4.3.1 Analisis Strength, Weakness, Opportunities, dan Threats SWOT
Analisis SWOT dijalankan dengan lebih dulu menentukan faktor internal dan eksternal. Hal ini digunakan juga untuk menentukan rekomendasi strategi
alternatif penegakan hukum.
1 Faktor Internal
Faktor internal berupa kekuatan strength yang didapat dari lembaga penegak hukum.
1 Sarana penunjang patroli Sarana penunjang patroli merupakan bagian penting dalam mendukung
sumberdaya kelautan dan perikanan. Tanpa sarana yang memadai dan dapat diandalkan, pengawasan tidak dapat dilakukan dengan optimal. Sarana penunjang
patroli antara lain alat utama sistem senjata alusita, sistem pemantauan kapal perikanan atau vessel monitoring system VMS, borgol, seragam pengawas, peta,
pentungan, peratuan perundang-undangan dan lain-lain. Sarana penunjang ini berfungsi agar lembaga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Senjata
digunakan untuk mengamankan diri apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan misalnya terjadi serangan baku tembak di laut. Vessel monitoring system VMS
berfungsi untuk menentukan posisi koordinat kapal. Fasilitas ini terdiri dari pusal pemantauan kapal atau fishing monitoring system FMS, transmitter VMS on-
line, dan transmitter
VMS off-line. Hal ini berfungsi untuk mencatat posisi penting misalnya posisi kapal yang melakukan pelanggaran penangkapan tanpa
surat izin. Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri telah memasang transmitter
VMS on-line pada 4.168 unit kapal perikanan berukuran lebih dari 60 GT, dan transmitter VMS off-line pada 1500 unit kapal berukuran 30-60 GT
KKP 2012. Peneliti mendapatkan informasi bahwa untuk senjata yang menempel di atas kapal Polair hanya senjata RPD Kaliber 12,7.
2 Satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah Sistem pengawasan merupakan sistem terintergrasi antar wilayah. Lembaga
pengawasan memiliki satuan kecil yang bertempat di masing-masing daerah. Mereka bertugas untuk mengamankan perairan laur di wilayahnya. Terdapat
satuan Polair di setiap Polda, Dinas Kelautan dan Perikanan di masing-masing daerah dan penempatan armada perang siap tempur TNI AL pada titik terluar
Indonesia. Terdapat 31 Polair di setiap Polda hingga tahun 2011 yang dapat dilihat pada Lampiran 1 www.polair.or.id.
Selain Kepolisian, KKP juga memiliki satuan kewilayahan yang disebut Dinas Kelautan dan Perikanan. Pada tingkat pengawasan, KKP juga memiliki
Unit Pelaksana Teknis UPT Satuan Kerja Satker dan Pos Pengawasan SDKP yang tersebat diseluruh Indonesia. Daftar Dinas Kelautan dan Perikanan dapat
dilihat pada Lampiran 2 www.kkp.go.id dan daftar UPT Satker dan Pos Pengawasan SDKP Lampiran 3 KKP 2012.
Apabila KKP memiliki Dinas Kelautan dan Perikanan dan Polisi memiliki Polair di setiap daerah untuk menjalankan fungsi pengawasannya, maka TNI AL
juga memilikinya namun berbeda. TNI AL menggunakan sistem militer show of force
. Sistem militer ini merupakan sistem sistem yang selam ini dipercaya untuk menjaga pulau-pulau kecil terluar. Selain itu dapat juga digunakan untuk menjaga
perikanan setempat dari illegal fishing dan destruktive fishing. Shof of force dilaksanakan dengan menempatkan kekuatan militer seperti personil TNI AL dan
armada perang berupa kapal laut dan alusita Paonganan 2010. 3 Memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung
Unsur penting lain dari pengawasan adalah personil atau SDM. Masing- masing lembaga tentu memilikinya, seperti satuan pengawas pada PSDKP,
personil Polair dan perwira TNI AL. Personil yang ada menentukan kesuksesan dari kegiatan pengawasan yang dilakukan. Jumlah perwira TNI AL hingga tahun
2009 berjumlah 74.963 orang Tempo 2010. Sedangkan untuk Polair memiliki jumlah personil sebanyak 1666 orang.
Jumlah awak kapal atau personil patroli PSDKP dari tahun 2007 hingga tahun 2011 selalu mengalami penambahan. Tahun 2007 sebanyak 215, 2008
sebanyak 252, 2009 sebanyak 313, 2010 sebanyak 340 dan tahun 2011 sebanyak 346 personil KKP 2011. Pembagian personil patroli berdasarkan kapal
pengawasan dapat dilihat pada Lampiran 4. 4 Terdapat Dasar Hukum
Dasar hukum telah lebih dulu dibahas pada analisi hukum. Masing-masing lembaga penegak hukum memang memiliki dasar kuat dalam melakukan fungsi
pengawasan. PSDKP memiliki dasar hukum berupa Undang-Undang Nomor 45
tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan. Polisi air memiliki dasar hukum Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. TNI AL memiliki dasar hukum Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
5 Terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum MoU Lembaga-lembaga pengawasan menyadari bahwa mereka tidak akan
mempu menjalankan fungsinya secara optimal sendiri. Kesepakatan antar lembaga dijalankan untuk membentuk kerjasama yang baik. Kesepakatan yang dibentuk,
menuntut masing-masing lembaga dalam perannya agar tidak keluar dari apa yang telah disepakati. Kesepakatan ini juga yang menjadi dasar adanya patroli bersama.
Adapun faktor internal berupa kelemahan weakness dijelaskan sebagai berikut:
1 Kurangnya jumlah kapal patroli Ketersediaan kapal patroli masing dirasa minim jumlahnya. Kapal yang ada
belum mampu untuk dioperasikan ke seluruh wilayah perairan Indonesia. Masing- masing lembaga menyadari besarnya wiilayah perairan yang kita miliki dengan
potensinya belum dapat diawasi seutuhnya dengan armada kapal yang ada. Kapal yang dimiliki TNI AL berjumlah 211 kapal. Kapal tersebut diklasifikasikan
menjadi 5 bagian. Kapal Republik Indonesia berjumlah 136 buah, kapal Angkatan Laut berjumlah 71 buah, Kapal pasukan marinir sebanyak 2 buah, dan kapal
brigade marinin serta kapal komando latih marinir masing-masing 1 buah Tempo 2010. Daftar nama kapal dan penempatan yang dimiliki PSDKP dapat dilihat
pada Lampiran 5 KKP 2011 sedangkan daftar nama kapal, jumlah sejata yang ada di kapal dan ukuran kapal yang dimiliki Polair terdapat pada Lampiran 6
Polair 2012. 2 Keterbatasan kemampuan personil
Personil atau SDM pengawasan Polair, PSDKP dan TNI AL juga memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan ini diantaranya keterbatasan komunikasi atau
bahasa dengan awak kapal asing. Hal ini dikarenakan personil pengawasan tidak memiliki kemampuan bahasa khusus seperti bahasa Inggris. Permasalahan lain
adalah ketidakmampuan personil dalam melakukan pengejaran. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain kemampuan pribadi dari personil saat di
lapang dalam menggunakan fasilitas kapal atau kemampuan menggunakan senjata. Pada beberapa kasus ditemukan pula permasalahan loyalitas dari personil
dimana saat melakukan operasi di laut, personil dapat dengan mudah disogok dengan uang atau apapun yang menggiurkan. Kekurangan ini sudah berusaha
untuk dukurangi dengan cara personil anggota Polair memiliki ijazah tindak pidana perikanan, bertujuan agar personil mengetahui pelanggaran-pelanggaran
yang mungkin terjadi. Perwira TNI AL juga dilatih untuk mahir dalam menggunakan alusita yang ada. Hal ini penguat dasar utama apabila terdapat hal
buruk yang terjadi di laut. 3 Keterbatasan anggaran
Anggaran merupakan mutlak perlu bagi sebuah kegiatan pengawasan. Anggaran operasi pengawasan yang rendah menyebabkan fungsi pengawasan
secara preventive dan repressive kurang berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Anggaran Polair pada tahun 2012 adalah sebesar 230 Miliar Rupiah.
Peneliti tidak mendapatkan data yang lain dikarenakan pihak Polair tidak memberikannya. Perkembangan alokasi anggaran PSDKP dari tahun 2001 hingga
2011 dapat dilihat pada Tabel 10 KKP 2012. Tabel 10 Perkembangan Alokasi Anggaran PSDKP tahun 2001 hingga tahun 2011
Tahun Alokasi Rp.
2001 28.305.803
2002 68.521.651
2003 119.181.981
2004 279.555.610
2005 151.033.197
2006 181.020.554
2007 255.502.405
2008 288.651.305
2009 345.635.561
2010 284.630.669
2011 362.704.000
Sumber : KKP 2012
Dukungan anggaran untuk pelaksanaan program PSDKP tahun 2011 sebesar Rp. 362.704.000.000 meningkat sebesar 21,53 dari alokasi anggaran 2010.
Rincian alokasi anggaran PSDKP berdasarkan satuan kerja tahun 2011 disajikan dalam Tabel 11 KKP 2012.
Tabel 11 Alokasi anggaran PSDKP berdasarkan satuan kerja tahun 2011 No.
Satuan Kerja Alokasi
Anggaran Realisasi Penyerapan
Anggaran hingga 31 Desember 2011
Persentase 1.
Pusat 6 Satker 243.617.219.000
239.891.833.125 98,47
2. UPT PSDKP 5
Satker 3.
Dekonsentrasi 33 Satker
4. Tugas
Pembantu KabupatenKota
2 Satker 5.
Tugas Pembantu
91.450.397.000 88.702.863.488 97,00 22.309.144.000 19.924.524.966 89,31
1.727.240.000 1.708.485.000 98,91 3.600.000.000 5.535.155.000 98,20
Provinsi 3 Satker Total
362.704.000.000 353.762.861.579
97.53
Sumber : KKP 2012
Selain berdasarkan satuan kerja, alokasi anggaran PSDKP juga dibagi berdasarkan kegiatan. Alokasi anggaran PSDKP berdasarkan kegiatan tahun 2011
dapat dilihat lampiran 7 KKP 2012. 4 Aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap
Dasar hukum terhadap pengawasan adalah sebuah peraturan yang dijadikan acuan dalam pengawasan. PSDKP menyebutkan bahwa dalam peraturan
perundang-undangan perikanan dan kelautan terdapat kelemahan yakni pada belum lengkapnya aturan pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah tentang
pengawasan. Arah gerak bagi personil lapang ini yang sebenarnya merupakan gambaran lembaga dalam melakukan tugasnya. Lemahnya peraturan tersebut
membuat lembaga perlu membuat peraturan tambahan agar ketika di lapang personil dapat memiliki acuan teknis.
5 Hambatan struktural dalam satu lembaga Hambatan paling memalukan adalah hambatan struktural dalam satu
lembaga. Hambatan ini terjadi saat menangani kasus pelanggaran dimana antar elemen tidak saling mendukung. Modus pelanggaran yang sudah begitu jelas
dilihat di laut, dapat begitu saja lepas dari hukum bahkan sebelum sempat sampai di meja pengadilan.
2 Faktor Eksternal.
Faktor eksternal berupa peluang opportunities yang didapat dari lembaga penegak hukum.
1 Kerjasama internasional Kerjasama nasional antar lembaga memang penting, namun kerjasama
internasional tidak kalah pentingnya. Dukungan dunia internasional dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang tertuang dalam UNCLOS
1982, dan konvensi internasional lainnya. Adapun kerjasama tersebut diantaranya IOTC, dan CCSBT. Indian Ocean Tuna Commission IOTC merupakan institusi
regional yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan ikan tuna dan sejenisnya di perairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Indonesia merupakan
negara anggota ke-27. Kerjasama ini memungkinkan Indonesia untuk memiliki akses langsung terhadap perairan Samudera Hindia dalam rangka memanfaatkan
sumberdaya ikan. The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna CCSBT merupakan kesepakatan untuk menjaga konservasi keberadaan tuna
sirip biru. Dasar dari pembentukan ini adalah karena penurunan drastis jumlah tangkapan ikan tuna sirip biru. Hal ini dikarenakan penangkapan yang berlebihan
oleh negara-negara maju dan berkembang. Indonesia menjadi anggota tetap pada tahun 2007.
2 Keterlibatan masyarakat Masyarakat terbukti merupakan partner paling dekat dengan lembaga yang
berapa di daerah. Masyarakat mampu membantu personil pengawasan secara langsung. Bahkan dibeberapa daerah dikatakan masyarakat secara aktif membantu
pelaksanaan secara mandiri berinisiatif membentuk kelompok masyarakat pengawas POKMASWAS. Jumlah POKMASWAS selama kurun waktu 2007
hingga 2011 cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2010 ke 2011 jumlahnya sama. KKP 2011.
Tabel 12. Jumlah Unit POKMASWAS di 17 Provinsi No.
Provinsi 2007
2008 2009
2010 2011
1. Aceh
47 39
39 41
41 2.
Sumatera Utara 8
62 62
63 63
3. Sumatera Barat
109 85
84 105
105 4.
Riau 3
16 16
46 46
5. Jambi
12 15
15 18
18 6.
Bengkulu 1
32 32
19 19
7. Sumatera Selatan
16 75
76 65
65 8.
Lampung 70
43 77
89 89
9. Kep.Bangka Belitung
21 25
25 22
22 10.
Kep.Riau 2
14 14
38 38
11. Jakarta
26 15
15 17
17 12.
Jawa Barat 57
79 79
79 79
13. Jawa Tengah
30 39
46 26
26 14.
Yogyakarta 9
20 16
14 14
15. Jawa Timur
10 23
23 23
23 16.
Banten 13
27 27
27 27
17. Bali
33 35
35 41
41
Sumber : KKP 2011
3 Teknologi berkembang pesat Pengembangan ilmu pengetahuan semakin baik. Banyak teknologi baru
yang muncul yang dapat digunakan untuk membantu kegiatan pengawasan. Bahkan
beberapa lembaga
telah menyediakan
anggaran khusus
untuk mengadakan
penelitian tentang teknologi
baru. Apabila hal ini
dapat berkesinambungan maka pengawasan merupakan elemen penting dalam
penggunaan teknologi tepat guna. Adapun faktor eksternal berupa ancaman threat dijelaskan sebagai berikut:
1 Kecepatan kapal asing Dilengkapinya personil pengawasan dengan berbagai teknologi, memang
merupakan sebuah poin positif bagi dunia pengawasan perikanan. Terlebih kemampuan yang handal dalam menggunakannya. Namun ternyata saat bertemu
dengan kapal asing di laut, tetap saja kemampuan kapal asing diatas kemampuan kapal pengawas. Kemampuan paling dasar yang disorot adalah kecepatannya.
Kapal asing jauh lebih cepat dari kapal patroli. Hal ini sangat merugikan karena kapal patroli tidak dapal mengejar ataupun mendekat untuk melakukan
pemeriksanaan dan langkah penahanan.
2 Wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing Nelayan merupakan salah satu pekerjaan beresiko tinggi terjangkit penyakit
menular berbahaya. Khususnya nelayan migran yang meninggalkan kampung halamanya dalam kurun waktu yang lama, risiko terjangkit semakin besar. Entz,
dkk dalam Nikijuluw 2008 mengatakan bahwa hasil penelitian di Thailand dengan jumlah responden 818 nelayan terdiri dari 852 nelayan asli Thailand, 137
Myanmar, dan 99 Khmer, secara keseluruhan 15,5 positif HIV. Penyakit membahayakan ini dapat dengan mudah menyebarkan penyakit
saat bertemu dengan personil pengawasan. Personil patroli tidak jarang terinfeksi penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing. Walaupun belum ada data resmi
jumlah personil pengawasan yang terjangkit, namun permasalahan ini sudah menjadi topik besar dalam dunia pengawasan.
3 Modus operandi beragam Tindak pidana yang terjadi di kapal perikanan bukan hanya kasus ikan.
Sering kali personil pengawas saat memeriksa kapal menemukan beberapa pelanggaran sekaligus. Tindak pidana itu antara lain penyelundupan narkotika,
perdagangan manusia hingga penyelundupan warga negara asing. Frekuensi tindak pidana atau modus operandi selama kurun waktu 2007 hingga 2011 bersifat
fluktuatif naik turun yang dapat dilihat pada lampiran 8 KKP 2011. 4 Tumpang tindih antar lembaga pengawasan
Hal paling penting yang berkaitan antar lembaga adalah tumpang tindihnya pengawasan antar lembaga tersebut. Hal ini dapat dilihat dari operasi, tata cara,
dan petunjuk teknis penanganan tindak pidana di atas kapal. Pada beberapa kasus bahkan dikatakan perselisihan hingga peradilan.
5 Kebutuhan pasar internasional Pasar internasional merupakan faktor ekonomi yang selalu diperhitungkan
disetiap negara. Ketergantungan pasar internasional terhadap produk kelautan dan perikanan yang semakin besar dari waktu ke waktu. Hal ini menuntut pengawasan
untuk bersifat suistainability berkelanjutan. Apabila negara Indonesia salah dalam mengambil tindakan, maka embargo akan dikenakan. Embargo akan
menimpa Indonesia dengan seluruh larangannya termasuk larangan pemasaran hasil perikanan ke luar.
3 Matriks internal factor evaluation IFE dan matriks eksternal factor evaluation EFE.
Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta
matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating. Penentuan bobot dan rating ditentukan oleh peneliti yang melihat hasil diskusi
dengan responden. Diskusi dengan responden dilakukan saat responden sebelum dan sesudan mengisi kuesinoner. Bobot dan rating kemudian dikalikan untuk
memperoleh skor, sedangkan untuk mendapatkan skor akhir internal dan eksternal maka skor dari keempat responden tersebut dirata-rata.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dan wawancara dengan responden maka teridentifikasi 10 faktor yang mempengaruhi faktor internal yang terdiri dari
5 kekuatan dan 5 kelemahan. Kekuatan yang dimiliki terdiri dari: 1 sarana penunjang patroli; 2 satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah; 3 memiliki
jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung; 4 terdapat dasar hukum; dan 5 terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Kelemahan
dalam faktor internal yang dimiliki antara lain: 1 kurangnya jumlah kapal patroli; 2 keterbatasan kemampuan personil; 3 keterbatasan anggaran; 4
aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap; 5 hambatan struktural dalam satu lembaga. Tabel matriks IFE efektivitas penegakan hukum dapat dilihat pada
Tabel 13. Tabel 13 Matriks IFE efektivitas penegakan hukum
Faktor strategis internal Rata-rata
Bobot Rating
Kekuatan Skor
A Sarana
penunjang patroli 0,095
3,8 0,362
B Satuan
pengawasan kewilayahan setiap daerah 0,105
3,75 0,395
C Memiliki
jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung 0,105
3,65 0,384
D Terdapat
dasar hukum 0,115
4 0,461
E Terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum
0,1 3,5
0,351
Kelemahan
F Kurangnya jumlah kapal patroli
0,958 1,2
0,114 G
Katerbatasan kemampuan personil 0,085
1,7 0,145
H Katerbatasan
anggaran 0,09
1,5 0,135
I Aturan
pelaksanaan dasar hukum belum lengkap 0,11
1 0,11
J Hambatan
struktural dalam satu lembaga 0,098
1,9 0,186
Total 1
2,643
Sumber : Pengolahan data primer
Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE di atas maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas penegakan hukum oleh lembaga penegak hukum secara internal
berada dalam kondisi rata-rata. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nilai sebesar 2,643.
Pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa kekuatan utama lembaga penegak hukum adalah terdapatnya dasar hukum dengan nilai 0,461. Dasar hukum
memang merupakan acuan mutlak yang dapat digunakan oleh lembaga penegak hukum untuk menjalankan fungsinya. Lembaga yang tidak memiliki dasar hukum
akan sangat lemah ketika menjalankan tugas dan fungsinya. Dasar hukum juga dapat dijadikan acuan posisi lembaga di kancah nasional. Apabila dasar hukum
lembaga tersebut adalah undang-undang, maka lembaga tersebut memiliki dasar hukum tertinggi di negara Indonesia. Asal-muasal dasar hukum ini menjadi
penting sekali apabila beberapa lembaga bertemu atau saling bersisihan di lapang, maka yang memiliki dasar hukum tertinggilah yang lebih memiliki posisi. Faktor
kedua yaitu satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah dengan nilai 0,395. Sistem penguatan di pusat memang merupakan langkah jitu untuk memperkuat
lembaga. Hal ini digunakan untuk menunjukan kepada lembaga lain bahwa lembaga tersebut memiliki kekuatan yang luar biasa dan pantas diperhitungkan.
Namun hal ini tidak berlaku bagi optimasi sistem di Indonesia. Negara seperti Indonesia yang luas dan memiliki banyak daerah-daerah terpencil memang
memerlukan desentralisasi khusnya pada bidang pengawasan perikanan laut. Spesifikasinya adalah dibentuknya lembaga pengawasan tingkat daerah. Tindak
pidana pelanggaran perikanan marak terjadi di daerah-daerah terpencil. Inilah yang menjadi dasar pentingya dibangun dan dikuatkannya lembaga pengawasan
di daerah-daerah. Faktor ketiga adalah memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang
mendukung dengan nilai 0,384. Keberadaan personil harus memadai dari jumlah. Jumlah mereka harus banyak sehingga bisa ditempatkan di titik-titik terluar
Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Jumlah personil ini juga harus terdistribusikan merata sehingga seluruh daerah dapat terpantau kondisinya.
Faktor keempat merupakan sarana penunjang patroli dengan nilai sebesar 0,362. Sarana penunjang patroli ini antara lain adalah alusita atau alat utama sistem
senjata dan satelit. Setiap personil terutama personil yang sedang melakukan patroli di laut harus membawa senjata. Hal ini bertujuan untuk mengamankan diri
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Satelit juga diperlukan guna mencatat setiap koordinat kapal ikan yang sedang beroperasi. Faktor terakhir
adalah terdapat kesepakatan bersama antara lembaga penegakan hukum dengan nilai 0,351. Kesepakatan ini dibutuhkan untuk menjaga hubungan baik antar
lembaga. Kesepakatan diharapkan dapat menjadi dasar untuk lembaga penegak hukum untuk bergerak bersama menjalankan tugas. Hal ini juga bertujuan untuk
meminimumkan kesalahpahaman apabila terjadi perbedaan pendapat saat melaksanakan tugas.
Kelemahan utama lembaga penegakan hukum adalah aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap dengan nilai 0,11. Seperti yang telah dijelaskan
bahwa dasar hukum merupakan dasar bagi pelaksanaan tugas lembaga. Dasar hukum ini sudah seharusnya mencangkup seluruh hal mengenai pengawasan,
namun hal ini tidak terjadi. Lembaga menyepakati bahwa dasar hukum yang ada masih belum lengkap atau masih banyak terdapat kelemahan. Belum lengkapnya
dasar hukum ini harus segera dibenahi dengan dibuatkan peraturan-peraturan lain yang mendukung kelemahannya tersebut. Tidak lengkapnya dasar hukum dapat
membuat lembaga pengawasan berfikir lebih dalam mengambil tindakan. Faktor kedua adalah kurangnya jumlah kapal patroli dengan nilai sebesar 0,114.
Keterbatasan armada patroli berupa kapal memang merupakan kelemahan besar bagi suatu lembaga pengawasan. Dengan terbatasnya jumlah armada kapal, maka
lembaga tidak bisa menjalankan fungsi dasarnya yaitu pengawasan patroli di laut. Pelaku tindak pidana perikanan akan makin bebas melakukan pelanggaran.
Faktor ketiga adalah keterbatasan anggaran dengan nilai sebesar 0,135. Anggaran merupakan syarat yang harus ada untuk melaksanakan sesuatu
termasuk pengawasan. Lembaga pengawasan diberikan anggaran tertentu untuk melaksakan tugasnya. Namun lembaga mengatakan bahwa anggaran yang
diberikan masih belum cukup untuk menjalankan tugas dengan optimal. Misalnya untuk memberi solar untuk patroli. Anggaran solar masih sangat kurang untuk
patroli armada ke seluruh laut Indonesia. Faktor keempat adalah keterbatasan kemampuan personil dengan nilai 0,145. Keterbatasan personil ini dilihat dari segi
kualitas. Dari segi kualitas personil antara lain adalah kemampuan memainkan senjata, membawa kapal, ilmu navigasi hingga kemampuan berbahasa asing.
Banyak personil masih kurang dalam bidang menggunakan senjata. Mereka tau secara teori namun dalam pelaksanaan masih sangat kurang. Personil juga terbatas
dalam ilmu navigasi hingga membawa kapal. Dalam keadaan darurat personil harus membantu nahkoda dalam hal ini. Hingga kekurangan utama personil
adalah bahasa asing. Banyak sekali kasus yang terjadi dimana komunikasi menjadi permasalahan besar. Komunikasi tidak efektif dikarenakan keterbatasan
pengetahuan. Faktor terkahir adalah hambatan struktural dalam satu lembaga dengan nilai
0,186. Hambatan diakui dapat menjadi kelemahan suatu lembaga penegakan hukum. Hambatan yang dimaksud adalah perbedaan sudut pandang atau penilaian
dalam suatu tindak pidana dalam satu lembaga. Hambatan dapat terjadi pada tingkat patroli hingga penanganan kasus di pengadilan. Hal ini menjadi catatan
buruk bagi lembaga tersebut. Penanganan sebuah penanganan kasus tindak pidana, sudah seharusnya tiap struktur memberikan kontribusi terbaik sesuai
dengan arahan kerjanya. Mereka juga dituntut untuk dapat saling mendukung satu sama lain. Namun ternyata ada banyak perkara kasus dimana antar satu lembaga
tidak mendukung. Pada faktor eksternal terdapat 3 faktor peluang dan 5 faktor ancaman.
Peluang yang dimiliki terdiri dari: 1 kerjasama internasional; 2 keterlibatan masyarakat; 3 Teknologi berkembang pesat. Sedangkan ancaman yang dimilki
antara lain: 1 kecepatan kapal asing; 2 wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing; 3 modus operandi beragam; dan 4 tumpang tindih antar lembaga
pengawasan; 5 kebutuhan pasar internasional. Tabel matriks EFE efektivitas penegakan hukum dapat dilihat di Tabel 14.
kapal asing 0,12
2 0,24
Tabel 14 Matriks EFE efektivitas penegakan hukum
Faktor strategis eksternal Rata-rata
Bobot Rating
Peluang Skor
A Kerjasama internasional
0,127 3,5
0,444 B
Keterlibatan masyarakat 0,125
3,3 0,412
C Teknologi berkembang pesat
0,129 3,8
0,49
Ancaman
D Kecepatan kapal asing
0,125 1,2
0,15 E
Wabah penyakit yang dibawa oleh ABK F
Modus operandi yang beragam 0,124
1,5 0,186
G Tumpang tindih antar lembaga pengawasan
0,129 1
0,129 H
Kebutuhan pasar internasional 0,122
1,8 0,22
Total 1
2,269
Sumber : Pengolahan data primer
Berdasarkan hasil analisis matriks EFE, diperoleh jumlah skor rata-rata untuk faktor eksternal sebesar 2,269. Nilai ini memperlihatkan bahwa efektivitas
penegakan hukum oleh lembaga penegakan hukum berada dalam level rata-rata. Diketahui pada Tabel 14 bahwa teknologi berkembang pesat menduduki
urutan pertama sebagai peluang yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Hal ini bisa dilihat dari nilai sebesar 0,49. Indonesia merupakan negara berkembang
dimana merupakan incaran negara-negara maju untuk memasarkan hasil perkembangan teknologi yang ada. Hal ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan teknologi agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan mestinya. Lembaga penegakan hukum juga telah menjalankan sistem agar penggunaan
teknologi dalam setiap menjalankan tugas selalu menggunakan teknologi unggulan. Konsistensi mengenai hal ini dapat dilihat pada saat latihan, lembaga
selalu mengusahakan agar dapat belajar menggunakan teknologi baru yang nantinya dapat digunakan saat operasi di laut. Peluang kedua yang dapat
dimanfaatkan adalah kerjasama internasional dengan nilai sebesar 0,444. Peluang ini didasarkan dengan banyaknya kerjasama berupa perjanjian-perjanjian dibidang
perikanan. Perjanjian internasional yang telah dibuat contohnya antara lain UNCLOS 1982, FAO-CCRF, RFMO, WCPFC, IOTC, dan CCSBT. Perjanjian
yang telah ada harus selalu dijalankan dengan baik. Hal ini berguna untuk saling mendukung antar negara. Kesepakatan internasional menjadi penting karena saat
ini sudah memasuki era perdagangan bebas. Selain itu kini konflik tindak pidana yang banyak terjadi juga lebih banyak melibatkan negara luar, atau dapat
dikatakan pelakunya merupakan warga negara asing. Dengan adanya perjanjian tersebut, tindak pidana yang terjadi dapat segera diselesaikan dengan baik.
Faktor terakhir keterlibatan masyarakat. Peluang ini memiliki nilai sebesar 0,412. Keterlibatan masyarakat menjadi bantuan paling dasar bagi lembaga saat
menjalankan tugas. Masyarakat dapat membantu dari proses operasi di laut, apabila terjadi tindak pidana seperti menggunakan alat tangkap terlarang hingga
kasus penyidikan di pengadilan. Masyarakat membentuk kelompok masyarakat pengawas POKMASWAS di beberapa wilayah guna membantu lembaga
penegakan hukum PSDKP. Faktor utama yang menjadi ancaman efektivitas penegakan hukum lembaga
penegakan hukum adalah tumpang tindih antar lembaga pengawasan. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0,129. Lembaga penegak hukum di bidang perikanan antara
lain adlan PSDKP, TNI AL, dan Polair. Ketiga lembaga tersebut mengakui adanya tumpang tinding antar mereka. tumpang tindih dapat terjadi mulai dari
proses paroli pengawasan di laut, hingga penyidikan. Tumpang tinding ini memiliki pengaruh paling besar dari kesuksesan lembaga menjalankan fungsi dan
tujuannya. Faktor kedua adalah kecepatan kapal asing dengan nilai 0,15. Kapal asing memiliki banyak keunggulan. Keunggulan yang dimaksud adalah
keunggulan lebih kecepatannya kapal mereka. Keunggulan-keunggulan inilah yang menyebabkan proses patroli pengawasan di laut sulit dilakukan. Misalnya
saat kapal patroli lembaga penegak hukum menemukan pelanggaran tindak pidana, dan beruska untuk mengejarnya, maka kapal tersebut dengan kecepatan
tinggi, dengan teknolidi satelit yang lebih canggih dapat pergi dari pengejaran. Faktor ancaman ketiga adalah modus operandi yang beragam. Faktor ini
memiliki nilai sebesar 0,186. Tindak pidana yang terjadi di laut sangat beragam modus yang ada antara lain pelanggaran penggunaan alat tangkap terlarang,
penangkapan ikan endemik, pembuangan limbah di laut, hingga pengelundupan manusia, narkoba, senjata dengan menggunakan kapal ikan. Beragamnya modus
yang ada membuat lembaga penegak hukum kesulitan. Hal ini dikarenakan tupoksi menganai penanganan masing-masing modus berbeda-beda. Faktor
keempat dengan nilai 0,22 adalah kubutuhan pasar internasional. Pasar bebas yang dihadapi negara-negara di dunia menuntutnya untuk dapat memenuhi kebutuhan.
Seperti kebutuhan akan ikan laut. Seluruh negara di dunia bersaing untuk dapat menjadi nomor satu. Bahkan negara-negara yang tidak memiliki laut pun ikut
bersaing dengan memiliki kapal ikan untuk menangkan ikan di laut lepas. Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah perairan yang luas juga
merupakan negara yang selalu diperhitungkan untuk menyediakan kebutuhan akan ikan laut. Hal ini menjadi dasar ancman apabila Indonesia sedikit saja
mengalami kesalahan dalam prosedur, maka Indonesia akan mendapatkan embargo dari negara-negara asing. Kesalahan dapat terjadi dari berbagai unsur,
baik penangkapan pengolahan hingga pemasaran. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang disengaja ataupun kesalahan yang tidak disengaja.
Embargo ini yang menjadi hal yag ditakuti oleh Indonesia. Faktor terakhir adalah wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing
dengan nilai 0,24. Lingkungan yang tidak terjamin kebersihannya merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit yang diidap oleh ABK. Penyakit yang
dibawa umumnya merupakan penyakit aneh hingga penyakit berbahaya seperti AIDS. Tidak jarang mereka urung melaksanakan tugasnya karena takut tertular
penyakit. Berdasarkan dari perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah nilai rata-rata sebesar 2,643 dan 2,269. Penggabungan nilai IFE dan EFE pada
matriks IE menunjukan efektivitas pengawasan lembaga pengawasan hukum di bidang perikanan berada pada sel lima V seperti yang terlihat pada Gambar 6.
Total Rata-rata Tertimbang IFE
Kuat Rata-rata
Lemah 3,0-4.0
2,0-2,99 1,0-1,99
Tinggi 3,0-4,0
Total Sedang
Rata-rata
2,0-2,99
Tertimbang EFE
Rendah 1,0-1,99
Gambar 6 Matriks IE I
II III
IV V
VI VII
VIII IX
Berdasarkan gambar matriks IE di atas dapat diketahui bahwa efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan berada pada sek lima
V sehingga strategi yang terbaik yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan posisi yang selama ini sudah diraih. Kebijakan umum dari
strategi ini adalah dengan melakukan perbaikan sistem pengawasan dari segi hukum dan kerjasama serta pengawasan yang optimal. Perbaikan sistem hukum
dapat dilakukan dengan menambahkan kekurangan-kekurangan yang ada. Kerjasama perlu ditingkatkan antar lembaga, masyarakat maupun dengan instansi
luar negeri. Pengawasan yang optimal perlu dilakukan seperti peningkatan armada kapal, peningkatan fasilitas kapal, penggunakan teknologi canggih, hingga
peningkatan personil patroli.
4 Analisis Strenght, Weakness, Opportunities, dan Threats SWOT
Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal, selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan matriks
SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi SO, WO, ST dan WT. Perumusan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan keempat faktor
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang telah diidentifikasi. Strategi yang dihasilkan merupakan kombinasi SO strengths-Opportunities, ST
Strenghts-Threats, WO Weaknesses-Opportunities dan WT Weaknesses- Threats
yang dirangkum dalam matriks SWOT. Perumusan strategi bisnis yang dibangun dengan menggunakan matriks SWT dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Matriks SWOT efektivitas pengawasan lembaga penegakan hukum di bidang perikanan
Kekuatan Strengths
S1. Sarana penunjang patroli;
Kelemahan Weaknesses
W1. Kurangnya jumlah kapal
IFAS EFAS
Peluang Opportunities
O1. Kerjasama internasional; O2. Keterlibatan masyarakat;
O3. Teknologi berkembang pesat.
Ancaman Threats
T1. Kecepatan kapal asing; T2. Wabah penyakit yang
dibawa oleh ABK kapal asing;
T3. Modus operandi yang beragam;
T4. Tumpang tindih antar lembaga pengawasan.
T5. Kebutuhan pasar internasional
S2. Satuan pangawasan kewilayahan setiap daerah;
S3. Memiliki jumlah personil patroli pengawasan yang
mendukung; S4. Terdapat dasar hukum;
S5. Terdapat kesepakatan bersama antara lembaga
penegak hukum.
SO
SO1. Penguatan dan memfasilitasi masyarakat
terhadap peningkatan peran aktif kelompok masyarakat
pengawas POKMASWAS atau
sejenisnya untuk membantu pelaksanaan
pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang S1, S2,
O2 SO2.Peningkatan kerjasama
regional dan internasional dalam menghapuskan
illegal fishing dan
destruktive fishing S4, S5,
O1 ST
ST1. Menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional
maupun internasional dengan cara menjalankan
kesepakatan yang sudah ada S4, S5, T5
ST2. Meningkatkan kemampuan kapal dan
personil patroli serta mengoptimalkan
patroli; W2. Keterbatasan kemampuan
personil; W3. Keterbatasan anggaran;
W4. Aturan pelaksanaan dasar hukum belum lengkap;
W5. Hambatan struktural dalam satu lembaga.
WO
WO1. Menambah jumlah kapal patroli dan penambahan
teknologi canggih W1, O1, O3
WO2. Membuat seluruh tata aturan dengan berbagai
pihak yang diperlukan untuk mencapai
pengawasan yang optimum W4, W5, O1
WT
WT1.Menguatkan internal masing-masing lembaga
agar dapat menjalankan tugasnya dengan optimal.
W1, W2, W3, W4, W5, T1, T2, T3, T4, T5
penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti
VMS, alat komunikasi dll S1, S3, S5, T1, T2, T3
ST3. Melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi
masing-masing lembaga pengawasan S4, S5, T4
Sumber : Pengolahan data primer
Dari analisis matriks SWOT didapatkan empat macam strategi yang dijelaskan sebagai berikut:
1 Strategi Strengths-Opportunity SO
Strategi SO adalah strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan kekuatan dan peluang yang
diperoleh, maka strategi yang sebaiknya dilakukan adalah penguatan dan memfasilitasi masyarakat terhadap meningkatan peran aktif kelompok masyarakat
pengawas POKMASWAS atau sejenisnya untuk membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang. Kepemilikan terhadap sarana
penunjang patroli, serta satuan pengawasan kewilayahan setiap daerah yang mendukung merupakan kekuatan utama. Kekuatan ini diimbangi dengan
keterlibatan masyarakat. Hal ini menjadi peluang utama yang bisa diambil untuk menjalankan strategi kedua.
Strategi kedua merupakan peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan illegal fishing dan destruktive fishing. Strategi ini didasari
oleh adanya dasar hukum dari masing-masing lembaga dan adanya kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Selain itu terdapat pula kerjasama
internasional. Kombinasi
antara kekuatan
dan peluang
yang ada
ini memungkinkan lembaga dapat meminimalisir bahkan menghilangkan kegiatan
tindak pidana di bidang perikanan. 2
Strategi Weakness-Opportunity WO Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan dengan
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi WO utama yang bisa dilakukan adalah menambahkan jumlah kapal patroli dan menambahkan teknologi canggih. Strategi
ini dimaksudkan untuk memenuhi kekurangan dari kebutuhan kapal. Strategi ini juga muncul dikarenakan adanya kerjasama internasional. Dengan demikian
lembaga dapat mengambil untung dengan mendapatkan pembagian seperti penambahan kapal dan teknologi canggih dari dunia internasional.
Strategi yang kedua adalah membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk mencapai pengawasan yang optimum. Lembaga
menyadari adanya aturan pelaksanaan dasar hukum yang belum lengkap hingga terdapatnya hambatan struktural dalam satu lembaga. Kedua hal ini merupakan
kelemahan dasar
dari munculnya
strategi yang
harus di
tanggulangi. Penanggulangan
dapat ditempuh
dengan memanfaatkan
peluang adanya
kerjasama internsional yang sudah ada lebih dulu. 3
Strategi Strengths-Threats ST Strategi ST merupakan strategi memanfaatkan kekuatan untuk menghindari
ancaman yang datang dari luar. Strategi ST paling utama adalah menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional dengan cara
menjalankan kesepakatan yang sudah ada. strategi ini ditempuh untuk memenfaatkan kekuatan betupa adanya dasar hukum dan kesepakatan bersama
antara lembaga penegak hukum. Strategi juga ditempuh untuk menhindari
ancaman berupa kebutuhan pasar internasional. Strategi kedua adalah meningkatkan kemampuan kapal dan personil partoli
serta mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat komunikasi, dan lain-lain. Hal ini didasari oleh kepemilikan sarana penunjang
patroli dan jumlah personil patroli pengawasan yang mendukung. Sehingga personil yang ada dapat ditingkatkan dari segi kemampuannya. Faktor lain adalah
adanya kesepakatan bersama antara lembaga penegak hukum. Lembaga dapat memanfaatkannya untuk pengadaan fasilitas. Strategi ini lahir dari ancaman akan
keunggulan cepatnya kapal asing, wabah penyakit yang dibawa oleh ABK kapal asing dan modus operandi yang beragam.
Strategi ketiga adalah melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi dari masing-masing lembaga pengawasan. Tugas pokok dan fungsi yang ada perlu
dijelaskan atau diingatkan terus menerus. Tupoksi ini bisa didapatkan dari dasar hukum yang ada selama ini. Hal ini juga bisa dilihat dari kesepakatan bersama
antara lembaga penegak hukum. Ancaman mengenai hal ini adalah dengan adanya tumpang tindih antar lembaga pengawasan.
4 Strategi Weakness-Threats WT Strategi WT merupakan strategi untuk mengurangi kelemahan dan
menghindari ancaman. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapar menjalankan tugasnya dengan
optimal. Sadarnya lembaga akan kekurangan yang ada seperti kurangnya jumlah kapal patroli, keterbatasan kemampuan personil dan anggaran, dasar hukum yang
dirasa belum lengkap, dan hambatan struktural dalam satu lembaga juga dengan acaman seperti kapal asing yang lebih unggul, wabah penyakit yang bisa
menyerang personil patroli tiap saat hingga tumpang tindih antar lembaga pengawasan seharunya menjadi kesadaran tersendiri bagi lembaga. Mereka harus
lebih sering melihat kekurangan dan ancaman yang ada apabila selama ini sehingga mereka akan cenderung untuk menguatkan internal kelambagaan.
Hasil dari matriks SWOT dan keempat macam strategi secara umum diatas didapatkan sembilan rekomendasi strategi alternatif sebagai berikut:
1 Penguatan dan memfasilitasi masyarakat terhadap peningkatan peran aktif kelompok masyarakat pengawas POKMASWAS atau sejenisnya untuk
membantu pelaksanaan pengawasan sesuai dengan kondisi di lapang; 2 Peningkatan kerjasama regional dan internasional dalam menghapuskan
illegal fishing dan destruktive fishing;
3 Menambah jumlah kapal patroli dan penambahan teknologi canggih; 4 Membuat seluruh tata aturan dengan berbagai pihak yang diperlukan untuk
mencapai pengawasan yang optimum; 5 Menjamin kebutuhan ikan pada pasar nasional maupun internasional
dengan cara menjalankan kesepakatan yang sudah ada; 6 Meningkatkan
kemampuan kapal
dan personil
patroli serta
mengoptimalkan penggunaan sarana lain yang sudah ada seperti VMS, alat komunikasi dll;
7 Melakukan penjelasan kembali mengenai tupoksi masing-masing lembaga pengawasan;
8 Menguatkan internal masing-masing lembaga agar dapat menjalankan tugasnya dengan optimal.
4.3.2 Matriks Quantitative Strategic Planning Management QSPM