BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Mahasiswa merupakan suatu kelompok individu dalam masyarakat yang memperoleh statusnya melalui perguruan tinggi tempat mereka menuntut ilmu.
Secara administratif, mahasiswa ialah orang yang terdaftar di perguruan tinggi akademik, institut, universitas, mengikuti semester berjalan dan memiliki kartu
mahasiswa untuk pembuktian. Menurut Baharuddin Makin dalam Naam, 2009
mahasiswa merupakan
subjek yang
memiliki potensi
untuk mengembangkan pola kehidupannya, dan sekaligus menjadi objek dalam
keseluruhan bentuk aktivitas dan kreativitasnya, sehingga diharapkan mampu menunjukkan kualitas daya yang dimilikinya.
Menjadi seorang mahasiswa yang sukses dalam pendidikannya tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Sukadji 2001 menyatakan bahwa untuk sukses
dalam pendidikan dan berhasil menerapkan ilmu yang diperolehnya, mahasiswa harus menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya serta mengatur strategi
belajar yang jitu. Mahasiswa yang sukses akan mengatur diri sendiri, mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, menciptakan kondisi yang
optimal untuk belajar, dan menghilangkan rintangan yang dapat mengganggu proses belajar Dembo, 2004.
Dunia mahasiswa bukan lagi dunia sebagaimana layaknya di SMA dulu yang masih dibimbing orang tua atau guru. Dunia mahasiswa sudah menuntut
individu untuk mandiri dalam segala hal. Di kampus, ketika ada tugas, dosen hanya memberikan gambaran umum tentang tugas tersebut, selebihnya
dikembalikan kepada mahasiswa atau ketika dosen menjelaskan pelajaran, mereka hanya memberikan jalan atau gambaran umum kepada mahasiswa. Berbeda
dengan guru-guru ketika di SMA, mereka benar-benar membimbing LDK Al- Uswah, 2010. Oleh karena itu untuk mendapatkan prestasi akademik yang
memuaskan di perguruan tinggi, diperlukan adanya kesiapan belajar yang mencakup kesiapan mental dan keterampilan belajar Ginting, 2003.
Universitas Sumatera Utara USU
adalah salah satu penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia. Universitas yang terletak di kota Medan ini telah
berdiri sejak tahun 1952 dan telah menghasilkan banyak alumni dan
dipersiapkan menjadi pusat pendidikan tinggi di kawasan Barat Indonesia. Sebagai Badan
Hukum Milik Negara BHMN yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, USU menuntut agar mahasiswa
USU mempersiapkan diri menjadi anggota masyarakat dengan kemampuan akademik
untuk menerapkan,
mengembangkan, memperkaya,
dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengembangan
aplikasinya untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat Buku Pedoman Peraturan Akademik USU. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut tentu saja
bukan hal yang mudah, mengingat besarnya tugas dan beban kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa.
Di bawah ini komunikasi personal peneliti dengan beberapa mahasiswa tentang beban perkuliahan di USU:
“yang namanya kuliah tiada hari tanpa tugaslah pastinya. Kadang sepanjang hari itu hanya untuk tugas ajalah, gak di kampus gak di rumah
tugas aja yang mau dikerjain” HCT, Komunikasi Personal, 10 Januari 2014
“dulu mikirnya kuliah itu enak, tugasnya dikit, dan suka-suka. Karena kebetulan aku punya kakak sepupu yang kuliah di salah satu universitas
swasta, dan kalo diamat-amati dia selalu santai dan kayaknya gak pernah ada tugas gitu. Jadi aku mikir semua yang kuliah itu gitu. Ternyata gak,
kuliah itu benar-benar beda dengan waktu SMA kak. Apalagi kuliahnya di USU, tugasnya banyak banget dan benar-benar menyiksa. Bayangkan
dalam seminggu itu, semua dosen kasih tugas. Jadi kadang gak bisa ngatur waktu. Kalo udah kayak gini kak, nanti bawaannya marah-marah sama
sensitif gitu karena otaknya dipaksa terus” RM, Komunikasi Personal, 10 Januari 2014.
Dari komunikasi personal yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh bahwa ternyata beban perkuliahan di USU itu memang tinggi, terutama untuk mahasiswa
program studi S-1 program sarjana yang dijadwalkan dapat menyelesaikan studinya dalam 8 delapan semester dengan beban kredit 144-148 SKS. Dengan
demikian, dibutuhkan suatu strategi belajar yang dapat membantu mahasiswa dalam menghadapi tugas-tugas dan beban perkuliahan tersebut.
Selain itu, berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara No:1178H5.1.RSKKRK2008
tentang kebijakan
akademik Universitas
Sumatera Utara, pada bab II pasal 2 mengenai kebijakan umum disebutkan bahwa pelaksanaan
pendidikan di
lingkungan USU
dirancang dengan
mempertimbangkan pergeseran paradigma pendidikan yang semula lebih fokus pada pengajaran oleh dosen menjadi fokus pada pembelajaran oleh mahasiswa
student-learning. Menurut Santrock 2004 dalam prinsip student-learning, peserta didik aktif, memiliki tujuan dan mampu mengatur pembelajaran sendiri
self regulated learning yang meliputi beberapa faktor, yaitu metakognitif, tujuan proses pembelajaran, konstruksi pengetahuan, pemikiran strategis, konteks
pembelajaran dan sifat proses pembelajaran. Self regulated learning juga merupakan salah satu strategi belajar yang mempunyai peran penting dalam
menentukan kesuksesan di perguruan tinggi Spitzer, 2000. Zimmerman dan Martinez-Pons 1990 menyatakan bahwa self regulated
learning adalah konsep mengenai bagaimana seorang peserta didik menjadi pengatur bagi belajarnya sendiri. Schunk dalam Schunk Zimmerman, 1998
menyatakan bahwa self regulated learning dapat dikatakan berlangsung bila peserta didik secara sistematis mengarahkan perilaku, kognisi, dan afeksinya
dengan cara memberi perhatian pada instruksi tugas-tugas, melakukan proses dan mengintegrasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi untuk diingat serta
mengembangkan dan memelihara keyakinan positif tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya.
Zimmerman dalam Woolfolk, 2004 menambahkan bahwa dalam penerapan self regulated learning seorang peserta didik mengaktifkan dan
mendorong kognisi cognition, perilaku behaviour dan perasaannya affect yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan belajar. Agar
mencapai tujuan belajar tersebut, peserta didik yang menerapkan self regulated learning mendekati tugas belajar dengan berbagai strategi manajemen sumber
daya seperti memilih atau mengatur lingkungan fisik untuk mendukung belajar dan mengatur waktu mereka secara efektif Wahyono, 2008.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marpaung 2012 terhadap 270 orang mahasiswa USU menunjukkan bahwa 80 orang 29.6 memiliki self
regulated learning pada kategori rendah, 116 orang 42.9 pada kategori sedang, dan 74 orang 27.4 pada kategori tinggi. Hasil ini tentu saja masih jauh dari
harapan, terutama bagi mahasiswa yang memiliki self regulated learning pada kategori rendah, mengingat besarnya tanggung jawab serta beban perkuliahan
yang ditanggung oleh mahasiswa. Seharusnya mahasiswa USU memiliki self regulated learning yang lebih baik sehingga proses belajarnya dapat berjalan
dengan lebih baik. Apalagi mengacu pada visi universitas yaitu “University for
Industry ”. Untuk dapat mencapai visi tersebut mahasiswa USU harus mampu
mengatur proses pembelajarannya dengan baik dengan cara menjadi regulator bagi belajarnya sendiri, sehingga tujuan belajar yang diharapkan dapat tercapai,
dan akhirnya akan menjadi lulusan yang kompeten dan siap pakai serta berdayaguna di masyarakat.
Penelitian yang dilakukan Pintrich dan De Groot dalam Wolters, 1998 menemukan bahwa peserta didik yang menerapkan strategi self regulated learning
menunjukkan motivasi intrinsik dan self efficacy serta prestasi yang lebih tinggi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Spitzer 2000 juga menunjukkan
bahwa self regulated learning berkaitan erat dengan performansi akademik pada mahasiswa di mana mahasiswa yang menerapkan strategi self regulated learning
mengambil alih afeksi, pikiran dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi belajar yang baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa self regulated
learning berhubungan positif dengan self-efficacy Hodges, Stackpole-Hodges,
Cox, 2008; Scott, Dearing, Reynolds, Lindsay, Baird Hamill, 2008; Schunk Zimmerman, 2007 dan juga dengan kecerdasan emosional Declerck, Boone
De Brabander, 2006; Seligson McPhee, 2004; West Albrecht, 2007. Papalia dalam Gunarsa, 2004 menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
dapat mengembangkan regulasi diri adalah proses perhatian dan kesadaran terhadap emosi negatif. Seseorang yang memberikan atensi atau perhatian serta
sadar akan emosi negatif adalah individu yang mengenali diri dan memahami emosinya sehingga mampu meregulasi dirinya dengan lebih baik. Selanjutnya,
Gilliom dalam Gunarsa, 2004 mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi diri adalah regulasi emosional. Seseorang yang mampu meregulasi
emosinya dengan baik akan mampu meregulasi diri dalam tugas-tugas tertentu. Hal ini disebabkan karena kondisi emosional akan mempengaruhi bagaimana
seseorang dalam berperilaku sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam
penerapan self
regulated learning,
kemampuan dalam
mengendalikan dan meregulasi emosi menjadi salah satu faktor yang sangat penting, dimana self regulated learning tidak hanya mengarah pada perilaku dan
kognisi saja, akan tetapi peran afeksi perasaan juga turut berkontribusi dalam mewujudkan tercapainya tujuan belajar. Papalia dan Olds 2001 juga menyatakan
bahwa regulasi diri juga berkaitan dengan kemampuan mental serta pengendalian emosi, dimana seluruh perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian emosi
dan kemampuan sosialisasi yang baik, membawa seseorang dapat mengatur dirinya dengan baik. Kemampuan dalam meregulasi emosi ini dikenal dengan
istilah kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain Goleman, 2005. Hal ini berkaitan dengan kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan
emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.
Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya seseorang memiliki kecerdasan emosional. Hasil penelitian Gottman 1997 menunjukkan fakta bahwa
pentingnya kecerdasan emosional dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan mengaplikasikan kecerdasan emosional dalam kehidupan akan berdampak positif
baik dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademis, kemudahan dalam membina hubungan dengan orang lain, dan meningkatkan resiliensi Gottman, 1997.
Berdasarkan komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap beberapa mahasiswa USU, diperoleh informasi bahwa ternyata mengelola emosi
dengan baik memberikan dampak yang baik bagi proses belajarnya. “pintar saja sebenarnya gak cukup. Tapi bagaimana mengatur diri
dan mengatur emosi dengan baik itu gak kalah penting buat saya. Saya gak pintar-pintar kali kok, tapi prestasi saya gak buruk juga, bisa dibilang
cukup memuaskan. Kadang-kadang ada hal-hal yang membuat saya bad- mood dan menimbulkan emosi negatif, namun saya selalu berusaha
mengatasinya dengan baik agar tidak berdampak pada kuliah saya. Kalo emosinya sudah bagus, tentu akan sangat membantu untuk mengatur
proses belajar saya sendiri.” RCS, Komunikasi Personal, 26 Januari 2014
Dalam penerapan self regulated learning pada mahasiswa, kecerdasan emosional menjadi salah satu hal yang penting. Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi
emosional menurut Pintrich dan Groot 1990, dapat memberi perubahan self regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan pengunaan proses-
proses metakognitif. Mahasiswa dengan kecerdasan emosional yang baik memiliki kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri, serta berorientasi ke arah
perbaikan diri. Kemampuan ini membantu mahasiswa tersebut dalam menghadapi beban dan tugas-tugas dalam perkuliahan serta mewujudkan proses pembelajaran
yang tepat. Mahasiswa yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan mampu
menahan diri pada waktu emosinya bergejolak. Dengan demikian mereka akan mengarahkan emosi negatif secara efektif dan mengubahnya menjadi emosi
positif bagi kemajuan dirinya. Selain itu, mereka juga memotivasi dirinya untuk belajar lebih baik, meninggalkan atau menjauhi hal-hal yang dapat merugikan
dalam belajar Santoso, 2008. Emosi yang dikelola dengan baik tersebut akan menjadi sumber energi, autensitas, dan semangat yang kuat yang dapat
memberikan sumber intuitif bagi mahasiswa. Dengan kemampuan mengelola emosi secara efektif dan baik, seorang mahasiswa akan mampu menjadi pengatur
atau regulator bagi proses belajarnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Berdasarkan dinamika di atas dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional
yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi bagaimana regulasi diri dalam belajarnya. Dengan demikian peneliti tertarik untuk melihat adakah pengaruh
kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara.
B. RUMUSAN MASALAH