Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Melalui jasa mediator ini, mereka bisa duduk diam bersama dalam suatu meja dengan damai lalu membicarakan permasalahan yang mereka alami bersama dan
peran mediator adalah untuk menciptakan perdamaian di antara mereka dapat terwujud, akibatnya peluang untuk menghasilkan solusi yang baik bagi semua pihak
win – win solution dapat lebih besar daripada solusi kalah atau menang, sehingga hasil perdamaian tersebut dapat dirasakan oleh seluruh pihak yang terkait di
dalamnya, demikian juga keturunan mereka selanjutnya. Hal tersebut menggambarkan bahwa budaya ketimuran adalah budaya dengan
ciri - ciri perhatian, tenggang rasa, solidaritas dan rasa sosial serta kebersamaan yang tinggi, serta senasib sepenanggungan, pastinya tidak semua bangsa memilikinya.
5. Rasa Enggan Masyarakat Batak Toba Terhadap Lembaga Pengadilan
Pengadilan di Negara Indonesia secara teori bersifat formal dan penuh tata cara. Sehingga secara prakteknya amat rumit, penuh alur dan tata cara sehingga
prosesnya berbelit – belit, yang memakan banyak waktu, biaya dan tenaga. Akibat dari prakteknya yang sangat tidak mudah tersebut, akhirnya sering
membingungkan dan menimbulkan kebencian tertentu dan berusaha untuk dihindari, bagi masyarakat umum yang awam atau tidak mengerti hukum.
Hal tersebut juga sangat dihindari oleh masyarakat Batak. Sedapat mungkin lembaga Pengadilan harus dijauhi. Akibatnya bila mereka bersengketa, mereka lebih
memilih untuk menyelesaikannya tidak melalui lembaga Pengadilan, namun lewat mediasi dengan memakai jasa mediator yang mereka pilih sendiri .
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Hal lain penyebab masyarakat Batak enggan menyelesaikan sengketa lewat lembaga Pengadilan adalah pecahnya keluarga besar akibat putusan Pengadilan.
Karena putusan Pengadilan identik dengan kalah atau menang. Bagi pihak yang kalah, mereka tidak dapat menerima kekalahan dengan ikhlas dan lapang dada hingga
mereka menjadi bermusuhan, bahkan permusuhan biasanya berlanjut terus pada generasi selanjutnya,hingga keluarga besar tersebut menjadi terpecah belah.
6. Menjaga Marga Atau Nama Baik dan Kehormatan Keluarga Prinsip
Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon
Hal lain yang perlu dihindari bila mereka bersengketa adalah sedapat mungkin permasalahan jangan tercium khalayak ramai. Sedapat mungkin permasalahan yang
dialami tidak dipublikasi karena bagi mereka, jika diantara mereka sudah bersengketa maka nama baik di masyarakat luas tercoreng.
Bagi masyarakat Batak, nama yang dipakai dalam lingkungan sosial di masyarakat adalah nama keluarga marga , turun temurun dan berasal dari nenek
moyang mereka, bukanlah nama kecil pemberian orang tua ketika lahir. Sehingga nama keluarga marga yang dipakai sebagai nama harus dijaga dan dijunjung tinggi
karena nama tersebut mencerminkan suatu prestise kebanggaan dan kehormatan yang sangat mahal harganya, dan tak dapat dinilai dengan uang.
Nama baik keluarga dalam lingkungan pergaulannya di masyarakat ini juga berhubungan erat dengan prinsip atau nilai hidup yang kemudian dijadikan salah satu
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
falsafah hidup masyarakat Batak itu sendiri, yaitu Hamoraon Kekayaan, Hagabeon Keturunan dan Hasangapon Kehormatan.
Secara tradisional, pada umumnya Hamoraon Kekayaan dihubungkan dengan harta secara fisik terutama tanah, Hagabeon Keturunan dikaitkan dengan
banyak anak, Hasangapon Kehormatan dikaitkan dengan luasnya hubungan dengan banyak orang.
43
Dengan kata lain akibat prinsip Hamoraon Kekayaan , Hagabeon Keturunan dan Hasangapon Kehormatan , bila sengketa terjadi, menimbulkan
Dari pengertian di atas, dapat dimengerti bahwa bila keluarga mereka bersengketa, maka salah satu prinsip hidup di atas rusak, yaitu Hasangapon
kehormatan tercoreng, karena akibat sengketa tersebut keluarga dan orang tua mereka sudah tidak Sangap atau terhormat lagi dalam pergaulan di lingkungan sosial
masyarakat mereka, dan hubungan dengan banyak orang dalam pergaulan terganggu. Nama bagi masyarakat Batak adalah nama keluarga turun temurun, yaitu
marga dan berhubungan erat dengan harga diri sehingga bila marga tersebut telah rusak akibat konflik atau sengketa yang mereka alami, maka seluruh keluarga besar
mereka juga namanya turut rusak. Mereka akan sangat malu dan seluruh keluarga besar mereka juga akan turut malu dan berkecil hati harga dirinya hancur akibat
hal tersebut di dalam lingkungan pergaulan mereka.
43
Sulistyowati Irianto; Op. Cit., hal. 138.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
dampak psikologis yaitu keluarga besar tidak Sangap atau terhormat, bukan hanya pihak yang bersengketa, namun seluruh keluarga besar.
Secara tidak langsung, akibat prinsip hidup tersebut, terdapat suatu tekad dan niat yang kuat dalam hati setiap masyarakat Batak untuk selalu menjaga nama baik
Marga atau nama keluarga besar mereka secara turun temurun agar nama tersebut tetap Sangap atau terhormat , jangan sampai nama baik keluarga tersebut tercoreng
dan harga diri keluarga tersebut jatuh, terutama dalam lingkungan masyarakat mereka hanya karena sengketa atau konflik yang mereka alami.
Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk masyarakat Batak di desa atau di kampung halaman saja, namun berlaku juga untuk seluruh masyarakat Batak di mana
saja, termasuk masyarakat Batak kota Medan.
7. Mencegah Sengketa Menjadi Semakin Besar Dan Berlarut – Larut