Keaslian Penelitian Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. d. Untuk menambah wawasan kaum akademisi perihal hukum adat, dimana nantinya akan dapat dipergunakan oleh kaum akademisi tersebut dalam menunjang aktivitas perkuliahan mereka. e. Untuk membuka pola pikir masyarakat luas perihal adat istiadat masyarakat Batak Toba yang telah berdomisili di wilayah perkotaan yang amat jarang bersentuhan secara langsung dengan adat istiadat tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian pada kepustakaan umum di Universitas Sumatera Utara maupun pada kepustakaan khusus Program Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara, ternyata belum pernah dilakukan penelitian yang membahas tentang “Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Dalam Masyarakat Batak Toba – Studi di Kota Medan” . Oleh karena itu, penelitian ini baik dari segi substansi maupun dari segi ilmiah dapat Saya pertanggung jawabkan, baik secara moril maupun materiil.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum untuk menemukan suatu hukum baru diperlukan suatu penelitian lebih lanjut terhadap objek yang akan diteliti. Dalam melakukan penelitian tersebut, Peneliti harus berpedoman Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. pada metodologi, imajinasi sosial, dan teori yang dipakai sebagai dasar dari penelitian yang akan dilakukan. Fungsi teori di dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan suatu arahan petunjuk serta menjelaskan hal yang akan diteliti, sehingga karena penelitian ini merupakan penelitian sosiologis, maka kerangka teori diarahkan secara khusus pada hubungan antara Teori konflik yang dikemukakan oleh Dahrenrof pakar aliran Sosiologi Modern dan Teori Delik atau Tindak Pidana Adat, sebagai teori yang dilakukan pada sumber atau awal dari terjadinya atau timbulnya sengketa, yaitu yang dikemukakan oleh Van Vollen Hoven pakar Hukum Adat Indonesia . Teori Konflik oleh Dahrenrof adalah teori yang mengarahkan perhatiannya pada kepentingan – kepentingan kelompok dan orang yang saling bertentangan dalam struktur sosial dan pada cara di mana konflik kepentingan ini menghasilkan perubahan sosial yang terus menerus. 8 1. Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan ; perubahan sosial ada di mana – mana. Dari pengertian dasar di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pengertian teori Konflik secara ringkas adalah sebagai berikut : 2. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik ; konflik sosial ada di mana – mana. 3. Setiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan. 4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain. 9 Sedangkan pengertian delik atau tindak pidana adat sebagai sumber atau awal dari terjadinya atau timbulnya sengketa yang sering terjadi di masyarakat. Teori delik atau tindak pidana adat ini dikemukakan oleh Van Vollen Hoven yang isinya bahwa delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun dalam 8 Doyle Paul Johnson ; Teori Sosiologi , Klasik dan Modern, Jilid II ; Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta ; 1990 ; hal. 194. 9 Ibid ; Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. kenyataannya peristiwa atau perbuatan tersebut hanya merupakan sumbang yang kecil saja. 10 Teori selanjutnya yang dipakai Penulis dalam penelitian ini adalah Teori Kerja Sama oleh WILLIAM DAN DOBSON, Kerangka teori penulisan ini diarahkan pada awal mula terjadi sengketa antara para pihak yaitu di satu pihak adalah pelaku dan di pihak lain adalah korban yang mana kepentingannya dirugikan atas perbuatan pelaku tersebut, sebagai bagian dari masyarakat sosial. Hubungan antara Teori Konflik dan Teori Delik atau Tindak Pidana Adat tersebut di atas terhadap sengketa adalah apabila perbuatan delik atau tindak pidana adat tersebut dilakukan walaupun perbuatan tersebut hanya merupakan sumbang kecil saja namun telah ada pihak yang merasa dirugikan , perbuatan tersebut menimbulkan terjadi konflik atau sengketa antara pelaku dan pihak yang merasa kepentingannya dirugikan atau korban dari perbuatan tersebut, sehingga akibatnya maka terjadilah perubahan sosial di masyarakat. 11 3. Motivasi moral, sebab dengan bekerjasama, dapat diterima secara moral yang isinya bahwa Perubahan biasanya tidak dapat berjalan tanpa adanya kerjasama dari semua pihak, sehingga demi perubahan tersebut, maka kerjasama dilakukan. Teori kerja sama ini menjelaskan mengapa manusia mau bekerja sama dan bagaimana manusia itu bekerjasama, yaitu : 1. Motivasi untuk memperoleh penghargaan atau rasa khawatir akan mendapatkan hukuman 2. Motivasi kesetiaan terhadap profesi, pekerjaan, atau perusahaan 4. Motivasi untuk menjalankan keahlian 5. Motivasi karena kerjasama tersebut sesuai dengan sikap hidup yang ada di masyarakat 6. Motivasi kepatuhan terhadap kekuasaan. 10 Hilman Hadikusuma ; Hukum Pidana Adat ; Alumni ; Tanjungkarang ; 1984 ; hal.19. 11 www.sadikinkuswanto.wordpress.com...change management.theory-, diakses terakhir tanggal 19 Agustus 2009 Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Teori selanjutnya yang mendukung teori kerja sama di atas adalah Teori Keseimbangan atau Balance Theory oleh FRITZ HEIDER, 12 Teori lain penelitian diarahkan pada susunan atau tatanan sosial kemasyarakatan suku Batak Toba , disebut istilah lembaga “ Dalihan Natolu ” yaitu teori yang merupakan aliran humanistic dan lebih bersifat subjektif dan timely artinya hasil dari teori ini lebih bergantung si pelaku karena nilai – nilai yang tertanam dalam diri seseorang turut mempengaruhi sikap dan prilakunya dan tergantung pada waktu tertentu dimana hasilnya tidak akan sama pada kurun waktu yang berbeda, dimana isinya yaitu “ ketika timbul ketegangan antara atau di dalam diri seseorang, maka ia akan mencoba untuk meredam atau mengatasinya dengan cara mempersuasi diri sendiri atau mempersuasi orang lain.” Hubungan kedua teori ini terhadap sengketa adalah bahwa apabila terjadi suatu sengketa di tengah – tengah anggota masyarakatnya maka masyarakat yang bersangkutan cenderung untuk melakukan kerjasama dalam rangka menyelesaikan sengketa tersebut agar tercipta kembali suatu keseimbangan yang sempat rusak dalam hubungan sosial di lingkungan pergaulan mereka. Dengan kata lain, bahwa teori kerja sama ini diperlukan untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang pernah rusak akibat sengketa yang terjadi di dalam suatu masyarakat. 13 Dalihan adalah tungku. Biasanya tungku tersebut terdiri dari tiga buah batu tripod yang bentuk dasarnya rata, atasnya agak mengerucut dan diposisikan Disebut lembaga karena Dalihan Natolu memiliki 3 tiga unsur penting yang mendukung kinerja lembaga, yaitu Hula – hula, Dongan Tubu dan Boru. 12 www.yekai 2000.blogspot.com…balance theory – teori keseimbangan. html, diakses terakhir tanggal 19 Agustus 2009 13 Doangsa P.L. Situmeang , op. cit., hal 24. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. membentuk segi tiga, dengan celah di antara batu untuk menyurukkan kayu api. Karena periuk yang dipakai di zaman dahulu terbuat dari tembikar, dengan dasarnya agak cembung, maka formasi segi tiga dari kaki tungku tersebut sangat tepat fit hingga dasar periuk mudah dijerangkan atau didudukkan diatas tungku, stabil dan tidak goyah. Selain ketiga batu tersebut, masih disediakan batu pipih yang dinamakan Sihal – Sihal, artinya Penyela. Bila periuk yang didudukkan tersebut terlihat miring atau sedikit goyah, maka Sihal – sihal atau Batu Penyela ini disisipkan di antara sisi luar periuk dan batu kaki tungku sehingga periuk tidak goyah. Karena itu penyebutan yang benar adalah Dalihan Natolu, Paopat Sihal – Sihal artinya : Tungku Berkaki Tiga, dengan Batu Penyela sebagai yang keempat. Namun, dengan sebutan Dalihan Natolu saja, penganutnya sudah dapat mengerti dan menerimanya 14 Alasan sihal – sihal atau batu penyela harus dipilih dari tua – tua marga tetangga dari luar kelompok masyarakat bersangkutan adalah agar lebih terjamin prinsip keadilan dan netralitas proses penyelesaian sengketa, hingga hasilnya dapat lebih dipertanggungjawabkan karena dianggap bahwa pihak luar yang menjadi Sihal Lembaga Dalihan Natolu ini melambangkan Pengakuan adanya pembagian masyarakat hukum adat Batak Toba ke dalam Tiga Kelompok Utama. Kaki keempat disebut Sihal – sihal atau Batu Penyela, berfungsi hanya jika dibutuhkan, yaitu jika ketiga kelompok menemui konflik tertentu, hingga dalam proses penyelesaian sengketa diperlukan pihak keempat yang berfungsi sebagai juru damai, penengah atau mediator. Yang dapat dipilih sebagai Sihal – sihal, batu penyela atau mediator tersebut pada umumnya adalah tua – tua marga tetangga yang berasal dari luar kelompok masyarakat yang bersangkutan. 14 Ibid Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. – sihal akan benar – benar berada ditengah – tengah netral para pihak yang bersengketa dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa . Lembaga Dalihan Natolu ini di dalam hubungan dan tatanan sosial di masyarakat secara nyata dalam prakteknya di masyarakat digerakkan oleh Marga. Sehingga, Marga memegang peranan yang sangat penting di dalam tatanan sosial masyarakat hukum adat Batak Toba. Marga diibaratkan sebagai api yang memanaskan, dan menghangatkan atau sebagai tenaga penggerak driving force dalam berbagai hubungan sosial dari masyarakat Dalihan Natolu. Marga ini memiliki pengertian lengkap sebagai berikut “ Marga adalah nama persekutuan dari orang – orang bersaudara, sedarah, seketurunan menurut garis ayah, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama di daerah asal atau tanah leluhur. ” 15 Dasar dari pembentukan Marga adalah keluarga suami, isteri dan putra – putri yang merupakan kesatuan yang akrab, yang mengalami serta menikmati Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa marga adalah sebagai nama warisan secara turun temurun yang dicantumkan dibelakang nama pribadi. Marga tersebut telah terpatri sebagai nama kesatuan atau persekutuan keluarga besar yang bersangkutan sejak si bayi masih dalam kandungan. Sehingga marga di dalam masyarakat hukum adat Batak Toba dianggap sebagai jati diri, nama, pengenal, identitas, baik identitas pribadi maupu n identitas kelompok. 15 Ibid., hal 32. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. kehidupan bersama, pemilikan benda serta pertanggungan jawab atas kelanjutan hidup keturunan. Fungsi Marga adalah sebagai landasan pokok yang mengatur ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat Batak terhadap hubungan antara pribadi – pribadi, antara pribadi dan golongan, antara golongan dan golongan dalam konteks tatanan sosial kemasyarakatan Dalihan Natolu. Tujuan dari dibentuknya Marga tersebut adalah untuk membina serta melestarikan kekompakan serta solidaritas sesama anggota marga sebagai keturunan dari satu nenek moyang atau leluhur. Pembagian kelompok masyarakat yang digerakkan oleh marga inilah yang kemudian berkembang menjadi suatu stuktur sosial kemasyarakatan social structure of society bagi orang – orang Batak. 16 1. Dongan Sabutuha : memiliki pengertian dasar yaitu “ mereka yang berasal dari rahim yang sama”. Ketiga kelompok tersebut, terdiri dari : 17 Pada perkembangannya disebutkan bahwa Dongan Sabutuha adalah orang- orang yang berasal dari satu marga, karena Suku Batak menurut sejarah atau legenda yang dikenal adalah garis keturunan Patrillineal, yaitu garis keturunan berdasarkan Kebapakan dan diturunkan kepada anak lelakiputranya. 16 Ibid ; hal 24. 17 J.C. Vergouwen ; Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba; Pustaka Azet; Jakarta; Cet. I – 1986; hal 23 Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Sistem kekerabatan patrillineal inilah yang kemudian menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri dari turunan-turunan, marga dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis lelaki. Lelaki itulah yang kemudian membentuk kelompok kekerabatan dongan sabutuha perempuan menciptakan hubungan Besan affinal relationshi karena ia harus kawin dengan lelaki dari kelompok patrillineal yang lain. 18 2. Hula – Hula : artinya adalah orang – orang yang berasal dari marga asal istri. Pihak hula – hula ini pada prinsipnya adalah pihak yang harus dihormati, dan disembah bahkan dahulu kala menurut sejarahnya pada tradisi Batak kuno religi Batak yang masih menganut paham atau ajaran Animisme sebelum ajaran Agama masuk ke Tanah Batak, pihak Hula – hula yang memberi berkat sebagaimana Tuhan memberkati manusia dan dapat pula memberi kutukan bila perintah Hula – hula dilanggar atau pihak Hula – hula marah oleh suatu sebab tertentu. Jadi siapapun harus dan wajib menghormati bahkan menyembah Hula – hula sebagaimana ia menyembah tuhannya. Sehingga dapat dikatakan dari ketiga kelompok tatanan sosial masyarakat Batak ini, Hula – hula menempati posisi Dongan Sabutuha ini juga dikenal dalam prakteknya di masyarakat dengan istilah Dongan Tubu. Misalnya antara pria marga Siregar dengan pria marga Siregar lainnya, antara pria marga Nainggolan dengan pria marga Nainggolan lainnya, dan lain - sebagainya . 18 Ibid. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. tertinggi kedua setelah posisi Raja Adat di kampung halaman mereka, dan posisi ketiga setelah tuhan pada masa tersebut. Misal pria marga Siregar ini menikah dengan wanita boru untuk wanita sebutan marga terhadapnya adalah boru Manullang, maka hula – hula pria marga Siregar tersebut adalah seluruh pria marga Manullang. 3. Boru : artinya adalah orang – orang yang berasal dari marga asal suami. Dahulu, menurut sejarahnya, Pihak Boru ini adalah pihak yang menerima berkat dari hula – hula. Boru harus diperlakukan dengan baik, dibujuk, dikasihi sebagaimana seorang Ayah mengasihi, melindungi anak – anaknya. Namun, sebagai konsekuensi dari hal tersebut, maka Boru memiliki tugas dalam acara – acara adat, Pihak Boru yang wajib untuk bekerja, misalnya memasak, menerima tamu, mempersiapkan hidangan yang akan dinikmati bersama, menjamu para tamu, memotong daging yang akan dibagi – bagi menurut bagiannya masing – masing, dan lain sebagainya bila suatu acara adat berlangsung. Sementara pihak Hula – hula duduk di tempat yang terhormat di tengah – tengah lokasi acara adat berlangsung. Misalnya pria marga Siregar ini yang menikah dengan wanita boru Manullang tersebut di atas, maka pihak boru dari pria marga Siregar tersebut adalah seluruh wanita boru Siregar. Ketiga kelompok tersebut diatas saling bergerak, berhubungan selaras, seimbang dan teguh dalam satu tatanan kemasyarakatan. Dalihan Natolu ini dapat disamakan pula dengan inkubator, tempat orang Batak ditempa untuk menerima latihan kemampuan untuk memilah – milah membedakan dan kemampuan penyesuaian sebagai ciri dari sikap hidup demokratis. 19 19 Doangsa P.L. Situmeang ; Op. cit., hal. 27; Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Timbul suatu prinsip dalam menentukan sikap atau prilaku yang harus ditampilkan acceptable attitude dari pembagian ketiga kelompok masyarakat tersebut. Prinsip tersebut adalah “ Manat Mardongan tubu, Somba Marhula – hula dan Elek Marboru ” yang artinya “ Manat atau berhati – hati be careful dan menjaga sikap terhadap dongan sabutuha,dongan tubu, atau orang – orang semarga, Somba, hormat respect merupakan sikap yang ditampilkan pada Hula – hula, dan Elek, lemah lembut persuasive , penuh kasih sayang adalah sikap yang harus ditampilkan pada Boru. Prinsip tersebut di atas timbul dari falsafah hidup masyarakat Batak itu sendiri yang telah ada sejak dahulu kala, dari nenek moyang mereka yaitu : Molo naeng ho gabe, hormat ma ho marhula – hula Molo naeng ho sangap, denggan, denggan ma ho marsabutuha Molo naeng ho mamora, elek ma ho marboru. 20 20 T. M. Sihombing ; Jambar Hata , Dongan Tu Ulaon Adat ; Tulus Jaya ; Medan ; 1989 ; hal. 103 Yang artinya : Kalau ingin Engkau beranak – cucu, memiliki keturunan berhasil, jaya, hormatlah pada hula – hula Kalau ingin namamu baik dan hormat dilihat orang banyak, baik, baiklah kau pada dongan tubu kawan semarga Kalau ingin Engkau kaya, penuh kasih sayang, rayu dan baiklah kau pada boru Kelanjutan dari prinsip tersebut, yaitu : Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna . 21 Setiap warga Dalihan Natolu tidak akan tetap selamanya berfungsi sebagai Dongan Sabutuha, atau sebagai Hula – hula maupun sebagai Boru. Namun, setiap warga Dalihan Natolu memiliki atau menyandang ketiga fungsi tersebut dan melekat pada dirinya. Kendati demikian, hanya salah satu dari fungsi tersebut yang ditampilkan pada saat dan situasi tertentu. Bukan ketiganya, dengan demikian, setiap anggota atau warga Dalihan Natolu memiliki tri – fungsi Yang artinya : Siapa yang tidak menghormati hula – hula, akan kesulitan memperoleh rejeki Kalau tidak hati – hati pada kawan semarga, akan menimbulkan pertikaian Dan, kalau tidak kasih bujuk pada boru, maka tidak akan mendapat berkat 22 21 www. Marbun. Blogspot.com2006…dalihan – na – tolu, diakses terakhir pada 10 Juli 2009 22 Doangsa P.L. Situmeang ; Op. Cit., hal. 25 dalam kepribadiannya di dalam adat istiadat atau tatanan sosial masyarakat adat. Tri fungsi maksudnya bahwa Dalihan Natolu memiliki 3 tiga fungsi yang masing – masing dari ketiga fungsi tersebut tidak berlaku sekaligus dan bersamaan dalam satu waktu namun masing – masing dari ketiga fungsi tersebut berlaku secara terpisah di tempat dan situasi berbeda dalam satu waktu tertentu. Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. Prinsip lembaga Dalihan Natolu ini, agar dapat diwujudkan terutama di dalam acara - acara adat, maka pernikahan yang dianjurkan dan dianggap lazim atau umum dan dapat diterima dalam sistem tatanan sosial masyarakatnya adalah pernikahan dengan sistem Eksogami yang artinya pernikahan antar marga atau pernikahan dengan marga yang berbeda, sehingga pernikahan yang dilakukan terhadap sesama atau satu anggota marga incest dilarang dan sangat dianggap pantang atau tabu. Pada zaman dahulu jika ditemukan pernikahan incest tersebut, maka sebagai konsekuensi atau hukuman yang diterima oleh yang bersangkutan adalah mereka dikucilkan, atau dikeluarkan dari keanggotaan masyarakat bahkan dapat diusir dari kampung halaman mereka karena dianggap telah mempermalukan keluarga besar mereka. Prinsip Dalihan Natolu ini muncul setelah anggota masyarakat hukum adat tersebut menikah. Sehingga dapat di katakan bahwa adat istiadat ini mulai berlaku adalah sejak adanya Pernikahan anggota masyarakat adat tersebut, dan pernikahannya pun harus juga dilakukan secara adat selain secara agama, agar yang bersangkutan dapat masuk kedalam lingkungan atau tatanan sosial masyarakat hukum adat bersangkutan. Pernikahan secara adat maksudnya pihak keluarga laki – laki yang akan menikahi seorang perempuan anak dari salah satu anggota masyarakat adat Batak Toba tersebut harus lebih dahulu membayar adat kepada pihak keluarga si perempuan Wira Susanty Manalu : Eksistensi Penyelesaian Sengketa Alternatif Pada Masyarakat Batak Toba Studi Di Kota Medan, 2009. yang berkedudukan sebagai Hula – hula . Hal tersebut dikenal dengan istilah Mangadati. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka pernikahan mereka tidak sah secara adat, dan keberadaan keluarga mereka beserta keturunan mereka nantinya tidak akan diperhitungkan ke dalam masyarakat adat manapun, baik di pihak keluarga laki – laki maupun di pihak keluarga perempuan. Sebagai konsekuensi dari pernikahan yang tidak dilakukan secara adat tersebut, maka apabila terdapat suatu acara adat tertentu di dalam keluarga besar mereka nantinya misalnya acara adat pernikahan, acara adat kematian, dan lainnya maka pasangan ini, beserta keturunannya tidak akan dapat diikut sertakan di dalam proses kegiatannya.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, dimana peranan konsepsi dalam penelitian ini adalah dapat menghubungkan suatu teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan.