2.2 Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam tataran teoritis, bukan hanya memberikan sanksi kepada orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap suatu
peraturan perundang-undangan, tetapi perlu pula dipahami bahwa penegakan hukum tersebut berkaitan dengan konsep penegakan hukum yang bersifat
preventif . Namun demikian, terminologi penegakan hukum saat ini telah
mengarah pada suatu tindakan yakni menjatuhkan sanksi pidana. Penegakan hukum yang ada kaitannya dengan kegiatan usaha perikanan, dikaitkan dengan
suatu tindakan yang akan memberikan sanksi kepada setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pelanggaran hukum ini sama halnya dengan pelanggaran pidana pada umumnya, yang prosesnya sama
dengan pidana biasa yang sebelum diajukan ke pengadilan, maka terlebih dahulu didahului oleh suatu proses hukum yang lazim disebut penyidikan Supriadi dan
Alimudin 2011. Ketentuan pidana di bidang perikanan diatur secara khusus di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, terdapat pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 104.
Ketentuan pidana tersebut merupakan tindak pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat
menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia yang berakibat merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Hukuman pidananya
tinggi dan berat sebagai salah satu cara untuk dapat menanggulangi tindak pidana di bidang perikanan Supratomo 2011.
Ketentuan pidana terhadap sesuatu pelanggaran merupakan hal mutlak perlu bagi negara hukum. Menurut Supratomo 2011, berdasarkan ketentuan pidana
yang diatur dalam ketentuan Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan dapat digolongkan sebagai berikut: 1 Tindak
pidana yang
menyangkut penggunaan
bahan yang
dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan SDI danatau lingkungannya;
2 Tindak pidana sengaja menggunakan alat penangkapan ikan API yang mengganggu dan merusak SDI di kapal perikanan;
3 Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran atau kerusakan SDI danatau lingkungannya;
4 Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan; 5 Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah;
6 Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang merugikan masyarakat;
7 Tindak pidana yang berkaitan dengan pengelolaan ikan yang kurang danatau tidak memenuhi syarat;
8 Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan atau pengeluaran hasil perikanan dari atau ke wilayah negara Indonesia tanpa dilengkapi sertifikat
kesehatan; 9 Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahanalat yang
membahayakan manusia dalam melakukan pengolahan ikan; 10 Tindak pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan tanpa
SIUP; 11 Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIPI;
12 Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIKPI; 13 Tindak pidana memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI;
14 Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal perikanan tanpa izin;
15 Tindak pidana tidak melakukan pendaftaran kapal perikanan; 16 Tindak pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan asing;
17 Tindak pidana tanpa memiliki surat persetjuan berlayar; 18 Tindak pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah;
19 Tindak pidana melakukan usaha pengelolaan perikanan yang tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan UU Perikanan;
20 Tindak pidana yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan kecil; dan tindak pidana melanggar kebijakan pengelolaan SDI yang dilakukan oleh
nelayan atau pembudidaya ikan kecil.
Penegakan hukum secara lebih rinci dijabarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan. Kapal pengawasan perikanan pada Pasal 69 dijelaskan berfungsi untuk melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam
wilayah pengelolaan perikanan RI, kapal juga dapat dilengkapi dengan senjata api. Kapal dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang
diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di WPP RI ke pelabuhan terdekat untuk proses lebih lanjut. Penyidik dan.atau pengawas perikanan dapat
melakukan tindakan khusus berupa pembakaran danatau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 71 memberikan jabaran bahwa akan bibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang
perikanan yang merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan negeri. Pengadilan akan
dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Dijelaskan pada Pasal 73 bahwa penyidik tindak pidana di bidang perikanan
di WPP RI dilakukan oleh PPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, danatau penyidik kepolisian. Penyidik dapat melakukan koordinasi pada forum koordinasi
yang dibentuk oleh menteri dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan. Selain penyidik TNI AL, PPNS Perikanan berwenang melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI. Penyidik terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan
perikanan, diutamakan dilakukan oleh PPNS Perikanan. Wewenang penyidik perikanan sebagaimana Pasal 73A antara lain
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan, memanggil dan memeriksa tersangka danatau saksi untuk
didengar keterangannya, membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka danatau saksi untuk didengar keterangannya, menggeledah sarana dan
prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan, menghentikan, memeriksa,
menangkap, membawa, danatau menahan kapal danatau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan, memeriksa kelengkapan dan
keabsahan dokumen usaha perikanan, memotret tersangka danatau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan, mendatangkan ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan, membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan, melakukan penyitaan terhadap barang
bukti yang digunakan danatau hasil tindak pidana, melakukan penghentian penyidikan,dan
mengadakan tindakan
lain yang menurut hukum
dapat dipertanggungjawabkan.
Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh jaksa agung hal ini sesuai dengan Pasal 75.
Pada Pasal 76A dapat dilihat bahwa benda danatau alat yang digunakan dalam danatau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk
negara atau dimusnahkan setelah mendapat persejutuan ketua pengadilan negeri, dan pada Pasal 76B ayat 2 ditambahkan apabila berupa jenis ikan terlebih dahulu
disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Sedangkan barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan
biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri sesuai yang tercantum dalam Pasal 76B ayat 1. Ditambahkan pada Pasal
76C bahwa benda danatau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan dapat dilelang untuk negara. Pelaksana lelang dilakukan oleh badan lelang negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Uang hasil pelelangan disetor ke kas negara sebagai penerimaan bukan pajak. Aparat penegak hukum di
bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugas dengan baik dan pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP. Sedangkan apabila benda yang dirampas berupa kapal perikanan dapat
diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan danatau koperasi perikanan. Seluruh pelanggaran mengenai perikanan yang telah disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikananakan dikenakan sanksi pidana dengan
pembayaran denda minimal Rp.200.000.000,00 hingga Rp.20.000.000.000,00 dimana besaran denda ini ditentukan dengan melihat jenis pelanggaran yang
terjadi.
2.3 Wilayah Laut Indonesia