Jenis – Jenis Sengketa Pada Masyarakat Batak Toba 1. Sengketa di Bidang Hubungan Kekeluargaan 1.1. Sengketa di bidang warisan

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Batak Toba di kota Medan dimana penelitian ini dilakukan, sangat erat karena lembaga Dalihan Natolu tersebut memiliki peran sebagai unsur penggerak utama dari terwujudnya praktek proses penyelesaian sengketa alternatif tersebut.

B. Jenis – Jenis Sengketa Pada Masyarakat Batak Toba

Banyak sengketa yang terjadi di dalam masyarakat Batak Toba, namun tidak keseluruhan sengketa yang terjadi tersebut dapat diselesaikan lewat Penyelesaian Sengketa Alternatif ini. Sengketa yang dapat diselesaikan lewat lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif ini umumnya adalah sengketa yang bersifat adanya perundingan atau musyawarah untuk mencapai suatu mufakat bersama kearah perdamaian demi kepentingan seluruh pihak yang terkait di dalamnya. Untuk kasus sengketa yang tidak dapat dilakukan perundingan kembali karena berbagai hal serta sengketa yang diakibatkan suatu tindak pidana yang berhubungan langsung dengan nyawa manusia misalnya tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan lewat Penyelesaian Sengketa Alternatif, satu - satunya jalan adalah menyelesaikan lewat proses Litigasi di lembaga Pengadilan, kecuali para Pihak yang bersengketa tersebut biasanya pihak korban atau keluarga yang menjadi korban tindak pidana tersebut rela dan mau sengketa yang mereka alami dibawa kearah perdamaian lewat musyawarah. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Masalah atau jenis sengketa yang pada umumnya dapat diselesaikan lewat lembaga penyelesaian sengketa alternatif, khususnya dalam masyarakat Batak Toba di Kota Medan adalah :

B. 1. Sengketa di Bidang Hubungan Kekeluargaan 1.1. Sengketa di bidang warisan

Sengketa waris sering terjadi setelah Pewaris wafat dan orang-orang tua kebanyakan juga sudah meninggal dunia. Penyebabnya adalah anggota masyarakat masa kini sudah lebih banyak dipengaruhi alam pikiran serba kebendaan materilialistis sebagai akibat dari kemajuan zaman dan timbulnya banyak kebutuhan hidup mengakibatkan nilai – nilai, rasa malu, rasa kekeluargaan dan tolong menolong sudah semakin surut. Apabila terjadi sengketa harta warisan maka biasanya semua anggota keluarga pewaris almarhum berkumpul atau dikumpulkan oleh salah seorang anggota waris yang berwibawa bertempat dirumah pewaris. Pertemuan dapat dipimpin oleh anak tertua lelaki atau oleh paman saudara ayah atau saudara ibu menurut susunan kekerabatan bersangkutan ataupun oleh juru bicara yang ditunjuk dan disetujui bersama para anggota keluarga yang hadir. 45 Hal yang sering terjadi dalam hal sengketa waris adalah timbulnya sengketa antara janda Pewaris, terhadap keluarga besarkerabat Pewaris dalam hal ini mertua dan para ipar yang merasa bahwa keluarga besar kerabat si Pewaris yang paling berhak terhadap harta perkawinan yang dihasilkan selama perkawinan antara Pewaris dan isterinya, daripada si janda Pewaris sendiri, apalagi bila selama 45 H. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. VII – 2003, hal. 117 Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. perkawinan mereka si Janda tidak memberikan keturunan bagi Pewaris yang telah meninggal tersebut. Padahal kita ketahui bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan disebut sebagai harta bersama karena si Janda turut andil dalam perolehan harta, walau ia tidak turut mencari, namun peran sertanya dalam perolehan harta selama perkawinan tidak perlu dipertanyakan hingga Janda Pewaris yang paling berhak terhadap harta peninggalan tersebut daripada keluarga besar atau kerabat si Pewaris sendiri. Hal tersebut didasarkan pada dasar hukum Undang-undang Perkawinan dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 jo. Jurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 100 tahun 1967, yang isinya sebagai berikut : a. Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” b. Jurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 100 tahun 1967 : “Tidak dipersoalkan siapapun yang menghasilkan harta tersebut, selama harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya ” Permasalahan lainnya adalah timbulnya perebutan waris di antara keturunan Pewaris terhadap harta yang ditinggalkan. Dalam tradisi adat Batak, di kampung halaman, tiap anak laki-laki yang menikah, akan didirikan di tanah adat mereka rumah tempat tinggal untuk anak yang menikah tersebut agar anak tersebut mandiri istilahnya ‘Dipajae’, demikian seterusnya hal tersebut terjadi sejak anak pertama siakkangan menikah hingga pada adik-adiknya. Namun, untuk anak lelaki paling kecil siampudan orang tua mereka tidak lagi mendirikan rumah untuk tempat tinggalnya karena rumah tempat tinggal mereka selama inilah yang kemudian diberikan untuk bagiannya panjaeannya dan dirumah Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. tersebutlah kemudian ia tinggal, bersama dengan orang tuanya sebelum orang tuanya meninggal, dan setelah orang tuanya meninggal maka rumah tersebut kemudian menjadi miliknya secara pribadi sebagaimana rumah lain yang didirikan orang tua mereka terhadap abang – abangnya menjadi milik abang-abangnya tersebut sejak rumah tersebut didirikan orang tua mereka untuk mereka masing-masing . 46 Hal tersebut dapat terjadi karena system kekeluargaan masyarakat Batak Toba yang patrilinel yang dirasa merugikan keberadaan perempuan baik si Janda Pewaris maupun anak perempuannya. Hal lainnya adalah bahwa Budaya hukum dan Tradisi atau adat ini tetap diakui masyarakat Batak Toba hingga saat ini bahkan jika mereka kemudian merantau ke daerah lain yang bukan lagi berstatus tanah adat sebagaimana di kampung halaman. Hal tersebut kemudian memicu pertengkaran anak-anak Pewaris, dimana masing-masing merasa paling berhak atas harta peninggalan Pewaris, padahal adat tersebut tidak dapat lagi diberlakukan karena peninggalan Pewaris yang didirikan bukan lagi di tanah adat mereka, tidak lagi bernilai adat namun telah bernilai ekonomis, hingga harta tersebut harus dibagi sesuai bagian masing-masing bukan untuk dikuasai secara individu.. Hal lainnya adalah sengketa antara anak perempuan si Pewaris terhadap saudara laki-lakinya serta keluarga besar atau kerabat si Pewaris dalam hal ini adalah nenek maupun Pamannya. Hal ini sering terjadi pada masyarakat Batak di manapun, karena system kekeluargaan masyarakat Batak yang Patrilineal menutup celah atau kemungkinan untuk anak perempuan memperoleh bagian hak waris dari orang tuanya. 46 Salmon Ramber Raja Nalu ; Ketua Perkumpulan Rambe Raja Nalu Sekota Medan ; dalam wawancara pada tanggal 21 Juli 2009 dan J. Sigalingging ; Ketua Perkumpulan Marga Sigalingging ; dalam wawancara pada tanggal 22 Juli 2009 Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. sub budaya hukum masyarakat Batak Toba yang tidak memberi jaminan keadilan kepada perempuan. 47 Pemimpin berfungsi sebagai mediatorpenengah para pihak yang bersengketa. Pemimpin mengemukakan permasalahan, didahului nasihat bagi para pihak betapa pentingnya kerukunan hidup dan kedamaian dalam hidup kekeluargaan. Padahal sekarang ini telah ada putusan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan dasar hukum agar anak perempuan juga memperoleh bagian waris dari harta peninggalan orang tuanya. Adapun dasar hukum tersebut yaitu Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI No.179KSip1961, tanggal 1 Nopember 1961 yang isinya : bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan. Putusan Mahkamah Agung selanjutnya No. 415 KSip1970, tanggal 30 Juni 1970, No. 1589 KSip1974,tanggal 9 Pebruari 1974 dan No. 459 K Sip1982 tanggal 15 Agustus 1982 yang menyatakan bahwa anak perempuan berhak mewaris atas harta waris peninggalan ayahnya. Sehingga dalam peristiwa ini, diadakan pertemuan para ahli waris dongan tubu, boru, hula-hula beserta Pengetua adat atau orang yang cukup disegani dalam masyarakat mereka untuk memimpin pertemuan. 47 Sulistyowati Irianto; Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum; Yayasan Obor Indonesia; Jakarta; 2005; hal. 292. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Pemimpin pertemuan juga harus mengupayakan agar seluruh pihak pada akhirnya berdamai dan pembagian waris dilakukan secara adil dan seluruh pihak baik anak laki-laki maupun anak perempuan si Pewaris dapat menerima bagian waris sesuai bagiannya masing-masing dan menikmati waris yang ditinggalkan oleh si Pewaris, serta untuk selanjutnya dapat hidup dalam suasana perdamaian dan kekeluargaan yang erat sebagaimana sebelumnya.

1.2. Sengketa di Bidang Perkawinan dan Perceraian

1.2.1. Sengketa atau perselisihan suami-isteri Sengketa ini dapat timbul apabila terjadi perihal perselingkuhan baik perselingkuhan yang dilakukan oleh si isteri maupun si suami. Hal lainnya adalah apabila si suami bertindak kasar melakukan tindak kekerasan pada isterinya maupun pada anggota keluarganya misalnya terhadap anak-anaknya. Sering juga perselisihan dalam rumah tangga timbul karena salah satu pihak melalaikan tugas dan tanggung jawabnya di dalam rumah tangga. Misalnya si Suami tidak menafkahi keluarganya, si isteri bersikap boros atau tidak mengurus keluarga dengan baik, si Suami suka berjudi, mabuk-mabukan, berfoya-foya, dan lain sebagainya. Dalam adat Batak tidak dikenal adanya istilah perceraian sehingga jika terjadi perceraian maka si isteri yang keluar dari rumah tersebut dan ia tidak akan dapat memperoleh apapun dari harta bersama selama pernikahan mereka. Sehingga di masa kini, banyak perempuan Batak memilih mempertahankan rumah tangga mereka apapun yang terjadi, namun jika ternyata tidak dapat dipertahankan juga, maka perempuan Batak lebih memilih untuk menyelesaikan perceraian mereka lewat Pengadilan agar ia tidak kehilangan hak atas anak-anak mereka bila dalam Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. perkawinan tersebut telah dikarunia anak serta terhadap perolehan harta bersama selama perkawinan berlangsung. 48 Jika isteri berselingkuh dengan laki-laki lain atau suami merasa bahwa isterinya tidak lagi setia padanya hingga timbul perselisihan maka selama persoalannya masih menggantung isteri bisa dikembalikan kepada bapaknya pinarhundul tu amana dan ia bisa menjadi perempuan yang diperselisihkan boru panggulutan , antara suami dan pihak keluarga isteri sebagai mertua laki - laki, dan sepanjang perselisihan masih berlangsung dan mereka masih berunding atau bermufakat dengan mediator sebagai penengah, maka isteri berada di tempat bapaknya untuk dinasehati oleh keluarga si isteri tersebut. Jika isteri diperlakukan Langkah pertama yang diambil dalam proses penyelesaian sengketa adalah salah satu pihak beserta dongan tubunya biasanya pihak yang dirugikan mendatangi pihak lainnya, duduk bersama dan bermusyawarah. Langkah berikutnya bila proses di atas tidak berhasil, dapat diikut sertakan Mediator yang dipilih dari Ketua Pengetua Adat, Raja Hata atau Ketua kelompok masyarakat yang disegani karena wibawa dalam perilaku keseharian hingga dinilai cakap dan mampu menyelesaikan sengketa. Jalan keluar terbaik yang dilakukan Mediator menasehati pihak yang bersalah dahulu baik Suamisteri , secara intern atau pribadi dan tertutup mediator dan pihak bersangkutan, lalu bermufakat kembali kedua belah pihak, menasehati agar berdamai dan menghindari perceraian. Si isteri lalu dikembalikan pada suaminya tersebut untuk bersatu kembali pada suaminya dan diharapkan setelah perdamaian dilakukan mereka dapat memperbaiki kembali hubungan yang sempat rusak dalam rumah tangga tersebut. 48 Salmon Ramber Raja Nalu ; Ketua Perkumpulan Rambe Raja Nalu Sekota Medan ; dalam wawancara pada tanggal 21 Juli 2009 Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. kasar oleh suaminya, maka parboru akan menuntut penyelesaian marlulu juga dengan bantuan mediator sebagai penengah . 49 a. dalam pernikahan tersebut tidak dikaruniai anak-anak atau keturunan anak laki-laki atau anak perempuan. Yang banyak terjadi pada masyarakat Batak adalah ketiadaan anak laki-laki Putera sebagai generasi penerusketurunan marga, sehingga si Suami ingin menikah lagi dengan perempuan lain, tanpa menceraikan isteri sebelumnya, sementara si Isteri tersebut tidak bersedia Dalam hal ini, pertemuan harus dipimpin oleh Mediator terutama kearah Perdamaian atau persatuan kembali suami isteri tersebut. Sebisa mungkin perceraian harus dihindarkan. Karena dalam hal terjadinya perceraian maka yang merasa paling dipermalukan adalah keluarga besar si Isteri sebagai Hula-hula di pergaulan masyarakat. Hal tersebut pasti akan menimbulkan aib bagi mereka, dan dalam jangka panjangnya berdampak besar pula pada psikologis Isteri, anak-anak hasil pernikahan mereka jika ada serta orang tua si Isteri sendiri sebagai.orang terdekat si Isteri tersebut. Karena di dalam lingkungan pergaulan mereka hal perceraian tersebut pasti akan dibicarakan khalayak dan akan terdengar oleh mereka baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan trauma psikologis tersendiri bagi mereka semua. 1.2.2. Sengketa yang mengakibatkan perceraian Parsirangan Padao – Dao Sengketa ini dapat timbul karena beberapa hal antara lain : 49 J.C. Vergouwen ; Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba; LKis Pelangi Aksara ; Yogyakarta; Cet. I – 2004; hal 253 Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. diperlakukan demikian Isteri tidak bersedia untuk dimadu oleh suaminya dengan alasan apapun b. dalam pernikahan tersebut sudah tidak ditemukan lagi kesamaan visi dan misi, serta kesamaan persepsi dan tujuan berumah tangga timbulnya perbedaan prinsip yang amat radikal di antara keduanya, yang kemudian mempengaruhi kestabilan rumah tangga mereka tersebut c. terdapatnya campur tangan dari pihak ketiga keluarga besar pasangan suami-isteri tersebut, baik dari pihak si suami maupun si isteri yang membuat hubungan suami-isteri mereka menjadi renggang dan rusak, sehingga mempengaruhi kestabilan rumah tangga tersebut. d. salah satu pihak atau bahkan ksduanya selingkuh baik berakhir dengan perzinahan atau tidak dan pasangannya tidak mampu untuk memaafkan prilaku pasangannya yang berselingkuh tersebut e. salah satu pihak melanggar janji atau komitmen yang pernah diucapkan f. suami tidah menafkahi keluarga dan tidak mau berusaha bekerja dan memenuhi kebutuhan rumah tangga yang memang telah menjadi tanggung jawab Suami sebagai Kepala Rumah Tangga. h. si suami melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga i. si suami melakukan tindak kejahatan dalam rumah tangga kekerasan dalam rumah tangga KDRT j. si suami suka mabuk, berjudi, berzinah dengan perempuan lain k. si isteri melalaikan kewajibannya dalam rumah tangga Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. l. salah satu pihak mengalami penyakit menular yang mematikan atau membahayakan sekelilingnya. m. terjadi pertengkaran terus menerus antara mereka yang tak kunjung selesai, yang akhirnya merusak atau menggangu keharmonisan hubungan dan menggoyahkan hubungan rumah tangga mereka dan lain sebagainya Dalam hal ini perselisihan dicoba diselesaikan terlebih dahulu oleh pihak intern hanya antara mereka saja yaitu para pihak saja bila ternyata tidak membuahkan hasil maka upaya tersebut kemudian dicoba kembali untuk diselesaikan oleh ketiga unsur Dalihan Natolu yaitu Pihak Dongan Tubu, Pihak Parboru dan pihak Hula-hula yang duduk bersama membicarakan sengketa yang dialami pasangan rumah tangga tersebut. Bila ternyata juga tak membuahkan hasil, maka disinilah pihak mediator sebagai penengahnya berperan untuk mendamaikan konflik atau sengketa tersebut. Mediator tersebut dapat dipilih dari Ketua Adat, Raja Hata atau orang yang dituakan dan cukup disegani karena wibawanya di masyarakat. Ketiga unsur Dalihan Natolu ini kemudian duduk bersama dengan mediator yang telah dipercayai oleh para pihak, bermusyawarah dan bermufakat lalu mencari jalan keluar terbaik untuk seluruh pihak. Sebisa mungkin jalan perceraian harus dihindari. Karena dalam adat Batak tidak dikenal adanya perceraian, sehingga bila isteri pergi dari rumah dan tak mau kembali lagi dengan sendirinya seluruh hak sebagai isteri baik terhadap anak, harta selama mereka berumah tangga akan menjadi hapus dan hak tersebut jatuh pada suami. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Bila ternyata perceraian tidak dapat dihindari, maka keputusan yang diambil harus keputusan yang terbaik bagi seluruh pihak untuk dilakukan perpisahan atau perceraian Parsirangan melalui proses hukum. Melalui proses hukum, dibicarakan mengenai beberapa masalah antara lain : a. pengasuhan anak – anak jika dalam pernikahan tersebut telah dikaruniai anak- anak atau keturunan b. biaya hidup anak-anak apabila pengasuhan berada di tangan ibunya c. hubungan antara anak-anak dan orang tuanya setelah kedua orang tuanya berpisah baik berpisah atau bercerai melalui pengadilan maupun tidak melalui pengadilan, masalah ini harus tetap turut dibicarakan. d. kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung e. dan lain sebagainya Hal kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung harus dibicarakan lewat Pengadilan apabila lewat lembaga Dalihan Natolu tidak berhasil. Hal tersebut didasarkan pada dasar hukum Undang-Undang Perkawinan dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat jo. Jurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 100 tahun 1967, yang isinya sebagai berikut : a. Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1 : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” b. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 100 tahun 1967 : Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. “Tidak dipersoalkan siapapun yang menghasilkan harta tersebut, selama harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya ” Sehingga dalam hal perceraian, yang jadi tujuan utama pembicaraan dalam musyawarah lewat mediator adalah kepentingan anak-anak di atas segalanya bila dalam perkawinan telah dikarunia Anak dan perihal kepemilikan harta bersama yang dibagi secara adil. Hal tersebut diutamakan demi perkembangan psikologis atau kejiwaan anak-anak dan psikis si Isteri si perempuan yang umumnya menjadi pihak yang paling dirugikan bila terjadi perceraian dalam masyarakat Batak Toba agar jangan sampai anak – anak mengalami trauma psikologis dan terbeban mental akibat perceraian kedua orang tuanya, juga si Isteri perempuan jangan sampai terganggu jiwanya akibat perceraian yang dialaminya . Oleh karena itu pula, dalam perceraian harus diupayakan dilakukan proses perceraian secara damai, secara damai maksudnya bahwa dalam proses perceraian tersebut tidak ada perebutan hak asuh anak, dilakukan pembagian harta bersama secara adil, dan kedua orang tua juga harus rukun dan damai walau telah hidup berpisah tidak seperti ketika mereka belum bercerai, yang mana mereka selalu terlibat pertengkaran besar dan konflik yang berujung pada amarah, penyiksaan , kekerasan, dan dendam , serta tetap melakukan pengasuhan anak – anak dengan bersama – sama, walaupun mereka telah hidup berpisah setelah proses perceraian selesai. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.

B. 2. Sengketa di Bidang Hubungan Kemasyarakatan