterinya, demikian pun sebaliknya adanya hak-hak yang timbul dalam suatu ikatan perkawinan yang diperoleh oleh isteri dari suaminya. Selain hak-hak yang diperoleh dalam keluarga antara suami dan isteri ada pula kewajiban-kewajiban yang timbul dari ikatan suatu perkawinan. Kewajiban- kewajiban tersebut saling timbal balik antara suami isteri. 113 Hak dan kewajiban dalam keluarga adalah berimbang atau timbal balik antara suami dan isteri yang menimbulkan kedudukan antara suami dan isteri dalam keluarga. Jika kita berbicara mengenai kedudukan suami dan isteri dalam rumah tangga antara ketentuan yang mengatur mengenai kedudukan suami dan isteri dalam pasal 79 Kompilasi Hukum Islam dengan hukum adat Minangkabau terdapat perbedaan. Seperti yang kita ketahui dalam hukum Islam, isteri dan suami mempunyai kedudukan yang sama dalam keluarga, namun kedudukan suami setingkat lebih tinggi dari kedudukan isteri Dalam hukum adat Minangkabau kedudukan isteri dalam rumah tangga adalah memelihara anak keturunanya. Dimana anak keturunannya tersebut adalah penerus dari klan si isteri. Ini di dasarkan pada, bahwa dalam hukum kekerabatan Minangkabau menganut sistem keturunan matrilineal. Di mana garis keturunan di tarik melalui garis ibu, bukan dari garis ayah. Artinya anak adalah keturunan ibu dan klan ibunya atau kerabat ibunya. 113 . Air Syarifuddin, Op.cit, hal. 159. Universitas Sumatera Utara Peranan laki-laki sebagai urang sumando di rumah istrinya adalah lemah sekali. Ia tidak dibebani tanggung jawab ekonomi terhadap isteri dan anak-anaknya. Kedatangannya ke rumah itu hanya pada waktu malam, sisa dari waktu yang dipergunakannya di rumah ibunya. Inilah sebabnya tidak intimnya hubungan ayah dengan anak-anaknya. Sehingga akibat dari sistem matrilineal dalam hukum adat Minangkabau tersebut, mengakibatkan kedudukan wanita dalam keluarga lebih dari suami. Terutama dalam hal pengurusan anak. Dalam hukum adat Minangkabau suami tidak mempunyai kedudukan dalam keluarga, suami hanya tamu terhormat di dalam klan isterinya. Di karenakan suami tetap berada di dalam klan ibunya atau klan asalnya dan suami lebih banyak menghabiskan waktu di dalam klan asalnya atau klan ibunya. Sehingga suami dalam urusan keluarga mempunyai fungsi atau kedudukan dalam keluarga ibunya atau klan ibunya saja. Ini dikarenakan dalam perkawinan Minangkabau, suami di jemput dari klan ibunya untuk masuk atau tinggal dalam kaum atau kerabat isterinya. Namun suami tidak ikut serta dalam klan isterinya. Suami hanya tamu bagi keluaraga isterinya atau disebut dengan urang sumando. Sehingga mengakibatkan suami dalam kedudukannya dalam keluarga hanya sebagai tamu saja dalam keluarga isterinya. Isterilah mempunyai kedudukan dalam rumah tangga terutama dalam hal pengurusan anak. Suami mempunyai kedudukan dalam klan ibunya saja. Sebegai mamak dalam klan ibunya, dimana peran mamak Universitas Sumatera Utara dalam keluarga adalah untuk membimbing keluarga tersebut atau pemimpin dalam suatu klan pada masyarakat adat Minangkabau. Walaupun suami dalam keluarga tidak mempunyai kedudukan dalam masyarakat adat Minangkabau, tidak secara otomatis isteri adalah kepala keluarga. Isteri hanya mempunyai kedudukan dalam keluarga, terutama dalam hal pengurusan anak dan harta pusaka. Yang menjadi pemimpin dalam keluarga adalah mamak yang berasal dari klan isteri tersebut. Suami dalam hal kedudukan, mempunyai kedudukan keluar dalam keluarga. Artinya suami berperan dalam keluarga asalnya atau klan ibunya. Namun tidak mempunya hubungan atau kedudukan ke dalam dengan keluarga isterinya, karena suami adalah tamu di klan isterinya. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam hukum Islam, di mana suami dan isteri mempunyai kedudukan yang sama dalam keluarga. Bahkan suami mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi dalam keluarga. Maka dalam hal kedudukan suami isteri tidak terdapat persintuhan antara hukum adat Minangkabau dengan hukum Islam. Namun dalam perkembangannya, dengan masuknya Islam ke dalam masyarakat pola pikir masyarakat berangsur-angsur berubah dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga mulai di utamakan. Hal ini tampak pada mulanya seorang suami dalam masyarakat Minangkabau tidak ikut berperan dalam hal pengurusan anak. Tapi dengan masuknya Islam yang menyatakan suami adalah kepala keluarga dan ikut serta dalam hal pengurusan anak. Universitas Sumatera Utara Maka timbul kesadaran dari masyarakat Minangkabau untuk mengikat kan diri lebih jauh ke dalam keluarga intinya yaitu terhadap isteri dan anaknya. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, mengenai kedudukan suami yang awal mulanya hanya tamu di rumah isterinya, perlahan-lahan pandangan tersebut berubah. Disini persintuhan mulai tampak dimana suami dalam hal sebagai kepala keluarga menurut hukum Islam mulai di ikuti oleh masyarakat adat Minangkabau. Dengan demikian peran suami dalam keluarga ikut serta dalam hal harta pencaharian demi keluarga intinya. Ini juga berdampak pada hubungan antara suami dengan anak. Dimana pada awal mulanya suami lebih mempunyai hubungan keluar terhadap klan asalnya di bandingkan dengan keluarga intinya sendiri. Namun dengan masuknya Islam rasa malu dan kesadaran bagi seorang suami serta rasa tanggung jawab terhadap keluarga intinya mulai tampak. Dimana Islam mengajarkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan mempunyai tanggung jawab yang sama dengan isteri dalam hal pengurusan anak. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, harta menurut cara perolehannya ada lima yaitu harta pusaka, harta bawaan, harta tepatan, harta pencaharian dan harta suarang. Harta suarang adalah segala harta yang diperoleh suami isteri secara bersama selama berlangsungnya perkawinan. Harta suarang atau harta bersama sesuai dengan apa yang dinayatkan dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam, yaitu harta kekayaan dalam perkawinan baik yang diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-sama Universitas Sumatera Utara suami dan isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama. Harta suarang sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam, ini dikarenakan harta suarang itu mengandung beberapa unsur yaitu diperoleh selama perkawinan berlangsung, dengan cara usaha masing- masing suami dan isteri atau suami saja dan umumnya harta tersebut disatukan, baik suami dan isteri sama-sama bekerja maupun hanya suami saja yang bekerja. Dengan demikian antara hukum adat Minangkabau dengan hukum Islam mengenai harta bersama terdapat persintuhan di antara keduanya.

D. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1. Kedudukan suami isteri

Dokumen yang terkait

Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

6 131 125

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM

0 9 14

Pengaturan Usia Perkawinan Dalam Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perspektif Politik Hukum Islam

0 6 177

NIKAH TAFWIDH MENURUT HUKUM ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

1 5 1

Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau.

0 1 1

PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR ANTARA HUKUM ADAT MADURA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMER 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 6 38

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT SERTA KOMPILASI HUKUM ISLAM SKRIPSI

0 0 13

TESIS PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM KANONIK KATOLIK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 0 14

BAB IV ANALISIS PENGATURAN USIA PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERSPEKTIF POLITIK HUKUM ISLAM - Pengaturan Usia Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perspektif Politik Hukum Islam. - Ra

0 0 37