Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
kekuasaan yang dianggap berlaku untuk orang banyak, berguna mengatur pergaulan hidup antara mereka, menurut adat Batak Toba.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian sebagaimana telah disebutkan di atas, maka sifat penelitian yang sesuai untuk dipakai oleh Penulis di
dalam penelitian ini adalah deskriktif analisis. Penelitian deskriptif, dimaksudkan
untuk melukiskan keadaan objek dan peristiwanya.
30
Penelitian dilakukan di kota Medan, di lingkungan masyarakat Batak Toba yang berdomisili di Kota Medan. Mereka pada umumnya bergabung ke dalam
organisasi di lingkungan tempat tinggalnya, maupun organisasi marga - marga.
Penelitian bersifat deskriktif analisis, artinya penelitian ini masuk ruang
lingkup penelitian yang mencari tahu, menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan adat yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba, serta menganalisa bagaimana
masyarakat melakukan usaha menyelesaikan sengketa yang terjadi. Jenis metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan secara
empiris, yaitu penelitian terbuka untuk pengamatan dilakukan di lapangan
berdasarkan studi setempat saat penelitian berlangsung namun didukung penelitian kepustakaan sebagai dasar penelitian lapangan dilakukan.
2. Lokasi Penelitian
30
Sutrisno Hadi; Metodologi Research; Andi Offset; Yogyakarta; 1989; hal.3.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Melalui organisasi marga tersebutlah Peneliti akan mencari tahu jawaban dari rumusan permasalahan di atas, lewat Ketua organisasinya, maupun tokoh – tokoh
masyarakat lain yang berkompeten terhadap permasalahan adat sesuai rumusan permasalahan yang telah ditentukan di atas.
3. Teknis Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, baik berupa pengetahuan ilmiah maupun fakta yang terdapat di masyarakat, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Studi Kepustakaan Library Research : menghimpun data dengan melakukan
penelaahan kepustakaan, berupa buku, arsip dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu “ Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Masyarakat
Batak Toba di Kota Medan”. b.
Studi Lapangan Field Research yaitu untuk melakukan penelitian secara langsung ke masyarakat hukum adatnya serta melakukan pula wawancara,
interview, dialog atau perbincangan dengan Ketua Adatnya atau Orang yang dituakan di sana.
4. Bahan Penelitian
a. Bahan Hukum Primer: bahan hukum yang mengikat, berasal dari Undang –
Undang Peraturan lain misalnya Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Kitab Undang–Undang Hukum Pidana KUHP , Undang – Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Undang - Undang Nomor 301999 tentang Arbitrase
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurisprudensi Mahkamah Agung, dan lainnya yang berkaitan dengan topik yang dibahas Penulis.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberi keterangan maupun
penjelasan lebih lanjut bahan hukum primer, seperti buku teks yang ditulis para ahli hukum, pendapat para sarjana, dan lain sebagainya.
c. Bahan Tertier Penunjang yaitu bahan yang berada di luar bahan hukum
seperti kamus umum Bahasa Indonesia, Kamus Aksara Batak, internet, dan lainnya yang berhubungan dengan topik permasalahan.
5.
Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh, dalam proses pengumpulan data, baik data yang bersumber dari bahan pustaka maupun data yang bersumber dari lapangan, ditabulasi,
lalu dianalisa secara Kualitatif.
Kualitatif maksudnya bahwa data diperoleh dari hasil interaksi antara Peneliti dan sumber data baik dari manusia maupun benda.
31
31
Esther Kuntjara; Op. Cit., hal. 99
Logika berfikir yang digunakan dalam penarikan kesimpulan dilakukan secara
Induktif – Deduktif maksudnya pembahasan dan penarikan kesimpulan dimulai dari hal – hal khusus hingga ke hal umum, lalu dipresentasikan dalam bentuk Deskriptif,
yaitu dijabarkan dalam rangka menjawab objek penelitian.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
BAB II PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF
DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN
Dalam hal penyelesaian sengketa yang dapat terjadi dalam masyarakat Batak Toba di kota Medan ini, secara umum dipilih adalah cara yang benar – benar disukai
oleh kedua belah pihak sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan “ win – win
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
solution ” yang artinya keputusan atau jalan keluar yang saling menguntungkan kedua belah pihak sehingga tidak ada pihak yang merasa kalah atau dirugikan.
Sehingga penyelesaian sengketa yang dilakukan tersebut memiliki banyak macam bervariatif tergantung dari subjek hukumnya untuk memilih penyelesaian
sengketa alternative tersebut.
A. Bentuk–bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif Yang Berkembang Di
Kota Medan
Sebelum masuk kedalam penyelesaian sengketa alternative dalam menyelesaikan sengketa masyarakat Batak Toba di Kota Medan, ada baiknya
diuraikan terlebih dahulu penjelasan dari Penyelesaian Sengketa Alternatif dan jenis – jenis serta ruang lingkup keseluruhannya secara umum. .
Penyelesaian Sengketa Alternatif atau lebih umum dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Undang - Undang Nomor
301999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa “ Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli”.
32
Sebelum akhirnya dikemukakan pengertian lebih lanjut pengertian dari Penyelesaian Sengketa Alternatif ini, ada baiknya dikemukakan lebih dahulu
Penyelesaian Sengketa Alternatif ini merupakan perkembangan dari penyelesaian sengketa lewat proses litigasi di Pengadilan, yang dahulu adalah awal
dari bentuk penyelesaian sengketa yang selalu dipakai masyarakat di dunia.
32
Rachmadi Usman ; Hukum Arbitrase Nasional ; Gramedia Widiasarana Indonesia; Jakarta ; 2002 ; hal. 15
33
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
pengertian dari penyelesaian sengketa lewat proses litigasi di dalam Pengadilan, yaitu sebagai berikut :
Pengadilan : yaitu badan atau lembaga resmi kenegaraan yang diberi
kewenangan untuk mengadili, yaitu menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang – undangan yang
berlaku. Yang paling sering membawa sengketa ke Pengadilan biasanya adalah Janda
maupun anak perempuan masyarakat Batak Toba. Janda dan anak perempuan Batak membawa sengketa ke Pengadilan Negara dengan alasan dan latar belakang yang
berbeda. Janda baru membawa sengketa ke Pengadilan sebagai The Last Resort, sedangkan dibawanya sengketa ke Pengadilan oleh anak perempuan lebih merupakan
pilihan choice . Oleh karena itu lebih banyak anak perempuan bersengketa di pengadilan Negara daripada Janda. Janda baru membawa sengketa ke Pengadilan bila
penyebab utamanya adalah tekanan emosi dan penderitaan yang tak tertahankan lagi, yang timbul sebagai akibat kekerasan yang dilakukan oleh Suami.
33
Akibatnya dapat kita ketahui bahwa prosedur tersebut benar – benar menghabiskan waktu, menguras tenaga dan biaya serta melelahkan para pihak.
Bahkan penyelesaian sengketa tersebut dapat terjadi hingga bertahun – tahun Dalam penyelesaian sengketa lewat proses litigasi di dalam pengadilan ini
biasanya jarang ditemukan perdamaian antara para pihak. Putusan yang ada biasanya berupa putusan kalah atau menang. Bila di Pengadilan tingkat pertama salah satu
pihak ternyata kalah, maka terbuka kemungkinan untuk mengajukan banding bagi pihak yang kalah tersebut apabila ternyata ia tidak menerima putusan tersebut. Begitu
seterusnya hingga pada Pengadilan tingkat akhir yaitu di Mahkamah Agung.
33
Sulistyowati Irianto; Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum; Yayasan Obor Indonesia; Jakarta; 2005; hal. 300
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
lamanya, sementara di lain sisi hubungan para pihak yang bersengketa terus memburuk, merenggang bahkan dapat bermusuhan. Dan dalam banyak kasus,
biasanya sengketa tersebut menjadi semakin rumit dan akhirnya para pihak menjadi saling bermusuhan, dan permusuhan tersebut berlanjut terus bahkan hingga beberapa
garis keturunan selanjutnya. Pada umumnya masyarakat menghindari cara penyelesaian sengketa melalui
Pengadilan ini dan menjadikan lembaga Pengadilan hanya sebagai upaya terakhir bila dirasakan seluruh cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan yang mereka tempuh
mengalami jalan buntu, karena selain caranya yang rumit, memakan waktu yang lama, biayanya juga relatif besar.
Para pihak yang bersengketa biasanya pada akhirnya akan menjadi bermusuhan karena putusan Pengadilan tidak lagi kearah perundingan atau
perdamaian dan sering pula putusan Pengadilan tersebut dirasakan memberatkan bagi salah satu pihak yaitu bagi pihak yang kalah atau dirugikan, sehingga sangat
tertutup adanya kemungkinan untuk berdamai kembali setelahnya, bila perkara mereka diselesaikan lewat lembaga Pengadilan.
Dari uraian di atas, maka dapat kita tarik beberapa point kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di dalam Pengadilan, yaitu sebagai
berikut
34
34
Rachmadi Usman ; Op. cit hal. 3.
:
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
1. Kesepakatan yang dihasilkan bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama
2. Keputusannya cenderung menimbulkan masalah baru terutama terhadap para
pihak yang bersengketa 3.
Lambat dalam penyelesaiannya 4.
Membutuhkan biaya yang mahal 5.
Tidak responsive 6.
Menimbulkan permusuhan bagi para pihak yang bersengketa Dilihat dari kelemahan penyelesaian sengketa lewat proses litigasi di
Pengadilan tersebut di atas, maka menimbulkan cara lain oleh masyarakat dalam penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan di luar Lembaga Pengadilan yang
bersifat Non litigasi. Sebelum pengertian dari penyelesaian sengketa alternatif tersebut diuraikan
lebih lanjut, perlu diuraikan pula prinsip – prinsip dasar dari suatu penyelesaian sengketa alternatif itu sendiri, agar lebih dapat dimengerti pengertian sebenarnya dari
penyelesaian sengketa alternarif tersebut, terutama bagi kaum awam yang belum mengerti sama sekali perihal penyelesaian sengketa alternatif.
Prinsip-prinsip dasar dari penyelesaian sengketa alternatif tersebut antara lain :
1. haruslah efisien dari segi waktu
2. haruslah hemat biaya
3. haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya jangan terlalu jauh
4. haruslah melindungi hak – hak dari para pihak yang bersengketa
5. haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur
6. badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata
masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa 7.
putusannya haruslah final dan mengikat 8.
putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
9. putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti di mana
penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat
35
Dari pengertian dan prinsip – prinsip dasar Alternatif Penyelesaian Sengketa di atas, maka dapat kita lihat bahwa terdapat beberapa cara umum yang dapat ditempuh
oleh siapa saja dalam hal upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat. Cara tersebut antara lain :
36
a Konsultasi memiliki pengertian atau prinsip dasar sebagai berikut :
‘suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang
memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. ’
37
Tindakan bebas disini maksudnya adalah bahwa Konsultan tidak meminta pertanggung jawaban Klien bahwa Klien tersebut harus melaksanakan apa yang
telah disarankan oleh Konsultan tersebut. Konsultan tersebut hanya sebatas berperan pada pemberian saran, pendapat atau nasihatnya sepanjang hal tersebut
Dari pengertian tersebut di atas maka dapat dimengerti bahwa Konsultasi ini adalah suatu tindakan bebas pihak klien sebagai orang yang membutuhkan saran,
pendapat atau sekedar nasihat dari orang yang berkompeten ahlinya yang disebut Konsultan untuk Klien tersebut dapat menangani permasalahan atau
konflik yang sedang dihadapinya.
35
Ibid., hal. 20
36
Gatot Soemartono ; Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia ; Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta ; 2006 ; hal. 1
37
Gunawan Widjaja ; Op. cit., hal. 86.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
memang berhubungan dengan bidang yang ditekuninya baik secara formal maupun informal.
Sehingga antara Konsultan dan Klien tidaklah memiliki ikatan pertanggung jawaban penuh secara formil maupun materiil atas hubungan yang dibentuk oleh
keduanya terhadap permasalahan atau konflik yang dialami para pihak dan upaya penyelesaian sengketa yang dialami oleh para pihak juga tetap menjadi tanggung
jawab penuh si Klien tanpa adanya kekuatan si Konsultan untuk mencampuri terlalu jauh sengketa tersebut.
Ini berarti bahwa dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran Konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau
sengketa tidaklah dominan sama sekali, melainkan hanya sebatas pemberian saran, pendapat atau nasehat sebagaimana diminta Kliennya, untuk selanjutnya
keputusan tentang permasalahan dan upaya penyelesaian sengketa akan diambil sendiri dan tergantung para pihak yang bersengketa, walau adakalanya pihak
Konsultan diberi kesempatan merumuskan bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki para pihak.
b Negosiasi : yaitu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi
musyawarah secara langsung antara pihak – pihak yang bersengketa yang
hasilnya diterima oleh para pihak tersebut.
Jadi, dari pengertian di atas, dapat kita ambil pengertian bahwa negosiasi tampak sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan dan bukanlah ilmu
pengetahuan yang dapat disepakati.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Dasar hukum dari diadakannya negosiasi ini adalah rumusan yang dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 6 ayat 2 yang isinya “ penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 empat belas hari dan
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis ” Dari pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk
menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk
tertulis yang disetujui oleh para pihak.
38
38
Ibid., hal. 87
Dalam praktiknya, negosiasi dilakukan karena 2 dua alasan yaitu untuk mencari sesuatu yang tidak dapat dilakukan sendiri misalnya negosiasi atau
kesepakatan dalam penentuan harga atau hal lain pada kedua belah pihak, dalam hal tidak terjadi sengketa dan untuk memecahkan perselisihan antara para pihak
dalam hal terjadinya sengketa.
Pada cara ini mereka tidak melibatkan siapapun sebagai perantara. Orang – orang yang berkumpul hanya para pihak yang bersengketa intern dan tertutup
bagi pihak ketiga duduk bersama, bermusyawarah dalam mencapai kata sepakat atas sengketa yang mereka alami.
Pada cara ini diperlukan adanya komitmen kesesuaian prinsip di antara para pihak yaitu prinsip bagaimana cara agar persengketaan yang mereka alami
memiliki jalan keluar sehingga para pihak yang bersengketa bersama – sama berupaya untuk mengusahakan mencari jalan keluar terbaik bagi seluruh pihak
yang terkait, atas sengketa yang sedang dialami.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
c Mediasi : yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga
yang netral sebagai mediator atau penengah yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, membantu pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian
solusi yang diterima oleh kedua belah pihak. Mediasi sulit diberi pengertian secara harafiah karena pada dasarnya
pengertian mediasi sering digunakan oleh para pemakainya dengan tujuan yang berbeda – beda sesuai dengan kepentingan mereka masing – masing. Tidak ada
aturan yang jelas perihal penggunaan istilah Mediasi tersebut, semuanya tergantung pada para pihak yang bersangkutan.
Sehingga penggunaan istilah Mediasi itu banyak, sesuai dengan tujuan penggunaan antara lain Konsiliasi, Rekonsilisai, Konsultasi atau arbitrase.
Proses Mediasi : a.
Tahap Pra Mediasi Dalam tahap pramediasi ini, mediator dan para pihak diwajibkan untuk
mengikuti seluruh prosedur penyelesaian sengketa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 022003.
b. Tahap Mediasi
Dalam tahap ini, mediator dan para pihak dapat duduk bersama – sama dalam satu meja besar untuk bermufakat mencari jalan keluar terbaik
atas sengketa yang mereka alami. Mereka memiliki kebebasan penuh untuk
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
mengungkapkan pendapat mereka tentang permasalahan atau sengketa yang mereka alami.
Disini mediator harus aktif dan bijaksana dalam mencari jalan keluar terbaik yang netral terhadap kedua belah pihak sehingga para pihak yang
bersengketa merasa nyaman atas kedudukan mereka dan tidak merasa dihakimi secara sepihak bila mediator menyudutkan mereka.
Setelah kesepakatan oleh para pihak berhasil diwujudkan, maka hasil mediasi tersebut kemudian harus dituangkan dalam bentuk tertulis, menjadi
sebuah perjanjian penyelesaian sengketa yang isinya wajib dipatuhi oleh para pihak, karena demikianlah dinyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 022003 pasal 11 ayat 1 dan 2, yang isinya : “ Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Juga ditegaskan dalam Undang – Undang Nomor 30 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 6 yang isinya “ Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator …, dalam
waktu paling lama 30 tiga puluh hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditanda tangani oleh semua pihak yang terkait ”.
Perlu diketahui bahwa proses mediasi dapat dipakai dengan bebas oleh siapapun yang bersengketa dan apapun jenis sengketa.
Karena yang sangat penting dalam proses mediasi adalah adanya unsur kehadiran pihak ketiga yang berfungsi sebagai mediator atau penengah yang
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
turut masuk ke dalam sengketa mereka, turut duduk bersama membicarakan penyelesaian sengketa dan akan bersama – sama mencari upaya penyelesaian
sengketa secara netral, adil dan mengupayakan perdamaian bagi para pihak. d
Arbitrase : merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan untuk mengambil keputusan.
Khusus untuk arbitrase, menurut Undang – Undang Nomor : 301999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa
“sengketa yang dapat diajukan untuk diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa bidang perdagangan dan hak yang menurut peraturan perundang –
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. ” Sehingga sengketa seperti kasus perceraian dalam hal mana hak atas
harta kekayaan tidak sepenuhnya dikuasai oleh masing – masing pihak, tidak dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase.
Demikian juga disebutkan bahwa “perselisihan atau sengketa yang dapat diperiksa dan tunduk pada proses pemeriksaan arbitrase ini adalah
perselisihan atau sengketa yang secara hukum penyelesaiannya dapat diselesaikan melalui proses perdamaian ”
39
Syarat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, sebagai berikut : Dengan demikian sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga
arbitrase telah dibatasi Undang – Undang, yaitu hanya terhadap sengketa bidang perdagangan maupun hal lain yang bersifat komersil saja.
39
Ibid., hal. 123
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
a. Proses pelaksanaan arbitrase :
1. sidang harus dilakukan secara tertutup
2. bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali secara
mufakat para pihak memilih bahasa asing 3.
para pihak yang bersengketa memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk didengarkan
4. memungkinkan masuknya pihak ketiga di luar dari perjanjian
arbitrase ini, untuk turut serta atau menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase ini di luar dari arbiter
jika terdapat unsure kepentingan yang terkait. 5.
Jangka waktu pemeriksaan maksimal 180 seratus delapan puluh hari terhitung sejak dibentuknya arbiter, yang dapat diperpanjang
bila kepentingan para pihak menghendaki 6.
Pilihan hukum harus di lakukan secara tegas, dimana hukum yang dipilih adalah hukum yang dikenal oleh para pihak, yang berlaku
secara nasional di tempat mana para pihak berdomisili secara hukum, patut dan tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum
serta harus memenuhi azas Ex aequo et bono pengambilan hukum berdasarkan ketentuan hukum atau keadilan dan kepatutan.
b. Perjanjian ini memungkinkan untuk dijatuhkannya putusan Provisional
putusan sela terlebih dahulu walaupun proses arbitrase itu sendiri belum
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
selesai, yang jangka waktu pelaksanaannya tidak turut diperhitungkan dalam pelaksanaan arbitrase itu sendiri. Misalnya :
1. penetapan sita jaminan
2. memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga
3. memerintahkan penjualan barang yang mudah rusak busuk
4. dan lain sebaginya
c. Perjanjian arbitrase ini harus dibuat dalam bentuk tertulis
d. Perjanjian ini mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang
menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara para pihak, jadi klausula arbitrase ini hanya merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian
pokok, yang sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan dari perjanjian pokok itu sendiri
e. Tempat pemeriksaan sengketa ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter
kecuali jika para pihak yang bersengketa ingin menentukannya sendiri. f.
Pemeriksaan saksi atau saksi ahli jika diperlukan dihadapan arbiter atau majelis arbiter diselenggarakan menurut ketentuan hukum acara perdata.
g. Arbiter atau majelis arbiter diperkenankan untuk mengadakan
pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan, atau hal lainnya yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
h. Segera setelah arbiter atau majelis arbiter terbentuk para pihak harus
segera mengajukan surat permohonan untuk penyelesaian sengketa yang sedang dialami para pihak dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh
arbiter yang bersangkutan untuk dapat segera dijawab oleh arbiter sebagai persyaratan formil.
i. Dalam pertemuan pertama antara para pihak yang bersengketa dengan
arbiter atau majelis arbiter, arbiter atau majelis arbiter harus berupaya untuk terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang
bersebgketa tersebut, dan jika hal tersebut tercapai maka arbiter pula yang membuat akta perdamaian yang final dan mengikat serta kemudian
memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.
j. Putusan Arbitrase bersifat akhir final dan mengikat binding sehingga
dalam putusan arbitrase ini tidak dikenal adanya proses banding, kasasi atau PK.
k. Pelaksanaan
putusan arbitrase
harus dilakukan
selambatnya 30 tiga puluh hari sejak dilakukannya Akta Pendaftaran putusan
Arbitrase tersebut yang kemudian menghasilkan permohonan eksekusi oleh pihak Pengadilan sebagai jawaban atas akta pendaftaran putusan
arbitrase dilakukan pada Pengadilan Negeri l.
Perintah untuk pelaksanaan hasil putusan dari arbitrase ini dipegang oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
e Konsiliasi : dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa Konsiliasi adalah
merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan litigasi dilaksanakan
40
Konsiliasi tunduk pada ketentuan atau dasar hukum
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata antara lain pasal 1851 hingga pasal 1864, dan Undang – Undang Nomor 30 tahun 1999 pasal 6 ayat 7 jo ayat 8 ,
yang isinya sebagai berikut: 1. hasil kesepakatan para pihak harus dibuat dalam bentuk tertulis
2. kesepakatan tersebut harus ditanda tangani bersama oleh para pihak yang bersengketa
3. hasil kesepakatan yang tertulis dan telah ditanda tangani para pihak yang bersengketa tersebut kemudian harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri paling
lama 30 tiga puluh hari sejak ditanda tangani. 4. Pelaksanaan putusan harus dilakukan paling lama 30 tiga puluh hari sejak
dilakukan pendaftaran ke Pengadilan Negeri. Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata pasal 1851 juga dikatakan
bahwa “ Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri
suatu perkara yang sedang bergantung, ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. ”
40
Ibid., hal. 94
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Pelaksanaan Konsiliasi ini dilakukan sebelum sidang peradilan litigasi sehingga Konsiliasi dapat dilakukan untuk mencegah
dilangsungkannya peradilan litigasi dalam tingkat manapun oleh para pihak yang bersengketa
B. Penyebab Masyarakat Batak Toba di Kota Medan Memilih Untuk
Menyelesaikan Sengketa Lewat Penyelesaian Sengketa Alternatif
Dari keterangan tentang cara atau upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan diatas, cara yang paling sering dipakai oleh masyarakat Batak Toba di kota
Medan apabila mereka sedang mengalami suatu sengketa adalah upaya Konsultasi
terlebih dahulu kepada orang yang dituakan misal Raja Adat, Pengurus Organisasi,
Pengurus Gereja, lalu para pihak yang bersengketa melakukan Negosiasi, dan
apabila proses negosiasi buntu, kemudian oleh orang yang dituakan tersebut para
pihak berupaya melakukan Mediasi.
Dalam prakteknya mediasi ini dilakukan dengan memakai seorang mediator yang berfungsi sebagai penengahnya. Mediator tersebut harus benar – benar
memiliki komitmen untuk selalu berada di tengah – tengah para pihak yang bersengketa, sehingga mediator tersebut mampu untuk bersikap netral bijak dan adil
terhadap para pihak yang bersengketa. Mediator pula yang berperan penting dalam proses penyelesaian sengketa
yang dialami para pihak yang bersengketa, sehingga tujuan awal dari diadakannya proses penyelesaian sengketa yaitu untuk mengakhiri konflik atau sengketa dapat
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
terwujud dan membuahkan hasil berupa perdamaian bagi seluruh pihak yang terkait di dalamnya.
Mediator selain tidak bersifat formal sebagaimana lewat pengadilan cara atau prakteknya juga dapat dibuat sebagaimana pertemuan biasa sehingga mediator
berperan juga untuk mencairkan susana yang cenderung kaku dan tegang akibat konflik atau sengketa yang dialami para pihak sehingga seluruh pihak termasuk
mediator itu sendiri dapat merasa nyaman dan berkepala dingin di sepanjang pertemuan sehingga akhirnya para pihak yang bersengketa dapat menguasai diri
untuk tidak terjebak dalam emosi mereka masing – masing terutama ketika salah satu pihak sedang membicarakan permasalahan yang dialami dan pihak lainnya
mendengarkan. Alasan – alasan masyarakat Batak Toba khususnya masyarakat Batak Toba di
Kota Medan, pada umumnya lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa yang mereka alami dengan bermusyawarah lewat upaya Mediasi dengan memakai seorang
mediator sebagai penengahnya adalah :
1.
Sejarah Atau Legenda Putri Manggalae Sebagai Asal Muasal Dari Lahirnya Prinsip Dalihan Natolu
41
41
www. Marbun,blog spot.com 2006 ……. Dalihan – Na – tolu, diakses terakhir pada tanggal 10
Juli 2009
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Pada suatu hari Raja Panggana yang terkenal pandai memahat dan mengukir
mengadakan pengembaraan keliling negeri. Untuk biaya hidup, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk memahat patung atau mengukir rumah. Walaupun
sudah banyak daerah negeri yang dilaluinya dan banyak patung dan ukiran yang dikerjakannya, masih terasa padanya kekurangan yang membuatnya selalu gelisah.
Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia hendak mengasingkan diri pada satu tempat sunyi. Dalam perjalanan di padang belantara yang penuh dengan alang-alang
ia sangat tertarik pada sebatang pohon tunggal yang hanya itu saja terdapat pada padang belantara. Melihat sebatang pohon tunggal itu Raja Panggana tertegun.
Diperhatikan dahan pohon itu, ranting dan daunnya. Entah apa yang tumbuh pada dirinya, ia melihat pohon itu seperti putri menari. Dikeluarkan alat-alatnya, ia
mulai bekerja memahat pohon itu menjadi patung seorang putri yang sedang menari. Ia sangat senang, gelisah hilang. Sebagai seorang seniman ia baru pernah mengagumi
hasil kerjanya yang begitu cantik dan mempesona. Seolah-olah dunia ini menjadi miliknya. Makin dipandangnya hasil kerjanya, makin terasa padanya keagungan.
Pada pandangan demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang.
Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu. Raja Panggana senang dan bahagia bersama patung
putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan ? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini terakhir kali. Demikian Raja Panggana
dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian hidupnya.
Beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Baoa Partigatiga demikian nama pedagang itu tertegun melihat kecantikan
dan gerak sikap tari patung putri itu. Alangkah cantiknya si patung ini bila saya beri berpakaian dan perhiasan. Baoa Partigatiga membuka kain dagangannya. Dipilihnya
pakaian dan perhiasan yang cantik dan dipakaikan kepada patung sepuas hatinya. Baoa Partigatiga semakin terharu, karena ia belum pernah melihat patung
ataupun manusia secantik itu. Dipandanginya patung tadi seolah-olah ia melihat patung itu mengajaknya menari. Menarilah Baoa Partigatiga mengelilingi patung
sepuas hatinya. Setelah puas menari ia berusaha membawa patung dengannya tetapi tidak dapat, karena hari sudah makin gelap, ia berpikir kalau patung ini tidak kubawa
biarlah pakaian dan perhiasan ini kutanggalkan. Tetapi apa yang terjadi, pakaian dan perhiasan tidak dapat ditanggalkan Baoa
Partigatiga. Makin dicoba kain dan perhiasan makin ketat melekat pada patung. Baoa Partigatiga berpikir, biarlah demikian. Untuk kepuasan hatiku baiklah aku menari
sepuas hatiku terakhir kali dengan patung ini. Ia menari sepuas hati. Ditinggalkannya patung dengan penuh haru ditempat sunyi dan sepi dipadang rumput tiada berkawan.
Entah apa yang mendorong, entah siapa yang menyuruh seorang dukun perkasa yang tiada bandingannya di negeri itu berlalu dari padang rumput tempat
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
patung tengah menari. Datu Partawar demikian nama dukun. Perkasa terpesona melihat patung di putri. Alangkah indahnya patung ini apabila bernyawa. Sudah
banyak negeri kujalani, belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik ini. Datu Partawar berpikir mungkin ini suatu takdir. Banyak sudah orang yang kuobati
dan sembuh dari penyakit. Itu semua dapat kulakukan berkat Yang Maha Kuasa. Banyak cobaan padaku diperjalanan malahan segala aji-aji orang dapat
dilumpuhkan bukan karena aku, tetapi karena Yang Maha Agung memberi tawar ini padaku. Tidak salah bila saya menyembah Dia Yang Maha Agung dengan tawar yang
diberikannya padaku, agar berhasil membuat patung ini bernyawa. Dengan tekad yang ada padanya, Datu Partawar menyembah menengadah keatas dengan mantra,
lalu menyapukan tawar pada tangannya pada patung. Tiba-tiba halilintar berbunyi menerpa patung. Sekitar patung diselimuti embun putih penuh cahaya.
Waktu embun putih berangsur hilang nampaklah seorang putri jelita datang bersujud menyembah Datu Partawar. Datu Partawar menarik tangan putri, mencium
keningnya lalu berkata : mulai saat ini kau kuberi nama si Boru Nai Manggale yang artinya Nai : Putri, Mang : membuat, Gale : lemas, lemah gemulai dalam menari .
Kemudian Datu Partawar mengajak Putri Naimanggale pulang kerumahnya. Konon kata cerita kecantikan Putri Naimanggale tersiar ke seluruh negeri. Para perjaka
menghias diri lalu bertandang ke rumah Putri Naimanggale. Banyak sudah pemuda yang datang tetapi belum ada yang berkenan pada hati Putri Naimanggale.
Berita kecantikan Putri Naimenggale sampai pula ketelinga Raja Panggana dan Baoa Partigatiga. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat Putri
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Naimanggale teringat akan sebatang kayu yang dipahat menjadi patung manusia. Demikian pula Baoa Partigatiga sangat heran melihat kain dan hiasan yang dipakai
Putri Naimanggale adalah pakaian yang dikenakannya kepada Patung, Putri dipadang rumput. Ia mendekati Putri Naimanggale dan meminta pakaian dan hiasan itu kembali
tetapi tidak dapat karena tetap melekat di Badan Putri Naimanggale. Karena pakaian dan hiasan tidak dapat terbuka lalu Baoa Partigatiga
menyatakan bahwa Putri Naimanggale miliknya. Raja Panggana menolak dan balik menuntut Putri Naimanggale miliknya karena ia yang memahat dari sebatang kayu.
Saat itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Apalah arti patung dan kain kalau tidak bernyawa.
Sayalah yang membuat nyawanya maka ia berada di dalam kehidupan. Apapun kata kalian itu tidak akan terjadi apabila saya sendiri tidak memahat patung itu dari
sebatang kayu. Baoa Partigatiga tertarik memberikan pakaian dan perhiasan karena pohon
kayu itu telah menajdi patung yang sangat cantik. Jadi Putri Naimanggale adalah milik saya kata Raja Panggana. Baoa Partigatiga balik protes dan mengatakan, Datu
Partawar tidak akan berhasrat membuat patung itu bernyawa jika patung itu tidak kuhias dengan pakaian dan hiasan. Karena hiasan itu tetap melekat pada tubuh patung
maka Raja Partawar memberi nyawa padanya. Datu Partawar mengancam, dan berkata apa arti patung hiasan jika tidak
bernyawa? Karena saya yang membuat nyawanya, maka saya pemilik Putri Naimanggale. Bila tidak, Putri Naimanggale kukembalikan pada keadaan semula.
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Raja Panggana dan Baoa Partigatiga berpendapat lebih baiklah Putri Naimanggale kembali kepada keadaan semula jika tidak menjadi miliknya.
Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusan. Karena sudah kecapekan, mereka mulai sadar dan mempergunakan pikiran
satu sama lain. Pada saat yang demikian Datu Partawar menyodorkan satu usul agar masalah ini diselesaikan dengan hati tenang didalam musyawarah. Raja Panggana dan
Baoa Partigatiga mulai mendengar kata-kata Datu Partawar. Datu Partawar berkata : marilah kita menyelesaikan masalah ini dengan hati
tenang didalam musyawarah dan musyawarah ini kita pergunakan untuk mendapatkan kata sepakat. Apabila kita saling menuntut akan Putri Naimanggale
sebagai miliknya saja, kerugianlah akibatnya karena kita saling berkelahi dan Putri Naimanggale akan kembali kepada keadaan semula yaitu patung yang diberi hiasan.
Adakah kita dalam tuntutan kita, memikirkan kepentingan Putri Naimanggale? Kita harus sadar, kita boleh menuntut tetapi jangan menghilangkan
harga diri dan pribadi Putri Naimanggale. Tuntutan kita harus didasarkan kepentingan Putri Naimanggale bukan demi kepentingan kita. Putri Naimanggale saat sekarang ini
bukan patung lagi tetapi sudah menjadi manusia yang bernyawa yang dituntut masing-masing kita bertiga. Tuntutan kita bertiga memang pantas, tetapi marilah
masing-masing tuntutan kita itu kita samakan demi kepentingan Putri Naimanggale. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mengangguk-angguk tanda setuju dan
bertanya apakah keputusan kita Datu Partawar ? Datu Partawar menjawab, Putri
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Naimanggale adalah milik kita bersama. Mana mungkin, bagaimana kita membaginya. Maksud saya bukan demikian, bukan untuk dibagi sahut Datu Partawar.
Demi kepentingan Putri Naimanggale marilah kita tanyakan pendiriannya. Mereka bertiga menanyakan pendirian Putri Naimanggale. Dengan mata
berkaca-kaca karena air mata, air mata keharuan dan kegembiraan Putri Naimanggale berkata “Saya sangat gembira hari ini, karena kalian bertiga telah menanyakan
pendirian saya. Saya sangat menghormati dan menyayangi kalian bertiga, hormat dan kasih sayang yang sama, tiada lebih tiada kurang demi kebaikan bersama. Saya tiada
arti bila kalian cekcok dan saya sangat berharga bila kalian damai.” Mendengar kata-kata Putri Naimanggale itu mereka bertiga tersentak dari
lamunan keakuannya masing-masing, dan memandang satu sama lain. Datu Partawar berdiri lalu berkata : Demi kepentingan Putri Naimanggale dan
kita bertiga kita tetapkan keputusan kita : a.
Karena Raja Panggana yang menciptakan dengan memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah ia menjadi Ayah Putri Naimanggale AMANG
SUHUT atau identik dengan Dongan Tubu b.
Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru Putri Naimanggale BORU
c. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung,
maka pantas ia menjadi Tulang Putri Naimanggale HULA-HULA Mereka bertiga setuju akan keputusan itu dan sejak itu mereka membuat
perjanjian, padan atau perjanjian mereka disepakati dengan :
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
1 Pertama, bahwa demi kepentingan dari Putri Naimanggale, maka Raja Panggana,
Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin akan terjadi setelahnya dengan jalan musyawarah.
2 Kedua, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri
Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.
Demikian legenda PUTRI NAI MANGGALE yang menggambarkan turi-
turian asal muasal dari DALIHAN NA TOLU di dalam kekerabatan Batak.
2. Prinsip Dalihan Natolu
Prinsip Dalihan Natolu itu sendiri, dimana dikatakan bahwa Dalihan Natolu,
Paopat Sihal – Sihal artinya : Tungku Berkaki Tiga, dengan Batu Penyela sebagai yang keempat. Dalam hal ini Sihal – sihal sebagai kaki tungku yang
keempat, berfungsi sebagai batu penyela atau penegak yang disisipkan ditengah ketiga kaki tungku, jika tungku goyah atau miring.
Dalam prakteknya secara nyata, sihal – sihal ini ada ketika ketiga unsur Dalihan Natolu itu terlibat konflik atau sengketa tertentu yang mengakibatkan
pertengkaran, maka Sihal – sihal sengaja dipilih atau dimunculkan oleh para pihak yang bersengketa sebagai penengah atau juru damai antara mereka agar
konflik atau persengketaan dapat didamaikan. Sihal – sihal dipilih dari para tua – tua atau orang yang disegani para
pihak yang bersengketa dalam masyarakat tersebut namun sihal – sihal harus berasal dari luar para pihak atau orang yang tidak ada sama sekali terlibat dalam
konflik atau persengketaan mereka, agar dapat dijamin kenetralan dan keadilan
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
dari putusan Sihal – sihal itu nantinya yang tidak boleh memihak pada salah satu pihak atau berat sebelah.
Sihal – sihal dapat dipilih dari unsur Dalihan Natolu sendiri, dalam hal ini bila konflik atau sengketa belum terlalu besar dan rumit. Biasanya bila sengketa
terjadi hanya akibat masalah ringan, salah paham yang masih dapat diselesaikan oleh kalangan intern mereka saja.
Umumnya Sihal – sihal adalah Hula – hula yang kedudukannya lebih tinggi dan cukup disegani pihak yang bersengketa. Hula – hula kemudian
menasehati kedua belah pihak yang bersengketa, dan berusaha bersama mencari penyelesaian sengketa yang sedang terjadi.
Melihat posisi Sihal – Sihal tersebut sangat diharapkan bahwa keberadaan Sihal – sihal sebagai penengah atau juru damai dengan cara para pihak berikut
sihal – sihal duduk bersama dan bermusyawarah atau bermufakat mencari jalan keluar permasalahan yang sedang mereka alami.
Para pihak kemudian mengemukakan permasalahan mereka dengan syarat melepas semua ketegangan di antara mereka dan membicarakannya dengan
kepala dingin dan bijak, bukan dengan amarah. Peran Sihal – sihal berada disepanjang pertemuan itu untuk
mempertemukan dan memberikan titik tengah yang bersifat netral bagi para pihak sehingga dapat ditemukan titik terang atau jalan keluarnya..
Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009.
Peran sihal – sihal kemudian juga muncul kembali di akhir pertemuan membuat kesepakatan terhadap para pihak yang bersengketa atas jalan keluar
yang diambil sebagai penyelesaian sengketa mereka. Dihadapan Sihal – sihal para pihak yang bersengketa berdamai dan
berjanji satu sama lain untuk menjalankan keputusan bersama dengan penuh komitmen dan berjanji jika kesepakatan dilanggar, maka pihak yang bersangkutan
bersedia dikenai sanksi sebagai hukuman atas kelalaiannya.
3. Nilai Budaya Bermusyawarah Untuk Mufakat Yang Ada Sejak Dahulu