Anak Tunadaksa

6. Anak Tunadaksa

a. Pengertian

Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh. Anak tunadaksa masih dapat belajar dengan menggunakan semua indranya tetapi akan menemui kesulitan apabila mereka harus belajar dengan kegiatan melakukan ketrampilan fisik. Seringkali orang menilai bahwa anak tunadaksa adalah yang mengalami kehilangan anggota tubuh. Penilaian tersebut tentu saja kurang benar karena yang termasuk anak tunadaksa

commit to user

tunadaksa, berikut dijelaskan beberapa pengertian dari pendapat ahli. Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) tunadakasa adalah “anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan

khusus” (hlm. 13). Menurut Somantri (2006) tunadaksa berarti “suatu keadaan rusak atau

terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, sendi dalam fungsinya yang normal” (hlm. 121).

Sedangkan Wardani, dkk (2009) menjelaskan anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai “penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada

sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi” (hlm.7.3).

Menurut pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunadaksa adalah anak yang mengalami gangguan atau kelainan pada otot, tulang, dan sendinya sehingga mengalami gangguan dalam fungsi alat geraknya.

b. Penyebab

Seperti juga kondisi ketunaan yang lain, tunadaksa dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Di bawah ini dipaparkan beberapa penyebab ketunadaksaan menurut pendapat ahli.

Menurut Somantri (2006) ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1) Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran:

a) Faktor keturunan,

b) Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan,

c) Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak,

d) Pendarahan pada waktu kehamilan,

e) Keguguran yang dialami ibu.

2) Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:

commit to user

vacuum, dan lain-lain) yang tidak lancar,

b) Penggunaan obat bius pada waktu kelahiran.

3) Sebab-sebab sesudah kelahiran:

a) Infeksi,

b) Trauma,

c) Tumor,

d) Kondisi-kondisi lainnya. Efendi (2006) menjelaskan kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh

atau tunadaksa dapat terjadi pada saat:

1) Sebelum anak lahir (prenatal), diantaranya:

a) Faktor genetik.

b) Kerusakan pada sistem saraf pusat.

c) Anoxia prenatal.

d) Gangguan metabolisme pada ibu.

e) Faktor rhesus.

2) Saat lahir (neonatal), diantaranya:

a) Kesulitan saat persalinan.

b) Pendarahan pada otak saat dilahirkan.

c) Kekurangan oksigen.

3) Setelah anak lahir (postnatal), diantaranya:

a) Faktor penyakit, seperti meningitis (radang selaput otak), enchepalitis (radang otak), influensa, diphteria, partusis, dll.

b) Faktor kecelakaan, misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena benturan benda keras, terjatuh dari tempat yang berbahaya bagi tubuhnya khususnya bagian kepala yang melindungi otak.

c) Pertumbuhan tubuh/tulang yang tidak sempurna. Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa penyebab tunadaksa dapat

terjadi dikarenakan penyakit atau kecelakaan yang terjadi saat sebelum dilahirkan (prenatal), saat dilahirkan (neonatal), dan setelah dilahirkan (postnatal).

commit to user

c. Karakteristik

Untuk mengenal anak tunadaksa maka perlu diketahui karakteristiknya. Karakteristik siswa tunadaksa menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) adalah sebagai berikut:

1) Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,

2) Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak

terkendali),

3) Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak

sempurna/lebih kecil dari biasa,

4) Terdapat cacat pada alat gerak,

5) Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,

6) Kesulitan pada saat berdiri,/ berjalan/ duduk dan menunjukkan

sikap tubuh tidak normal (hlm. 14).

Menurut Wardani, dkk (2009) karakteristik anak tunadaksa ditinjau dari beberapa segi, antara lain:

1) Karakteristik akademis anak tunadaksa meliputi ciri khas kecerdasan, kemampuan kognisi, persepsi dan simbolisasi mengalami kelainan karena terganggunya sistem cerebral sehingga mengalami hambatan dalam belajar, dan mengurus diri. Anak tunadaksa karena kelainan pada sistem otot dan rangka tidak terganggu sehingga dapat belajar seperti anak normal.

2) Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa menunjukkan bahwa konsep diri dan respon serta sikap masyarakat yang negatif terhadap anak tunadaksa mengakibatkan anak tunadaksa merasa tidak mampu, tidak berguna, dan menjadi rendah diri. Akibatnya, kepercayaan dirinya hilang dan akhirnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Mereka juga menunjukkan sikap mudah tersinggung, mudah marah, lekas putus asa, rendah diri, kurang dapat bergaul, malu dan suka menyendiri, serta frustasi berat.

3) Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh, juga mengalami gangguan lain, seperti sakit

commit to user

dan gangguan motorik. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunadaksa memiliki karakteristik:

1) Dari segi fisik anak tunadaksa sudah dapat dikenali karena memang

mengalami gangguan pada tulang, otot, sendi, dan saraf.

2) Anak tunadaksa memiliki kemampuan intelektual yang sama dengan anak normal, ada yang di bawah rata-rata, rata-rata, dan di atas rata- rata.

3) Dalam hal penyesuaian diri dengan lingkungan anak tunadaksa tergantung dari sikap penerimaan keluarga dan masyarakat di sekitar anak tunadaksa tinggal.

4) Ada beberapa anak tunadaksa yang mengalami gangguan selain pada tulang, otot, sendi, dan saraf yaitu juga mengalami gangguan penglihatan, pendengaran, dan gangguan kesehatan lainnya.

d. Klasifikasi

Untuk memudahkan dalam pemberian layanan khusus maka anak tunadaksa perlu diklasifikasikan. Menurut Abdurrachman dan Sudjadi (1994) klasifikasi anak tunadaksa berdasarkan pada jenis-jenis gangguan atau kerusakan fisik dan kesehatan, sebagai berikut:

1) Cerebral palsy,

2) Spina bifida,

3) Muscular dystrophy,

4) Head trauma,

5) Amputasi,

6) Penyakit kronis,

7) Epilepsi,

8) Juvenile diabetic mellitus,

9) Diabetis shock,

commit to user

11) Cistic fibroses,

12) Hemophilia,

13) Luka bakar,

14) Poliomyelitis spinal cords. Menurut Frances G. Koening dalam Somantri (2006) tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi:

a) Club-foot (kaki seperti tongkat).

b) Club-hand (tangan seperti tongkat).

c) Polydactylism (jari-jari yang lebih dari lima pada masing-masing

tangan atau kaki).

d) Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan

yang lainnya).

e) Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).

f) Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak

tertutup).

g) Cretinism (kerdil/katai).

h) Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).

i) Hydrocephalus (kepala yang besar karena berisi cairan). j) Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang). k) Herelip (gangguan pada bibir dan mulut). l) Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha). m) Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh

tertentu). n) Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang). o) Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar). p) Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).

2) Kerusakan pada waktu kelahiran:

commit to user

tertarik waktu kelahiran).

b) Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).

3) Infeksi:

a) Tuberkolusis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi

kaku).

b) Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang

karena bakteri).

c) Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan

kelumpuhan).

d) Pott’s disease (tuberkolusis susmsum tulang belakang).

e) Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan

permanen pada tulang).

f) Tuberkolusis pada lutut atau pada sendi lain.

4) Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik:

a) Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan).

b) Kecelakaan akibat luka bakar.

c) Patah tulang.

5) Tumor:

a) Oxostosis (tumor tulang).

b) Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi cairan di

dalam tulang).

6) Kondisi-kondisi lainnya:

a) Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak berteluk).

b) Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung).

c) Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung).

d) Perthe’s disease (sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan).

e) Rickets (tulang yang lunak karena nutrisi, menyebabkan kerusakan

tulang dan sendi).

f) Scilosis (tulang belakang yang berputar, bahu dan paha yang

miring) (hlm. 123-125).

commit to user

dikelompokkan menjadi:

1) Anak tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped), ialah anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian, baik dibawa sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan) sehingga terganggunya fungsi tubuh secara normal.

2) Anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped), yaitu anaka tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf otak. Wardani, dkk (2007) menggolongkan anak tunadaksa bermacam-

macam. Salah satu diantaranya dilihat dari sistem kelainannya yang terdiri dari (1) kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada bagian tulang, otot, dan sendi.

2) Anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem saraf.