anak. Anak merupakan generasi penerus dari sebuah keluarga, agar keluarga tersebut tidak punah.
Sistem perkawinan pada masyarakat Minangkabau bersifat Eksogami, yaitu suatu sistem perkawinan dimana orang harus kawin dengan anggota klan yang lain
atau dengan kata lain seseorang tidak boleh kawin dengan anggota seklan. Sistem perkawinan yang bersifat eksogami pada masyarakat Minangkabau
menghasilkan bentuk perkawinan semendo. Kedua belah pihak atau salah satu pihak yang menikah itu tidak lebur ke dalam kaum kerabat pasangannya, karena
berdasarkan struktur masyarakat Minangkabau setiap orang adalah warga kaumnya masing-masing, walaupun telah diikat oleh perkawinan tersebut
86
. Anak yang lahir dari hasil perkawinan tersebut menjadi anggota kaum ibunya,
sehingga siayah tidak perlu bertanggungjawab terhadap kehidupan anak-anaknya dan kehidupan rumah tangga.
Akibat dari bentuk perkawinan semendo, sangat mempengaruhi hal-hal sebagai berikut :
1. Kedudukan suami isteri
Dalam ikatan perkawinan, si isteri sendiri tidak meleburkan diri ke dalam ikatan tersebut. Dia tetap bebas memiliki harta dan hak-hak yang lepas dari harta dan
hak-hak suaminya, karena secara hukum dia adalah bagian dari keluarga ibunya bukan suaminya.
86
A.A. Navis, Op.cit. hal.193.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk perkawinan semendo ini tidak menciptakan keluarga inti nuclear family yang baru, sebab suami atau isteri masing-masing tetap menjadi anggota dari
garis keturunan mereka masing-masing. Pembentukan keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak tidak
terdapat dalam struktur masyarakat Minangkabau, karena masyarakat Minangkabau menganut prinsip garis keturunan Matrilineal, dimana ayah dan anak-anaknya bukan
merupakan satu keluarga, dia hanya dianggap sebagai tamu dalam keluarga yang tujuannya untuk memberikan keturunan bagi kerabat isterinya. Tempatnya yang sah
adalah dalam garis keturunan ibunya, dimana dia adalah wali dari garis keturunannya dan pelindung atas harta benda kaumnya itu, walaupun ia harus menahan dirinya dari
menikmati hasil tanah kaumnya karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya.
Sebagai tamu atau urang sumando di rumah isterinya, pada hakikatnya dia tidak dibebani dengan tanggungjawab apapun dan tidak mempunyai kekuasaan penuh
terhadap isteri dan anak-anaknya. Segala kebutuhan hidup bagi isteri dan anak- anaknya diberikan oleh keluarga isterinya, namun hati nuraninya dan perasaan takut
dipandang rendah oleh masyarakat sekelilingnya mendorong dia memberi nafkah kepada isterinya.
Ikatan yang lemah antara suami dan isteri serta anak-anak ini, akan lebih jelas terlihat apabila si laki-laki berpoligami sehingga lebih jarang bertemu dengan anak-
anaknya karena harus bergilir mengunjungi isteri-isterinya, dan ikatan ini tambah
Universitas Sumatera Utara
berkurang lagi apabila terjadi perceraian, sehingga dia akan lebih jarang lagi bertemu dengan anak-anaknya.
Sehingga akibat dari sistem matrilineal dalam hukum adat Minangkabau tersebut, mengakibatkan kedudukan wanita dalam keluarga lebih dari suami.
Terutama dalam hal pengurusan anak. Dalam hukum adat Minangkabau suami tidak mempunyai kedudukan dalam
keluarga, suami hanya tamu terhormat di dalam klan isterinya. Di karenakan suami tetap berada di dalam klan ibunya atau klan asalnya dan suami lebih banyak
menghabiskan waktu di dalam klan asalnya atau klan ibunya. Sehingga suami dalam urusan keluarga mempunyai fungsi atau kedudukan dalam keluarga ibunya atau klan
ibunya saja. Ini dikarenakan dalam perkawinan Minangkabau, suami di jemput dari klan
ibunya untuk masuk atau tinggal dalam kaum atau kerabat isterinya. Namun suami tidak ikut serta dalam klan isterinya. Suami hanya tamu bagi keluaraga isterinya atau
disebut dengan urang sumando. Sehingga mengakibatkan suami dalam kedudukannya dalam keluarga hanya
sebagai tamu saja dalam keluarga isterinya. Isterilah mempunyai kedudukan dalam rumah tangga terutama dalam hal pengurusan anak. Suami mempunyai kedudukan
dalam klan ibunya saja. Sebegai mamak dalam klan ibunya, dimana peran mamak dalam keluarga adalah untuk membimbing keluarga tersebut atau pemimpin dalam
suatu klan pada masyarakat adat Minangkabau.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun suami dalam keluarga tidak mempunyai kedudukan dalam masyarakat adat Minangkabau, tidak secara otomatis isteri adalah kepala keluarga.
Isteri hanya mempunyai kedudukan dalam keluarga, terutama dalam hal pengurusan anak dan harta pusaka. Yang menjadi pemimpin dalam keluarga adalah mamak yang
berasal dari klan isteri tersebut. Suami dalam hal kedudukan, mempunyai kedudukan keluar dalam keluarga.
Artinya suami berperan dalam keluarga asalnya atau klan ibunya. Namun tidak mempunyai hubungan atau kedudukan ke dalam dengan keluarga isterinya, karena
suami adalah tamu di klan isterinya. Sebagai tamu atau urang sumando di rumah isterinya, pada hakikatnya dia
tidak dibebani dengan tanggung jawab apapun dan tidak mempunyai kekuasaan penuh terhadap isteri dan anak-anaknya. Segala kebutuhan hidup bagi isteri dan anak-
anaknya diberikan oleh keluarga isterinya, namun hati nuraninya dan perasaan takut dipandang rendah oleh masyarakat sekelilingnya mendorong dia memberi nafkah
kepada isterinya.
2. Hubungan orang tua dengan anak