Latar Belakang Prof. Sanwani Nasution, SH 4. Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam etnis, suku, budaya dan adat istiadat yang berbeda – beda. Suku, budaya, etnis, maupun adat istiadat tersebut memiliki corak yang unik, hanya dimiliki oleh suku yang bersangkutan tersebut dan tidak dimiliki oleh suku lain. Suku, budaya dan adat istiadat tersebut mempengaruhi gaya dan pola hidup mereka, yang pada akhirnya membentuk pula tatanan sosial kemasyarakatan masing – masing, dimana tatanan tersebut akhirnya dipakai dalam pergaulan hidup sehari hari yang bersifat intern, hanya berlaku di dalam suku yang bersangkutan dan hanya di antara mereka saja. Ketentuan yang berlaku di dalam tatanan sosial etnis tersebut karena dipakai dalam pergaulan hidup sehari – hari, dan berlaku secara turun temurun, akhirnya menjadi ‘ kebiasaan ’ yang tidak hanya mencakup peristiwa – peristiwa tertentu, misalnya hanya pada peristiwa pernikahan namun juga kemudian mencakup berbagai aspek kehidupan lain, sehingga setiap tatanan sosial selalu membuat hukum yang tidak tertulis namun tetap diindahkan, dipatuhi dan diberlakukan terhadap seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan. Hal tersebut dikenal dengan sebutan “ tradisi, adat istiadat, budaya, atau hukum kebiasan customary law ”. Adapun tradisi, adat istiadat, budaya atau 1 Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. hukum kebiasaan customary law pada dasarnya memiliki karakteristik atau ciri – ciri sebagai berikut : 1. Dapat dipelajari lewat pepatah – pepatah, cerita rakyat, legenda – legenda, mite, maupun mass media. 2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik disengaja maupun tidak disengaja. 3. Memiliki simbol – simbol tertentu, yang memiliki makna khusus dan biasanya makna simbol tertentu tersebut dapat dimengerti oleh masyarakatnya. 4. Selalu berubah, dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dari masyarakat budaya tersebut. 5. Bersifat adaptif, dimana kebudayaan berubah untuk beradaptasi menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah. Kebudayaan suatu masyarakat mudah beradaptasi dengan munculnya kebudayaan lain atau bila mengalami benturan dengan budaya asing. 6. Memiliki system yang integral terpadu sehingga unsur budaya yang satu terkait dengan unsur budaya lainnya. Oleh sebab itu, satu unsur kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi juga menyangkut unsur – unsur lain dalam suatu jaringan yang kompleks. 1 Susunan hukum adat atau hukum kebiasaan customary law sebagaimana terurai ciri – cirinya tersebut di atas tersebut dapat dibagi ke dalam 3 tiga kategori atau kelompok yang dinamakan Tiga Kategori Adat di Indonesia. Pembagiannya dapat diambil contoh pada pembagian adat Minangkabau, yaitu : 1. Adat Istiadat adalah kategori dimana adat menjelmakan dirinya di dalam pandangan – pandangan dan ajaran – ajaran mengenai pelbagai persoalan di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain adat istiadat adalah titik pangkal dan dasar dari adat dan hukum adat.sehingga dikatakan adat istiadat adalah kategori Konstitutif. 2. Adat Nan Teradat adalah merupakan perwujudan dari pandangan dan ajaran adat istiadat di dalam tertib masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kategori yang kedua ini merupakan rangkaian wadah – wadah bagi segala peralatan yang perlu untuk mewujudkan pandangan dan ajaran tersebut. Kategori kedua ini disebut Kategori Institutif. 1 Esther Kuntjara; Penelitian Kebudayaan, Sebuah Panduan Praktis; Graha Ilmu; Surabaya; 2006; hal.3 Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. 3. Adat Nan Diadatkan merupakan pernyataan dari lembaga di atas di dalam kehidupan sehari – hari di dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kategori yang ketiga ini merupakan penuangan isi wadah – wadah tersebut di dalam kehidupan sehari – hari dalam perkara – perkara yang nyata di masyarakat. Kategori ketiga ini disebut Kategori Eksekutif Realisatif. 2 Penganut tradisi, adat istiadat, budaya atau hukum kebiasaan Customary Law ini disebut dengan Masyarakat Hukum Adat. 3 2 Moh. Koesnoe; Catatan – Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini; Airlangga University Press; Surabaya; 1979; hal.56 3 Doangsa P.L. Situmeang ; Kerabat : Dalihan Natolu, Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba ; Dian Utama ; Jakarta ; 2007 ; hal 23. Dimana tradisi, adat istiadat ini dipakai oleh para anggota Masyarakat Hukum Adat masing – masing dengan sukarela, secara terus menerus bahkan kemudian diturunkan pada generasi selanjutnya turun temurun sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa tradisi tersebut sudah mendarah daging pada anggota masyarakat hukum adat tersebut hingga pada generasi selanjutnya keturunan mereka. Beberapa contoh adat istiadat atau budaya ini antara lain adat istiadat yang berlaku dalam tatanan sosial pada masyarakat suku Jawa, Sunda, Bali, Karo, dan lainnya. Misalnya tradisi atau adat sungkem, pingitan pada calon manten, turun tanah pada balita, cukur rambut pertama bayi, pada masyarakat hukum adat suku Jawa yang sudah dilakukan turun temurun, tradisi Gendang – gendang pada masyarakat hukum adat suku Batak Karo, tradisi Mangulosi pada masyarakat hukum adat suku Batak Toba, tradisi Ngaben pada masyarakat hukum adat suku Bali, dan contoh lainnya yang sudah dilakukan terus menerus dan turun temurun dari generasi ke generasi penganut adat istiadat tersebut. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Kebiasaan atau tradisi ini tetap berlaku secara turun temurun terhadap para anggota masyarakatnya, walaupun bila anggota masyarakat tersebut sudah berpendidikan tinggi, pergaulan luas, baik nasional maupun internasional, termasuk pemimpin bangsa sekalipun masih tetap mengindahkan dan mematuhi tatanan sosial dari etnis mereka tersebut, walaupun sebahagian besar telah mengalami perubahan di sana - sini. Kebiasaan atau tradisi tersebut tetap diberlakukan secara turun temurun oleh komunitas mereka karena kebiasaan, adat istiadat, budaya tersebut sudah mendarah daging ke dalam jiwa mereka. Salah satu dari sekian banyak tatanan sosial masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia adalah masyarakat hukum adat Batak Toba oleh yang dibawa oleh suku Batak Toba yang asal mula adatnya berasal dari daerah Tapanuli Bagian Utara sekitar daerah Samosir, Toba Samosir yaitu Balige, Porsea, Tarutung, Humbang Hasundutan, Pahae dan daerah lainnya . Masyarakat hukum adat Batak Toba ini tidak hanya bermukim di daerah Tapanuli Bagian Utara tersebut saja tetapi juga bermukim di daerah lainnya. Hal ini terjadi karena banyak dari keturunan – keturunan mereka yang telah pergi merantau, keluar dari daerah hukum adat asal, baik karena kehendak sendiri secara sukarela, oleh karena pernikahan, maupun karena sebab lainnya. Prilaku merantau atau keluar dari daerah asal ini disebut dengan istilah “mangaranto” dan orangnya disebut “ pangaranto ”. Umumnya orang – orang yang disebut pangaranto pada awalnya adalah kaum laki – laki yang belum berkeluarga. Mereka meninggalkan desanya pergi ke kota – kota di luar Tapanuli Utara untuk memperoleh pekerjaan di luar sektor pertanian. Sebutan tersebut dewasa ini sudah Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. lebih luas, dapat diberikan kepada yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga, yang bekerja di luar sektor pertanian, termasuk pegawai yang alih tugas dari daerah sendiri, demikian juga dengan orang – orang yang pada awalnya bertujuan untuk melanjutkan sekolah dan kemudian bekerja di daerah lain. 4 4 Purba, O.H.S dan Elvis F. Purba, Migrasi Spontan Batak Toba Marserak , Monora, Medan, 1997 Mereka yang merantau atau keluar dari daerah hukum asalnya tersebut kemudian membentuk suatu komunitas baru sesama mereka yang bersifat intern, di tempat mana mereka kemudian bermukim saat ini, namun mereka masih tetap mengingat warisan leluhur nenek moyang mereka yaitu adat istiadat, budaya, tradisi yang sudah mendarah daging tersebut, dan kemudian memberlakukan pula warisan berupa tradisi tersebut ke dalam komunitas baru mereka, dan ke dalam pergaulan hidup sesama dan diantara mereka. Mereka yang telah keluar dari daerah hukum adat asal tersebut, banyak terdapat di kota Medan. Sehingga, ketika mereka membentuk suatu komunitas baru di kota Medan ini, mereka bukan lagi menjadi anggota masyarakat hukum adat Batak Toba, yang tunduk pada hukum adat dan aturan – aturan dasar Batak Toba yang dipimpin oleh satu Raja Adat dengan marga tertentu saja sesuai nama marga kampung di kampung halamannya masing - masing, namun mereka hanya menjadi anggota masyarakat Batak Toba saja, yang tidak lagi tunduk pada satu Raja Adat tertentu, sebagaimana terjadi di kampung halaman sebelumnya, namun setelah mereka berada di kota mereka masuk ke dalam suatu organisasi masyarakat, yang dipimpin oleh Pengetua atau Ketua Adat. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Sebab, bila masyarakat Batak tersebut telah pindah dari daerah hukum adat asalnya di kampung halamannya masing – masing dan kemudian memilih untuk hidup menetap di Kota Medan, maka mereka kemudian menjadi bagian dari masyarakat Batak Toba saja, yang tidak lagi tunduk pada aturan hukum adat dari daerah asalnya, namun telah menjadi bagian dari masyarakat Batak Toba yang majemuk, dan pluralistik. Pada jaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di Tanah Batak kampung identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan tubu”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota- kota lain keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu kawan semarga. Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta parsahutaon yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan partubu jumonok dongan parhundul yang artinya : dekat dongan tubu atau kawan semarga lebih dekat lagi kawan duduk atau kawan sekampung Kampung dan kota di luar Tapanuli bersifat majemuk multi marga, multi suku. Banyak orang kini tinggal sekampung atau bahkan bertetangga dengan hula-hula atau tulang-nya. Apakah dampaknya? Interaksi antara hula-hula dan boru semakin intensif. Jika ada acara di rumah banyak orang jadi sungkan jika tidak mengundang tulang atau hula-hula yang kebetulan menjadi tetangga atau tinggal sekota dengannya. 5 1. Punguan Rambe Raja Nalu perkumpulan marga Rambe Beberapa contoh dari masyarakat Batak Toba tersebut, dapat dilihat dari kelompok atau organisasi masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah kota Medan, salah satu kelompok masyarakat adat tersebut, dilihat dari marga atau nama keluarga besar antara lain : 2. Punguan Raja Siambaton Boru dohot Bere perkumpulan marga Parna 3. Punguan Parmasna Perkumpulan marga Sigalingging 5 www. Ruma metmet.com? p=224 Blog Archieve Dalihan Natolu Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. 4. Punguan Silalahi Raja Perkumpulan marga Silalahi 5. Punguan Somba Debata Perkumpulan marga Siahaan 6. Punguan Raja Siagian Boru Dohot Bere Perkumpulan marga Siagian 7. Punguan Simanjuntak Sitolu Sada Ina Perkumpulan marga Simanjuntak 8. Punguan Raja Sihotang Boru Dohot Bere Perkumpulan marga Sihotang 9. dan lain sebagainya Sebahagian besar dari masyarakat Batak tersebut kemudian membentuk suatu komunitas baru berbentuk suatu Organisasi yang para anggotanya adalah masyarakat marga tertentu dimana kepengurusannya dipilih diantara mereka sendiri bersifat Intern, yang dianggap mampu, cakap, bijak dan berwawasan luas untuk mengurus lembaga adat tersebut, yang nantinya lembaga tersebut akan beraktifitas pada peristiwa – peristiwa tertentu, dimana pada peristiwa tertentu tersebut para pengurus melakukan tugas dan kewajibannya masing - masing sesuai dengan peristiwa yang terjadi misalnya peristiwa pernikahan, kelahiran, hingga pada peristiwa kematian . Di luar dari peristiwa adat tersebut, mereka, sebagai anggota komunitas tersebut di atas, memberlakukan pula jadwal – jadwal tertentu untuk bertemu, berkumpul dan bersilahturahmi satu sama lain agar mereka satu sama lain menjadi semakin mengenal, kekerabatan di antara mereka semakin dekat dan mereka menjadi semakin akrab pula satu sama lain. Hal ini diperlukan sebab sesuai pepatah, tak kenal maka tak sayang, oleh sebab itu mereka sesama anggota komunitas masyarakat marga tersebut Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. berkumpul secara sukarela yang jadwalnya telah ditentukan oleh pengurus, dan dilakukan pemilihan lokasi pertemuan di salah satu kediaman mereka. Pertemuan tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu kebiasaan rutin dengan jadwal yang tetap dan berkesinambungan yang dilakukan oleh mereka sehingga pertemuan itu dijadikan sebagai bagian dari tatanan sosial masyarakat marga yang bersangkutan. Sehingga secara perlahan – lahan lewat pertemuan demi pertemuan yang meraka lakukan tersebut, para anggota masyarakat marga tersebut memiliki ikatan emosional dan psikologis yang kuat satu sama lainnya dan di antara mereka semakin dekat baik secara fisik maupun secara psikologis, dan di antara mereka juga semakin ada ada rasa ketergantungan satu sama lain . Antara yang satu dan lain kemudian merasa bahwa mereka adalah satu keluarga, bersaudara selayaknya ada hubungan darah yang kemudian sikap tersebut berlanjut pada kehidupan sehari – hari dengan saling membantu, menolong bila yang satu membutuhkan terhadap yang lainnya. Terhadap tatanan sosial masyarakat adat sebagaimana dimaksud di atas, pelanggaran atau penyimpangan yang pada akhirnya menimbulkan perdebatan, perselisihan, konflik atau silang pendapat, sengketa bahkan permusuhan di antara para pihak sangat mungkin dapat terjadi, terutama karena mereka semua berasal dari daerah hukum adat yang berbeda yang dibawa dari kampung halamannya masing – masing sehingga di banyak sisi mereka memaksakan kehendaknya masing – masing pula antara satu dan lainnya sehingga ketegangan terjadi.. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Penyebab lainnya adalah karena manusia merupakan suatu pribadi yang Unik, yang diciptakan oleh Sang Pencipta, artinya masing – masing memiliki pembawaan, karakter dan pribadi yang khas yang hanya dimiliki oleh dirinya sendiri sehingga ia berbeda antara satu dan lain, tidak ada yang sama bahkan manusia yang memiliki saudara kembar sekalipun tidak ada yang sama, sehingga karakter, pola pikir, pembawaan dan cara yang dipakai terhadap suatu peristiwa atau kasus tertentu tidaklah sama sehingga dapat menimbulkan reaksi yang berbeda oleh para pihak yang bersangkutan. Akibat perbedaan tersebut maka tidak jarang terdengar kritisi, perdebatan dan argumentasi yang masing – masing saling menyalahkan. Misalnya dalam hal pernikahan, antara lain cara melamar yang kurang tepat, urutan prosesi acara adat ada yang terlewati, dalam rumah tangga misalnya suami isteri yang tidak lagi hidup harmonis, dalam hal peristiwa kematian, antara lain prosesi pemakaman yang tidak sesuai dengan tradisi yang biasa dilakukan, pembagian warisan yang dirasa tidak adil oleh para ahli waris, dan sebagainya. Mereka satu sama lain saling menyalahkan dan masing - masing mencari pembenaran sendiri sesuai tujuan awalnya perselisihan terjadi yaitu mencari kebenaran, sehingga hasilnya seringkali kebenaran yang dicari itu akan tetap tinggal mengambang karena keberadaan atau eksistensinya jarang ditemukan dalam bentuk tertulis, yang dapat dipakai sebagai rujukan bersama, sehingga perselisihan yang kadangkala bahkan menimbulkan permusuhan terhadap sesama mereka seringkali tidak menghasilkan apapun. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Sehingga, oleh para Pihak yang bersengketa, diusahakan dicari jalan penyelesaian secara damai, agar di antara para Pihak yang berselisih atau bersengketa tersebut jangan sampai bermusuhan. Jalan penyelesaian damai itu dapat ditempuh dengan cara bermusyawarah, baik musyawarah terbatas dalam lingkungan anggota keluarga sendiri, atau musyawarah kerabat, atau jika dipandang perlu dimusyawarahkan dalam perdamaian adat yang disaksikan dalam tua – tua adat. Selama kepentingan kerukunan dan rasa kekeluargaan masih idial didalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan, maka selama itu betapa besarnya perselisihan, namun pada akhirnya dapat juga diselesaikan dengan rukun dan damai. 6 “ Togu Urat ni Bulu, toguan urat ni padang, togu na ni dok ni uhum, toguan na nidok ni Padan ” yang artinya adalah sebagai berikut “ akar bambu kuat akan tetapi akar rumput lebih kuat lagi ” yang mengandung pengertian dan dasar hukum bahwa peraturan – peraturan hukum positif adalah kuat akan tetapi sesuatu persetujuan lebih kuat lagi daripada peraturan hukum . Budaya untuk bermusyawarah mencapai kata mufakat ini mempunyai dasar sosial yang amat kuat, pada bangsa Indonesia ini termasuk didalamnya masyarakat Batak Toba itu sendiri, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sebagaimana diuraikan di dalam Sila IV PANCASILA sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yang isinya “ Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan”. Selain sila IV dari PANCASILA tersebut, budaya untuk bermusyawarah tersebut terdapat juga dalam falsafah hidup masyarakat Batak Toba itu sendiri, yang memang telah mereka peroleh secara turun temurun dari nenek moyang mereka di kampung halamannya, sehingga telah berakar dengan amat kuat di dalam hati mereka masing – masing, dimana terlihat dari salah satu pepatahnya yang mengatakan : 7 6 H. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. VII – 2003, hal. 116 7 Soerojo Wignjodipoero ; Pengantar Dan Asas – Asas Hukum Adat ; Haji Mas Agung ; Jakarta ; 2004; hal. 73. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Hal lain yang menjadi penyebab masyarakat Batak Toba lebih memilih untuk bermusyawarah adalah menurunnya kepercayaan masyarakat Indonesia masyarakat Batak Toba salah satu di antaranya terhadap lembaga Pengadilan di Indonesia yang pada prakteknya sangat rumit, mahal dan berbelit – belit sehingga masyarakat enggan menyerahkan permasalahan atau sengketa yang dialami dan hanya menempatkan lembaga Pengadilan sebagai upaya terakhir dari segala upaya yang dapat mereka usahakan untuk menyelesaikan sengketa yang mereka alami. Penulis kemudian merasa sangat tertarik mencari, meneliti, membahas serta menemukan lebih lanjut lagi jawaban atas pertanyaan yang muncul bila terjadi konflik atau sengketa antara anggota masyarakat Batak Toba Kota Medan. Sebab lain Penulis tertarik untuk meneliti topik pembahasan karya tulis ini karena penulis adalah termasuk sebagai salah satu anggota masyarakat dalam komunitas masyarakat Batak Toba di Kota Medan dimana Penulis berdomisili selama ini, sehingga sering bersentuhan dengan perihal adat – istiadat tersebut di dalam kehidupan sehari – hari baik secara langsung maupun tidak langsung.

B. Perumusan Masalah