Anak Tunalaras

7. Anak Tunalaras

a. Pengertian

Berbeda dengan kecacatan lain, tunalaras mencakup populasi yang sangat heterogen. Sebagian orang awam mengasosiasikan bahwa anak tunalaras adalah anak yang sering menimbulkan keonaran dan keresahan, baik di sekolah maupun masyarakat seperti mabuk, mencuri, membolos sekolah, dan lain-lain. Tunalaras juga mempunyai istilah yang bervariasi seperti gangguan emosional, perilaku menyimpang, kelainan tingkah laku. Dalam PLB istilah yang resmi digunakan adalah tunalaras.

commit to user

tunalaras sebagai berikut: Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian

diri dan tingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya (hlm.32).

Menurut Undang-Undang Pokok Pendidikan Nomor 12 Tahun 1952 dalam Efendi (2006) anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain (hlm. 143).

Somantri (2006) mendefinisikan anak tunalaras adalah “anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya ” (hlm. 140).

Sedangkan Wardani, dkk (2009) menyebut anak tunalaras apabila:

1) Menunjukkan penyimpangan perilaku yang terus-menerus menurut norma yang berlaku sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar dan penyesuaian diri.

2) Penyimpangan itu tetap ada walaupun telah menerima layanan belajar serta bimbingan. Belum ada definisi tunalaras yang berlaku secara universal karena

sulitnya memberikan definisi yang mencakup keadaan tunalaras secara jelas. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku secara terus menerus sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan khusus.

commit to user

b. Penyebab

Ada bermacam-macam teori tentang penyebab ketunalarasan. Kauffman dalam Sunardi (1995) mengklasifikasikan penyebab

ketunalarasan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1) Faktor keluarga, seperti peran orang tua, jumlah anak, pola interaksi dalam keluarga, hadirnya orang tua tiri, hadirnya anggota keluarga lain, dan lain-lain.

2) Faktor biologis, seperti kelainan genetika, kelainan perilaku, gegar otak, kekurangan gizi atau salah makan, penyakit atau kecacatan tubuh.

3) Faktor sekolah, seperti: pendidik yang tidak sensitif terhadap kepribadian anak, harapan pendidik yang lebih rendah kepada anak- anak yang menyandang kecacatan, teknik pengendalian perilaku yang tidak konsisten di sekolah, penyajian materi yang bagi anak tidak jelas manfaatnya, pola pemberian imbalan (reinforcement) yang keliru, dan model/contoh yang tidak baik dari orang-orang di lingkungan sekolah (hlm. 62). Patton dalam Efendi (2006) mengklasifikasikan penyebab

ketunalarasan secara umum, yaitu: a) faktor penyebab bersifat internal adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu itu sendiri, seperti keturunan, kondisi fisik dan psikisnya, dan b) faktor penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu terutama lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah (hlm. 147) .

Menurut Somantri (2006) faktor-faktor yang menyebabkan ketunalarasan adalah:

1) Kondisi/ keadaan fisik,

2) Masalah perkembangan,

3) Lingkungan keluarga,

4) Lingkungan sekolah,

commit to user

Muhammad (2008) menyampaikan bahwa faktor penyebab ketunalarasan antara lain:

1) Aspek keluarga dan suasana di rumah, misalnya orang tua bercerai, orang tua terlalu sibuk bekerja hingga mengabaikan anaknya, dan kemiskinan yang menjadikan anak rendah diri.

2) Aspek pergaulan dan suasana di sekolah, misalnya sering diejek karena kekurangan yang ada pada diri anak. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab ketunalarasan

dikarenakan faktor kondisi anak dan lingkungan tempat tinggalnya.

c. Karakteristik

Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda, begitu pula dengan anak tunalaras. Untuk memberikan pelayanan khusus maka perlu mengetahui karakteristik anak terlebih dahulu supaya anak dapat dengan mudah menerima peleayanan tersebut.

Karakteristik menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) anak tunalaras adalah sebagai berikut:

1) Cenderung membangkang.

2) Mudah terangsang emosinya/ emosional/ mudah marah.

3) Sering melakukan tindakan aggresif, merusak, mengganggu.

4) Sering bertindak melanggar normal sosial/ norma susila/ hukum. Efendi (2006) ciri-ciri yang menonjol pada kepribadian anak tunalaras, antara lain “kurang percaya diri, menunjukkan sikap curiga terhadap orang lain, rendah diri, dan sebaliknya menunjukkan sikap permusuhan terhadap lingkungan/otorita, mengisolasi diri, kecemasan yang berlebihan, tidak memiliki ketenangan jiwa, sering melakukan perkelahian atau bentrokan”

(hlm.160).

commit to user

sebagai berikut:

1) Tidak dapat berbicara dengan fasih walaupun telah mencapai usia

yang cukup untuk mampu berbicara.

2) Prestasi kognitif kurang baik.

3) Perkembangan sosial yang tidak baik.

4) Menunjukkan tingkah laku yang hiperaktif.

5) Suka mengganggu orang lain.

6) Suka membelokkan pembicaraan.

7) Suka menyendiri.

8) Sering melamun.

9) Pemarah.

10) Kurang sabar.

11) Sering marasa gelisah (hlm.131).

Wardani, dkk (2009) memberikan pandangan mengenai karakteristik anak tunalaras dari segi akademik, sosial/emosional, dan fisik/kesehatan.

1) Karakteristik akademik, yang terdiri dari:

a) Pencapaian hasil belajar yang jauh di bawah rata-rata.

b) Seringkali dikirim ke kepala sekolah atau bimbingan konseling

untuk tindakan disipliner.

c) Sering kali tidak naik kelas atau bahkan keluar sekolahnya.

d) Sering kali membolos sekolah.

e) Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan dengan alasan sakit,

perlu istirahat.

f) Anggota keluarga terutama orang tua lebih sering mendapat panggilan dari petugas kesehatan atau bagian absensi.

g) Orang yang bersangkutan lebih sering berurusan dengan polisi.

h) Lebih sering menjalani masa percobaan dari yang berwenang.

i) Sering melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran tanda-

tanda lalu lintas. j) Lebih sering dikirim ke klinik bimbingan.

2) Karakteristik sosial/emosional, yang terdiri dari:

commit to user

norma budaya, dan perilaku melanggar aturan keluarga, sekolah, dan rumah tangga.

b) Perilaku ditandai dengan adanya tindakan agresif.

c) Melakukan kejahatan remaja.

d) Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak

e) Adanya rasa gelisah

3) Karakteristik fisik/kesehatan Pada aspek ini, karakteristik anak ditandai dengan adanya gangguan makan, tidur, dan gerakan. Anak sering merasa adanya sesuatu yang beres pada jasmaninya, ia merasa cemas pada kesehatannya, buang air tidak terkendali, jorok, dan lain-lain. Dari beberapa pendapat yang telah menguraikan karakteristik anak

tunalaras dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Cenderung membangkang.

2) Mudah terangsang emosinya/ emosional/ mudah marah.

3) Sering melakukan tindakan aggresif, merusak, mengganggu.

4) Sering bertindak melanggar normal sosial/ norma susila/ hukum.

5) kurang percaya diri,

6) menunjukkan sikap curiga terhadap orang lain.

7) mengisolasi diri,

8) kecemasan yang berlebihan,

9) Prestasi kognitif kurang baik.

10) Menunjukkan tingkah laku yang hiperaktif

11) Suka menyendiri dan sering melamun.

12) Pemarah dan kurang sabar.

13) Sering marasa gelisah.

14) Sering kali tidak naik kelas, membolos sekolah, dan bahkan keluar sekolahnya.

commit to user

sesuatu yang beres pada jasmaninya, ia merasa cemas pada kesehatannya, buang air tidak terkendali, jorok, dan lain-lain.

d. Klasifikasi

Untuk memudahkan pelayanan dan pengorganisasian pendidikan anak tunalaras, maka perlu diadakan klasifikasi.

Kauffman dalam Sunardi (1995) mengklasifikasikan anak tunalaras dalam dua klasifikasi, antara lain:

1) Klasifikasi psikiatris

a) Tingkat ringan atau sedang Neurosis /psychoneurosis/gangguan kepribadian: penyimpangan perilaku ditandai dengan konflik emosi dan kecemasan, tetapi masih mempunyai hubungan dengan dunia nyata.

b) Tingkat berat (1) Psychosis: penyimpangan perilaku ditandai dengan penyimpangan pola-pola perilaku normal dalam berfikir, berbicara, dan bertindak.

(2) Schizophrenia: gangguan jiwa ditandai dengan distorsi berfikir, persepsi tidak normal, dan perilaku atau emosi yang aneh. (3) Autism: gangguan jiwa tingkat berat pada masa kanak-kanak, ditandai dengan isolasi diri secara berlebihan, perilaku aneh, keterlambatan perkembangan, biasanya mulai dapat diamati

pada usia sebelum 2 1 / 2 tahun.

2) Klasifikasi behavioristik Pada kelompok ini jenis-jenis gangguan perilaku yang terjadi antara lain:

a) Gangguan pengendalian diri; meliputi tindakan menyerang orang lain, pemarah, merusak, nakal, tidak kooperatif, menolak arahan, tidak pernah diam, ramai, pembohong, berbicara kasar, iri, suka

commit to user

gangguan perhatian, pendendam.

b) Agresif berkelompok; meliputi tingkah laku berteman dengan anak-anak jahat, mencuri secara berkelompok, setia pada teman yang nakal, menjadi anggota geng, keluar rumah sampai larut, bolos sekolah, lari dari rumah.

c) Cemas, menarik diri; meliputi sikap yang takut/tegang, sangat pemalu, menyendiri, sedih/depresi, terlalu sensitif, mudah tersinggung, kurang percaya diri, mudah bingung, sering menangis, sangat tertutup.

d) Kekurangdewasaan/kekurangmatangan; meliputi gejala gangguan pemusatan perhatian, melamun, lemah koordinasi, tidak berinisiatif/pasif,

kesulitan

mengingat, mengantuk,

pembosan/kurang minat, dan ceroboh (: 28-34). Efendi (2006) mengklasifikasikan anak tunalaras menjadi:

1) Tunalaras kategori kesulitan penyesuaian sosial, kelompok anak yang mengalami kesulitan penyesuaian sosial dikarenakan adanya hal-hal yang bersifat fungsional,

2) Tunalaras kategori gangguan emosi, yaitu kelompok anak yang mengalami kesulitan penyesuaian sosial dikarenakan adanya hal-hal yang bersifat neurotic dan psikotic, yang bentuk gangguannya antara lain anxiety neurotis, astenica neurotic, dan hysterica konversia.

Cruickshank dalam Somantri (2006) mengemukakan bahwa anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami hambatan sosial dan gangguan emosi. Anak tunalaras yang mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) The semi-socialize child Anak pada kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya keluarga dan kelompoknya.

commit to user

Anak dalam kelompok ini perkembangan emosinya berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dalam pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya.

3) Children with minimum socialization capacity Anak tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap- sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois. Anak tunalaras yang mengalami gangguan emosi dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Neurotic behavior Anak pada kelompok ini masih dapat bergaul dengan orang lain, akan tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang mampu diselesaikannya. Keadaan ini disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan Pembelajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.

2) Children with psychotic processes Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang sangat berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Hal ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan misalnya, minuman keras dan obat-obatan dalam (hlm. 141). Sedangkan Resembera, dkk dalam Wardani, dkk, (2009)

mengklasifikasikan anak tunalaras menjadi 2 kelompok yaitu:

1) Tingkah laku anak tunalaras yang beresiko tinggi, yaitu hiperaktif, agresif, pembangkang, delinkuensi dan anak yang menarik diri dari pergaulan sosial.

commit to user

skizofrenia (hlm. 7.29). Dari beberapa pendapat di atas belum ada kesamaan dalam

mengklasifikasikan anak tunalaras tetapi dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Neurosis/psychoneurosis/gangguan kepribadian.

5) Gangguan pengendalian diri.

6) Agresif.

7) Cemas, menarik diri.

8) Kekurangdewasaan/kekurangmatangan.