Perbenturan yang berarti antara adat Minangkabau dengan Islam pada waktu mulanya penyiarannya adalah dalam bidang sosial, khusunya yang menyangkut
sistem kekerabatan yang menetukan bentuk perkawinan, pergaulan dan kediaman Dalam bidang sosial yang khusus itu, adat mempunyai prinsip yang menurut
lahirnya berbeda dengan ajaran Islam. Adat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, sedangkan Islam walaupun menurut petunjuk Al-Qur’an
adalah parental tetapi dipahami menurut patrilienal oleh sebagian dia antara mujtahid terdahulu disampaikan oleh pembawanya ke Minangkabau dalam pemahaman
demikian. Oleh karena kedua belah pihak berbeda dalam prinsip, maka persintuhan dan
penyesuaian berlangsung lama dan berlarut-larut. Dalam masa yang panjang menuju ke dalam bentuk yang terpadu dan serasi itu, berlakulah tahap-tahap sebagaimana
dijelaskan berikut ini, yaitu :
110
1. Tahap pertama
Dalam tahap pertam adat dan syara hukum Islam berjalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling mempengaruhi. Hal ini berarti bahwa
masyarakat Minangkabau menjalankan agamanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi yang menyangkut kehidupan sosial, adat lama masih tetap
berlaku. Tahap berjalan sendiri-sendiri yang merupakan proses pertama penyiaran Islam
ini dalam pepatah adat dinyatakan dengan ucapan:
110
. Amir Syarifuddin, Ibbid hal 173-174.
Universitas Sumatera Utara
“ adat bersendi alur dan patut dan syara’ bersandi dalil.”
Dalam pepatah adat ini menunjukkan bahwa adat dan syara hanyalah dua unsur yang tidak saling berhubungan. Orang Islam dalam hubungannya dengan agama
berpedoman kepada kitab A-l-Qur’an dan Hadits, tetapi dalam kehidupan sosial pedomannya adalah adat.
2. Tahap kedua
Dalam tahap kedua, salah satu pihak menuntut haknya pada pihak lain hingga keduannya sama-sama diperlukan tanpa menggeser kedudukan yang lain,
bahkan dalam pelaksanaannya, salah satu diantaranya menyandar pada pihak yang lain. Hal ini tergambar dalam pepatah adat, “ adat bersendi saya ’dan
syara’ bersendi adat”. Hal ini menunjukkan periode kedua dalam proses penyiaran Islam di Minangkabau. Pepatah adat mengandung arti bahwa adat
dan syara saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam tahap kedua ini proses penyiaran mengandung arti bahwa bangunan lama
tetap berlangsung sedangkan bangunan baru diterima adanya oleh adat. Dalam beberapa hal penyesuaian ini memberatkan kepada pihak yang
melaksanakannya, karena pada waktu yang sama harus mematuhi dua tuntutan yang berbeda yaitu tuntutan adat dan tuntutan syara.
Dua tuntutan yang harus dipenuhi tersebut dapat kita lihat dalam hal larangan kawin, dimana adat menerima batas-batas sebagaimana ditentukan oleh syara.
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu larangan yang berlaku secara adat juga tetap berjalan. Orang yang menurut syara’ boleh melangsungkan perkawinan, seperti kerabat dalam
hubungan sesuku, tidak dapat dilangsungkan atas dasar larangan adat dengan sanksi yang berat dalam satu-satu negeri.
Dengan demikian tampak bahwa orang Minangkabau menjalankan dua aturan dalam melakukan pernikahan mngenai ketentuan larangan kawin. Yaitu
menjalakan ketentuan agama dan ketentuan adat. Dengan demikian pada waktu melaksanakan agama dengan sendirinya juga melaksanakan tuntutan adat.
3. Tahap ketiga